Jumat, 13 September 2013

012 - Telaga Batu


Jaka berjalan santai menyusuri jalan besar. Hari masih siang, mungkin sudah dua kentongan sejak matahari diatas ubun-ubun. Pemuda ini memang berniat jalan-jalan lebih dulu, baru ia kembali ke rumah Ki Lukita. Sesaat kemudian ia sudah sampai di penginapan Bunga Kenanga, tanpa terburu dia masuk kekamar. Pemuda ini mengambil kantung tempat menyimpan uang. Sungguh ceroboh dia menaruh semabarangan barang berharga, kalau semua itu hilang bagaimana? Tapi memang begitulah sifat Jaka, terkadang ceroboh.
Setelah itu dia bergegas hendak keluar, tapi Jaka merasa bajunya tak cocok, dia bermaksud ganti, lalu melepas ikat pinggang… begitu ikat pinggang itu terlepas, mendadak benda itu mengejang! Ternyata ‘ikat pinggang’ itu adalah sebuah tongkat bambu kuning! Aneh sekali, bambu itu memiliki daya lentur luar biasa, hingga bisa dibuat menjadi ikat pinggang. Jika di lihat besarnya—seukuran lengan anak kecil—adalah mustahil dapat dilengkungkan seperti itu, kecuali rotan, namun kenyataannya tongkat bambu itu lentur melebihi rotan! Bambu biasa saat dilengkungkan, tentu pecah. Tapi bambu kuning itu dikecualikan.Begitu dililitkan, bagian dalam bambu yang kosong, kempes tanpa ada kerutan atau tonjolan.Saat digunakan sekilas mirip ikat pinggang. Tentu saja selain pemiliknya, orang lain tidak ada yang tahu jenis bambu apa yang dibuat menjadi ikat pinggang.

Kini Jaka mengenakan baju warna kuning gading serupa dengan ‘ikat pinggangnya’, sehingga begitu ‘ikat pinggang’ dililitkan, tak begitu terlihat. Kepala pemuda ini juga ditutup dengan seikat kain kuning, yang terlihat hanya dahi dan rambut belakang saja.
Lalu dia keluar kamar dan berjalan menuju jalan besar, tak berapa lama kemudian Jaka menjumpai perempatan jalan. Pemuda ini menimang, apakah ia akan pergi ke Gua Batu, Perguruan Naga Batu, atau pergi ke Telaga Batu? Setelah menimbang, maka diputuskan untuk pergi ke Telaga Batu. Jaka mengambil jalan ke barat. Tapi baru beberapa puluh langkah saja, terasa ada orang yang mengikutinya.
"Wah-wah, ucapan Aki Lukita benar, ada orang yang tadi memperhatikan aku berbincang. Kini mereka mengikutiku. Terserah kalian mau berbuat apa, asal tidak menggangguku, akupun tidak akan mengusik kalian."
Tanpa berusaha mempercepat langkah, Jaka menikmati perjalanannya. Sepanjang jalan menuju Telaga Batu, kondisi panorma alam sangat indah. Dari perempatan jalan, dekat penginapan Jaka, jarak menuju Telaga Batu kira-kira ada empat pal (1 pal= 1½ kilometer), cukup dekat.
Sepanjang jalan, rumah penduduk terlihat berderet memanjang, ada kalanya selang seratus meter, baru ada rumah penduduk. Meski dikuntit orang, tanpa hambatan berarti sampailah Jaka di Telaga Batu.
Pemandangan pertama yang dilihat adalah sebuah tebing batu menjulang tinggi, kelihatannya dinding itu sebagai pembatas telaga dari daratan tinggi, disekitar telaga itu banyak sekali berserakan batu-batu besar kecil, serakan batu itu tertata alam, bukannya menjadi pemandangan jelek, tapi di situlah daya tariknya, itulah seni alam yang menakjubkan. Sementara disepanjang pinggir telaga terlihat pasir putih bagai permadani yang menutupi permukaan tanah, dalam pandangan orang, suasana telaga itu seperti layaknya sebuah pesisir pantai. Luas telaga itu mungkin lebih dari lima puluh hektar, disebelah timur terlihat aliran air deras dari luar, kiranya aliran air itu berasal dari Sungai Batu yang memiliki air terjun Watu Kisruh.
Luar biasa, memang tempat yang cocok di beri nama Telaga Batu, batin Jaka merasa nyaman begitu melihat Telaga Batu, dia juga begitu takjub, sampai-sampai saat menarik nafas terasa olehnya badannya mengeletar.
Apa yang dikatakan Jaka memang cocok, di sekitar telaga banyak terdapat batu besar, suasana Telaga Batu bisa dibilang ramai, terutama jumlah nelayan—yang memanfaatkan telaga untuk mencari nafkah. Air di telaga itu benar-benar jernih, andai saja kedalaman telaga tak lebih dari lima tombak (1 tombak = 2 meter) atau kurang dari itu, tentu saja dasar telaga bisa kelihatan. Tapi kedalaman telaga itu mungkin lebih dari dua puluh tombak, saat melihat kebawah yang terlihat hanya selapis warna hijau kebiruan—indah, tapi mengerikan jika ada orang punya kenangan tenggelam. Agak lama Jaka terpukau oleh keindahan Telaga Batu, pemuda ini segera menyewa perahu, untuk mengelilingi Telaga Batu.
Tindakan Jaka, jika dipandang kaum persilatan, terhitung sangat ceroboh dan berbahaya. Dalam dunia persilatan ada pameo mengatakan;
Jika kau tak pandai berenang, jangan sekali-kali mendekati sungai. Jika kau menjumpai hutan, jangan sekali-kali masuk kalau tidak yakin bisa keluar. Dua peringatan itu sudah ada entah sejak kapan, kedengarannya menggelikan, tapi memang benar. Sudah banyak kejadian yang diperingatkan lantaran pameo tadi.
Mungkin saja gara-gara ingin berpesiar ke sebuah telaga, seseorang—tentu, kaum pesilat—akan kehilangan nyawa! Bila lawan mengetahui incarannya lengah dengan memasuki hutan atau sungai, bisa saja saat itu adalah kesempatan emas untuk balas dendam. Karena itulah, kedua pameo tadi merupakan peringatan yang baik. Tapi jika ada orang yang dicurigai mengerti ilmu silat, dan ia dengan tenangnya menyewa perahu sendiri untuk berpesiar, ada dua alasan untuk menjelaskannya, mungkin dia benar-benar seorang pencinta alam sehingga melupakan peringatan yang berlaku di dalam dunia persilatan, atau dia justru menguasai keahlian dalam air sampai mengacuhkan peringatan.
Dan kali ini Jaka melakukan hal itu dengan tenangnya. Mungkin bagi pandangan kaum persilatan dia bertindak ceroboh, tapi bagi dirinya justru pandangan seperti itu—pameo pertama, terlalu cupat untuk sekedar mengukur keselamatan jiwa.
Tentu saja yang menguntit Jaka jadi khawatir, bukanakah mereka seharusnya senang? Ya, sebab bisa jadi buruan mereka adalah orang awam yang tertarik dengan keindahan alam, artinya pekerjaan mereka sia-sia. Itu tidak efisien. Atau bisa juga dia (Jaka) seorang pesilat tangguh yang tidak takut dengan kedalaman telaga, jika demikian halnya, tindakan mereka harus lebih hati-hati. Sayangnya mereka tidak menduga, Jaka datang ke Telaga Batu karena ingin menikmati keindahan alam, juga lantaran mau membaca catatan Ki Lukita tanpa gangguan. Alasan berikutnya, siapa yang tahu apa lagi yang akan dilakukannya?
Para penguntit itu tidak akan pernah menduga, bahwa Jaka adalah orang ‘awam’, seorang ahli silat, yang juga mahir dalam air.
Jaka mengalihkan pandangan kesekeliling telaga, dia mencari nelayan yang mungkin bersedia menyewakan perahunya. Dalam soal memilih, agaknya Jaka juga banyak pertimbangannya. Pemuda ini mencari nelayan yang berpakaian layak dan bersih, karena orang berciri seperti itu, mungkin terpelajar, agak mudah berurusan dengan orang seperti itu.
"Maaf…” tegur pemuda ini sopan pada lelaki setengah baya yang sedang berdiri termangu.
“Ya, bisa saya bantu?”
“Bapak punya perahu?"
"Oh, tentu saja ada." jawab lelaki itu agak kaget.
"Bisakah kusewa perahumu?" tanya pemuda ini lagi.
"Bisa tuan. Silahkan, apakah tuan membutuhkan tenaga untuk mendayung?"
"Tidak perlu paman, biar saya dayung sendiri… mungkin saya akan memakai perahu ini cukup lama."
"Tapi bukankah telaga ini sangat luas, apakah tuan tidak capek? Lagi pula saya juga harus menangkap ikan untuk dijual…" sahut orang itu agak tergagap.
"Ah, masalah itu paman tidak usah risau, saya sudah terbiasa mendayung perahu. Lagi pula saya memerlukan perahu ini cukup lama... begini saja paman, ini sebagai ganti tangkapan ikanmu, dan ini sebagai uang sewa perahu." Pemuda ini menyerahkan seratus keping perak—uang sejumlah itu bisa membeli seekor kuda—karuan saja nelayan itu tertegun kaget. Tapi mendadak saja matanya mengerjap tak wajar, mungkin lantaran kaget, atau karena hal lain?
"Ini… ini terlalu banyak tuan muda," seru nelayan ini kaget campur gembira, dia masih menyangka Jaka salah memberi uang.
Jaka tersenyum, dia memakluminya, atau karena memahami satu hal? "Tidak apa-apa paman, hitung-hitung membayar kerugian waktumu menangkap ikan, cukupkah?"
"Cukup, cukup... wah, tentu saja lebih dari cukup. Terima kasih tuan muda." Sahut si nelayan riang.
"Kalau begitu tidak ada masalah lagi. Mana perahunya?" Setelah lelaki itu menunjukan perahunya, Jaka segera meloncat ke dalam perahu, dan dengan galah bambu, ia mendorong pinggiran telaga agar perahunya bergerak meninggalkan bibir telaga.
Sementara si empunya perahu menatap pemuda itu dengan pandangan aneh, juga senyum yang bermakna entah apa.
Siang itu tidak begitu menyengat, suasana disekitar Telaga Batu begitu sejuk dan nyaman. Jaka betul-betul terpesona melihat pemandangan di sekeliling telaga itu. Di depannya terbentang dinding yang amat tinggi, dinding itu adalah tebing yang menjadi salah satu dinding pembatas alam dari telaga. Rasanya tubuh dan jiwanya sudah menyatu dengan keindahan alam Telaga Batu, Jaka benar-benar terpana. Hatinya makin tenang, ia benar-benar menyadari bahwa Tuhan itu Ada dan Maha Kekal.
Pernah dia mendengar cerita tentang dinding itu, konon telaga itu sebenarnya sangat luas, tetapi karena gempa bumi dahsyat ratusan bahkan ribuan tahun silam, maka pada pertengahan telaga itu ditimbuni tanah, batu dan cadas yang sudah berusia ratusan tahun silam, karena termakan usia, timbunan itu akhirnya terkikis sedikit demi sedikit dan membentuk sebuah dinding tebing, tinggi dari permukaan telaga kurang lebih dua puluh tombak.
Dilihat dari tingginya dinding tebing itu, orang dapat membayangkan bagaimana dahsyatnya gempa bumi yang pernah melanda daerah itu. Dari mana cerita itu berasal, tiada seorangpun tahu, mereka semua mempercayai cerita itu sebab di belakang tebing itu masih terdapat telaga lain yang dinamakan Telaga Bening. Tapi jika menilik 18 pal jarak antara tebing dinding Telaga Batu sampai tebing dinding Telaga Bening, maka cerita itu patut dipertimbangkan, sebab kecuali gempa yang maha dahsyat hingga mencabik seluruh permukaan bumi, tak mungkin sebuah telaga dapat dipisah dengan tebing cadas seluas itu.
Tapi Jaka tidak memperdulikan cerita itu, kini dia hanya ingin mengagumi keindahan alam. Saking kagumnya, Jaka sama sekali tidak memperhatikan kalau ada dua perahu yang bergerak mendekatinya. Jika ditilik dari situasinya saat ini, sekalipun orang yang paling berpengalaman—andai ia tidak tahu sebelumnya dibuntuti—maka melihat dua perahu mendekat perlahan, dia tidak akan curiga sama sekali, sebab kejadian itu wajar saja, bukankah para pelancong juga ingin menikmati keindahan tebing dan panorama lainnya? Tapi tidak begitu juga dengan Jaka, dia sudah tahu sebelumnya kalau dirinya dikuntit, kenapa dia tidak curiga bahwa perahu yang mendekatinya adalah perahu para penguntit? Apakah Jaka lalai, atau dia merencanakan sesuatu?
Tanpa sadar, Jaka bersenandung lirih, senandung yang lebih mirip sebuah syair. Keindahan Telaga Batu telah menyihir perasaannya. Sambil berdiri diujung perahu, mata pemuda ini tidak pernah beralih dari tebing yang menjulang tinggi. Tanpa sadar dia merogoh sakunya. Sebelumnya Jaka menyimpan sebuah bambu yang lebih kecil di dalam bambu kuning itu, karena tak mau repot saat mengambilnya, Jaka sudah mengeluarkannya lebih dulu. Bambu itu panjangnya sampai tiga jengkal dan terdapat banyak lubang berderet teratur. Tentu saja itu sebuah suling, sebuah suling bambu yang berwarna kuning, dan juga lentur seperti karet pula!
Jaka menempelkan seruling itu dibibirnya. Segera suara syahdu tersiar keseluruh penjuru. Alunan suara seruling begitu memukau hati siapa saja yang mendengar. Suara itu begitu lembutnya tapi nyaring, dan irama-irama yang dihasilkan bunyi suling itu sanggup menyusup relung paling dalam bagi yang menikmatinya. Irama yang dihasilkan Jaka bukan karena not-not yang dihafal, semuanya itu tercurah, semata-mata dari perasaan kagum, perasaan mulia yang disampaikan mata, yang mengagumi sebuah keindahan alam tak terlukiskan, membuat orang yang mendengar lantunan irama itu makin hanyut oleh keindahan yang ada dibentangan mata. Jaka meniup suling itu dengan mata terpentang lebar, seolah ia ingin menumpahkan perasan kagumnya karena keindahan alam di sekitar Telaga Batu. Agaknya suara seruling yang mengalun merdu dan amat memukau itu begitu menarik perhatian semua orang yang berperahu maupun yang ada di pinggir telaga. Karena angin di situ berhembus pulang balik terhadang dinding tebing, maka suara seruling Jaka dapat didengar orang yang berada di sekitar Telaga Batu.
"Indah nian…" seru sebuah suara nyaring bening datang dari sebuah perahu pesiar lainnya. Nada suara itu bisa berarti mengagumi pemandangan alam ataupun suara seruling pemuda bersahaja ini.
Jaka tidak mengubris, hakikatnya ia tidak mendengar seruan tadi, karena seluruh perasannya tercurah untuk melukiskan kekagumannya pada keindahan alam. Suara seruling yang merdu dan spontan itu berlangsung cukup lama, dan akhirnya setelah seperempat-jam, suara itu berhenti. Terlihat pemuda itu mengulum senyum, rupanya ia puas sekali setelah mencurahkan kekagumannya.
Sambil menghela nafas, Jaka membatin. Maha Besar Kuasa-Nya, pada setiap kehancuran timbul keindahan, pada keindahan terselip sebuah kehancuran. Benar-benar luar biasa, kiranya perjalanan jauhku ini tidak sia-sia dapat menjumpai keelokan alam seindah ini.
Sampai saat itu, Jaka masih tidak sadar bahwa hampir tiap pasang mata memperhatikan dirinya yang masih berdiri termangu-mangu mengawasi sekitar tebing batu.
“Keparat!” dengus seseorang diseberang sana. “Dia benar-benar pintar merusak rencana.”
“Kutahu itu.” sahut seseorang dengan nada dingin.
“Kalau kau tahu, kenapa tidak bilang dari tadi?” damprat satunya.
“Aku sudah mengatakan padamu, menyergapnya saat di telaga, cuma pekerjaan orang bodoh.”
“Hmk!” dengus orang itu kesal sekali.
Keduanya segera berkelebat kearah selatan, gerakan dua orang itu sungguh menakjubkan, tapi tiada orang yang melihat keduanya, sebab semua orang masih sama terpana mendengar irama seruling tadi.
Siapa kedua orang itu? Dan memangnya mereka kesal kenapa? Tentu saja mereka kesal karena rencana menguntit Jaka dan hendak membuat suatu kecelakan atas pemuda itu, batal! Sebab dengan tiupan seruling Jaka, semua mata sama memandang pemuda itu. Artinya kalau mereka bertindak saat itu, sama saja dengan berteriak, ‘aku mau membunuh orang ini.’ Jadi tidak mungkin rencana semula terlaksana.
Lalu apakah Jaka menyadari perbuatannya? Apa dia memperhitungkan tindakan penguntit? Atau dia sama sekali tidak tahu? Entahlah, rasanya melihat mimiknya—kalau ada yang melihat—rasanya juga tidak mungkin kalau pemuda ini sudah memperhitungkannya sejak semula. Tapi siapa yang tahu?

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar