Jumat, 13 September 2013

024 - Singo Lugas, Matahari Dua Bukit

Mengapa Mahesa Ageng palsu bisa terjatuh sampai kesakitan seperti itu? Padahal Jaka tidak menyerangnya. Memangnya Jaka punya ilmu sihir? Selain Jaka, bagi siapun yang melihatanya, tak akan mengerti alasan lain kenapa dia jatuh, kecuali dia terkena racun. Tapi bagi Jaka, tak ada penjelasan lain, kecuali bahwa; orang itu terkena ‘strees’ ringan. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa Jaka sangat menguasai semua pengetahuan anatomi tubuh manusia berserta syarafnya.

Mahesa Ageng yang berdiri lama dengan perasaan tegang dan tertekan, lalu akan segera menyerang Jaka, semua itu sudah diperhitungkan. Setelah Mahesa berdiri terlalu lama, Jaka segera memancingnya dengan kata-kata yang memanaskan telinga—memprovokasinya—untuk melancarkan semua perhitungannya.
Pada saat Mahesa berdiri lama dengan perasan tertekan, jalan darah di tubuhnya akan mengalir lebih cepat, dan kusus untuk jalan darah dikakinya akan mengalir lebih cepat lagi, andai saja saat itu Mahesa langsung menyerang Jaka maka dia tidak akan mengalami keadaan menyedihkan begitu rupa. Tapi Mahesa berdiri terlalu lama, sehingga aliran darah pada syaraf kakinya tidak sesuai dengan tarikan nafas—oksigen yang masuk—dan tak selaras dengan putaran hawa murninya.

Tentu saja itu tidak dirasakan Mahesa gadungan, sebab sebelumnya Jaka memicu dengan totokan halus pada lengannya; yakni saat Jaka menyentuh Mahesa palsu ketika dirinya di serang Gemanti.
Dalam keadaan itulah, Mahesa menyerang Jaka dengan sepenuh tenaga dalamnya, dan itu merupakan kesalahan fatal. Sebab dengan penghimpunan tenaga dalam yang mendadak, aliran darah pada syaraf kaki yang sedang mengalir cepat tersentak berhenti dengan paksa. Efek itu seperti orang yang terkena totokan dengan aliran darah sungsang atau kebalik, saktinya tak usah ditanya.
Sesungguhnya yang dilakukan Jaka tadipun bisa dikatakan taruhan. Jika saja Jaka belum melihat ilmu macam apa yang dikuasai Mahesa Ageng gadungan, maka Jaka tak akan bersikap seperti itu (seolah-olah lawannya terkena racunnya). Lantaran ilmu yang dikuasai olehnya berhawa panas keras, Jaka segera tahu kalau hawa murni lawannya pasti sangat cepat bereaksi dengan sistem pernafasan. Dan pernafasan sangat tergantung pada emosi. Saat emosi memuncak, pernafasan akan makin cepat dan tak teratur, saat itupula sedikit banyaknya tenaga murni didalam tubuh Mahesa Ageng gadungan akan berputar mengikuti sirkulasi darahnya dengan tak teratur pula. Dan terjadilah malapetaka tadi…
"Argh…" erangan kesakitan pemuda itu membuatnya kelihatan makin mengenaskan.
"Aih.. jadi orang pemarah itu tak baik," gumam Jaka. "Sudah kubilang jangan mengerahkan tenaga terlalu banyak, tapi kau membandel. Yah, apa boleh buat, sesaat lagi kau akan segera menghadap Tuhan," kata Jaka dengan nada murung.
"Andai kau tadi mau menyentuh mata kakimu tentu kau tidak akan kesakitan seperti saat ini, sungguh sayang."
Suasana malam yang diterangi sinar rembulan itu kelihatan makin mengerikan karena erangan Gemanti dan Mahesa Ageng gadungan.
"Cukup perbuatanmu anak muda!" terdengar bentakan menggelegar memecahkan keheningan malam yang ditingkahi erang kesakitan.
Tiba-tiba saja ditanah terbuka itu muncul seorang kakek berwajah merah yang memanggul dua sosok tubuh. Usia kakek itu kurang lebih enam puluh tahun, wajahnya yang merah kelihatannya sangar sekali. Pandangan matanya sangat tajam berapi, baju yang dikenakannyapun rapi dan mengesankan. Untuk sesaat Jaka terpana, tapi ia tidak ingin hatinya dikuasai perasaan terkejut.
"Ini temanmu!" bentak kakek itu sambil melemparkan Mahesa Ageng yang asli dan Dirga.
Jaka tidak gugup, ia menyambuti tubuh Mahesa Ageng, sedangkan Durba menyambuti tubuh Durga.
Tap! Tap!
Tubuh dua orang itu sudah tertangkap, tapi saat Durga menangkap tubuh rekannya, ia terpental dan baru berhenti setelah membentur pohon. Dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, sedangkan Jaka yang menerima Mahesa Ageng, sama tidak terpental seperti Durba. Jaka menyambut tubuh itu dengan santai, dianggapnya si kakek melepar biasa saja. Padahal ia merasakan getaran kuat yang menyerang dada, tapi Jaka bisa menahannya.
"Terima kasih kek, kau baik sekali." Kata Jaka sambil menjura masih dengan menggendong Mahesa Ageng.
"Tidak perlu berbasa-basi! Bebaskan dua orang itu dari racun laknatmu!" bentak si kakek dengan suara makin keras.
Jaka tertawa perlahan, wajahnya kelihatan bersemu, seperti gadis ketahuan mengintip pacarnya. Kelihatannya Jaka menikmati kejadian saat itu. Jaka menunduk sesaat, baru disadarinya sesungguhnya Mahesa Ageng (asli) hanya tertotok saja, pemuda itu masih dalam keadaan sadar.
"Kau sabar sebentar sobat, biar kuurus masalah ini." Kata Jaka pada Mahesa Ageng. Jaka agak heran saat melihat wajah Mahesa Ageng tiba-tiba dari pucat agak berubah.
Mungkin dia malu dengan perbuatannya menyatroni kamarku, dan sekarang aku malah menolongnya, pikir Jaka.
"Ng.. tuan," Durga kelihatan gugup.
"Ada apa?" tanya pemuda ini.
"Bukankah lebih baik tuan menurunkan majikan kami dulu?"
"Oh.." Jaka baru sadar kalau dari tadi ia masih memondong Mahesa Ageng. "Maaf sobat, tapi tidak apa-apa aku membopongmu agak lama bukan? Kau toh bukan wanita." Kata Jaka bergurau. Tapi pemuda ini segera mendudukkan Mahesa Ageng di batu tempat duduknya tadi. Lalu Jaka kembali berhadapan dengan kakek itu.
"Maaf kek, kalau boleh saya bertanya, mengapa kakek berada disini? Apa tujuan kakek menyandera dua orang tadi, lalu apa kedatangan kakek kesini ada kaitannya dengan Perguruan Naga Batu? Apakah kakek berserta dua orang ini memiliki hubungan dengan perguruan tersohor, atau perguruan terkemuka?" Jaka bertanya tidak kepalang tanggung.
"Bocah keparat! diberi hati minta jantung?!" geram kakek itu dengan tangan terkepal kencang. Ia mengibaskan tangannya, seberkas angin padat yang panas menghambur kencang kearah Jaka.
"Ih…" Jaka terkejut, namun dengan tenang ia menggeser kaki kekiri dan tangannya bergerak gemulai bagai penari. Menyambuti serangan jarak jauh si kakek.
Brees!
Angin panas itu lenyap seketika, namun baju Jaka terlihat berkibar kencang karena terpaan pukulan jarak jauh itu.
"Wah, hanya anginnya saja sekuat ini. Ilmu yang luar biasa kek…" puji Jaka dengan tulus. Tapi kakek itu malah menganggapnya penghinaan,
Dasar…! Bocah ini dapat melenyapkan empat bagian tenagaku tanpa terguncang sedikitpun, hm.. sepertinya aku tidak boleh menganggap remeh anak ini! Katanya dalam hati.
”Bocah, boleh juga ilmumu!" dengus kakek itu geram.
"Ah, kakek terlalu memuji, ini semua belum apa-apa." Kata Jaka sambil tertawa. Karuan saja ucapan Jaka membuat amarah kakek itu kian meledak, sebab secara tak langsung Jaka berkata padanya, aku sama sekali tidak mengeluarkan ilmu.
Dengan demikian berarti Jaka menyindir dirinya yang mengerahkan pukulan lihay dapat dipatahkan dengan gerakan ngawur. Tentu saja ucapan Jaka tadi menyinggung harga dirinya. Padahal Jaka tak bermaksud begitu.
"Coba kau terima lagi!" bentak kakek ini makin marah. Tangannya terangkat keatas, dan samar-samar terlihat memerah.
"Hiat!" pekikan bagai naga mengamuk berkumandang dimalam sunyi itu. Dua hawa panas yang luar biasa dahsyatnya menghantam Jaka yang berdiri dengan tenangnya.
"Ilmu hebat!" seru Jaka kagum sambil bergerak. Pemuda ini bukannya bergerak mundur untuk mengindar, tapi malah maju dengan pesat menghampiri dua pukulan dahsyat itu.
Blaap..!
Terdengar letupan lembut, tampak Jaka tergetar dua langkah, sedangkan kakek muka merah itu tergetar satu langkah.
Jaka berdiri tegak sambil memandangi kakek itu, pemuda ini mengibas-ngibaskan tangan. Sepertinya dia merasa kesakitan dengan benturan tadi, dan itu sudah membuat puas lawannya.
Dengan tertawa perlahan, Jaka berkata. "Kau hebat sekali Ki, sungguh menyenangkan." serunya dengan nada gembira. "Maaf kalau saya bertindak tidak sopan," katanya sambil menutup mulutnya yang masih menyisakan tawa.
"Dalam keadaan seperti ini, seharusnya kakek harus bersikap terbuka menghadapi pertanyaan dan tingkah saya. Karena kakek menyandera sobat-sobatku, kan wajar kalau saya bertanya seperti orang kehilangan anak?"
"Kau..." geram kakek itu dengan wajah kian merah. "Baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu tadi," katanya dengan nada mencoba diramahkan. Dia terpaksa harus berbuat begitu, karena kedua orangnya berada dibawah kekuasaan Jaka. Bisa-bisa kalau ia bertindak salah, Jaka akan membunuh dua orang itu, hal tersebut tidak ia inginkan sama sekali.
"Aku bernama Singo Lugas, orang-orang menyebutku Matahari Dua Bukit."
"Maaf, saya yang lancang ini bernama Jaka.." potong Jaka sambil menyoja hormat. "Senang bertemu dengan tokoh angkatan tua seperti Ki Lugas."
"Hmk…" Ki Lugas hanya menjengek sinis, lalu ia meneruskan keterangannya. "Dua orang itu adalah keponakan muridku, dan kami berasal dari Perguruan Matahari Tanpa Sinar." Kakek itu menekankan ucapan terakhirnya, ia berharap Jaka akan terkejut, dan berbalik munduk-munduk hormat padanya—setidaknya Jaka menjadi jerih. Tapi harapnya tak terkabul karena pemuda itu kelihatan tenang-tenang saja.
"Aku kemari memang ada sedikit keperluan dengan Perguruan Naga Batu. Baru hari ini, aku dan dua murid keponakanku itu baru sampai dikota ini, kami berminat menginap di kuil, tapi tiba-tiba saja Gemanti melihat tiga sosok mengindap-indap dan bersembunyi di dekat kuil. Aku pikir ketiganya mungkin orang jahat, lalu dua orang keponakan muridku meringkusnya…"
"Tentu saja meringkus dari belakang…" ujar Jaka dengan nada datar.
"Benar!" kata kakek itu tegas tanpa menyembunyikan sesuatu, hal itu yang membuat Jaka kagum.
"Lalu kenapa harus menyamar menjadi dua orang sobatku?" tanya Jaka dengan nada sedikit mengejek.
"Sobat? Justru orang itulah yang mengatakan bahwa mereka sedang menunggu musuhnya!" geram Ki Lugas marah.
Jaka tahu yang dimaksud orang itu tentunya Durba. "Benar begitu?" tanya Jaka tanpa memalingkan wajahnya.
"Be-benar tuan, karena kita belum bertemu muka secara langsung maka saya menganggap tuan adalah musuh kami," tutur Durga agak gugup.
"Oh, rasanya aku dapat meraba persoalannya." Gumam Jaka. "Kalau begitu semuanya sudah kau ceritakan pada mereka?" tanyanya lagi.
"Tidak tuan, saya menceritakan bahwa kami bertiga teracuni dan suruh menunggu disini."
"Mereka melihat isi buntalan?" tanya Jaka tanpa menghiraukan tatapan marah Ki Lugas.
"Tidak tuan."
"Jadi siapa yang menaruh racun pada buntalanku?"
"Tentu saja orang yang menyamar jadi majikan kami tuan."
"Betulkah begitu Ki?" tanya Jaka dengan nada datar tanpa tekanan emosi.
"Memang benar! Aku hanya heran kenapa engkau tidak lumpuh terkena salah satu racun khas perguruan kami?"
"Hm, Aki bilang racun usang Bubuk Besi merupakan racun khas perguruan tersohor? Sungguh aku tak dapat mempercayaianya!" gumam Jaka.
"Racun usang kau bilang?!" geram Ki Lugas kembali marah.
"Memangnya Racun Bubuk Besi lebih hebat dari Racun Tujuh Langkah milikku?" kata Jaka sambil tersenyum kecil.
"Ah…" Ki Lugas terlihat sangat kaget. "Racun Tujuh Langkah?"
"Memangnya keponakan muridmu yang bagus itu terkena racun apa, sehingga belum delapan langkah terus rubuh?" gumam Jaka dengan acuh tak acuh.
Kali ini Ki Lugas terpaksa percaya dengan bualan Jaka, sebab ia memang menyaksikan sendiri kejadian tadi. "Apa hubunganmu dengan Setan Rawa Racun?" tanya kakek ini dengan suara bergetar.
Pemuda ini terdiam sesaat, ingatannya kembali ke masa lalu, ada sebuah kenangan pahit dan manis dengan racun-racun yang kini dia sebut namanya. "Dia pembantuku!" jawab Jaka datar.
"Pembantu?" Ki Lugas menjengek tak percaya.
"Tak percaya? Kalau begitu kenalkah Aki dengan Racun Bunga Angin yang di idap Gemanti?"
"Bunga Angin?!" pekik Ki Lugas kaget. "Jadi Gemanti terkena racun keji itu?"
"Ah… jangan dibilang keji, toh keponakan muridmu itu belum mati." sahut Jaka asal-asalan.
"Kau.. apamu-kah Trah Raja Racun?"
"Sudah tentu bukan guruku, mereka adalah pembantu orang tuaku, dan ayah memberikannya padaku!" sahut Jaka sekenanya.
Jaka sengaja menjawab seperti itu untuk memancing nama semua orang yang menguasai pengetahuan racun, dari Ki Lugas. Sekedar untuk ‘cek cross‘ saja, siapa tahu, ada nama orang yang belum di ketahui Jaka, tapi diketahui Ki Lugas."Ayahmu yang menaklukkan mereka?" gumam Ki Lugas setengah percaya setengah tidak.
Diam-diam Jaka jadi geli, sebab pembicaraan semula sudah menyimpang jauh. "Memangnya selain ayahku, siapa lagi yang bisa menundukkan orang-orang yang mengaku sebagai jago racun?" sahut Jaka dengan lagak bangga.
"Semua jago racun?" seru Ki Lugas kembali terkejut. Anak ini benar-benar bisa membuat orang ketularan sinting, pikir kakek ini gemas.
"Ya, mungkin Aki pernah mendengar orang berjuluk Petir Abang?" tanya Jaka dengan serius.
"Maksudmu manusia doyan racun dari negeri seberang itu juga ditaklukan ayahmu?" ujar Ki Lugas makin terkejut.
"Aku tidak bilang begitu, yang kutahu dia juga pembantu ayahku," ujar Jaka dengan serius. Padahal dia tahu julukan itu karena dia memang pernah bertemu dengan Petir Abang. "Untung saja sebelum aku merantau, mereka sudah kutitahkan untuk tidak berkeliaran kesana-kemari. Saya takut mereka bakal mengacau, karena itulah ayah memberi mereka racun cekokkan yang paling ampuh. Pernah dengar Pil Kebenaran?"
"Hah... Pil Kebenaran?!" kali ini kaget Ki Lugas tidak kepalang tanggung. "Maksudmu pil yang dibuat oleh Tabib Hidup-Mati hampir dua abad lalu?"
"Memang ada yang lain? Tentu saja itu yang saya maksud, cuma pil itu bukannya diciptakan dua abad silam. Nah, pertemuan kali ini biarlah sebagai tanda perkenalan kita. Perlu Aki ketahui, baru kali ini saya terjun di kancah persilatan secara terang-terangan. Saya ingin meminta sesuatu pada Aki, apakah Aki berkenan atau tidak?"
"Silahkan utarakan, aku akan mencoba menerima usulmu kalau tidak keterlaluan."
"Tidak mungkin saya sampai berbuat begitu. Saya tahu Aki penasaran dengan asal usulku bukan?"
"Memang benar," sahut Ki Lugas dengan nada tak sekasar dan sekeras tadi.
"Saya tak keberatan memberitahukan. Tapi saya minta untuk tidak menyebarkan pada orang lain."
"Kalau itu yang kau minta, tentu saja aku mengabulkannya." jawab Ki Lugas.
"Saya merupakan generasi kelima dari Sapang Saroruha (satu dahan bunga teratai) atau yang dikenal dengan sebutan Tabib Hidup-Mati. Karena itulah saya menguasai semua racun yang pernah muncul di dunia persilatan, jadi saya harap Aki memaafkan kelancanganku mengatakan racun Bubuk Besi sebagai racun usang, saya mengatakan begitu karena sejak kecil ayah selalu mendidikku dengan dasar racun, seperti Bubuk Besi, Bunga Kuning, Kayu Harum, Peluluh Mayat, Pelumpuh Syaraf dan lain sebagainya. Hampir satu tahun ayah menurunkan dasar-dasar racun seperti itu, karena itulah secara spontan saya menyebut racun perguruan Aki sebagai racun usang karena sejak kecil racun sejenis itulah yang memang harus saya kuasai."
Penuturan Jaka yang begitu meyakinkan, apa lagi dengan adanya kejadian keracunan yang menimpa dua keponakan muridnya, membuat Ki Lugas jadi percaya penuh.
"Seperti dunia persilatan akan mengalami perubahan besar," gumamnya setelah mendengar cerita Jaka.
"Apa maksud Aki?"
"Kemunculanmu mungkin akan membawa banyak badai atau juga meredakan semua badai.."
"Ah, aki terlalu membesar-besarkan. Saya kan sama seperti orang lain?! Mungkin ada kalanya saya bisa bertindak salah atau benar, itu kan sudah wajar… tapi satu hal yang perlu Aki ketahui, bahwa benar dan salah memiliki garis pembatas yang sangat nyata. Kebenaran, kejujuran, dan keadilan merupakan tujuan ayah mendidik saya."
"Kalau benar begitu, alangkah baiknya!"
Jaka tidak menanggapi lagi, ia jongkok untuk memeriksa keadaan dua pemuda itu. Wajahnya memerah, karena malam semakin larut, maka perubahan wajah Jaka sama sekali tidak diketahui, kalaupun orang tahu tentu mereka mengira Jaka sedang serius. Tapi siapa yang tahu bahwa pemuda itu sedang menahan tawa?
Umpan yang tepat memang bisa mendapatkan ikan besar. Pikirnya dengan tertawa geli yang ditahan. Jaka pura-pura pegang sana pegang sini untuk memeriksa, setelah beberapa saat lamanya, Jaka menotok urat nadi leher dan menekan ulu hati Gemanti dengan jarinya. Erangan kesakitan Gemanti juga berhenti setelah Jaka menyudahi pengobatannya. Karena sebenarnya Jaka menotok urat syaraf hanya sebagai pelemasan dan pelancar jalan darah saja. Setelah selesai, dengan lagak mengusap keringat, Jaka lalu memeriksa Mahesa Ageng palsu.
Tangannya berada satu jengkal diatas tubuh pemuda itu. Ki Lugas yang melihat apa yang dilakukan Jaka menggelang kagum, sebab kondisi tangan Jaka sepengetahuannya, adalah gerakan pemeriksaan urat nadi penting dengan tenaga dalam.
Orang yang bisa memeriksa nadi dan jalan darah seseorang yang terluka dengan menyalurkan tenaga dalamnya seharusnya termasuk golongan tokoh tua yang memiliki tenaga dalam lihay. Dan kini Ki Lugas melihat apa yang di lakukan Jaka itu merupakan pemeriksaan dengan menggunakan tenaga dalam yang hanya bisa dilakukan tokoh-tokoh tingkatan tua. Tapi apa Ki Lugas tahu kalau sesungguhnya Jaka tidak mengerahkan tenaga apapun? Bahwa; Jaka hanya menekan-nekan tangan diudara begitu saja?! Memang sepintas gaya Jaka sangat meyakinkan.
Arus dibelakang memang selalu mendorong arus didepan. Memang sudah seharusnya tunas-tunas cemerlang seperti pemuda itu yang memegang kesejahteraan dunia persilatan.... pikir Ki Lugas
Jaka menjalankan tangannya satu jengkal di atas sekujur tubuh pemuda yang sedang terbaring dengan menggeliat kesakitan itu. Setelah beberapa saat lamanya, akhirnya Jaka menotok tujuh simpul syaraf dan nadi tangan pemuda itu.
"Selesai!" seru Jaka.
"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Ki Lugas.
"Tidak apa-apa, semua racun sudah saya keluarkan dan tubuh mereka bersih dari racun. Gemanti akan pulih satu jam kemudian, sedangkan dia ini," kata Jaka sambil menujuk Mahesa Ageng palsu, "Akan segera pulih setengah jam kemudian..."
"Benarkah?"
"Aki harus mempercayai saya, lebih baik aki menginap di kuil itu saja. Untuk dua jam akan datang saya akan tetap disini, karena saya memang ada kepentingan."
"Baiklah kalau begitu," lalu dengan entengnya Ki Lugas mengangkat dua keponakan muridnya kedalam kuil ireng.
Menunggu Ki Lugas menghilang dibalik kuil, Jaka baru membalikan tubuhnya.
"Nah, sobat.. sekarang saatnya menyelesaikan urusan kita." Kata Jaka sambil tersenyum ramah.
"Tapi tuan…" sahut Durga dengan gugup. Jaka mengangguk, tentu saja ia masih ingat kalau Dirga dan Mahesa Ageng masih tertotok. Jaka mengambil tangan Dirga yang lunglai.
"Hm, Ki Lugas terlalu keras turun tangan, kenapa harus menotok dengan Cara Anak Sebelas Sungai?"
"Anak Sebelas Sungai? Ha-ha, agaknya kau mengetahui istilah rumit itu anak muda?" ujar sebuah suara dari jarak jauh mengiang di telinga Jaka.
Jaka tahu kalau suara itu suaranya Ki Lugas. "Tentu saja tahu, kalau tidak, malu saya menanggung nama generasi kelima Tabib Hidup-Mati." Lalu Jaka menyambung dalam hatinya, Sebelas totokan jalan darah yang membuat orang tak sanggup bergerak selama dua hari… bukanlah pekerjaan sulit.
Jika Ki Lugas tahu, apa yang dipikirkan Jaka, dia pasti mencak-mencak tak karuan. Maklum saja totokan Anak Sebelas Sungai, di pelajari dengan susah payah. Sedangkan Jaka menganggap itu sebagai pekerjaan mudah, bagaimana bisa setimpang itu? Tentu saja hal itu bisa dimaklumi, karena Jaka mempelajarinya ‘langsung’ dari sang ahli.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar