Jumat, 13 September 2013

021 - Menjumpai Para Sesepuh

Jaka memutuskan menggunakan peringan tubuhnya, mengingat dia sudah terlalu banyak membuang waktu. “Bagaimana ya, apa aku harus menjadi murid Ki Lukita atau tidak?” pikirnya setengah melamun. “Tidak ada ruginya memang, tetapi sama saja aku mengikatkan diri pada sebuah peraturan.”

Jaka kembali menimbang, “Hh,” dihelanya nafas panjang. “Toh tidak ada salahnya aku menjadi murid beliau, banyak manfaat yang bisa kuperoleh darinya.”
Tak berapa lama kemudian, Jaka sudah sampai dijalan besar yang melewati kediaman Ki Lukita.
Tentu saja Jaka tidak begitu bodoh untuk masuk lewat depan, karena malam itu tidak sesepi yang ia kira. Banyaknya pengunjung dikota itu membuat malam dihari biasa yang seharusnya sepi, kini bagaikan waktu menjelang fajar.
Banyak orang yang berjalan-jalan disekitar jalan besar itu. Jaka tahu, kini gerakannya sudah tidak leluasa lagi, sebab ia masih harus berperan bahwa dirinya sudah dikuasai salah satu orang Naga Batu.

Karena terlalu riskan untuk masuk lewat pintu depan, Jaka ambil jalan memutar, jalan kecil yang ia lewati itu hanya berselang tiga rumah dari kediaman Ki Lukita. Jaka memang bermaksud mengambil jalan memutar, tapi ia belum tahu apakah jalan disitu berhubungan langsung dengan rumah Ki Lukita? Sebab sudah beberapa puluh langkah, jalan itu tetap lurus.
"Kelihatannya, aku harus cari jalan sendiri." pikir Jaka. Jaka menyesap keadaan sekeliling dan berdiam diri sesaat, "Aman!" pikirnya. Begitu terpikir demikian tubuhnya sudah melecat ringan bagai burung camar. Jaka melompat dari pohon ke pohon lain, dan dalam waktu singkat saja Jaka sudah berada tepat dibelakang rumah si kakek.
"Wah, rupanya kediaman Ki Lukita luas sekali." gumam pemuda ini sambil memperhatikan dengan seksama.
Baru ia sadari bagian depan dan bagian belakang rumah Ki Lukita sebenarnya memanjang. Dan lagipula pekarangan belakang begitu luas, tertata rapi dan indah. Menurut pengamatan Jaka, orang yang tinggal dirumah itu kemungkinan lebih dari sepuluh orang. Belum lagi pembantu. Kini, baru Jaka sadari bagaimana baiknya memasuki rumah Ki Lukita.
Langsung masuk atau harus menunggu? Ah, terlalu memakan waktu. Bagaimana nanti saja, yang penting sekarang masuk dulu! Tanpa ragu lagi, Jaka melompat dari pohon dan turun di halaman belakang. Begitu melihat apa saja yang terdapat di halaman belakang, hati Jaka tercekat.
Bagaimana tidak, setiap jalan setapak yang ada, merupakan formasi dari Barisan Angin Kencana dan pohon-bunga setinggi dagu yang tumbuh disitu diatur dalam bentuk Barisan Tujuh Hari. Jaka tahu kehebatan barisan itu, meski tidak sehebat barisan kuno Lima Langit Menjaring Bumi, tapi karena daya yang diterapakan dua barisan tersebut maksimal, kehebatannya sejajar dengan barisan yang ada di halaman depan.
"Barisan ini cukup lihay, tapi untuk mengurung tokoh lihay, jangan banyak berharap. Paling banter hanya menghambat sesaat saja. Kelemahan barisan ini sangat jelas…" pikir Jaka sambil memandangi segala sesuatu yang ada di setiap sudut halaman belakang itu.
Tanpa sadar Jaka melangkah ketengah-tengah halaman, saat sudah berada ditengah baru Jaka sadar kalau ia sudah masuk dalam perangkap barisan lain.
"Heh! Hebat, rupanya ini yang menutup kelemahan dua barisan tadi? Putaran dua belas sisi? Benar-benar ide bagus, siapa yang membuat barisan biasa jadi hebat begini? Apakah Ki Lukita atau orang lain?" gumam Jaka. Sudah menjadi kebiasan Jaka, jika dia menemukan hal baru, maka akan benar-benar diamati dengan seksama sampai dia paham, hal lain tak dia acuhkan lagi. Sampai-sampai Jaka tidak menyadari ada sembilan pasang mata mengintai dari dalam.
Selang beberapa saat kemudian, wajah pemuda ini cerah, dan tersenyum lebar, rupanya dia sudah paham. Ya, dari satu muncul dua puluh satu, lalu menjadi kelipatannya—441, benar-benar perubahan lihay, cuma terlalu rumit… tidak sepadan!
Jaka melangkah kedepan setap demi setapak, menurut pandangan orang lain, langkah Jaka biasa saja, tapi tidak dalam pandangan sembilan orang yang mengitai! Mereka terperanjat, sebab langkah Jaka merupakan sudut mati bagi barisan itu. Sekilas gerak langkah itu mirip sudut 90 derajat dan berubah sampai 45 derajat, berulang kali sampai 18 kali. Tapi saat diamati lebih lanjut, mereka makin terperajat menyadari langkah Jaka lebih rumit, kisaran gerak dua sudut dalam langkah Jaka, menggeser tiap jengkal dan langkah itu telak menohok kelemahan barisan tersebut.
Ah, salah! Barisan hanya mengandalkan rumit untuk menyesatkan. Dengan sendirinya kunci keluarnya dapat berubah-ubah, ha-ha, jika yang membuat terlupa satu langkah… diapun bakal terperangkap. Lalu Jaka melangkah ke tiap sudut barisan itu. Pemuda ini menggeleng.
“Sayang, disini terlalu banyak titik lemah,” gumamnya. Rumit mengalahkan sederhana, tapi kadang kala sederhana juga mengalahkan rumit... hukum alam memang tidak bisa dihindari. Yah, mudah saja melapaskan diri dari semua ini, siapapun orang yang menguasai ilmu peringan tubuh sangat mahir, dapat segera keluar, dengan catatan dia teguh imannya, jadi perubahan barisan tak akan menggoyahkan akalnya. Andai saja barisan ini ditambah formasi Menggiring Ribuan Prajurit, kuyakin walau tokoh paling lihay dalam bidang ini, baru bisa merumuskan sebagian jalan keluar lebih dari satu bulan.
Jaka tersadar, ini bukan saat yang tepat untuk memahami barisan pengurung itu.
"Dua jam lagi aku harus berjumpa dengan tiga orang itu, aku harus cepat-cepat bertemu beliau." Pikir Jaka sambil melangkah kepintu belakang rumah.
Tapi baru beberapa langkah, pintu itu sudah terbuka, lalu muncul empat orang dihadapan Jaka. Sekilas, selain Aki Lukita Jaka seperti mengenali orang kedua dan ketiga, tapi entah dimana ia pernah bertemu muka dengan mereka.
"Maaf kalau saya berkunjung tidak semestinya Ki, atau saya musti memanggil guru?" kata Jaka sambil membungkuk memberi hormat.
Kakek itu tertegun sesaat, demikian juga dengan tiga orang lainnya. Mereka pikir cara pemuda ini menjadi satu bagian dari sebuah organiasi—bagian dari orang lain—sangat tidak lazim. Tapi bagaimanapun juga, semua itu bukanlah masalah. Ki Lukita mengelus janggutnya. “Tak kusangka kau menerimanya, aku sangat bahagia dan bangga dengan keputusanmu.” ujar Ki Lukita mendekat sambil menepuk pundak Jaka.
“Sebaliknya, seharusnya saya yang merasa bangga mendapat kepercayaan begini besar dari tokoh besar.”
Aki Lukita tersenyum, dia tidak mengatakan apa-apa, karena saat itu hatinya diliputi perasaan girang, juga haru.
Memang agak aneh, seharusnya penerimaan murid tidaklah sesederhana itu. Tapi karena keduanya—guru dan murid itu, enggan melakukan ritual yang sudah umum, maka menjadi guru dan murid terjadi hanya kesepakatan saja. Upacara resmi mungkin menyusul.
Saat empat orang itu keluar dari ruangan yang gelap, sinar lentera tidak menerangi jelas ke empat wajah itu. Dan kini begitu mereka melangkah keluar, Jaka agak kaget, namun ia sama sekali tidak menampilkan perubahan diwajahnya.
"Kedatanganmu tidak mengganggu, justru kebetulan. Kau pasti datang kemari karena urusanku bukan?" tanya gurunya.
"Benar." Sahut Jaka dengan memandang wajah tiga orang yang mendampingi gurunya.
Agaknya sang guru tahu apa yang dipikirkan Jaka. "Mereka ini.."
"Mereka adalah paman yang menyamar jadi nelayan dan satu lagi paman yang menyamar jadi pemilik rumah makan besar di kota ini, bukankah begitu?" potong Jaka. "Hanya saja murid tidak mengenal rekan guru yang satu lagi, karena murid belum pernah melihat beliau."
Empat orang kakek itu kelihatannya terperanjat, tapi yang paling terkejut tentu saja orang yang menyamar jadi nelayan dan jadi pemilik rumah makan besar yang pernah Jaka kunjungi tempatnya. Mereka tidak menyangka, Jaka bisa menebak siapa mereka.
"Bagaimana kau bisa tahu siapa mereka?" tanya gurunya heran.
"Meski saat itu paman ini menyamar jadi nelayan, saya tetap mengenalinya saat ini, begitu pula dengan paman yang menyamar jadi pemilik rumah makan, saya sempat melihatnya sekilas." Jawab pemuda ini.
Dua orang yang sempat menyamar itu saling berpandangan, mereka merasa takjub, karena Jaka sanggup mengenali raut wajah mereka yang sebenarnya. Padahal ilmu menyamar mereka berdua termasuk top dikalangan para tokoh silat.
Karena ilmu penyamaran mereka, lain dari yang lain, orang lain menyamar dengan menggunakan topeng kulit, menggunakan bedak, atau, obat tertentu untuk menyamarkan wajah asli mereka, namun tidak dengan kedua orang itu… mereka menyamar, hanya dengan menghilangkan ciri khas pada raut wajah masing-masing, dan menampilkan ciri khas yang baru. Sehingga biarpun orang yang kenal dengan mereka, juga tidak bisa menggenalinya.
Tapi hebatnya Jaka bisa mengenali mereka, padahal Jaka hanya sekilas memandang saja. Dari kejadian barusan, pandangan dua orang itu terhadap Jaka berubah, semula mereka hanya kagum dengan bakatnya, tapi kini mereka pikir Jaka sudah sangat berpengalaman. Padahal bukan begitu, mereka tidak tahu bahwa Jaka dapat mengenali mereka karena Jaka memiliki kemampuan untuk mengingat bentuk bola mata seseorang, jadi bukan karena pengalaman atau penyelidikan lebih dulu. Sebab itulah, begitu menjumpai wajah keduanya, Jaka segera tahu bahwa mereka itu orang yang pernah ia jumpai sebelumnya.
"Baiklah, mengenai penyamaran biar kita sudahi saja. Orang yang menyamar jadi nelayan bernama Benggala, sedangkan yang menjadi pemilik rumah makan yang pernah kau datangi itu adalah Gunadarma. Dan ini," kata Aki Lukita sambil menepuk bahu satu orang lagi yang usianya sepantar dengan dirinya. "Dia bisa kau panggil dengan sebutan Aki Glagah…"
Jaka segera membungkuk memberi hormat. "Salam jumpa, perkenalkan, saya yang bernama Jaka."
"Ha-ha, kita orang sendiri, tak perlu terlalu sungkan…" ujar Aki Glagah.
"Maaf, mohon tanya, apakah Aki Glagah ada hubungannya dengan Sakta Glagah?" Pertanyaan Jaka membuat tawa kakek itu makin lebar.
"Kau benar, dia adalah putraku."
"Wah, senang rasanya bisa berjumpa dengan ayah dari tokoh kosen paling sakti."
"Apanya yang sakti?! Didunia ini banyak orang yang lebih kuat dari yang kita lihat, sebaiknya engkau jangan menilai orang dari luarnya saja."
"Nasehat Aki akan saya ingat selalu." kata Jaka dengan sikap menghormat. "Guru…"
"Ya?!"
"Kalau boleh, murid bertanya, hubungan guru dengan beliau-beliau ini bagaimana?"
Mendengar pertanyaan muridnya Aki Lukita saling pandang dengan tiga orang lainnya, "Baiknya kita bicara didalam saja." Ujar Aki Lukita sambil masuk kerumah, kemudian tiga orang lainnya menyusul, begitu pula dengan Jaka yang masuk belakangan.
Mereka duduk saling berhadapan, ada meja bundar yang menjadi penengah. Dimeja itu sudah tersedia lima gelas air teh. Rupanya mereka sudah mengetahui kedatangan Jaka, dan pemuda ini pun tak merasa heran. Tadi dia sengaja berdiri sesaat di jalan besar—depan rumah gurunya, sebagai tanda bahwa ia akan datang kesitu. Karena cangkir sudah tersedia untuknya, Jaka dapat memastikan, isyaratnya sudah dilihat tuan rumah.
"Seperti yang kau duga, kami memang memiliki hubungan yang sangat erat. Kakang Glagah sebagai orang pertama, aku sebagai orang kedua dan ada empat orang lain yang tidak datang sebagai urutan berikutnya, sedangkan adi Gunadarma dan Benggala berada pada urutan ketujuh dan kedelapan. Tiga puluh tahun silam kami disebut orang sebagai Delapan Sahabat Empat Penjuru..."
"Oo, kiranya begitu.."
"Untuk lebih jelasnya lagi, kau bisa baca pada catatanku pada kitab pertama dan ketiga."
Jaka manggut-manggut, sesaat ia melirik kesana kemari untuk melihat suasana dalam rumah gurunya. Jaka tercengang. "Sepertinya setiap jengkal rumah ini dipasangi perangkap?" gumamnya.
"Tajam benar matamu, memang benar apa yang kaukatakan tadi. Bukan cuma dirumahku saja, tapi disemua rumah sesepuh kota ini. Tentu saja semua itu ada maksudnya... hanya saja aku sama sekali tidak menyangka kalau kau bisa memecahkan barisan yang ada di belakang!" ujar sang Guru sembari menghirup tehnya.
"Hanya kebetulan paman.." sahut Jaka.
"Mana bisa disebut kebetulan begitu?!" seru Gunadarma. "Kau bukan saja bisa memecahkan kelemahannya bahkan tahu semua perubahannya, kalau bukan orang yang menguasai Barisan Langit Tunggal mana bisa kau mengenali setiap langkah barisan yang ada?"
Jaka tidak menyahut, pemuda ini hanya tersenyum saja. Terkadang kata-kata tidak diperlukan lagi sebagai jawaban. Meski orang sudah tanggap akan dirinya, Jaka tidak bermaksud memperbicangkan masalah dirinya lebih lanjut. Saat ia hendak mengatakan maksud kedatangannya, gurunya sudah bicara lebih dulu.
"Sekarang ada masalah apa hingga kau datang malam-malam?"
"Disamping memberikan jawaban pada Aki, saya cuma mau menanyakan satu masalah kecil pada guru, apakah dini hari nanti, guru akan memberi sedikit jejak pada Bergola, bahwa guru bisa ilmu silat?"
"Tidak! Aku tidak akan memberinya petunjuk walau setitik. Kau tahu kenapa?”
Jaka tak menjawab, biarpun ia tahu, ia juga harus bertindak bijak, terlalu banyak bicara bukanlah hal yang baik.
“Sebab dewasa ini perkumpulan rahasia begitu menjamur, salah satu upaya yang kita lakukan dua puluh tahun terakhir ini adalah untuk mengantisipasi setiap kegiatan mereka! Jadi mana mungkin aku mengorbankannya hanya untuk mengatasi soal kecil?!" tegas sang guru.
Jaka mengangguk paham. “Saya mengerti, lalu apa yang akan guru lakukan?”
Kakek itu tertawa berderai. “Kau ini sudah tahu tapi masih tanya juga.. kalau aku datang, berarti kau menganggur? Bukankah kau punya rencana sendiri?”
Jaka tertawa kecil. “Benar, saya memang mengharapkan guru tidak datang, saya memang punya rencana.”
“Rencana macam apa?”
Pemuda ini tersenyum saja. Diam-diam ke empat kakek itu menghela nafas, aih, orang macam apa dia ini? Mereka berfikir demikian bukan karena masalah perkumpulan rahasia, mereka hanya dibingungkan dengan lain persoalan. Didunia ini jarang terdapat manusia yang setiap dipandang orang, kelihatan menyenangkan—walau dalam keadaan apapun. Dan orang macam itu kini ada didepan mereka—itulah Jaka.
“Bagaimana?” tanya sang guru lagi.
Jaka kembali tersenyum. “Pasti guru akan tahu.” Sahutnya. Diam-diam keempat orang itu kembali memberi penilaian, agaknya bocah ini memang murah senyum pada tiap orang, atau memang wajahnya memang wajah senyum tak senyum?
"Kalau begitu apakah guru hendak menyerahkan peninggalan Rubah Api?" tanya Jaka membuat empat orang itu terperanjat.
Aki Lukita dan tiga orang lainnya terkejut. "Jadi kau sudah tahu persoalannya?" tanyanya heran.
"Kebetulan saja," jawab Jaka tidak mengatakan dari mana ia tahu persoalan itu.
"Aih.. yang jelas, apa yang diserahkan Rubah Api pada kami akan kami pertahankan dan tidak akan kami gunakan kecuali dalam keadaan terpaksa sekali."
"Memangnya apa yang diserahkan Rubah Api pada guru? Bukankah saat itu dia dalam keadaan sekarat?"
"Kau tahu sampai begitu jauh, padahal baru satu hari kau tiba disini. Ha-ha-ha, dari sini sudah dapat membuktikan kecerdikanmu."
"Ah, guru terlalu menyanjung, semua itu kebetulan saja. Nanti akan saya ceritakan kejadian menarik, hanya saja, saya perlu penjelasan dari berbagai soal saat ini. Sebab saya yakin persoalan seperti saat ini tentu tidak guru tuliskan dalam buku bukan?"
"Memang benar, baiklah.. kau dengarkan baik-baik penuturan kami. Tapi apa kau sudah baca catatanku?"
"Sudah, tapi baru bab pertama, dan dua bab terakhir." Sahutnya.
"Itu sudah cukup, kalau begitu tentunya kau sudah tahu garis besar dari asal-usul perkumpulan Dewa Darah yang sempat kusinggung tadi siang?" Jaka mengiyakan.
"Justru permasalahan muncul dari situ, setelah perkumpalan Dewa Darah hilang, dalam tiga puluh tahun terakhir, banyak muncul perkumpulan rahasia baru bagai jamur. Diantaranya pekumpulan Angin Barat, Lidah Api, Ikan Tombak, Kuda Api, Lima Jalur dan banyak lagi.. yang jelas setelah kami selidiki dengan seksama, perkumpulan itu bertindak dengan corak dan motif yang sama, bahkan ada sedikit kemiripan dengan perkumpulan yang dikepalai Anusapatik. Namun ada beberapa perkumpulan mereka yang lenyap begitu saja, dugaan kami mungkin saja mereka sudah menggabungkan diri dengan induknya, atau bahkan terbasmi. Singkat cerita, setelah tahun ini, ada seorang kenalan kawan karibku—tentu kau sudah dapat menduga—dia adalah Rubah Api. Rupanya Rubah Api pernah gabung dengan kelompok Banyu Asin. Menururtnya divisi kelompok Banyu Asin adalah kelompok tertinggi ketiga selain perkumpukan Dewa Darah? Kalau saja saat itu Rubah Api tidak cerita, sampai sekarang kami masih meraba-raba rahasianya," Aki Lukita berhenti sejenak, ia meneguk tehnya.
"Rubah Api dulu terkenal sebagai bandit besar diwilayah utara. Karena itulah pihak Banyu Asin menariknya untuk menjadi anggota, tapi mereka sama sekali tidak tahu kalau Rubah Api merupakan Bandit Budiman! Sudah hampir empat tahun Rubah Api menyusup di kelompok itu, semua bukti dan semua kejahatan yang dilakukan kelompok itu ada padanya. Ia tidak berani bertindak terang-terangan karena kebanyakan anggota kelompok itu adalah pendekar-pendekar yang memiliki nama harum. Ia tak ingin berbuat ceroboh, karena itulah selama empat tahun ia dengan sabar mengumpulkan bukti dan akhirnya membuat tempat persembunyian dari bukti tersebut dalam bentuk peta. Rupanya pihak Banyu Asin mencurigai tindak-tanduk Rubah Api, karena itu saat ia hendak menjumpai sobat karibku, ia dikejar-kejar dan akhirnya sampai disini. Tapi nasibnya benar-benar malang, Rubah Api sudah terkena racun hebat dan sekujur tubuhnyapun terluka parah, meski begitu ia ngotot untuk memberitahukan apa yang ia ketahui selama ini pada kami. Untung saja saat itu aku membawa Puyer Sambung Nadi, nasib Rubah Api tertolong, ia masih hidup, tapi keadaannya tak jauh beda dengan mayat hidup. Ia hanya bisa diam termangu.. aih, sungguh tragis nasibnya. Padahal masih ada sanak keluarga yang membutuhkan perlindungannya, sayang ia tidak mengatakan dimana adanya mereka.." Sang Guru mengakhiri penjelasannya.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar