Jaka berjalan santai menyusuri jalan besar. Hari masih siang, mungkin sudah dua kentongan sejak matahari diatas ubun-ubun. Pemuda ini memang berniat jalan-jalan lebih dulu, baru ia kembali ke rumah Ki Lukita. Sesaat kemudian ia sudah sampai di penginapan Bunga Kenanga, tanpa terburu dia masuk kekamar. Pemuda ini mengambil kantung tempat menyimpan uang. Sungguh ceroboh dia menaruh semabarangan barang berharga, kalau semua itu hilang bagaimana? Tapi memang begitulah sifat Jaka, terkadang ceroboh.
Setelah itu dia bergegas
hendak keluar, tapi Jaka merasa bajunya tak cocok, dia bermaksud ganti, lalu
melepas ikat pinggang… begitu ikat pinggang itu terlepas, mendadak benda itu
mengejang! Ternyata ‘ikat pinggang’ itu adalah sebuah tongkat bambu kuning!
Aneh sekali, bambu itu memiliki daya lentur luar biasa, hingga bisa dibuat
menjadi ikat pinggang. Jika di lihat besarnya—seukuran lengan anak kecil—adalah
mustahil dapat dilengkungkan seperti itu, kecuali rotan, namun kenyataannya
tongkat bambu itu lentur melebihi rotan! Bambu biasa saat dilengkungkan, tentu
pecah. Tapi bambu kuning itu dikecualikan.Begitu dililitkan, bagian dalam bambu
yang kosong, kempes tanpa ada kerutan atau tonjolan.Saat digunakan sekilas
mirip ikat pinggang. Tentu saja selain pemiliknya, orang lain tidak ada yang
tahu jenis bambu apa yang dibuat menjadi ikat pinggang.
Kini Jaka mengenakan baju
warna kuning gading serupa dengan ‘ikat pinggangnya’, sehingga begitu ‘ikat
pinggang’ dililitkan, tak begitu terlihat. Kepala pemuda ini juga ditutup
dengan seikat kain kuning, yang terlihat hanya dahi dan rambut belakang saja.
Lalu dia keluar kamar dan
berjalan menuju jalan besar, tak berapa lama kemudian Jaka menjumpai perempatan
jalan. Pemuda ini menimang, apakah ia akan pergi ke Gua Batu, Perguruan Naga
Batu, atau pergi ke Telaga Batu? Setelah menimbang, maka diputuskan untuk pergi
ke Telaga Batu. Jaka mengambil jalan ke barat. Tapi baru beberapa puluh langkah
saja, terasa ada orang yang mengikutinya.
"Wah-wah, ucapan Aki
Lukita benar, ada orang yang tadi memperhatikan aku berbincang. Kini mereka
mengikutiku. Terserah kalian mau berbuat apa, asal tidak menggangguku, akupun
tidak akan mengusik kalian."
Tanpa berusaha mempercepat
langkah, Jaka menikmati perjalanannya. Sepanjang jalan menuju Telaga Batu,
kondisi panorma alam sangat indah. Dari perempatan jalan, dekat penginapan
Jaka, jarak menuju Telaga Batu kira-kira ada empat pal (1 pal= 1½ kilometer),
cukup dekat.
Sepanjang jalan, rumah
penduduk terlihat berderet memanjang, ada kalanya selang seratus meter, baru
ada rumah penduduk. Meski dikuntit orang, tanpa hambatan berarti sampailah Jaka
di Telaga Batu.
Pemandangan pertama yang
dilihat adalah sebuah tebing batu menjulang tinggi, kelihatannya dinding itu
sebagai pembatas telaga dari daratan tinggi, disekitar telaga itu banyak sekali
berserakan batu-batu besar kecil, serakan batu itu tertata alam, bukannya
menjadi pemandangan jelek, tapi di situlah daya tariknya, itulah seni alam yang
menakjubkan. Sementara disepanjang pinggir telaga terlihat pasir putih bagai
permadani yang menutupi permukaan tanah, dalam pandangan orang, suasana telaga
itu seperti layaknya sebuah pesisir pantai. Luas telaga itu mungkin lebih dari
lima puluh hektar, disebelah timur terlihat aliran air deras dari luar, kiranya
aliran air itu berasal dari Sungai Batu yang memiliki air terjun Watu Kisruh.
Luar biasa, memang tempat
yang cocok di beri nama Telaga Batu, batin Jaka merasa nyaman begitu melihat
Telaga Batu, dia juga begitu takjub, sampai-sampai saat menarik nafas terasa
olehnya badannya mengeletar.
Apa yang dikatakan Jaka
memang cocok, di sekitar telaga banyak terdapat batu besar, suasana Telaga Batu
bisa dibilang ramai, terutama jumlah nelayan—yang memanfaatkan telaga untuk
mencari nafkah. Air di telaga itu benar-benar jernih, andai saja kedalaman
telaga tak lebih dari lima tombak (1 tombak = 2 meter) atau kurang dari itu,
tentu saja dasar telaga bisa kelihatan. Tapi kedalaman telaga itu mungkin lebih
dari dua puluh tombak, saat melihat kebawah yang terlihat hanya selapis warna
hijau kebiruan—indah, tapi mengerikan jika ada orang punya kenangan tenggelam.
Agak lama Jaka terpukau oleh keindahan Telaga Batu, pemuda ini segera menyewa
perahu, untuk mengelilingi Telaga Batu.
Tindakan Jaka, jika dipandang
kaum persilatan, terhitung sangat ceroboh dan berbahaya. Dalam dunia persilatan
ada pameo mengatakan;
Jika kau tak pandai berenang,
jangan sekali-kali mendekati sungai. Jika kau menjumpai hutan, jangan
sekali-kali masuk kalau tidak yakin bisa keluar. Dua peringatan itu sudah ada
entah sejak kapan, kedengarannya menggelikan, tapi memang benar. Sudah banyak
kejadian yang diperingatkan lantaran pameo tadi.
Mungkin saja gara-gara ingin
berpesiar ke sebuah telaga, seseorang—tentu, kaum pesilat—akan kehilangan
nyawa! Bila lawan mengetahui incarannya lengah dengan memasuki hutan atau
sungai, bisa saja saat itu adalah kesempatan emas untuk balas dendam. Karena
itulah, kedua pameo tadi merupakan peringatan yang baik. Tapi jika ada orang
yang dicurigai mengerti ilmu silat, dan ia dengan tenangnya menyewa perahu
sendiri untuk berpesiar, ada dua alasan untuk menjelaskannya, mungkin dia
benar-benar seorang pencinta alam sehingga melupakan peringatan yang berlaku di
dalam dunia persilatan, atau dia justru menguasai keahlian dalam air sampai
mengacuhkan peringatan.
Dan kali ini Jaka melakukan
hal itu dengan tenangnya. Mungkin bagi pandangan kaum persilatan dia bertindak
ceroboh, tapi bagi dirinya justru pandangan seperti itu—pameo pertama, terlalu
cupat untuk sekedar mengukur keselamatan jiwa.
Tentu saja yang menguntit
Jaka jadi khawatir, bukanakah mereka seharusnya senang? Ya, sebab bisa jadi
buruan mereka adalah orang awam yang tertarik dengan keindahan alam, artinya
pekerjaan mereka sia-sia. Itu tidak efisien. Atau bisa juga dia (Jaka) seorang
pesilat tangguh yang tidak takut dengan kedalaman telaga, jika demikian halnya,
tindakan mereka harus lebih hati-hati. Sayangnya mereka tidak menduga, Jaka
datang ke Telaga Batu karena ingin menikmati keindahan alam, juga lantaran mau
membaca catatan Ki Lukita tanpa gangguan. Alasan berikutnya, siapa yang tahu
apa lagi yang akan dilakukannya?
Para penguntit itu tidak akan
pernah menduga, bahwa Jaka adalah orang ‘awam’, seorang ahli silat, yang juga
mahir dalam air.
Jaka mengalihkan pandangan
kesekeliling telaga, dia mencari nelayan yang mungkin bersedia menyewakan
perahunya. Dalam soal memilih, agaknya Jaka juga banyak pertimbangannya. Pemuda
ini mencari nelayan yang berpakaian layak dan bersih, karena orang berciri
seperti itu, mungkin terpelajar, agak mudah berurusan dengan orang seperti itu.
"Maaf…” tegur pemuda ini
sopan pada lelaki setengah baya yang sedang berdiri termangu.
“Ya, bisa saya bantu?”
“Bapak punya perahu?"
"Oh, tentu saja
ada." jawab lelaki itu agak kaget.
"Bisakah kusewa
perahumu?" tanya pemuda ini lagi.
"Bisa tuan. Silahkan,
apakah tuan membutuhkan tenaga untuk mendayung?"
"Tidak perlu paman, biar
saya dayung sendiri… mungkin saya akan memakai perahu ini cukup lama."
"Tapi bukankah telaga
ini sangat luas, apakah tuan tidak capek? Lagi pula saya juga harus menangkap
ikan untuk dijual…" sahut orang itu agak tergagap.
"Ah, masalah itu paman
tidak usah risau, saya sudah terbiasa mendayung perahu. Lagi pula saya
memerlukan perahu ini cukup lama... begini saja paman, ini sebagai ganti
tangkapan ikanmu, dan ini sebagai uang sewa perahu." Pemuda ini
menyerahkan seratus keping perak—uang sejumlah itu bisa membeli seekor
kuda—karuan saja nelayan itu tertegun kaget. Tapi mendadak saja matanya
mengerjap tak wajar, mungkin lantaran kaget, atau karena hal lain?
"Ini… ini terlalu banyak
tuan muda," seru nelayan ini kaget campur gembira, dia masih menyangka
Jaka salah memberi uang.
Jaka tersenyum, dia
memakluminya, atau karena memahami satu hal? "Tidak apa-apa paman,
hitung-hitung membayar kerugian waktumu menangkap ikan, cukupkah?"
"Cukup, cukup... wah,
tentu saja lebih dari cukup. Terima kasih tuan muda." Sahut si nelayan
riang.
"Kalau begitu tidak ada
masalah lagi. Mana perahunya?" Setelah lelaki itu menunjukan perahunya,
Jaka segera meloncat ke dalam perahu, dan dengan galah bambu, ia mendorong
pinggiran telaga agar perahunya bergerak meninggalkan bibir telaga.
Sementara si empunya perahu
menatap pemuda itu dengan pandangan aneh, juga senyum yang bermakna entah apa.
Siang itu tidak begitu
menyengat, suasana disekitar Telaga Batu begitu sejuk dan nyaman. Jaka
betul-betul terpesona melihat pemandangan di sekeliling telaga itu. Di depannya
terbentang dinding yang amat tinggi, dinding itu adalah tebing yang menjadi
salah satu dinding pembatas alam dari telaga. Rasanya tubuh dan jiwanya sudah
menyatu dengan keindahan alam Telaga Batu, Jaka benar-benar terpana. Hatinya
makin tenang, ia benar-benar menyadari bahwa Tuhan itu Ada dan Maha Kekal.
Pernah dia mendengar cerita
tentang dinding itu, konon telaga itu sebenarnya sangat luas, tetapi karena
gempa bumi dahsyat ratusan bahkan ribuan tahun silam, maka pada pertengahan
telaga itu ditimbuni tanah, batu dan cadas yang sudah berusia ratusan tahun
silam, karena termakan usia, timbunan itu akhirnya terkikis sedikit demi
sedikit dan membentuk sebuah dinding tebing, tinggi dari permukaan telaga
kurang lebih dua puluh tombak.
Dilihat dari tingginya
dinding tebing itu, orang dapat membayangkan bagaimana dahsyatnya gempa bumi
yang pernah melanda daerah itu. Dari mana cerita itu berasal, tiada seorangpun
tahu, mereka semua mempercayai cerita itu sebab di belakang tebing itu masih
terdapat telaga lain yang dinamakan Telaga Bening. Tapi jika menilik 18 pal
jarak antara tebing dinding Telaga Batu sampai tebing dinding Telaga Bening,
maka cerita itu patut dipertimbangkan, sebab kecuali gempa yang maha dahsyat
hingga mencabik seluruh permukaan bumi, tak mungkin sebuah telaga dapat dipisah
dengan tebing cadas seluas itu.
Tapi Jaka tidak memperdulikan
cerita itu, kini dia hanya ingin mengagumi keindahan alam. Saking kagumnya,
Jaka sama sekali tidak memperhatikan kalau ada dua perahu yang bergerak
mendekatinya. Jika ditilik dari situasinya saat ini, sekalipun orang yang
paling berpengalaman—andai ia tidak tahu sebelumnya dibuntuti—maka melihat dua
perahu mendekat perlahan, dia tidak akan curiga sama sekali, sebab kejadian itu
wajar saja, bukankah para pelancong juga ingin menikmati keindahan tebing dan panorama
lainnya? Tapi tidak begitu juga dengan Jaka, dia sudah tahu sebelumnya kalau
dirinya dikuntit, kenapa dia tidak curiga bahwa perahu yang mendekatinya adalah
perahu para penguntit? Apakah Jaka lalai, atau dia merencanakan sesuatu?
Tanpa sadar, Jaka bersenandung
lirih, senandung yang lebih mirip sebuah syair. Keindahan Telaga Batu telah
menyihir perasaannya. Sambil berdiri diujung perahu, mata pemuda ini tidak
pernah beralih dari tebing yang menjulang tinggi. Tanpa sadar dia merogoh
sakunya. Sebelumnya Jaka menyimpan sebuah bambu yang lebih kecil di dalam bambu
kuning itu, karena tak mau repot saat mengambilnya, Jaka sudah mengeluarkannya
lebih dulu. Bambu itu panjangnya sampai tiga jengkal dan terdapat banyak lubang
berderet teratur. Tentu saja itu sebuah suling, sebuah suling bambu yang
berwarna kuning, dan juga lentur seperti karet pula!
Jaka menempelkan seruling itu
dibibirnya. Segera suara syahdu tersiar keseluruh penjuru. Alunan suara
seruling begitu memukau hati siapa saja yang mendengar. Suara itu begitu
lembutnya tapi nyaring, dan irama-irama yang dihasilkan bunyi suling itu
sanggup menyusup relung paling dalam bagi yang menikmatinya. Irama yang
dihasilkan Jaka bukan karena not-not yang dihafal, semuanya itu tercurah,
semata-mata dari perasaan kagum, perasaan mulia yang disampaikan mata, yang
mengagumi sebuah keindahan alam tak terlukiskan, membuat orang yang mendengar
lantunan irama itu makin hanyut oleh keindahan yang ada dibentangan mata. Jaka
meniup suling itu dengan mata terpentang lebar, seolah ia ingin menumpahkan
perasan kagumnya karena keindahan alam di sekitar Telaga Batu. Agaknya suara
seruling yang mengalun merdu dan amat memukau itu begitu menarik perhatian
semua orang yang berperahu maupun yang ada di pinggir telaga. Karena angin di situ
berhembus pulang balik terhadang dinding tebing, maka suara seruling Jaka dapat
didengar orang yang berada di sekitar Telaga Batu.
"Indah nian…" seru
sebuah suara nyaring bening datang dari sebuah perahu pesiar lainnya. Nada
suara itu bisa berarti mengagumi pemandangan alam ataupun suara seruling pemuda
bersahaja ini.
Jaka tidak mengubris,
hakikatnya ia tidak mendengar seruan tadi, karena seluruh perasannya tercurah
untuk melukiskan kekagumannya pada keindahan alam. Suara seruling yang merdu
dan spontan itu berlangsung cukup lama, dan akhirnya setelah seperempat-jam,
suara itu berhenti. Terlihat pemuda itu mengulum senyum, rupanya ia puas sekali
setelah mencurahkan kekagumannya.
Sambil menghela nafas, Jaka
membatin. Maha Besar Kuasa-Nya, pada setiap kehancuran timbul keindahan, pada
keindahan terselip sebuah kehancuran. Benar-benar luar biasa, kiranya
perjalanan jauhku ini tidak sia-sia dapat menjumpai keelokan alam seindah ini.
Sampai saat itu, Jaka masih
tidak sadar bahwa hampir tiap pasang mata memperhatikan dirinya yang masih
berdiri termangu-mangu mengawasi sekitar tebing batu.
“Keparat!” dengus seseorang
diseberang sana. “Dia benar-benar pintar merusak rencana.”
“Kutahu itu.” sahut seseorang
dengan nada dingin.
“Kalau kau tahu, kenapa tidak
bilang dari tadi?” damprat satunya.
“Aku sudah mengatakan padamu,
menyergapnya saat di telaga, cuma pekerjaan orang bodoh.”
“Hmk!” dengus orang itu kesal
sekali.
Keduanya segera berkelebat
kearah selatan, gerakan dua orang itu sungguh menakjubkan, tapi tiada orang yang
melihat keduanya, sebab semua orang masih sama terpana mendengar irama seruling
tadi.
Siapa kedua orang itu? Dan
memangnya mereka kesal kenapa? Tentu saja mereka kesal karena rencana menguntit
Jaka dan hendak membuat suatu kecelakan atas pemuda itu, batal! Sebab dengan
tiupan seruling Jaka, semua mata sama memandang pemuda itu. Artinya kalau
mereka bertindak saat itu, sama saja dengan berteriak, ‘aku mau membunuh orang
ini.’ Jadi tidak mungkin rencana semula terlaksana.
Lalu
apakah Jaka menyadari perbuatannya? Apa dia memperhitungkan tindakan penguntit?
Atau dia sama sekali tidak tahu? Entahlah, rasanya melihat mimiknya—kalau ada
yang melihat—rasanya juga tidak mungkin kalau pemuda ini sudah
memperhitungkannya sejak semula. Tapi siapa yang tahu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar