Jumat, 13 September 2013

007 - Beliau, Jaka Bayu

Karena didepannya begitu banyak halangan, dengan sendirinya kuda itu berhenti, dan dua orang yang membayangi pun ikut berhenti. Hadirin memandang dua orang itu dengan seksama, belum lagi mereka tahu siapa mereka.
Arwah Pedang berseru, “Beliau tak ada bersama kalian?”
Dan hadirin pun paham siapa mereka, keduanya adalah orang dari perkumpulan yang sama dengan Arwah Pedang.
“Seharusnya tadi bersama kami, tapi ditengah jalan beliau ingin berbincang dengan seorang teman, dan memisahkan diri. Kami pikir sebentar lagi akan sampai.”
“O…” Arwah Pedang merasa heran, di jalan yang hanya ada satu tujuan ini, dan jarang orang awam lewat, siapa pula yang akan diajaknya berbincang? Bukankah tidak ada orang lain, kaum pesilatkah?
“Kalian tahu siapa yang diajak bicara?”

“Tidak. Kami tak melihat siapapun, tapi sesaat setelah beliau turun, di tepi jalan tadi kami lihat beliau tertawa.”
Arwah Pedang tertawa, “Ah, dasar! Anak itu selalu tak bisa di tebak.” Ucapan terakirnya membuat Hastin heran, jika dia tak salah tangkap, ‘Beliau’ ini adalah ‘anak itu’?! Apa tidak aneh?
Semula Hastin mengira ‘Beliau’ adalah orang hebat, dan ternama, terbukti dari keberadaan Arwah Pedang pada pihaknya, maka Hastin bisa memperkirakan kelihayan orang itu. Tapi kini dia melihat ada dua orang pengiring ‘beliau’ yang demikian hebat peringan tubuhnya. Sebelumnya dia tak mengenali siapa mereka, mendadak hatinya tercekat, mereka adalah Si Penikam dan Si Cambuk. Dalam ilmu silat, baginya, mereka bukan lawan sepadan, tapi justru keberadaan orang macam Penikam dan Cambuk itulah yang membuatnya tak berani mengambil kesimpulan, orang macam apa ‘beliau’ itu.
Si Penikam, tak dikenal di dunia persilatan, tapi jika kau tanya dikalangan penjual informasi—telik sandi/mata-mata, julukan orang ini cukup disegani. Lain lagi dengan Cambuk, orang ini pesilat tulen, cukup dikenal didunia persilatan, dia adalah murid Mpu Dwiprana, seorang ahli pembuat senjata; teristimewanya, Si Cambuk adalah ajudan Adipati Kalagan dari wilayah Hulubekti—salah satu daerah makmur yang jadi tujuan kaum kelana untuk mencari rezki. Jadi, jika seorang petinggi kerajaan—ajudan adipati ikut keluyuran keluar demi mengiring ‘beliau’, Hastin tak bisa membayangkan pengaruh ‘beliau’.
“Dia tak mengatakan apapun selain akan menyusul?”
“Sebelum turun tadi, beliau berkata; menghadapi yang terlihat memang menyenangkan, tapi tak terlihat lebih menyenangkan.”
Arwah Pedang seperti menyadari sesuatu. “Saudara dari Lembah Halimun, kau masih disini?”
Tak ada jawaban, hadirin memandang berkeliling. Jangan-jangan yang ditemuinya adalah Swara Nabhya?
Hastin terperanjat, jika benar ‘beliau’ menemui Swara Nabhya, maka orang ini benar-benar tak bisa dianggap enteng. Kaum Lembah Halimun di dunia persilatan dipandang bagai roh halus, belum pernah terdengar kabar, ada yang menemui secara langsung.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar tawa lelaki dan perempuan berselang-seling. “Baiklah, akan kami pikirkan.” Suara itu terdengar menjauh seperti sedang menuruni tebing. Dan selanjutnya dari tikungan jalan itu, muncul lelaki. Sosoknya tinggi sekitar 6 kaki (183 cm)—tapi tak setinggi Arwah Pedang, penampilannya bersahaja, membuat orang tidak perlu memberi perhatian lebih, makin dekat sosok itu, mereka bisa melihatnya dengan jelas… ternyata dia masih sangat muda, sepintas orang akan senang memberi penilaian baik untuknya.
Wajah pemuda itu terlihat ramah, bibirnya terulas gurat senyum tak senyum, di dagunya terdapat gurat luka dengan belahan tipis, menambah kharisma. Sepintas kilas dia seperti kebanyakan pemuda lain, tapi begitu wajahnya diperhatikan lebih lanjut, orang akan tahu, hal yang paling menarik adalah, mata jernihnya yang cemerlang. Penikam dan Cambuk segera datang mendekat, Si kusir misterius dan Arwah Pedang juga.
“Apa kabar Paman Pariçuddha?” ucapan pertamanya bernada sangat hormat, membuat Hastin ragu apakah orang ini ‘beliau’?
“Baik sekali.” Jawab Arwah Pedang seraya menjabat tangan pemuda itu.
“Engkau Paman Alih?” pada Si Kusir misterius.
“Baik sekali tuan. Sebagai laporan, apa yang tuan amanahkan sudah saya kerjakan. Dan kejadian saat ini juga sudah termasuk dalam perhitungan saya.”
Pemuda ini mengangguk. “Terima kasih banyak paman, jadi merepotkanmu.”
“Ah tidak, ini hal yang ringan bagi saya.”
Pemuda itu mengangguk paham.
“Hanya saja disini ada sedikit masalah.” Sambungnya seraya melirik orang-orang Riyut Atirodra.
“Aku bisa melihatnya.”
Pemuda itu menyapu pandangannya kedepan, lalu dia melangkah mendekati Hastin dan membungkuk hormat. “Engkau pasti tuan Hastin Hastacapala yang terkenal itu, sungguh sebuah kerhormatan bisa berjumpa.”
“Selamat berjumpa juga.” Hastin balas menghormat, dan dia menyodorkan tangannya untuk dijabat. Pemuda ini menjabatnya sambil tersenyum.
Hasti Hastacapala adalah orang yang tak mau kalah, dia ingin tahu seberapa tangguh orang yang membuat sobatnya jadi ‘lembek’, begitu jemari pemuda ini digenggam, dia meremasnya dengan kuat. Tapi alangkah terkejutnya ia, menyadari sekian lama dan makin kuat dia remas, tangan pemuda ini terasa kadang lunak kadang keras.
Pemuda ini tersenyum, dengan halus dia menarik tangannya, dengan penasaran Hastin melepaskan. “Apakah teman-teman dari Riyut Atirodra tuan yang melumpuhkannya?”
“Benar, dan tolong jangan panggil aku tuan. Cukup Hastin saja.” Dia memandang pemuda didepannya dengan tatapan heran.
“Bolehkah, mereka diserahkan padaku, paman?” pemuda ini membahasakan Hastin dengan sebutan lebih akrab.
“Terserah…” Hastin tak merasa keberatan—temasuk panggilan paman baginya. Dia ingin tahu apa yang akan diperbuat pemuda itu pada Riyut Atirodra, terus terang jika pemuda ini yang mengambil tanggung jawab atas kaum itu, dia sangat lega.
“Terima kasih.” lalu pemuda ini menghampiri orang-orang biro pengiriman. “Bagaimana keadaannya?”
“En-entahlah…” jawab mereka tergagap. Entah dari mana datangnya rasa segan, padahal pemuda ini lebih muda dari mereka.
Dia berjongkok dan memeriksa nadi mereka, pertama yang diperiksa adalah ketua mereka. “Tak terlalu parah…” dari balik bajunya di keluarkan bungkusan kecil, isinya puluhan jarum halus. Saat tangannya mengulap diatas tubuhnya, dalam sekejap sekujur tubuh itu sudah ditancapi jarum dalam beragam posisi. Lalu ubun-ubunnya dihantam dengan perlahan, cukup menggidikan bagi yang mendengarnya, suara pletak—bagai tengkorak pecah. Membuat mereka mengira entah pengobatan atau pembunuhan yang sedang dilakukannya.
“Kalian balut luka luarnya.”
“Ta-tapi jarum-jarum ini?”
“Jangan sampai mengenainya.”
“Baik.”
Pemuda ini memeriksa orang kedua, dadanya melesak kedalam, kondisinya lebih parah dari yang pertama. Tapi selama masih ada nafas, dia optimis bisa membuat perubahan.
Dengan hati-hati dia berdirikan tubuh lunglai itu, dangan yang satu menempel pada punggungnya, nampaknya dia sedang menyalurkan hawa murni.
“Hiaa!” tiba-tiba pemuda ini memekik dan tubuh itu dilemparkannya keatas, belum hilang kejut para hadirin, dalam kejap berikutnya pemuda ini menyusul tubuh itu dan detik selanjutnya hadirin terperangah dengan ‘penganiayaan’ yang dilanjutkan pemuda ini. Pukulan bertubi ke punggung, tendangan ke paha dan tamparan pada ubun-ubun terjadi dalam sekali gerak. Begitu tubuhnya hampir menyentuh tanah, pemuda ini sudah menyangganya kembali.
Terdengar suara batuk-batuk, nampaknya orang yang tadi tak diketahui hidup matinya sudah siuman, rintihan kesakitan membuat rekannya sadar, dan dia buru-buru menghampiri.
“Rendam dia dengan air hangat selama satu hari penuh.”
“Ta-tapi, tugas kami…”
“Jangan kawatir, guru kalian—Golok Sembilan Bacokan, sudah memikirkan kejadian seperti ini. Lagi pula benda yang banyak diperebutkan orang tak disini.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Lalu bagaimana kami harus merendam dia?”
Pemuda ini tetawa, “Terserah kalian, mau menuruni tebing pun boleh, ada sungai disana; atau melanjutkan perjalananan sejauh 25 pal lagi juga terserah, nanti akan kalian temukan penginapan.”
Pemuda ini memeriksa balutan yang diperintahkannya tadi, sambil manggut-manggut, dia mencekal kedua pergelangan kaki orang itu, lalu dengan satu sentakan tenaga murninya, seluruh jarum yang menancap pada tubuh orang itu terlotar, dengan gerakan memutar lengan, dia ‘tangkap’ jarum-jarum itu dalam lipatan lengan bajunya yang lebar.
“Kalian tidak keberatan kuda ini kugunakan?” tiba-tiba pemuda ini bertanya pada anggota Pratyantara.
Muda-mudi itu mana berani bercuit lagi, sambil mengangguk paksa, mereka mengiyakan. Tak menunggu lama, para anggota biro pengiriman sudah dinaikkan diatas kuda, dengan sekali hela empat ekor kuda itu sudah tak nampak lagi, mereka memacu kudanya demikian cepat.
Hastin dan pentolan Riyut Atirodra—yang masih tergeletak ditanah, memperhatikan pemuda itu dengan seksama.
Semula mereka menganggap remeh karena usianya yang masih muda, tapi sambutan Si Arwah Pedang membuat mereka ragu. Mungkin saja pemuda itu adalah putra si ‘beliau’? Sejak kemunculannya; sapaan pada teman-temannya, pada Hastin, lalu pengobatannya pada anggota biro pengiriman, dilakukan tanpa ragu—sangat efektif, tak membuang-buang waktu. Seolah dia sudah terbiasa melakukan itu. Sikap dan tata cara seperti ini jarang dimiliki orang-orang seusianya. Apalagi melihat caranya melakukan pertolongan pada anggota biro pengiriman, tak diragukan lagi ilmu pengobatan seperti itu bukanlah ilmu pasaran yang tiap orang bisa melakukannya. Mereka belum pernah melihat—bahkan mendengar, cara penyembuhan seperti itu. Belum lagi cara penyampaian informasi pada anggota biro pengiriman—tentang sungai dan penginapan—mereka sadar, pemuda ini tentu memiliki wawasan luas, bisa dipastikan dia selalu bergerak kemana-mana. Sehingga hal-hal remeh pun dia ketahui. Maka tak diragukan lagi, mereka menarik kesimpulan sama—dialah ‘si beliau’.
“Menurutku, kalian harus segera pergi.” Ucapnya singkat, ditujukan pada enam muda-mudi itu. “Paman Alih, tolong kawal mereka kembali.”
Kusir misterius itu mengiyakan dengan takzim. Pemuda ini memberikan bungkusan kecil pada kusir itu, dia juga membisikan sesuatu padanya. Kusir ini berkali-kali mengiyakan.
“Segeralah berangkat.” Tanpa disuruh si pemuda-pun mereka ingin lekas-lekas pergi, berdekatan dengan orang-orang yang tak jelas kemampuannya—khususnya Hastin dan Arwah Pedang—mereka merasa takut
“Tuan…” belum lagi mereka berjalan lima langkah, pemuda dari kereta kedua kembali lagi dan menghadap ‘si beliau’.
“Ya?”
“Maafkan kelancanganku..”
“Ada yang ingin dikatakan, katakan saja.”
“Kami belum tahu namamu, dan aku juga sangat penasaran dengan kemampuanmu…” Ucapan terakhir itu tak diduga siapapun, mereka tak mengira pemuda ini berani juga.
Tak satupun orang-orang bereaksi keberatan dengan permintaannya itu. Hastin dan pentolan Riyut Atirodra juga, mereka bahkan ingin sekali melihat—sebenaranya apa yang menjadi andalan si beliau ini.
“Silahkan…” ucap si beliau tersenyum.
Sesaat pemuda dari kereta kedua ragu, apa maksudnya ‘silahkan’, karena orang dihadapannya tak bergerak. Maka dia memutuskan bahwa, si beliau memang menunggu serangannya.
Tak menunggu lama, tanpa aba-aba, pemuda ini melontarkan senjata rahasianya. Bahkan Hastin sendiri terperanjat melihat serangan itu, sebab jarak mereka hanya dua langkah saja. Detik itu senjata gelap terlontar, sebuah serangan mematikan mencuat dari bilah pedangnya. Dalam kilasan detik, orang akan mengira ‘si beliau’ pasti kena dua serangan mendadak itu.
Mendadak, secara aneh, tubuhnya beringsut kekiri. Jika gerakan itu adalah upaya menghindar, itu wajar, tiap kaum persilatan bisa melakukan gerak reflek semacam itu. Tapi ingsutan ‘si beliau’ ini serupa orang yang mendadak di tarik oleh tangan tak terlihat—seperti besi yang terhisap daya magnet raksasa—dengan kecepatan luar biasa. Setengah detik berikutnya, serangan pedang lawan lewat sejarak satu jengkal dari lengan terluar.
“Sudah?”
Pemuda dari kereta kedua terperangah, tergagu, tak bisa menjawab. Dia tak mengerti dengan cara apa dua serangannya itu bisa dielakkan demikian cepat. Serangan tadi adalah andalan baginya, dan itu terjadi dalam sekejapan mata saja. Tapi jurus yang dibanggakan itu, kali ini bagai mainan anak-anak di hadapan ‘si beliau’.
“Hanya demikian saja?”
“I-iya…” apa lagi yang perlu dia katakan? Belum lagi lawannya menyerang, dia sudah kalah dengan tragis. Jika si beliau mau turun tangan, setelah lolos dari serangan tadi, detik berikut giliran nyawanya yang melayang. Hanya butuh tiga hitungan saja untuk menghabisinya.
“Kira-kira aku perlu menyembutkan namaku?”
Dengan wajah pias, pemuda ini menggeleng. “Aku sadar, aku tak cukup berharga mengetahui namamu.”
Si beliau tertawa kecil. “Kau salah, jika kau tak cukup berharga, apa bedanya dengan orang mati? Namaku Jaka Bayu.”
Pemuda dari Pratyantara ini termenung sesaat, dan dia paham maksud yang dikatakan si beliau itu. Dengan kata lain, si beliau mengatakan padanya; ‘kalau kau tak cukup berharga lebih baik kumatikan saja’ atau ‘belum terlambat jika ingin kembali’, kembali? Ya, kembali kejalan yang semestinya—kebenaran.
“Terima kasih, sungguh pelajaran berharga.” Ucapanya seraya menghormat—membungkukkan badan, dia berlalu di ikuti rekan-rekannya. dan terakhir si kusir misterius juga menyusul enam muda mudi itu.
Jaka menghampiri orang-orang Riyut Atirodra yang masih tergeletak lemas di atas kuda, dia membantu mereka siuman.
“Jadi apa yang membuat anda melakukan rencana penghancuran tebing?” pertanyaan Jaka membuat pimpinan Riyut Atirodra yang tadi dihajar Hastin, tertawa sinis.
“Kau pikir setelah, apa yang kau lakukan, bisa leluasa berbicang-bicang dengan kami?” ujarnya dengan sengit.
Jaka tertawa. “Saudara Kanayana, jika tiap perbuatanku selalu mengambil keuntungan, saat ini aku pasti sudah jadi orang sepertimu dulu—terpandang.”
Ucapan Jaka membuat Arwah Pedang dan Hasitn heran, tapi orang-orang Riyut Atirodra justru terkejut sekali.
“Da-dari mana kau tahu namaku?”
“Ah, hal sesepele ini pun kau tanyakan. Tentu saja aku bertanya, apakah nama-nama kalian didunia persilatan demikian rahasia?” ucapan yang sederhana itu justru membuat orang-orang Riyut Atirodra tercekam.
Sudah diketahui bersama, bahwa Kaum Atirodra adalah golongan orang-orang hina yang bisa melakukan perbuatan keji apapun tanpa berkerut kening, dan mereka juga terkenal karena memiliki loyalitas. Bahkan sangat loyal—jika tak ingin dibilang fanatik. Keloyalan mereka pada perkumpulan tak perlu di pertanyaan. Sejak berdirinya perkumpulan Riyut Atirodra, belum pernah ada satupun pihak lawan yang berhasil mengorek keterangan dari mereka—apapun informasinya. Siksaan atau ancaman apapun bukan hal baru bagi mereka. Para anggota lebih memilih mati daripada harus membocorkan rahasia perkumpulan. Jadi menjadi sebuah pukulan telak, saat Jaka menyatakan bahwa dia mengetahui apa yang dia perlu ketahui dari bertanya.
“Jadi bisakah kau memberitahu padaku apa yang membuatmu melakukan hal itu?” Lelaki paruh baya yang di sebut Kanayana tercenung, agaknya dia sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Tegaskan padaku satu hal!”
“Ya?”
“Apakah tanggung jawab ini kau yang memikulnya?”
Pemuda ini sadar, Kanayana mungkin ingin mengatakan, dia bisa bicara hanya dengan orang yang memiliki posisi jelas, mungkin dia menganggap posisi Hastin yang ternama tak cukup baik untuk bicara dengannya—berbicara dengan Kaum Riyut Atriodra.
Jaka menoleh pada Hastin, meminta kepastiannya. Lelaki ini mengerutkan kening sesaat. Jika menuruti egonya, sudah jelas akan ditolak mentah-mentah. Dia lebih baik menghadapi Kaum Riyut Atirodra sampai mati—jika itu terjadi, tapi mengingat banyak orang yang berada dalam perlindungannya, diapun harus berpikir lagi jika ingin bertindak tanpa perhitungan. Dengan mantap dia mengangguk.
“Benar! Kau cukup berurusan denganku.”
“Baiklah, jadi hutangnya akan kami tagih padamu!” Tegas Kanayana sembari memandang Hastin dengan sengit.
“Jangan lupakan ucapanmu.” Pemuda ini berujar serius. Siapapun yang mendengar perbicangan mereka, sudah jelas pihak mana yang mengancam—Kanayana, tapi dengan ucapan Jaka barusan, ancaman Kanayana bukanlah apa-apa, kedatangan mereka akan sangat ditunggu. Jaka seolah menegaskan; ‘apapun urusan kalian, jangan palingkan wajah kalian dariku, tidak ada pihak lain yang pantas kalian ganggu, kecuali aku!’ tentu saja ucapan Jaka juga bisa ditafsirkan, ‘jika kalian tak mendatangiku, aku yang akan mendatangi kalian’.
“Lalu?”
Kanayana terpekur senjenak. “Sebenarnya bagi kami bukan hal penting, tapi pelanggaran sekecil apapun dari kalangan luar, sudah merupakan aib, ada beberapa …”
“Cukup.” Potong Jaka.
“Ha? Cukup? Maksudmu?!” Tanya Kanayana terheran-heran.
Jaka tersenyum, “Tak perlu saudara lanjutkan, aku sudah tahu apa yang membuat kalian bergerak seperti ini.”
Bukan cuma orang-orang Riyut Atirodra yang terkesima, bahkan Arwah Pedang yang sudah mengenal Jaka terkejut sekali. Sedangkan Hastin, justru menyangka Jaka sedang bermain api. Api yang sangat besar! Dia tak habis pikir, entah keyakinan apa yang menopangnya, sehingga dia begitu nyaman mempermainkan Riyut Atirodra?
Kali ini Kanayana benar-benar habis akal, sebenarnya dia ingin mengorek keterangan siapa pemuda dihadapannya itu. Tapi, baru beberapa patah kata saja, Jaka sudah tahu apa yang bergolak dikalangan mereka? Benarkah?! Sungguh hal ini membuatnya penasaran! Dia ingin menanyakan sejauh apa yang Jaka tahu, tapi egonya sebagai anggota Riyut Atirodra melarangnya. Bahkan sebuah celah pertanyaan untuk ‘menyerang’ pemuda itu, tak ditemukannya.
Skak mat! Si beliau—Jaka Bayu, diatas angin. Situasi sepenuhnya dikendalikan pemuda ini, bahkan sebelum dia memperlihatkan apa yang menjadi andalannya.
“Kupikir, ada hal besar lain yang ingin kalian kerjakan.” Pemuda ini memecah keheningan sesaat dengan ungkapan yang kembali membuat kening berkerut.
Sebenarnya ada tanya yang nyaris terlontar, tapi urung, wajah merekapun pias, saat melihat raut muka Jaka. Wajah yang terlihat tenang penuh senyum sekarang terlihat begitu serius. Dengan sendirinya mereka mengira Jaka akan menyerang. Tapi tidak ada tanda-tanda pemuda itu bergerak, hanya saja ada perasaan sangat kuat untuk segera menyingkir dari situ.
Arwah Pedang menarik sobatnya untuk mundur beberapa langkah. Tiba-tiba saja Hastin merasa ada tekanan hebat terpancar dari tubuh Jaka. Kaum Riyut Atirodra-pun demikian, tanpa dikomando mereka segera menjauh dari Jaka.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar