Mengapa Mahesa Ageng palsu bisa terjatuh sampai
kesakitan seperti itu? Padahal Jaka tidak menyerangnya. Memangnya Jaka punya
ilmu sihir? Selain Jaka, bagi siapun yang melihatanya, tak akan mengerti alasan
lain kenapa dia jatuh, kecuali dia terkena racun. Tapi bagi Jaka, tak ada
penjelasan lain, kecuali bahwa; orang itu terkena ‘strees’ ringan. Seperti yang
telah dijelaskan, bahwa Jaka sangat menguasai semua pengetahuan anatomi tubuh
manusia berserta syarafnya.
Mahesa Ageng yang berdiri lama dengan perasaan tegang
dan tertekan, lalu akan segera menyerang Jaka, semua itu sudah diperhitungkan.
Setelah Mahesa berdiri terlalu lama, Jaka segera memancingnya dengan kata-kata
yang memanaskan telinga—memprovokasinya—untuk melancarkan semua perhitungannya.
Pada saat Mahesa berdiri lama dengan perasan tertekan,
jalan darah di tubuhnya akan mengalir lebih cepat, dan kusus untuk jalan darah
dikakinya akan mengalir lebih cepat lagi, andai saja saat itu Mahesa langsung
menyerang Jaka maka dia tidak akan mengalami keadaan menyedihkan begitu rupa.
Tapi Mahesa berdiri terlalu lama, sehingga aliran darah pada syaraf kakinya
tidak sesuai dengan tarikan nafas—oksigen yang masuk—dan tak selaras dengan
putaran hawa murninya.
Tentu saja itu tidak dirasakan Mahesa gadungan, sebab
sebelumnya Jaka memicu dengan totokan halus pada lengannya; yakni saat Jaka
menyentuh Mahesa palsu ketika dirinya di serang Gemanti.
Dalam keadaan itulah, Mahesa menyerang Jaka dengan
sepenuh tenaga dalamnya, dan itu merupakan kesalahan fatal. Sebab dengan
penghimpunan tenaga dalam yang mendadak, aliran darah pada syaraf kaki yang
sedang mengalir cepat tersentak berhenti dengan paksa. Efek itu seperti orang
yang terkena totokan dengan aliran darah sungsang atau kebalik, saktinya tak
usah ditanya.
Sesungguhnya yang dilakukan Jaka tadipun bisa dikatakan
taruhan. Jika saja Jaka belum melihat ilmu macam apa yang dikuasai Mahesa Ageng
gadungan, maka Jaka tak akan bersikap seperti itu (seolah-olah lawannya terkena
racunnya). Lantaran ilmu yang dikuasai olehnya berhawa panas keras, Jaka segera
tahu kalau hawa murni lawannya pasti sangat cepat bereaksi dengan sistem
pernafasan. Dan pernafasan sangat tergantung pada emosi. Saat emosi memuncak,
pernafasan akan makin cepat dan tak teratur, saat itupula sedikit banyaknya
tenaga murni didalam tubuh Mahesa Ageng gadungan akan berputar mengikuti
sirkulasi darahnya dengan tak teratur pula. Dan terjadilah malapetaka tadi…
"Argh…" erangan kesakitan pemuda itu
membuatnya kelihatan makin mengenaskan.
"Aih.. jadi orang pemarah itu tak baik,"
gumam Jaka. "Sudah kubilang jangan mengerahkan tenaga terlalu banyak, tapi
kau membandel. Yah, apa boleh buat, sesaat lagi kau akan segera menghadap
Tuhan," kata Jaka dengan nada murung.
"Andai kau tadi mau menyentuh mata kakimu tentu
kau tidak akan kesakitan seperti saat ini, sungguh sayang."
Suasana malam yang diterangi sinar rembulan itu
kelihatan makin mengerikan karena erangan Gemanti dan Mahesa Ageng gadungan.
"Cukup perbuatanmu anak muda!" terdengar
bentakan menggelegar memecahkan keheningan malam yang ditingkahi erang
kesakitan.
Tiba-tiba saja ditanah terbuka itu muncul seorang kakek
berwajah merah yang memanggul dua sosok tubuh. Usia kakek itu kurang lebih enam
puluh tahun, wajahnya yang merah kelihatannya sangar sekali. Pandangan matanya
sangat tajam berapi, baju yang dikenakannyapun rapi dan mengesankan. Untuk
sesaat Jaka terpana, tapi ia tidak ingin hatinya dikuasai perasaan terkejut.
"Ini temanmu!" bentak kakek itu sambil
melemparkan Mahesa Ageng yang asli dan Dirga.
Jaka tidak gugup, ia menyambuti tubuh Mahesa Ageng,
sedangkan Durba menyambuti tubuh Durga.
Tap! Tap!
Tubuh dua orang itu sudah tertangkap, tapi saat Durga
menangkap tubuh rekannya, ia terpental dan baru berhenti setelah membentur
pohon. Dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, sedangkan Jaka yang
menerima Mahesa Ageng, sama tidak terpental seperti Durba. Jaka menyambut tubuh
itu dengan santai, dianggapnya si kakek melepar biasa saja. Padahal ia
merasakan getaran kuat yang menyerang dada, tapi Jaka bisa menahannya.
"Terima kasih kek, kau baik sekali." Kata
Jaka sambil menjura masih dengan menggendong Mahesa Ageng.
"Tidak perlu berbasa-basi! Bebaskan dua orang itu
dari racun laknatmu!" bentak si kakek dengan suara makin keras.
Jaka tertawa perlahan, wajahnya kelihatan bersemu,
seperti gadis ketahuan mengintip pacarnya. Kelihatannya Jaka menikmati kejadian
saat itu. Jaka menunduk sesaat, baru disadarinya sesungguhnya Mahesa Ageng
(asli) hanya tertotok saja, pemuda itu masih dalam keadaan sadar.
"Kau sabar sebentar sobat, biar kuurus masalah
ini." Kata Jaka pada Mahesa Ageng. Jaka agak heran saat melihat wajah
Mahesa Ageng tiba-tiba dari pucat agak berubah.
Mungkin dia malu dengan perbuatannya menyatroni
kamarku, dan sekarang aku malah menolongnya, pikir Jaka.
"Ng.. tuan," Durga kelihatan gugup.
"Ada apa?" tanya pemuda ini.
"Bukankah lebih baik tuan menurunkan majikan kami
dulu?"
"Oh.." Jaka baru sadar kalau dari tadi ia
masih memondong Mahesa Ageng. "Maaf sobat, tapi tidak apa-apa aku
membopongmu agak lama bukan? Kau toh bukan wanita." Kata Jaka bergurau.
Tapi pemuda ini segera mendudukkan Mahesa Ageng di batu tempat duduknya tadi.
Lalu Jaka kembali berhadapan dengan kakek itu.
"Maaf kek, kalau boleh saya bertanya, mengapa
kakek berada disini? Apa tujuan kakek menyandera dua orang tadi, lalu apa
kedatangan kakek kesini ada kaitannya dengan Perguruan Naga Batu? Apakah kakek
berserta dua orang ini memiliki hubungan dengan perguruan tersohor, atau
perguruan terkemuka?" Jaka bertanya tidak kepalang tanggung.
"Bocah keparat! diberi hati minta jantung?!"
geram kakek itu dengan tangan terkepal kencang. Ia mengibaskan tangannya,
seberkas angin padat yang panas menghambur kencang kearah Jaka.
"Ih…" Jaka terkejut, namun dengan tenang ia
menggeser kaki kekiri dan tangannya bergerak gemulai bagai penari. Menyambuti
serangan jarak jauh si kakek.
Brees!
Angin panas itu lenyap seketika, namun baju Jaka
terlihat berkibar kencang karena terpaan pukulan jarak jauh itu.
"Wah, hanya anginnya saja sekuat ini. Ilmu yang
luar biasa kek…" puji Jaka dengan tulus. Tapi kakek itu malah
menganggapnya penghinaan,
Dasar…! Bocah ini dapat melenyapkan empat bagian
tenagaku tanpa terguncang sedikitpun, hm.. sepertinya aku tidak boleh
menganggap remeh anak ini! Katanya dalam hati.
”Bocah, boleh juga ilmumu!" dengus kakek itu
geram.
"Ah, kakek terlalu memuji, ini semua belum
apa-apa." Kata Jaka sambil tertawa. Karuan saja ucapan Jaka membuat amarah
kakek itu kian meledak, sebab secara tak langsung Jaka berkata padanya, aku
sama sekali tidak mengeluarkan ilmu.
Dengan demikian berarti Jaka menyindir dirinya yang
mengerahkan pukulan lihay dapat dipatahkan dengan gerakan ngawur. Tentu saja
ucapan Jaka tadi menyinggung harga dirinya. Padahal Jaka tak bermaksud begitu.
"Coba kau terima lagi!" bentak kakek ini
makin marah. Tangannya terangkat keatas, dan samar-samar terlihat memerah.
"Hiat!" pekikan bagai naga mengamuk
berkumandang dimalam sunyi itu. Dua hawa panas yang luar biasa dahsyatnya
menghantam Jaka yang berdiri dengan tenangnya.
"Ilmu hebat!" seru Jaka kagum sambil
bergerak. Pemuda ini bukannya bergerak mundur untuk mengindar, tapi malah maju
dengan pesat menghampiri dua pukulan dahsyat itu.
Blaap..!
Terdengar letupan lembut, tampak Jaka tergetar dua
langkah, sedangkan kakek muka merah itu tergetar satu langkah.
Jaka berdiri tegak sambil memandangi kakek itu, pemuda
ini mengibas-ngibaskan tangan. Sepertinya dia merasa kesakitan dengan benturan
tadi, dan itu sudah membuat puas lawannya.
Dengan tertawa perlahan, Jaka berkata. "Kau hebat
sekali Ki, sungguh menyenangkan." serunya dengan nada gembira. "Maaf
kalau saya bertindak tidak sopan," katanya sambil menutup mulutnya yang
masih menyisakan tawa.
"Dalam keadaan seperti ini, seharusnya kakek harus
bersikap terbuka menghadapi pertanyaan dan tingkah saya. Karena kakek
menyandera sobat-sobatku, kan wajar kalau saya bertanya seperti orang
kehilangan anak?"
"Kau..." geram kakek itu dengan wajah kian
merah. "Baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu tadi," katanya dengan
nada mencoba diramahkan. Dia terpaksa harus berbuat begitu, karena kedua
orangnya berada dibawah kekuasaan Jaka. Bisa-bisa kalau ia bertindak salah,
Jaka akan membunuh dua orang itu, hal tersebut tidak ia inginkan sama sekali.
"Aku bernama Singo Lugas, orang-orang menyebutku
Matahari Dua Bukit."
"Maaf, saya yang lancang ini bernama Jaka.."
potong Jaka sambil menyoja hormat. "Senang bertemu dengan tokoh angkatan
tua seperti Ki Lugas."
"Hmk…" Ki Lugas hanya menjengek sinis, lalu
ia meneruskan keterangannya. "Dua orang itu adalah keponakan muridku, dan
kami berasal dari Perguruan Matahari Tanpa Sinar." Kakek itu menekankan
ucapan terakhirnya, ia berharap Jaka akan terkejut, dan berbalik munduk-munduk
hormat padanya—setidaknya Jaka menjadi jerih. Tapi harapnya tak terkabul karena
pemuda itu kelihatan tenang-tenang saja.
"Aku kemari memang ada sedikit keperluan dengan
Perguruan Naga Batu. Baru hari ini, aku dan dua murid keponakanku itu baru
sampai dikota ini, kami berminat menginap di kuil, tapi tiba-tiba saja Gemanti
melihat tiga sosok mengindap-indap dan bersembunyi di dekat kuil. Aku pikir
ketiganya mungkin orang jahat, lalu dua orang keponakan muridku
meringkusnya…"
"Tentu saja meringkus dari belakang…" ujar
Jaka dengan nada datar.
"Benar!" kata kakek itu tegas tanpa
menyembunyikan sesuatu, hal itu yang membuat Jaka kagum.
"Lalu kenapa harus menyamar menjadi dua orang
sobatku?" tanya Jaka dengan nada sedikit mengejek.
"Sobat? Justru orang itulah yang mengatakan bahwa
mereka sedang menunggu musuhnya!" geram Ki Lugas marah.
Jaka tahu yang dimaksud orang itu tentunya Durba.
"Benar begitu?" tanya Jaka tanpa memalingkan wajahnya.
"Be-benar tuan, karena kita belum bertemu muka
secara langsung maka saya menganggap tuan adalah musuh kami," tutur Durga
agak gugup.
"Oh, rasanya aku dapat meraba persoalannya."
Gumam Jaka. "Kalau begitu semuanya sudah kau ceritakan pada mereka?"
tanyanya lagi.
"Tidak tuan, saya menceritakan bahwa kami bertiga
teracuni dan suruh menunggu disini."
"Mereka melihat isi buntalan?" tanya Jaka
tanpa menghiraukan tatapan marah Ki Lugas.
"Tidak tuan."
"Jadi siapa yang menaruh racun pada
buntalanku?"
"Tentu saja orang yang menyamar jadi majikan kami
tuan."
"Betulkah begitu Ki?" tanya Jaka dengan nada
datar tanpa tekanan emosi.
"Memang benar! Aku hanya heran kenapa engkau tidak
lumpuh terkena salah satu racun khas perguruan kami?"
"Hm, Aki bilang racun usang Bubuk Besi merupakan
racun khas perguruan tersohor? Sungguh aku tak dapat mempercayaianya!"
gumam Jaka.
"Racun usang kau bilang?!" geram Ki Lugas
kembali marah.
"Memangnya Racun Bubuk Besi lebih hebat dari Racun
Tujuh Langkah milikku?" kata Jaka sambil tersenyum kecil.
"Ah…" Ki Lugas terlihat sangat kaget.
"Racun Tujuh Langkah?"
"Memangnya keponakan muridmu yang bagus itu
terkena racun apa, sehingga belum delapan langkah terus rubuh?" gumam Jaka
dengan acuh tak acuh.
Kali ini Ki Lugas terpaksa percaya dengan bualan Jaka,
sebab ia memang menyaksikan sendiri kejadian tadi. "Apa hubunganmu dengan Setan
Rawa Racun?" tanya kakek ini dengan suara bergetar.
Pemuda ini terdiam sesaat, ingatannya kembali ke masa
lalu, ada sebuah kenangan pahit dan manis dengan racun-racun yang kini dia
sebut namanya. "Dia pembantuku!" jawab Jaka datar.
"Pembantu?" Ki Lugas menjengek tak percaya.
"Tak percaya? Kalau begitu kenalkah Aki dengan
Racun Bunga Angin yang di idap Gemanti?"
"Bunga Angin?!" pekik Ki Lugas kaget.
"Jadi Gemanti terkena racun keji itu?"
"Ah… jangan dibilang keji, toh keponakan muridmu
itu belum mati." sahut Jaka asal-asalan.
"Kau.. apamu-kah Trah Raja Racun?"
"Sudah tentu bukan guruku, mereka adalah pembantu
orang tuaku, dan ayah memberikannya padaku!" sahut Jaka sekenanya.
Jaka sengaja menjawab seperti itu untuk memancing nama
semua orang yang menguasai pengetahuan racun, dari Ki Lugas. Sekedar untuk ‘cek
cross‘ saja, siapa tahu, ada nama orang yang belum di ketahui Jaka, tapi
diketahui Ki Lugas."Ayahmu yang menaklukkan mereka?" gumam Ki Lugas
setengah percaya setengah tidak.
Diam-diam Jaka jadi geli, sebab pembicaraan semula
sudah menyimpang jauh. "Memangnya selain ayahku, siapa lagi yang bisa
menundukkan orang-orang yang mengaku sebagai jago racun?" sahut Jaka
dengan lagak bangga.
"Semua jago racun?" seru Ki Lugas kembali
terkejut. Anak ini benar-benar bisa membuat orang ketularan sinting, pikir
kakek ini gemas.
"Ya, mungkin Aki pernah mendengar orang berjuluk Petir
Abang?" tanya Jaka dengan serius.
"Maksudmu manusia doyan racun dari negeri seberang
itu juga ditaklukan ayahmu?" ujar Ki Lugas makin terkejut.
"Aku tidak bilang begitu, yang kutahu dia juga
pembantu ayahku," ujar Jaka dengan serius. Padahal dia tahu julukan itu
karena dia memang pernah bertemu dengan Petir Abang. "Untung saja sebelum
aku merantau, mereka sudah kutitahkan untuk tidak berkeliaran kesana-kemari.
Saya takut mereka bakal mengacau, karena itulah ayah memberi mereka racun cekokkan
yang paling ampuh. Pernah dengar Pil Kebenaran?"
"Hah... Pil Kebenaran?!" kali ini kaget Ki
Lugas tidak kepalang tanggung. "Maksudmu pil yang dibuat oleh Tabib
Hidup-Mati hampir dua abad lalu?"
"Memang ada yang lain? Tentu saja itu yang saya
maksud, cuma pil itu bukannya diciptakan dua abad silam. Nah, pertemuan kali
ini biarlah sebagai tanda perkenalan kita. Perlu Aki ketahui, baru kali ini
saya terjun di kancah persilatan secara terang-terangan. Saya ingin meminta
sesuatu pada Aki, apakah Aki berkenan atau tidak?"
"Silahkan utarakan, aku akan mencoba menerima
usulmu kalau tidak keterlaluan."
"Tidak mungkin saya sampai berbuat begitu. Saya
tahu Aki penasaran dengan asal usulku bukan?"
"Memang benar," sahut Ki Lugas dengan nada
tak sekasar dan sekeras tadi.
"Saya tak keberatan memberitahukan. Tapi saya
minta untuk tidak menyebarkan pada orang lain."
"Kalau itu yang kau minta, tentu saja aku
mengabulkannya." jawab Ki Lugas.
"Saya merupakan generasi kelima dari Sapang
Saroruha (satu dahan bunga teratai) atau yang dikenal dengan sebutan Tabib
Hidup-Mati. Karena itulah saya menguasai semua racun yang pernah muncul di
dunia persilatan, jadi saya harap Aki memaafkan kelancanganku mengatakan racun
Bubuk Besi sebagai racun usang, saya mengatakan begitu karena sejak kecil ayah
selalu mendidikku dengan dasar racun, seperti Bubuk Besi, Bunga Kuning, Kayu
Harum, Peluluh Mayat, Pelumpuh Syaraf dan lain sebagainya. Hampir satu tahun
ayah menurunkan dasar-dasar racun seperti itu, karena itulah secara spontan
saya menyebut racun perguruan Aki sebagai racun usang karena sejak kecil racun
sejenis itulah yang memang harus saya kuasai."
Penuturan Jaka yang begitu meyakinkan, apa lagi dengan
adanya kejadian keracunan yang menimpa dua keponakan muridnya, membuat Ki Lugas
jadi percaya penuh.
"Seperti dunia persilatan akan mengalami perubahan
besar," gumamnya setelah mendengar cerita Jaka.
"Apa maksud Aki?"
"Kemunculanmu mungkin akan membawa banyak badai
atau juga meredakan semua badai.."
"Ah, aki terlalu membesar-besarkan. Saya kan sama
seperti orang lain?! Mungkin ada kalanya saya bisa bertindak salah atau benar,
itu kan sudah wajar… tapi satu hal yang perlu Aki ketahui, bahwa benar dan
salah memiliki garis pembatas yang sangat nyata. Kebenaran, kejujuran, dan
keadilan merupakan tujuan ayah mendidik saya."
"Kalau benar begitu, alangkah baiknya!"
Jaka tidak menanggapi lagi, ia jongkok untuk memeriksa
keadaan dua pemuda itu. Wajahnya memerah, karena malam semakin larut, maka
perubahan wajah Jaka sama sekali tidak diketahui, kalaupun orang tahu tentu
mereka mengira Jaka sedang serius. Tapi siapa yang tahu bahwa pemuda itu sedang
menahan tawa?
Umpan yang tepat memang bisa mendapatkan ikan besar.
Pikirnya dengan tertawa geli yang ditahan. Jaka pura-pura pegang sana pegang
sini untuk memeriksa, setelah beberapa saat lamanya, Jaka menotok urat nadi
leher dan menekan ulu hati Gemanti dengan jarinya. Erangan kesakitan Gemanti
juga berhenti setelah Jaka menyudahi pengobatannya. Karena sebenarnya Jaka
menotok urat syaraf hanya sebagai pelemasan dan pelancar jalan darah saja.
Setelah selesai, dengan lagak mengusap keringat, Jaka lalu memeriksa Mahesa
Ageng palsu.
Tangannya berada satu jengkal diatas tubuh pemuda itu.
Ki Lugas yang melihat apa yang dilakukan Jaka menggelang kagum, sebab kondisi
tangan Jaka sepengetahuannya, adalah gerakan pemeriksaan urat nadi penting
dengan tenaga dalam.
Orang yang bisa memeriksa nadi dan jalan darah
seseorang yang terluka dengan menyalurkan tenaga dalamnya seharusnya termasuk
golongan tokoh tua yang memiliki tenaga dalam lihay. Dan kini Ki Lugas melihat
apa yang di lakukan Jaka itu merupakan pemeriksaan dengan menggunakan tenaga
dalam yang hanya bisa dilakukan tokoh-tokoh tingkatan tua. Tapi apa Ki Lugas
tahu kalau sesungguhnya Jaka tidak mengerahkan tenaga apapun? Bahwa; Jaka hanya
menekan-nekan tangan diudara begitu saja?! Memang sepintas gaya Jaka sangat
meyakinkan.
Arus dibelakang memang selalu mendorong arus didepan.
Memang sudah seharusnya tunas-tunas cemerlang seperti pemuda itu yang memegang
kesejahteraan dunia persilatan.... pikir Ki Lugas
Jaka menjalankan tangannya satu jengkal di atas sekujur
tubuh pemuda yang sedang terbaring dengan menggeliat kesakitan itu. Setelah
beberapa saat lamanya, akhirnya Jaka menotok tujuh simpul syaraf dan nadi
tangan pemuda itu.
"Selesai!" seru Jaka.
"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Ki Lugas.
"Tidak apa-apa, semua racun sudah saya keluarkan
dan tubuh mereka bersih dari racun. Gemanti akan pulih satu jam kemudian,
sedangkan dia ini," kata Jaka sambil menujuk Mahesa Ageng palsu, "Akan
segera pulih setengah jam kemudian..."
"Benarkah?"
"Aki harus mempercayai saya, lebih baik aki
menginap di kuil itu saja. Untuk dua jam akan datang saya akan tetap disini,
karena saya memang ada kepentingan."
"Baiklah kalau begitu," lalu dengan entengnya
Ki Lugas mengangkat dua keponakan muridnya kedalam kuil ireng.
Menunggu Ki Lugas menghilang dibalik kuil, Jaka baru
membalikan tubuhnya.
"Nah, sobat.. sekarang saatnya menyelesaikan
urusan kita." Kata Jaka sambil tersenyum ramah.
"Tapi tuan…" sahut Durga dengan gugup. Jaka
mengangguk, tentu saja ia masih ingat kalau Dirga dan Mahesa Ageng masih
tertotok. Jaka mengambil tangan Dirga yang lunglai.
"Hm, Ki Lugas terlalu keras turun tangan, kenapa
harus menotok dengan Cara Anak Sebelas Sungai?"
"Anak Sebelas Sungai? Ha-ha, agaknya kau
mengetahui istilah rumit itu anak muda?" ujar sebuah suara dari jarak jauh
mengiang di telinga Jaka.
Jaka tahu kalau suara itu suaranya Ki Lugas.
"Tentu saja tahu, kalau tidak, malu saya menanggung nama generasi kelima
Tabib Hidup-Mati." Lalu Jaka menyambung dalam hatinya, Sebelas totokan
jalan darah yang membuat orang tak sanggup bergerak selama dua hari… bukanlah
pekerjaan sulit.
Jika
Ki Lugas tahu, apa yang dipikirkan Jaka, dia pasti mencak-mencak tak karuan.
Maklum saja totokan Anak Sebelas Sungai, di pelajari dengan susah payah.
Sedangkan Jaka menganggap itu sebagai pekerjaan mudah, bagaimana bisa setimpang
itu? Tentu saja hal itu bisa dimaklumi, karena Jaka mempelajarinya ‘langsung’
dari sang ahli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar