Jaka memutuskan menggunakan peringan tubuhnya,
mengingat dia sudah terlalu banyak membuang waktu. “Bagaimana ya, apa aku harus menjadi murid Ki Lukita
atau tidak?” pikirnya setengah melamun. “Tidak ada ruginya memang, tetapi sama
saja aku mengikatkan diri pada sebuah peraturan.”
Jaka kembali menimbang, “Hh,” dihelanya nafas panjang.
“Toh tidak ada salahnya aku menjadi murid beliau, banyak manfaat yang bisa
kuperoleh darinya.”
Tak berapa lama kemudian, Jaka sudah sampai dijalan
besar yang melewati kediaman Ki Lukita.
Tentu saja Jaka tidak begitu bodoh untuk masuk lewat
depan, karena malam itu tidak sesepi yang ia kira. Banyaknya pengunjung dikota
itu membuat malam dihari biasa yang seharusnya sepi, kini bagaikan waktu
menjelang fajar.
Banyak orang yang berjalan-jalan disekitar jalan besar
itu. Jaka tahu, kini gerakannya sudah tidak leluasa lagi, sebab ia masih harus
berperan bahwa dirinya sudah dikuasai salah satu orang Naga Batu.
Karena terlalu riskan untuk masuk lewat pintu depan,
Jaka ambil jalan memutar, jalan kecil yang ia lewati itu hanya berselang tiga
rumah dari kediaman Ki Lukita. Jaka memang bermaksud mengambil jalan memutar,
tapi ia belum tahu apakah jalan disitu berhubungan langsung dengan rumah Ki
Lukita? Sebab sudah beberapa puluh langkah, jalan itu tetap lurus.
"Kelihatannya, aku harus cari jalan sendiri."
pikir Jaka. Jaka menyesap keadaan sekeliling dan berdiam diri sesaat,
"Aman!" pikirnya. Begitu terpikir demikian tubuhnya sudah melecat
ringan bagai burung camar. Jaka melompat dari pohon ke pohon lain, dan dalam
waktu singkat saja Jaka sudah berada tepat dibelakang rumah si kakek.
"Wah, rupanya kediaman Ki Lukita luas
sekali." gumam pemuda ini sambil memperhatikan dengan seksama.
Baru ia sadari bagian depan dan bagian belakang rumah
Ki Lukita sebenarnya memanjang. Dan lagipula pekarangan belakang begitu luas,
tertata rapi dan indah. Menurut pengamatan Jaka, orang yang tinggal dirumah itu
kemungkinan lebih dari sepuluh orang. Belum lagi pembantu. Kini, baru Jaka
sadari bagaimana baiknya memasuki rumah Ki Lukita.
Langsung masuk atau harus menunggu? Ah, terlalu memakan
waktu. Bagaimana nanti saja, yang penting sekarang masuk dulu! Tanpa ragu lagi,
Jaka melompat dari pohon dan turun di halaman belakang. Begitu melihat apa saja
yang terdapat di halaman belakang, hati Jaka tercekat.
Bagaimana tidak, setiap jalan setapak yang ada,
merupakan formasi dari Barisan Angin Kencana dan pohon-bunga setinggi
dagu yang tumbuh disitu diatur dalam bentuk Barisan Tujuh Hari. Jaka
tahu kehebatan barisan itu, meski tidak sehebat barisan kuno Lima Langit
Menjaring Bumi, tapi karena daya yang diterapakan dua barisan tersebut
maksimal, kehebatannya sejajar dengan barisan yang ada di halaman depan.
"Barisan ini cukup lihay, tapi untuk mengurung
tokoh lihay, jangan banyak berharap. Paling banter hanya menghambat sesaat
saja. Kelemahan barisan ini sangat jelas…" pikir Jaka sambil memandangi
segala sesuatu yang ada di setiap sudut halaman belakang itu.
Tanpa sadar Jaka melangkah ketengah-tengah halaman,
saat sudah berada ditengah baru Jaka sadar kalau ia sudah masuk dalam perangkap
barisan lain.
"Heh! Hebat, rupanya ini yang menutup kelemahan
dua barisan tadi? Putaran dua belas sisi? Benar-benar ide bagus, siapa yang
membuat barisan biasa jadi hebat begini? Apakah Ki Lukita atau orang
lain?" gumam Jaka. Sudah menjadi kebiasan Jaka, jika dia menemukan hal
baru, maka akan benar-benar diamati dengan seksama sampai dia paham, hal lain
tak dia acuhkan lagi. Sampai-sampai Jaka tidak menyadari ada sembilan pasang
mata mengintai dari dalam.
Selang beberapa saat kemudian, wajah pemuda ini cerah,
dan tersenyum lebar, rupanya dia sudah paham. Ya, dari satu muncul dua puluh
satu, lalu menjadi kelipatannya—441, benar-benar perubahan lihay, cuma terlalu
rumit… tidak sepadan!
Jaka melangkah kedepan setap demi setapak, menurut
pandangan orang lain, langkah Jaka biasa saja, tapi tidak dalam pandangan
sembilan orang yang mengitai! Mereka terperanjat, sebab langkah Jaka merupakan
sudut mati bagi barisan itu. Sekilas gerak langkah itu mirip sudut 90 derajat
dan berubah sampai 45 derajat, berulang kali sampai 18 kali. Tapi saat diamati
lebih lanjut, mereka makin terperajat menyadari langkah Jaka lebih rumit,
kisaran gerak dua sudut dalam langkah Jaka, menggeser tiap jengkal dan langkah
itu telak menohok kelemahan barisan tersebut.
Ah, salah! Barisan hanya mengandalkan rumit untuk
menyesatkan. Dengan sendirinya kunci keluarnya dapat berubah-ubah, ha-ha, jika
yang membuat terlupa satu langkah… diapun bakal terperangkap. Lalu Jaka
melangkah ke tiap sudut barisan itu. Pemuda ini menggeleng.
“Sayang, disini terlalu banyak titik lemah,” gumamnya.
Rumit mengalahkan sederhana, tapi kadang kala sederhana juga mengalahkan
rumit... hukum alam memang tidak bisa dihindari. Yah, mudah saja melapaskan
diri dari semua ini, siapapun orang yang menguasai ilmu peringan tubuh sangat
mahir, dapat segera keluar, dengan catatan dia teguh imannya, jadi perubahan
barisan tak akan menggoyahkan akalnya. Andai saja barisan ini ditambah formasi Menggiring
Ribuan Prajurit, kuyakin walau tokoh paling lihay dalam bidang ini, baru
bisa merumuskan sebagian jalan keluar lebih dari satu bulan.
Jaka tersadar, ini bukan saat yang tepat untuk memahami
barisan pengurung itu.
"Dua jam lagi aku harus berjumpa dengan tiga orang itu, aku harus cepat-cepat bertemu beliau." Pikir Jaka sambil melangkah kepintu belakang rumah.
"Dua jam lagi aku harus berjumpa dengan tiga orang itu, aku harus cepat-cepat bertemu beliau." Pikir Jaka sambil melangkah kepintu belakang rumah.
Tapi baru beberapa langkah, pintu itu sudah terbuka,
lalu muncul empat orang dihadapan Jaka. Sekilas, selain Aki Lukita Jaka seperti
mengenali orang kedua dan ketiga, tapi entah dimana ia pernah bertemu muka
dengan mereka.
"Maaf kalau saya berkunjung tidak semestinya Ki,
atau saya musti memanggil guru?" kata Jaka sambil membungkuk memberi
hormat.
Kakek itu tertegun sesaat, demikian juga dengan tiga
orang lainnya. Mereka pikir cara pemuda ini menjadi satu bagian dari sebuah
organiasi—bagian dari orang lain—sangat tidak lazim. Tapi bagaimanapun juga,
semua itu bukanlah masalah. Ki Lukita mengelus janggutnya. “Tak kusangka kau
menerimanya, aku sangat bahagia dan bangga dengan keputusanmu.” ujar Ki Lukita
mendekat sambil menepuk pundak Jaka.
“Sebaliknya, seharusnya saya yang merasa bangga
mendapat kepercayaan begini besar dari tokoh besar.”
Aki Lukita tersenyum, dia tidak mengatakan apa-apa,
karena saat itu hatinya diliputi perasaan girang, juga haru.
Memang agak aneh, seharusnya penerimaan murid tidaklah
sesederhana itu. Tapi karena keduanya—guru dan murid itu, enggan melakukan
ritual yang sudah umum, maka menjadi guru dan murid terjadi hanya kesepakatan
saja. Upacara resmi mungkin menyusul.
Saat empat orang itu keluar dari ruangan yang gelap,
sinar lentera tidak menerangi jelas ke empat wajah itu. Dan kini begitu mereka
melangkah keluar, Jaka agak kaget, namun ia sama sekali tidak menampilkan
perubahan diwajahnya.
"Kedatanganmu tidak mengganggu, justru kebetulan.
Kau pasti datang kemari karena urusanku bukan?" tanya gurunya.
"Benar." Sahut Jaka dengan memandang wajah
tiga orang yang mendampingi gurunya.
Agaknya sang guru tahu apa yang dipikirkan Jaka. "Mereka ini.."
Agaknya sang guru tahu apa yang dipikirkan Jaka. "Mereka ini.."
"Mereka adalah paman yang menyamar jadi nelayan
dan satu lagi paman yang menyamar jadi pemilik rumah makan besar di kota ini,
bukankah begitu?" potong Jaka. "Hanya saja murid tidak mengenal rekan
guru yang satu lagi, karena murid belum pernah melihat beliau."
Empat orang kakek itu kelihatannya terperanjat, tapi
yang paling terkejut tentu saja orang yang menyamar jadi nelayan dan jadi
pemilik rumah makan besar yang pernah Jaka kunjungi tempatnya. Mereka tidak
menyangka, Jaka bisa menebak siapa mereka.
"Bagaimana kau bisa tahu siapa mereka?" tanya
gurunya heran.
"Meski saat itu paman ini menyamar jadi nelayan,
saya tetap mengenalinya saat ini, begitu pula dengan paman yang menyamar jadi
pemilik rumah makan, saya sempat melihatnya sekilas." Jawab pemuda ini.
Dua orang yang sempat menyamar itu saling berpandangan,
mereka merasa takjub, karena Jaka sanggup mengenali raut wajah mereka yang
sebenarnya. Padahal ilmu menyamar mereka berdua termasuk top dikalangan para
tokoh silat.
Karena ilmu penyamaran mereka, lain dari yang lain,
orang lain menyamar dengan menggunakan topeng kulit, menggunakan bedak, atau,
obat tertentu untuk menyamarkan wajah asli mereka, namun tidak dengan kedua
orang itu… mereka menyamar, hanya dengan menghilangkan ciri khas pada raut
wajah masing-masing, dan menampilkan ciri khas yang baru. Sehingga biarpun
orang yang kenal dengan mereka, juga tidak bisa menggenalinya.
Tapi hebatnya Jaka bisa mengenali mereka, padahal Jaka
hanya sekilas memandang saja. Dari kejadian barusan, pandangan dua orang itu
terhadap Jaka berubah, semula mereka hanya kagum dengan bakatnya, tapi kini
mereka pikir Jaka sudah sangat berpengalaman. Padahal bukan begitu, mereka
tidak tahu bahwa Jaka dapat mengenali mereka karena Jaka memiliki kemampuan
untuk mengingat bentuk bola mata seseorang, jadi bukan karena pengalaman atau
penyelidikan lebih dulu. Sebab itulah, begitu menjumpai wajah keduanya, Jaka
segera tahu bahwa mereka itu orang yang pernah ia jumpai sebelumnya.
"Baiklah, mengenai penyamaran biar kita sudahi
saja. Orang yang menyamar jadi nelayan bernama Benggala, sedangkan yang menjadi
pemilik rumah makan yang pernah kau datangi itu adalah Gunadarma. Dan
ini," kata Aki Lukita sambil menepuk bahu satu orang lagi yang usianya
sepantar dengan dirinya. "Dia bisa kau panggil dengan sebutan Aki
Glagah…"
Jaka segera membungkuk memberi hormat. "Salam
jumpa, perkenalkan, saya yang bernama Jaka."
"Ha-ha, kita orang sendiri, tak perlu terlalu
sungkan…" ujar Aki Glagah.
"Maaf, mohon tanya, apakah Aki Glagah ada
hubungannya dengan Sakta Glagah?" Pertanyaan Jaka membuat tawa kakek itu
makin lebar.
"Kau benar, dia adalah putraku."
"Wah, senang rasanya bisa berjumpa dengan ayah
dari tokoh kosen paling sakti."
"Apanya yang sakti?! Didunia ini banyak orang yang
lebih kuat dari yang kita lihat, sebaiknya engkau jangan menilai orang dari
luarnya saja."
"Nasehat Aki akan saya ingat selalu." kata
Jaka dengan sikap menghormat. "Guru…"
"Ya?!"
"Kalau boleh, murid bertanya, hubungan guru dengan
beliau-beliau ini bagaimana?"
Mendengar pertanyaan muridnya Aki Lukita saling pandang
dengan tiga orang lainnya, "Baiknya kita bicara didalam saja." Ujar
Aki Lukita sambil masuk kerumah, kemudian tiga orang lainnya menyusul, begitu
pula dengan Jaka yang masuk belakangan.
Mereka duduk saling berhadapan, ada meja bundar yang
menjadi penengah. Dimeja itu sudah tersedia lima gelas air teh. Rupanya mereka
sudah mengetahui kedatangan Jaka, dan pemuda ini pun tak merasa heran. Tadi dia
sengaja berdiri sesaat di jalan besar—depan rumah gurunya, sebagai tanda bahwa
ia akan datang kesitu. Karena cangkir sudah tersedia untuknya, Jaka dapat
memastikan, isyaratnya sudah dilihat tuan rumah.
"Seperti yang kau duga, kami memang memiliki
hubungan yang sangat erat. Kakang Glagah sebagai orang pertama, aku sebagai
orang kedua dan ada empat orang lain yang tidak datang sebagai urutan
berikutnya, sedangkan adi Gunadarma dan Benggala berada pada urutan ketujuh dan
kedelapan. Tiga puluh tahun silam kami disebut orang sebagai Delapan
Sahabat Empat Penjuru..."
"Oo, kiranya begitu.."
"Untuk lebih jelasnya lagi, kau bisa baca pada
catatanku pada kitab pertama dan ketiga."
Jaka manggut-manggut, sesaat ia melirik kesana kemari
untuk melihat suasana dalam rumah gurunya. Jaka tercengang. "Sepertinya
setiap jengkal rumah ini dipasangi perangkap?" gumamnya.
"Tajam benar matamu, memang benar apa yang
kaukatakan tadi. Bukan cuma dirumahku saja, tapi disemua rumah sesepuh kota
ini. Tentu saja semua itu ada maksudnya... hanya saja aku sama sekali tidak
menyangka kalau kau bisa memecahkan barisan yang ada di belakang!" ujar
sang Guru sembari menghirup tehnya.
"Hanya kebetulan paman.." sahut Jaka.
"Mana bisa disebut kebetulan begitu?!" seru
Gunadarma. "Kau bukan saja bisa memecahkan kelemahannya bahkan tahu semua
perubahannya, kalau bukan orang yang menguasai Barisan Langit Tunggal mana bisa
kau mengenali setiap langkah barisan yang ada?"
Jaka tidak menyahut, pemuda ini hanya tersenyum saja.
Terkadang kata-kata tidak diperlukan lagi sebagai jawaban. Meski orang sudah
tanggap akan dirinya, Jaka tidak bermaksud memperbicangkan masalah dirinya
lebih lanjut. Saat ia hendak mengatakan maksud kedatangannya, gurunya sudah
bicara lebih dulu.
"Sekarang ada masalah apa hingga kau datang
malam-malam?"
"Disamping memberikan jawaban pada Aki, saya cuma
mau menanyakan satu masalah kecil pada guru, apakah dini hari nanti, guru akan
memberi sedikit jejak pada Bergola, bahwa guru bisa ilmu silat?"
"Tidak! Aku tidak akan memberinya petunjuk walau
setitik. Kau tahu kenapa?”
Jaka tak menjawab, biarpun ia tahu, ia juga harus
bertindak bijak, terlalu banyak bicara bukanlah hal yang baik.
“Sebab dewasa ini perkumpulan rahasia begitu menjamur,
salah satu upaya yang kita lakukan dua puluh tahun terakhir ini adalah untuk
mengantisipasi setiap kegiatan mereka! Jadi mana mungkin aku mengorbankannya
hanya untuk mengatasi soal kecil?!" tegas sang guru.
Jaka mengangguk paham. “Saya mengerti, lalu apa yang
akan guru lakukan?”
Kakek itu tertawa berderai. “Kau ini sudah tahu tapi masih tanya juga.. kalau aku datang, berarti kau menganggur? Bukankah kau punya rencana sendiri?”
Kakek itu tertawa berderai. “Kau ini sudah tahu tapi masih tanya juga.. kalau aku datang, berarti kau menganggur? Bukankah kau punya rencana sendiri?”
Jaka tertawa kecil. “Benar, saya memang mengharapkan
guru tidak datang, saya memang punya rencana.”
“Rencana macam apa?”
Pemuda ini tersenyum saja. Diam-diam ke empat kakek itu
menghela nafas, aih, orang macam apa dia ini? Mereka berfikir demikian bukan
karena masalah perkumpulan rahasia, mereka hanya dibingungkan dengan lain
persoalan. Didunia ini jarang terdapat manusia yang setiap dipandang orang,
kelihatan menyenangkan—walau dalam keadaan apapun. Dan orang macam itu kini ada
didepan mereka—itulah Jaka.
“Bagaimana?” tanya sang guru lagi.
Jaka kembali tersenyum. “Pasti guru akan tahu.”
Sahutnya. Diam-diam keempat orang itu kembali memberi penilaian, agaknya bocah
ini memang murah senyum pada tiap orang, atau memang wajahnya memang wajah
senyum tak senyum?
"Kalau begitu apakah guru hendak menyerahkan
peninggalan Rubah Api?" tanya Jaka membuat empat orang itu terperanjat.
Aki Lukita dan tiga orang lainnya terkejut. "Jadi
kau sudah tahu persoalannya?" tanyanya heran.
"Kebetulan saja," jawab Jaka tidak mengatakan
dari mana ia tahu persoalan itu.
"Aih.. yang jelas, apa yang diserahkan Rubah Api
pada kami akan kami pertahankan dan tidak akan kami gunakan kecuali dalam
keadaan terpaksa sekali."
"Memangnya apa yang diserahkan Rubah Api pada guru?
Bukankah saat itu dia dalam keadaan sekarat?"
"Kau tahu sampai begitu jauh, padahal baru satu
hari kau tiba disini. Ha-ha-ha, dari sini sudah dapat membuktikan
kecerdikanmu."
"Ah, guru terlalu menyanjung, semua itu kebetulan
saja. Nanti akan saya ceritakan kejadian menarik, hanya saja, saya perlu
penjelasan dari berbagai soal saat ini. Sebab saya yakin persoalan seperti saat
ini tentu tidak guru tuliskan dalam buku bukan?"
"Memang benar, baiklah.. kau dengarkan baik-baik
penuturan kami. Tapi apa kau sudah baca catatanku?"
"Sudah, tapi baru bab pertama, dan dua bab
terakhir." Sahutnya.
"Itu sudah cukup, kalau begitu tentunya kau sudah
tahu garis besar dari asal-usul perkumpulan Dewa Darah yang sempat kusinggung
tadi siang?" Jaka mengiyakan.
"Justru permasalahan muncul dari situ, setelah
perkumpalan Dewa Darah hilang, dalam tiga puluh tahun terakhir, banyak muncul
perkumpulan rahasia baru bagai jamur. Diantaranya pekumpulan Angin Barat, Lidah
Api, Ikan Tombak, Kuda Api, Lima Jalur dan banyak lagi.. yang jelas setelah
kami selidiki dengan seksama, perkumpulan itu bertindak dengan corak dan motif
yang sama, bahkan ada sedikit kemiripan dengan perkumpulan yang dikepalai
Anusapatik. Namun ada beberapa perkumpulan mereka yang lenyap begitu saja,
dugaan kami mungkin saja mereka sudah menggabungkan diri dengan induknya, atau
bahkan terbasmi. Singkat cerita, setelah tahun ini, ada seorang kenalan kawan
karibku—tentu kau sudah dapat menduga—dia adalah Rubah Api. Rupanya Rubah Api
pernah gabung dengan kelompok Banyu Asin. Menururtnya divisi kelompok Banyu
Asin adalah kelompok tertinggi ketiga selain perkumpukan Dewa Darah? Kalau saja
saat itu Rubah Api tidak cerita, sampai sekarang kami masih meraba-raba
rahasianya," Aki Lukita berhenti sejenak, ia meneguk tehnya.
"Rubah
Api dulu terkenal sebagai bandit besar diwilayah utara. Karena itulah pihak
Banyu Asin menariknya untuk menjadi anggota, tapi mereka sama sekali tidak tahu
kalau Rubah Api merupakan Bandit Budiman! Sudah hampir empat tahun Rubah Api
menyusup di kelompok itu, semua bukti dan semua kejahatan yang dilakukan
kelompok itu ada padanya. Ia tidak berani bertindak terang-terangan karena
kebanyakan anggota kelompok itu adalah pendekar-pendekar yang memiliki nama
harum. Ia tak ingin berbuat ceroboh, karena itulah selama empat tahun ia dengan
sabar mengumpulkan bukti dan akhirnya membuat tempat persembunyian dari bukti
tersebut dalam bentuk peta. Rupanya pihak Banyu Asin mencurigai tindak-tanduk
Rubah Api, karena itu saat ia hendak menjumpai sobat karibku, ia dikejar-kejar
dan akhirnya sampai disini. Tapi nasibnya benar-benar malang, Rubah Api sudah
terkena racun hebat dan sekujur tubuhnyapun terluka parah, meski begitu ia
ngotot untuk memberitahukan apa yang ia ketahui selama ini pada kami. Untung
saja saat itu aku membawa Puyer Sambung Nadi, nasib Rubah Api tertolong, ia
masih hidup, tapi keadaannya tak jauh beda dengan mayat hidup. Ia hanya bisa
diam termangu.. aih, sungguh tragis nasibnya. Padahal masih ada sanak keluarga
yang membutuhkan perlindungannya, sayang ia tidak mengatakan dimana adanya
mereka.." Sang Guru mengakhiri penjelasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar