Hari Kesatu
Siang itu tidak begitu panas,
tapi penduduk kota jarang yang keluar rumah, padahal langit cerah tanpa awan.
Di ujung jalan, terlihat beberapa orang berlalu lalang, dan diantaranya seorang
pemuda. Dia berpakaian serba hijau agak lusuh, mengenakan penutup kepala dari
kain putih yang di ikatkan begitu saja. Ikat pinggang yang membelit pinggang
berwarna kuning tua agak kontras dengan bajunya. Penampilannya bersahaja,
membuat orang tidak perlu memberi perhatian, dialah Jaka Bayu, pemuda ini
memutuskan untuk menunda perjalanan ke Perguruan enam Pedang. dia teringat ada
sebuah kota, yang dulu pernah disinggahinya, maka ia memutuskan untuk berdiam
beberapa hari di kota ini.
"Cerah sekali hari
ini," pemuda ini memandang berkeliling. "Kenapa tak seramai biasanya?
Sayang, cuaca sebagus ini disia-siakan..."
Dengan langkah pasti dia
memasuki sebuah rumah makan cukup mewah. Begitu masuk, dia segera merasakan
hawa sejuk dalam ruangan itu, dan membuatnya ingin berlama-lama.
"Ah…” desahnya sambil
meregangkan badan. “Semoga tak percuma aku menghabiskan uang di tempat
ini."
Seorang pelayan langsung
menghampirinya. "Mau pesan apa tuan?" sapanya.
"Ehm, sebentar…"
dari tadi dia asyik mengamati sekeliling rumah makan. "Apa yang tersedia
disini?"
"Macam-macam tuan, ada
ayam bakar, kambing panggang, sup dan masih banyak lagi."
"Bagus, aku minta nasi,
dan ayam bakarnya satu, supnya juga."
"Ayam bakar satu?
Maksudnya?" tanya pelayan itu bingung.
"Satu ekor ayam,
secepatnya hidangkan kemari,” katanya. “Semoga tidak terlalu lama.” Tambahnya
menandaskan.
"Baik tuan…"
pelayan itu segera berlalu.
Dia kembali menikmati
pemandangan di sekitar rumah makan. Karena dia mengambil tempat di pojok dekat
jendela, maka semua sudut ruangan terpantau olehnya.
"Silahkan tuan…"
tiba-tiba pelayan sudah datang mendekat dengan pesanan tadi. Melihat nasi putih
masih mengepul, dan ayam panggang yang terasa panas, dengan aroma harum
menyengat, tanpa terasa pemuda ini mendecak.
"Harum sekali,
mudah-mudahan rasanya seenak aromanya." Katanya berharap.
"Ini memang masakan
khusus tuan, dan mungkin hanya ada di kota ini. Beruntung sekali tuan mampir
kemari," kata pelayan itu dengan yakin.
Pemuda ini tersenyum,
mendengar promosi si pelayan. ”Mudah-mudahan kau benar, untung aku datang
kemari. Jangan lupa sup yang kupesan."
”Sebentar lagi tuan..."
sahut pelayan itu tergesa-gesa bergegas kembali kedapur. Sudah biasa, kalau ada
pelanggan baru yang kelihatan berduit, mereka harus melayani sebaik-baiknya.
Pokoknya kalau bisa service plus, dalil ini kan sudah diketahui dimana pun?
Begitu pelayan pergi, dia
segera menyantap hidangannya. "Hm, enak. Benar-benar bercita rasa. Aku
jarang makan enak, beruntung sekali…" gumamnya sambil meneruskan makan.
Tak berapa lama pelayan itu datang dengan membawa sup kari. Aroma sup itu
benar-benar membangkitkan selera makan.
"Benar-benar enak. Kalau
saja membuka usaha dikota yang lebih besar dan lebih ramai, pasti laku
keras…" puji pemuda itu sambil menerima sop tadi.
Pelayan muda itu
berbinar-binar mendengar ucapan tamunya. "Kami dulu pernah membuka usaha
di Kotaraja Ganyu, memang laku keras. Hanya saja pemilik rumah makan ini tidak
mau berada dikotaraja lama-lama, mungkin lantaran banyak orang makan tanpa
bayar. Bisanya ngebon dan ngebon terus... padahal mereka orang berduit,
lama-lama kami jadi bangkrut."
Pemuda itu tertawa kecil.
"Beginilah kalau masakan terlalu enak, siapa saja pasti mau kalau makan
terus menerus, tak perduli perut sudah kenyang. Bukankah kalian harus bangga?”
Si pelayan mengiyakan, lalu
dia melangkah masuk kedalam. Pemuda ini menikmati masakan yang dipesannya
dengan perlahan, setiap suapnya benar-benar dinikmati. Dia makan sambil
mengedarkan pandangan matanya, suasana rumah makan besar itu tidak terlalu
ramai, termasuk dia sendiri seluruhnya ada empat belas orang. Pemuda ini
melihat pelayan muda yang tadi sudah menyelesaikan beberapa pekerjaannya dan ia
berdiri bengong, karena tidak ada yang dikerjakannya.
Baru saja mau kedapur,
mendadak ada beberapa tamu masuk, dengan segera dia menyambutnya.
“Mari, silahkan tuan…”
Empat orang yang masuk
memiliki perawakan sedang-sedang saja, namun diantara mereka ada satu orang
yang dituakan, yakni sosok yang memakai baju biru gelap. Matanya menyorot
tajam, wajahnya juga gagah, usianya paling tidak baru tiga puluh tahunan.
“Makan, empat orang!” katanya
singkat. Tanpa banyak cingcong, pelayan tadi segera bergegas menyiapkannya.
Pemuda ini, memperhatikan
empat orang tamu yang baru masuk. “Gagah benar mereka.” Pujinya dalam hati.
Memang keempat orang itu
beroman tampan dan berpawakan tegap, gerakan merekapun cekatan—sangat terlatih.
Pasti mereka bukan sembarang orang. Lelaki yang memakai baju biru gelap datang
dari Perguruan Pedang Mentari, dia bernama Swatantra; lalu orang berbaju hijau
muda, datang dari Perguruan Merak Inggil, usianya paling baru dua puluh lima
tahun; dua orang lainnya memakai baju putih berbaret hitam dan satunya berbaret
biru pada dadanya, adalah murid-murid Perguruan Awan Gunung, kelihatannya usia
dua orang itu yang paling muda, mungkin baru dua puluh tahun.
Begitu melihat mereka, pemuda
ini menghela nafas prihatin. Ya, dia kenal dengan mereka—kenal dari dandanan
masing-masing. Melakukan perjalan bersama-sama memang tidak ada yang dibuat
heran, tapi bagi empat orang yang berasal dari perguruan ternama dengan
menyandang segala macam atribut kebesarannya, dan merekapun memiliki ego
tinggi, bagaimana bisa seakur itu? Dibalik semua itu pasti ada persoalan lain,
dan pemuda ini bisa menebak beberapan diantaranya.
Tak berapa lama hidangan
sudah datang dan ditata di meja keempat pendatang baru itu. Selain nasi, lauk
pauk yang disajikan lebih beragam dan terlihat enak, hal ini membuat pemuda itu
mengerutkan alisnya sesaat.
“Apa mereka langganan rumah
makan ini? Kalau bukan, kenapa langsung dihidangkan makanan semewah itu?
Memangnya si pelayan sudah tahu kalau mereka sanggup membayar makanan semahal
itu?”
Mereka menikmati makanan
dengan tenang, tidak lambat juga tak cepat, namun sesaat kemudian makanan sudah
terlahap habis. Setelah minum Swatantra meletakkan uang dimeja, agaknya mereka
bergegas hendak pergi—tanpa menunggu pencernaan mereka yang masih bekerja—tapi
baru saja berdiri, mendadak terdengar orang berseru.
“Eh, empat pecundang jalanan
hendak kemana?”
Seruan itu benar-benar
mengagetkan semua orang. Sebab hanya melihat cara keempat orang itu memakai
baju, tiap orang juga tahu kalau mereka pasti bukan orang awam, kelihatannya
orang yang mengejek tadi, cari mati!
Pemuda berbaju putih berbaret
biru membalikkan badan kearah suara tadi. “Kaukah yang bicara?” tanyanya dengan
suara sabar, tetapi terdengar dingin. Orang yang ia tuju adalah lelaki separuh
baya yang sedang duduk sambil menggigit tulang ayam.
“Benar.” Katanya acuh tak
acuh.
“Kenapa kau berkata begitu?”
“Aku cuma iseng saja…”
“Kalau begitu, kumaafkan.”
Kata pemuda tadi, lalu mereka bergegas melangkah pergi.
“Aih, memang susah menantang
para pengecut.” Gumam lelaki paruh baya ini sambil minum wedang jahenya.
Biarpun ucapannya tak begitu keras, namun sudah cukup keras di telinga empat
orang itu.
Dengan sorot mata marah,
pemuda tadi kembali mendatanginya. “Kau inginkan pertarungan? Kau dapatkan!”
usai berkata begitu, kepalannya diayunkan menghajar wajah orang itu.
“Enteng!” ejek lelaki paruh
baya tersebut sambil memiringkan kepalanya, wuut… pukulan itu lewat hanya beberapa
mili dari telingannya. Wajahnya tak menampakkan perubahan dengan serangan tadi,
sungguh kalau dia tidak lihay, tak nanti akan bertidak begitu. “Kau harus
belajar sepuluh tahun lagi untuk menyentuhku!” katanya kembali mengejek.
“Tak perlu sepuluh tahun!”
sahut pemuda ini getas, kembali tangannya menampar, tapi kali ini bukan
sembarang tamparan, sebab dari situ terkembang lima perubahan serangan.
Totokan, tamparan, kepalan, cakaran, dan tebasan.
“Fiuw... ralat-ralat-ralat,
kali ini kau perlu waktu sembilan tahun untuk mengejarku.” Dan lelaki paruh
baya itu mengelak masih sambil duduk, tapi tangan kirinya tidak tinggal diam,
dia juga menyerang, gerakan tangan lelaki itu hampir mirip dengan si pemuda.
“Ih…” pemuda ini nampak
kaget. Ia mundur setapak dan kaki kirinya merendah, kedua tangannya berada
dipinggang kiri dalam keadaan terkembang. Agaknya siap melancarkan serangan
dahsyat.
“Cukup!” Swatantra
menghampiri dan menepuk bahu pemuda itu. “Tak perlu kau tanggapi gurauan paman
ini. Kita memang masih perlu belajar… semua manusia perlu belajar.” Katanya
dengan datar tanpa emosi, matanya melirik tajam kearah lelaki itu. Tanpa
menanti tangapan lawan, dia membalikan badan dan keluar dari rumah makan.
Lelaki paruh baya itu
terkejut, kejadian ini agaknya diluar dugaan. “Salut-salut-salut,” gumam-nya
sambil minum. Lalu ia berdiri. “Maafkan gurauanku.” Ucapnya lagi sambil menyoja
hormat.
Si pemuda inipun agaknya
merasa diluar dugaan, namun karena orang tertua dari mereka sudah memberi
peringatan padanya, iapun cuma mengangguk saja, lalu pergi. Suasana rumah makan
itu jadi lengang untuk sesaat, tapi kembali menjadi ramai karena ada lima orang
pelanggan datang, dan memesan banyak makanan. Agak aneh keadaannya, sebab
kejadian seperti tadi kan tidak biasa, cara bagaimana orang-orang yang ada
didalamnya menerima kejadian itu sebagai hal biasa? Pemuda berikat kepala ini
terpekur heran melihatnya, dia menyimpulkan, bahwa kejadian seperti tadi
mungkin sering terjadi.
"Hei…" pemuda yang
memesan ayam panggang dan sup ini, memanggil pelayan rumah makan.
"Ada yang diperlukan
lagi tuan?" tanya pelayan itu ramah.
"Tidak. Kalau kau
senggang, aku ingin bercakap-cakap denganmu, kau keberatan?"
"Tentu tidak..."
"Duduklah, jangan
sungkan." Kata pemuda ini seraya menyilahkan, karena ia melihat pelayan
muda itu tampak sungkan.
”Terima kasih tuan…"
Sambil menyantap masakan
didepannya, pemuda itu mulai membuka percakapan. “Kau kenal dengan empat orang
tadi?”
“Tidak tuan.” Jawabnya
singkat.
“Mereka langganan sini?”
“Bukan, tapi saya pernah melihat
mereka di penginapan.” Jawab si pelayan membuat pemuda ini tersenyum tipis.
“Penginapan,” gumamnya.
“Ya, tapi agak jauh dari
sini...”
“Oh begitu, tapi aku hanya
ingin tahu penginapan yang bagus.” Potong si pemuda sambil tersenyum tipis,
penuh arti.
“Maaf…”
“Lalu apa kau kenal lelaki
separuh baya tadi?”
“Kalau yang itu saya kenal,
eh... maksudnya saya cuma kenal lihat saja, dia memang langganan tetap kami.
Biarpun tidak setiap hari makan disini.”
“Langganan tetap? Berarti
sudah lama?”
“Belum begitu lama, baru tiga
minggu ini.”
“Hm, apa sifatnya memang
seperti itu?”
“Entahlah, karena sebelum ini
dia belum pernah bertingkah seaneh tadi, tapi entah kenapa begitu melihat empat
orang tamu tadi, sikapnya jadi begitu jelek.”
“Manusia kan tidak bisa
dipegang tindak tanduknya.” Ucap pemuda ini bijak, sambil tersenyum penuh arti.
“Sudahlah, sebenarnya aku ingin tanya yang lain, tapi dengan kejadian tadi mau
tak mau jadi harus bertanya denganmu.” Kemudian ia menyambungnya, “Aku tadi mau
tanya apa ya,” gumam pemuda ini berkerut kening. “Oh, daerah ini termasuk
wilayah mana?”
"Kota kami ini bernama
Pagaruyung dan termasuk dalam wilayah Kerajaan Kadungga."
"Begitu ya, kupikir kota
ini masih termasuk wilayah Kerajaan Rakahayu, kulihat banyak penduduk yang
mengenakan baju santin khas wilayah kerajaan itu."
"Pandangan tuan sangat
tajam. Memang, kebanyakan penduduk sini berasal dari kerajaan Rakahayu. Mereka
menetap dikota ini paling tidak sudah satu generasi." Tutur pelayan itu
menjelaskan.
Pemuda ini manggut-manggut.
"Meskipun mereka sudah lama disini, kenapa masih mengenakan pakaian
khasnya?"
"Mungkin supaya mereka
selalu teringat tempat asal."
"Benar juga." sahut
pemuda ini sambil bersantap lebih lanjut.
"Tuan,"
"Ada apa..."
"Sebelumnya maaf, saya
lihat penmapilan tuan sederhana, tapi pandangan tuan mengenai hal-hal remeh
sangat teliti, apakah tuan seorang pendekar?"
"Hm," pemuda ini
mendehem sambil tersenyum geli. "Pendekar? Kau pasti bercanda, kalau kau
sebut aku pengelana, bisa kubetulkan. Mungkin karena aku sering singgah di
banyak tempat, hal-hal remeh yang tidak terpandangan orang lain, terpandang
oleh mataku. Cuma kebiasaan saja."
"Enak juga memiliki
pengalaman luas, tapi apa tuan memiliki tempat tinggal tetap?" tanya sang
pelayan lebih lanjut, nada pertanyaan ini biasa saja, tetapi kalau diteliti
lebih lanjut bagi pengelana seperti pemuda itu dapat segera diselami maksudnya.
Dengan tersenyum simpul
pemuda ini menjawab, "Aku hidup tak tetap tempat, tapi kalau ada wilayah
yang asri seperti ini rasanya aku ingin tinggal beberapa lama."
"Oh, kelihatannya tuan
seorang pengelana sejati?" tanya pelayan muda itu dengan nada agak aneh.
Kali ini dia tertawa pendek,
mendengar ucapan si pelayan. "Aku tahu apa yang kau pikirkan, jangan
kawatir, aku memiliki uang untuk membayar. Kau tak perlu cemas kalau aku tak
membayar, tidak setiap pengelana tak mempunyai uang." Katanya blak-blakan.
Wajah pelayan muda itu merah,
karena ketahuan mencurigai langganan barunya. "Maafkan saya tuan, hanya
saja kami tak ingin dirugikan lagi. Beberapa saat yang lalu juga ada pengelana
banyak memesan ini-itu, tapi uangnya kurang. Tapi mereka lantas pergi."
Jelasnya buru-buru mencari alasan karena maksud hatinya untuk menyelidik apakah
orang didepannya berduit atau tidak, ketahuan lebih dulu.
"Tak apa-apa, aku juga
maklum. Memang kebanyakan pengelana yang sedikit memiliki kepandaian sering
memaksakan kehendaknya, tetapi untung saja aku bukan termasuk golongan itu,
kalau tidak, masa aku harus repot-repot tanya hal tetek-bengek padamu?"
tandas pemuda ini.
"Maaf," kata
pelayan ini malu, pandangan matanya tak berani menatap si pemuda.
"Ah sudahlah,"
sahut pemuda acuh tak acuh.
”Tuan, kalau boleh saya tahu,
tuan berasal dari mana?" tanya pelayan muda itu. Memang pertanyaan biasa,
tetapi situasainya yang tidak biasa, kalau benar-benar mau diperhatikan, maka
kejanggalan itu pasti terlihat. Dan pemuda ini melihatnya.
“Apa dia sedang menyelidik?”
pikirnya, “andai benarpun aku justru ingin tahu, peran apa yang dimainkannya.”
“Aku berasal dari kota Kunta,
kebetulan aku tak senang menetap lama, aku memutuskan untuk berkelana. Yah,
jelek-jelek begini aku memiliki kemauan, lantaran ingin bebas menentukan jalan
hidup, terpaksa aku meninggalkan kotaku." Sahut pemuda ini sambil lalu.
"Lalu bagaimana dengan
keluarga tuan?" tanyanya lagi, sungguh pelayan yang aneh!
Tapi pemuda ini juga tidak
kalah aneh, sebab dia meladeni pertanyaan yang menyangkut privasi—masalah
pribadi! Kalau dia orang pintar, tentu tak akan menjawabnya. Tapi dia mau
menjawabnya, lalu orang macam apa?
"Aku tidak memiliki
keluarga. Setidaknya begitulah anggapanku saat ini. Semua saudaraku menganggap
aku adik yang layak, mungkin lantaran aku terlalu bengal, tak pernah mendengar
kata mereka, dari pada diolok-olok diomeli terus, lebih baik aku berkelana
mencari pengalaman. Kebebasan malah membuatku tenang, hati jadi lapang."
Tutur pemuda ini blak-blakan. Tapi cukup membuat alis pelayan itu berkedut
sejenak, dan itupun tak lolos dari pandangan mata si pemuda.
"Oh... begitu, jadi tuan
tidak memiliki keluarga lagi, maksud saya untuk saat ini, lalu bagaimana dengan
istri?" tanya pelayan ini lagi.
"Istri,” gumamnya sambil
tersenyum tipis, alis kirinya terangkat sedikit.
“Pertanyaanmu aneh, memangnya
kau mau kawin? Tapi itu bukan urusanku. Kalau kau mau tahu, sampai saat ini aku
malah tidak pernah memikirkan untuk berumah tangga, mungkin karena masih
terlalu muda." Lalu pemuda ini menyuap lagi, kemudian ia melanjutkan. “Apa
kau punya adik perempuan? Kenapa tanya-tanya begitu, memangnya mau kau jodohkan
adikmu denganku?”
“Ah, tuan…” pelayan ini
tersipu, dia tahu kalau pemuda itu hanya bercanda, sebab si pemuda bicara
sambil tersenyum. “Tapi usia muda kan bukan halangan untuk berumah
tangga?" pelayan muda itu jadi tertarik dengan pelanggan yang satu itu.
Sebab pemuda yang ada didepannya begitu enak diajak bicara dan begitu rendah
hati.
"Sebelum kujawab, aku
ingin bertanya dulu." Ujar pemuda itu sambil menyantap suapan yang
terakhir, kemudian ia minum. "Kau sudah berkeluarga?"
"Belum tuan."
"Menurutmu kalau
seseorang ingin menikah, syarat apa yang paling dibutuhkan?" Pelayan muda
itu berpikir sejenak. "Menurut saya, rasa saling cinta antara keduanya.
Saya rasa itu sudah jamak…"
"Memang benar, itu
memang syarat mutlak. Tapi terpikirkah olehmu biarpun kau menikah dengan orang
yang saling cinta, tetapi hidupmu tak bahagia?"
"Eh, rasanya
tidak."
"Hm, memang begitulah
kalau orang buru-buru ingin menkah, yang di pikir hanya enaknya. Dengar,
menikah itu berarti mengikatkan diri dalam kewajiban, kau harus membuat dua
belah pihak keluarga bahagia, yang paling penting lagi, harus ada saling
kecocokan dan pengertian, kau harus ingat tak selamanya cinta itu bisa
menumbuhkan saling pengertian.”
“Ooo...” si pelayan hanya
mengangguk-angguk saja sambil melongo. Pemuda ini bicara pada si pelayan, tapi
berhubung suaranya cukup keras dan situasi juga tak terlalu ramai, maka banyak
orang yang mendengar perkataannya, bahkan ada diantaranya yang mendengar dengan
serius.
“Jangan lupa, kau juga harus
bisa menghidupi isteri dan anakmu. Nah sekarang, dari mana modal yang kau
peroleh untuk mencukupi kebutuhan keluarga? Apakah cukup dengan cinta saja? Kau
akan mati penuh penderitaan kalau hanya mengandalkan cinta. Memangnya dengan
cinta kau bisa kenyang? Jadi kau harus tahu, bahwa menikah berarti kita bertanggung
jawab dalam segala hal.
“Karena itu, jika hendak
menikah, berpikirlah baik-baik. Apakah kau sudah sanggup lahir batin atau
belum, kalau hanya besar nafsu saja, lebih baik tak usah. Jika hidup seperti
itu yang kau jalani, kurasa kau akan berpikir bagaimana mengakhirnya. Demikian
juga kebalikannya, kalau kau siap hanya semata karena hartamu cukup, maka
penderitaan jualah yang akan kau alami. Dengan kata lain, kau harus siap harta
dan kebutuhan batiniah yang kalian perlukan sebagai suami istri... dan tentu
saja ada satu hal yang wajib kau perhatikan,”
“Apa itu tuan?”
“Restu orang tua, jika tidak…
jangan harap perkawainan kalian akan bahagia. Mungkin menurutmu bahagia, tetapi
tetap ada sebuh ganjalan yang tak mengenakkan. Seperti yang kukatakan, usia
juga menuntukan. Menikah terlalu muda tidak baik, apalagi kalau terlalu tua.
Dengan bertambahnya usiamu, maka kau akan bisa berpikir lebih dewasa dan
melihat segala sesuatu itu bukan dengan mata saja, dan…” pemuda ini berkerut,
rasanya penjelasannya terlalu berat untuk ukuran pelayan. “Yah, seperti
itulah.” Dia memutuskan untuk tidak meneruskan pendapatnya.
Pelayan muda itu terperangah
mendengarnya, juga orang lain yang ikut memperhatikannya.
"Wah, belum pernah saya
mendengar keterangan seperti itu, saya jadi takut menikah mendengarnya."
Pemuda itu tertawa perlahan.
"Aku menjelaskan begitu bukan untuk membuatmu takut, hanya untuk
memperingatimu saja. Kalau kau memang sudah siap, tak perlu kau pikirkan apa
yang akan terjadi. Memang, menentukan masa depan itu perlu, tapi kita juga
harus melihat sampai seberapa jauh usaha kita sendiri. Misalnya, kalau kau
seorang penebang kayu, apakah kau mengharapkan suatu saat kau menjadi seorang
kaya raya dari hasil penebangan kayumu itu?"
"Tentu saja tidak."
jawab pelayan itu.
"Nah, dari sini kita
bisa ambil kesimpulan. Kehidupan macam apa yang kita perlukan untuk
membahagiakan keluarga. Kau ingin istri, mertua dan semua keluargamu bahagia,
tetapi kalau kau sendiri tertekan, lebih baik tak usah berkeluarga. Karena
dalam kehidupan rumah tangga dituntut tanggung jawab yang seimbang, antara
suami dan istri."
"Oh, begitu… jadi
semisalnya saya ingin hidup sederhana dan istri saya juga setuju, bagaimana
menurut pendapat tuan?"
"Itu baik sekali, tetapi
ada kalanya kehidupan suami istri itu pasti memiliki goncangan, cekcok dan
sebagainya. Dari kesederhanaan itu engkau dapat mengambil hikmah dan pelajaran
untuk dapat mempertahankan hidup yang lebih harmonis sampai masa tua."
"Hebat, pandangan tuan
kelihatannya sederhana, tetapi dalam maknanya." Pemuda itu tersenyum
mendengar ucapan si pelayan, sederhana? Pikirnya geli. Sungguh orang yang tak
pandai menutupi peranannya. "Ah tidak juga, aku mendapatkanya dengan
belajar." Ia menjawab sambil lalu.
"Jadi tuan pernah
menikah?" tanya pelayan itu.
Pemuda ini tersenyum ia belum
menjawab, dia sekarang tahu pelayan iin memang bukan sekedar pelayan, jika
dilihat dari betapa cepat dia mengambil kesimpulan. Melihat orang didepannya
tak menjawab, pelayan itu buru-buru meinta maaf. "Maaf kalau pertanyaan
saya lancang tuan.."
"Tidak apa-apa, aku
hanya teringat masa lalu sebentar. Baiklah pertanyaanmu akan kujawab, aku
memang pernah menikah, ehm... maksudku hampir menikah. Sayangnya tidak ada
unsur saling cinta didalamnya—jangankan cinta kenalpun tidak! Lalu dengan
sangat menyesal, terpaksa aku harus membatalkan pernikahan itu. Aku bicara
baik-baik dengannya, dan, yah... begitulah, akhirnyapun kami sepakat berpisah,
lalu karena orang tuaku dan semua saudaraku menganggap aku anak yang mau
menangnya sendiri, maka aku memutuskan pergi berkelana. Nah itu sekilas
pengalamanku, mudah-mudahan bisa kau ambil hikmahnya."
Pelayan itu mengangguk, ia
memandangan pemuda itu dengan kagum, karena dari cerita itu, dapat disimpulkan
kalau pemuda itu adalah orang yang sederhana, tidak ingin bermewah-mewah
meskipun keluarganya adalah orang terpandang. “Ehm, maaf kalau saya lancang
bertanya, kenapa tuan katakan kalau tuan tidak kenal dengan tunangan tuan?
Sedangkan tuan berpisah baik-baik dengannya?” tanya pelayan itu agak takut-takut.
Pemuda ini memandang si
pelayan sesaat, lalu tersenyum tipis. Makin yakin dirinya kalau pelayan itu
memang hanya profesi sampingan saja. “Aku memang tidak kenal, melihatpun belum
pernah, jadi saat berpisah baik-baikpun kami hanya bertemu dari balik tabir.
Jadi cuma suara kami yang saling berhubungan…” jawabnya sambil tersenyum.
“Maaf,” ucap pelayan ini
sambil tertunduk.
"Kenapa pula kau minta
maaf, kejadian itu adalah hal biasa. Dari tadi kita asyik bercerita, tapi aku
belum tahu namamu, "
"Oh..." pelayan itu
menggeragap. "Saya Giri... Sugiri, tuan."
"Aku Jaka," ujar
pemuda itu memperkenalkan diri. Mereka kembali bercakap-cakap, tanpa sadar,
salah seorang dari pengunjung rumah makan itu memperhatikan percakapan pelayan
dan pelanggan baru itu dengan serius, malah sangat serius.
"Pelayan!" panggil
seorang lelaki yang duduk diujung—dibelakang Jaka.
Sugiri segera berdiri,
"Maaf tuan, saya ada pekerjaan." Pemuda bernama Jaka—nama lengkapnya
Jaka Bayu, mengangguk paham, ia melirik sesaat pada orang yang minta dilayani,
lalu tersenyum tipis. Jaka kembali menikmati minumannya sambil memperhatikan
seluruh ruangan dan bagian luar dari rumah makan itu sambil lalu. Makanannya
masih ada, dengan gerakan lambat Jaka segera menghabiskan.
Tanpa sengaja, matanya
memandang kearah pojok sebelah ruangan, sebenarnya pemuda ini hanya memandang
begitu saja, pikirannya tidak tertuju dengan pandangannya. Tapi anehnya orang
yang ada di pojok sana sebentar-sebentar menunduk seolah sedang menuruskan
makanannya lalu sebentar-sebentar menarik bajunya. Pemuda itu baru sadar kalau
gerak-gerik orang itu agak aneh. Setelah dia termenung sekian lama, barulah dia
sadar kalau orang itu kelihatan grogi lantaran pandangannya mengarah padanya,
padahal dia sedang melamun. Jaka tersenyum geli. Sadar kesilafannya, pemuda ini
segera menghabiskan minumannya. Namun terpikir olehnya hal janggal, Orang itu
aneh, waktu ada ribut-ribut dia setenang batu, tapi kenapa tadi begitu gugup? Lalu
Jaka memutuskan untuk pergi dari situ, dengan agak tergesa, ia segera membayar.
Tanpa banyak cakap lagi ia terus keluar, tapi belum berapa jauh ia melangkah,
"Tuan…"
Jaka menoleh, ternyata yang
memanggilnya pelayan muda tadi. "Ada apa?"
"Tuan segera
meninggalkan kota ini?" tanya pelayan muda itu, untuk sesaat mimik wajah
membayangkan sesuatu.
Pemuda itu termenung sesaat,
ia mengerling kesana kemari dengan gerakan lambat. "Aku rasa tidak akan
secepat itu, kota ini belum lagi kujelajahi."
"Oo…" seru pelayan
muda itu kedengaran riang, tapi mimik wajah berubah.
”Memangnya kenapa?"
tanya Jaka tersenyum, dibenaknya sudah terbetik satu persoalan mengenai, si
pelayan! Walau cuma sesaat, ia melihat perubahan wajah si pelayan.
"Ehm eh, tidak tuan,
hanya saja mungkin saya bisa mengajak tuan berkeliling dikota ini. Lagi pula
banyak hal yang ingin saya tanyakan pada tuan, apakah tuan keberatan?"
kata pelayan itu polos, gamblang tanpa basa-basi.
Jaka tertawa lebar, karena
hakekatnya ia sangat menyukai orang yang selalu berterus terang—biarpun dia
agak curiga dengan keluguan Sugiri. "Maksud baikmu tentu saja tidak
mungkin kutampik, kau boleh datang kapan saja, aku akan menginap di…"
sampai disini pemuda itu agar tertegun. "Menurutmu penginapan mana yang
cocok?"
"Eh, tuan lebih baik
menginap dirumah saya saja, biarpun kecil saya rasa cukup nyaman.
Jaka tersenyum, pasti agar
mudah diawasi pikirnya, "Aku sangat menghargai tawarmu, tapi aku tak ingin
merepotkanmu. Mungkin aku akan berada dikota ini cukup lama, kalau kau mau
mengantar aku ketempat yang ingin kau tunjukan, datang saja ke penginapanku."
Sambil mengangguk berulang
kali, pelayan itu mengiyakan. “Penginapan yang bagus dan murah saya rasa tak
jauh dari sini, silahkan tuan berjalan kedepan akan tuan jumpai penginapan
Bunga Kenanga, itu penginapan bagus."
"Terima
kasih…" sahut Jaka pendek sambil tersenyum. "Kau bisa menemuiku kapan
saja."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar