Karena didepannya begitu
banyak halangan, dengan sendirinya kuda itu berhenti, dan dua orang yang
membayangi pun ikut berhenti. Hadirin memandang dua orang itu dengan seksama,
belum lagi mereka tahu siapa mereka.
Arwah Pedang berseru, “Beliau
tak ada bersama kalian?”
Dan hadirin pun paham siapa
mereka, keduanya adalah orang dari perkumpulan yang sama dengan Arwah Pedang.
“Seharusnya tadi bersama
kami, tapi ditengah jalan beliau ingin berbincang dengan seorang teman, dan
memisahkan diri. Kami pikir sebentar lagi akan sampai.”
“O…” Arwah Pedang merasa
heran, di jalan yang hanya ada satu tujuan ini, dan jarang orang awam lewat,
siapa pula yang akan diajaknya berbincang? Bukankah tidak ada orang lain, kaum
pesilatkah?
“Kalian tahu siapa yang
diajak bicara?”
“Tidak. Kami tak melihat
siapapun, tapi sesaat setelah beliau turun, di tepi jalan tadi kami lihat
beliau tertawa.”
Arwah Pedang tertawa, “Ah,
dasar! Anak itu selalu tak bisa di tebak.” Ucapan terakirnya membuat Hastin
heran, jika dia tak salah tangkap, ‘Beliau’ ini adalah ‘anak itu’?! Apa tidak
aneh?
Semula Hastin mengira
‘Beliau’ adalah orang hebat, dan ternama, terbukti dari keberadaan Arwah Pedang
pada pihaknya, maka Hastin bisa memperkirakan kelihayan orang itu. Tapi kini
dia melihat ada dua orang pengiring ‘beliau’ yang demikian hebat peringan tubuhnya.
Sebelumnya dia tak mengenali siapa mereka, mendadak hatinya tercekat, mereka
adalah Si Penikam dan Si Cambuk. Dalam ilmu silat, baginya,
mereka bukan lawan sepadan, tapi justru keberadaan orang macam Penikam dan
Cambuk itulah yang membuatnya tak berani mengambil kesimpulan, orang macam apa
‘beliau’ itu.
Si Penikam, tak dikenal di
dunia persilatan, tapi jika kau tanya dikalangan penjual informasi—telik
sandi/mata-mata, julukan orang ini cukup disegani. Lain lagi dengan Cambuk,
orang ini pesilat tulen, cukup dikenal didunia persilatan, dia adalah murid Mpu
Dwiprana, seorang ahli pembuat senjata; teristimewanya, Si Cambuk adalah ajudan
Adipati Kalagan dari wilayah Hulubekti—salah satu daerah makmur yang jadi
tujuan kaum kelana untuk mencari rezki. Jadi, jika seorang petinggi
kerajaan—ajudan adipati ikut keluyuran keluar demi mengiring ‘beliau’, Hastin
tak bisa membayangkan pengaruh ‘beliau’.
“Dia tak mengatakan apapun
selain akan menyusul?”
“Sebelum turun tadi, beliau
berkata; menghadapi yang terlihat memang menyenangkan, tapi tak terlihat lebih
menyenangkan.”
Arwah Pedang seperti
menyadari sesuatu. “Saudara dari Lembah Halimun, kau masih disini?”
Tak ada jawaban, hadirin
memandang berkeliling. Jangan-jangan yang ditemuinya adalah Swara Nabhya?
Hastin terperanjat, jika
benar ‘beliau’ menemui Swara Nabhya, maka orang ini benar-benar tak bisa
dianggap enteng. Kaum Lembah Halimun di dunia persilatan dipandang bagai roh
halus, belum pernah terdengar kabar, ada yang menemui secara langsung.
Dari kejauhan sayup-sayup
terdengar tawa lelaki dan perempuan berselang-seling. “Baiklah, akan kami
pikirkan.” Suara itu terdengar menjauh seperti sedang menuruni tebing. Dan
selanjutnya dari tikungan jalan itu, muncul lelaki. Sosoknya tinggi sekitar 6
kaki (183 cm)—tapi tak setinggi Arwah Pedang, penampilannya bersahaja, membuat
orang tidak perlu memberi perhatian lebih, makin dekat sosok itu, mereka bisa
melihatnya dengan jelas… ternyata dia masih sangat muda, sepintas orang akan
senang memberi penilaian baik untuknya.
Wajah pemuda itu terlihat
ramah, bibirnya terulas gurat senyum tak senyum, di dagunya terdapat gurat luka
dengan belahan tipis, menambah kharisma. Sepintas kilas dia seperti kebanyakan
pemuda lain, tapi begitu wajahnya diperhatikan lebih lanjut, orang akan tahu,
hal yang paling menarik adalah, mata jernihnya yang cemerlang. Penikam dan
Cambuk segera datang mendekat, Si kusir misterius dan Arwah Pedang juga.
“Apa kabar Paman Pariçuddha?”
ucapan pertamanya bernada sangat hormat, membuat Hastin ragu apakah orang ini
‘beliau’?
“Baik sekali.” Jawab Arwah
Pedang seraya menjabat tangan pemuda itu.
“Engkau Paman Alih?” pada Si
Kusir misterius.
“Baik sekali tuan. Sebagai
laporan, apa yang tuan amanahkan sudah saya kerjakan. Dan kejadian saat ini
juga sudah termasuk dalam perhitungan saya.”
Pemuda ini mengangguk.
“Terima kasih banyak paman, jadi merepotkanmu.”
“Ah tidak, ini hal yang
ringan bagi saya.”
Pemuda itu mengangguk paham.
“Hanya saja disini ada
sedikit masalah.” Sambungnya seraya melirik orang-orang Riyut Atirodra.
“Aku bisa melihatnya.”
Pemuda itu menyapu
pandangannya kedepan, lalu dia melangkah mendekati Hastin dan membungkuk
hormat. “Engkau pasti tuan Hastin Hastacapala yang terkenal itu, sungguh sebuah
kerhormatan bisa berjumpa.”
“Selamat berjumpa juga.”
Hastin balas menghormat, dan dia menyodorkan tangannya untuk dijabat. Pemuda
ini menjabatnya sambil tersenyum.
Hasti Hastacapala adalah
orang yang tak mau kalah, dia ingin tahu seberapa tangguh orang yang membuat
sobatnya jadi ‘lembek’, begitu jemari pemuda ini digenggam, dia meremasnya
dengan kuat. Tapi alangkah terkejutnya ia, menyadari sekian lama dan makin kuat
dia remas, tangan pemuda ini terasa kadang lunak kadang keras.
Pemuda ini tersenyum, dengan
halus dia menarik tangannya, dengan penasaran Hastin melepaskan. “Apakah
teman-teman dari Riyut Atirodra tuan yang melumpuhkannya?”
“Benar, dan tolong jangan
panggil aku tuan. Cukup Hastin saja.” Dia memandang pemuda didepannya dengan
tatapan heran.
“Bolehkah, mereka diserahkan
padaku, paman?” pemuda ini membahasakan Hastin dengan sebutan lebih akrab.
“Terserah…” Hastin tak merasa
keberatan—temasuk panggilan paman baginya. Dia ingin tahu apa yang akan
diperbuat pemuda itu pada Riyut Atirodra, terus terang jika pemuda ini yang
mengambil tanggung jawab atas kaum itu, dia sangat lega.
“Terima kasih.” lalu pemuda
ini menghampiri orang-orang biro pengiriman. “Bagaimana keadaannya?”
“En-entahlah…” jawab mereka
tergagap. Entah dari mana datangnya rasa segan, padahal pemuda ini lebih muda
dari mereka.
Dia berjongkok dan memeriksa
nadi mereka, pertama yang diperiksa adalah ketua mereka. “Tak terlalu parah…”
dari balik bajunya di keluarkan bungkusan kecil, isinya puluhan jarum halus.
Saat tangannya mengulap diatas tubuhnya, dalam sekejap sekujur tubuh itu sudah
ditancapi jarum dalam beragam posisi. Lalu ubun-ubunnya dihantam dengan
perlahan, cukup menggidikan bagi yang mendengarnya, suara pletak—bagai
tengkorak pecah. Membuat mereka mengira entah pengobatan atau pembunuhan yang
sedang dilakukannya.
“Kalian balut luka luarnya.”
“Ta-tapi jarum-jarum ini?”
“Jangan sampai mengenainya.”
“Baik.”
Pemuda ini memeriksa orang
kedua, dadanya melesak kedalam, kondisinya lebih parah dari yang pertama. Tapi
selama masih ada nafas, dia optimis bisa membuat perubahan.
Dengan hati-hati dia berdirikan
tubuh lunglai itu, dangan yang satu menempel pada punggungnya, nampaknya dia
sedang menyalurkan hawa murni.
“Hiaa!” tiba-tiba pemuda ini
memekik dan tubuh itu dilemparkannya keatas, belum hilang kejut para hadirin,
dalam kejap berikutnya pemuda ini menyusul tubuh itu dan detik selanjutnya
hadirin terperangah dengan ‘penganiayaan’ yang dilanjutkan pemuda ini. Pukulan
bertubi ke punggung, tendangan ke paha dan tamparan pada ubun-ubun terjadi
dalam sekali gerak. Begitu tubuhnya hampir menyentuh tanah, pemuda ini sudah
menyangganya kembali.
Terdengar suara batuk-batuk,
nampaknya orang yang tadi tak diketahui hidup matinya sudah siuman, rintihan
kesakitan membuat rekannya sadar, dan dia buru-buru menghampiri.
“Rendam dia dengan air hangat
selama satu hari penuh.”
“Ta-tapi, tugas kami…”
“Jangan kawatir, guru
kalian—Golok Sembilan Bacokan, sudah memikirkan kejadian seperti ini. Lagi pula
benda yang banyak diperebutkan orang tak disini.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Lalu bagaimana kami harus
merendam dia?”
Pemuda ini tetawa, “Terserah
kalian, mau menuruni tebing pun boleh, ada sungai disana; atau melanjutkan
perjalananan sejauh 25 pal lagi juga terserah, nanti akan kalian temukan
penginapan.”
Pemuda ini memeriksa balutan
yang diperintahkannya tadi, sambil manggut-manggut, dia mencekal kedua
pergelangan kaki orang itu, lalu dengan satu sentakan tenaga murninya, seluruh
jarum yang menancap pada tubuh orang itu terlotar, dengan gerakan memutar
lengan, dia ‘tangkap’ jarum-jarum itu dalam lipatan lengan bajunya yang lebar.
“Kalian tidak keberatan kuda
ini kugunakan?” tiba-tiba pemuda ini bertanya pada anggota Pratyantara.
Muda-mudi itu mana berani
bercuit lagi, sambil mengangguk paksa, mereka mengiyakan. Tak menunggu lama,
para anggota biro pengiriman sudah dinaikkan diatas kuda, dengan sekali hela
empat ekor kuda itu sudah tak nampak lagi, mereka memacu kudanya demikian
cepat.
Hastin dan pentolan Riyut
Atirodra—yang masih tergeletak ditanah, memperhatikan pemuda itu dengan
seksama.
Semula mereka menganggap
remeh karena usianya yang masih muda, tapi sambutan Si Arwah Pedang membuat
mereka ragu. Mungkin saja pemuda itu adalah putra si ‘beliau’? Sejak
kemunculannya; sapaan pada teman-temannya, pada Hastin, lalu pengobatannya pada
anggota biro pengiriman, dilakukan tanpa ragu—sangat efektif, tak
membuang-buang waktu. Seolah dia sudah terbiasa melakukan itu. Sikap dan tata
cara seperti ini jarang dimiliki orang-orang seusianya. Apalagi melihat caranya
melakukan pertolongan pada anggota biro pengiriman, tak diragukan lagi ilmu
pengobatan seperti itu bukanlah ilmu pasaran yang tiap orang bisa melakukannya.
Mereka belum pernah melihat—bahkan mendengar, cara penyembuhan seperti itu.
Belum lagi cara penyampaian informasi pada anggota biro pengiriman—tentang
sungai dan penginapan—mereka sadar, pemuda ini tentu memiliki wawasan luas,
bisa dipastikan dia selalu bergerak kemana-mana. Sehingga hal-hal remeh pun dia
ketahui. Maka tak diragukan lagi, mereka menarik kesimpulan sama—dialah ‘si
beliau’.
“Menurutku, kalian harus
segera pergi.” Ucapnya singkat, ditujukan pada enam muda-mudi itu. “Paman Alih,
tolong kawal mereka kembali.”
Kusir misterius itu
mengiyakan dengan takzim. Pemuda ini memberikan bungkusan kecil pada kusir itu,
dia juga membisikan sesuatu padanya. Kusir ini berkali-kali mengiyakan.
“Segeralah berangkat.” Tanpa
disuruh si pemuda-pun mereka ingin lekas-lekas pergi, berdekatan dengan
orang-orang yang tak jelas kemampuannya—khususnya Hastin dan Arwah
Pedang—mereka merasa takut
“Tuan…” belum lagi mereka
berjalan lima langkah, pemuda dari kereta kedua kembali lagi dan menghadap ‘si
beliau’.
“Ya?”
“Maafkan kelancanganku..”
“Ada yang ingin dikatakan,
katakan saja.”
“Kami belum tahu namamu, dan
aku juga sangat penasaran dengan kemampuanmu…” Ucapan terakhir itu tak diduga
siapapun, mereka tak mengira pemuda ini berani juga.
Tak satupun orang-orang
bereaksi keberatan dengan permintaannya itu. Hastin dan pentolan Riyut Atirodra
juga, mereka bahkan ingin sekali melihat—sebenaranya apa yang menjadi andalan
si beliau ini.
“Silahkan…” ucap si beliau
tersenyum.
Sesaat pemuda dari kereta
kedua ragu, apa maksudnya ‘silahkan’, karena orang dihadapannya tak bergerak.
Maka dia memutuskan bahwa, si beliau memang menunggu serangannya.
Tak menunggu lama, tanpa
aba-aba, pemuda ini melontarkan senjata rahasianya. Bahkan Hastin sendiri
terperanjat melihat serangan itu, sebab jarak mereka hanya dua langkah saja.
Detik itu senjata gelap terlontar, sebuah serangan mematikan mencuat dari bilah
pedangnya. Dalam kilasan detik, orang akan mengira ‘si beliau’ pasti kena dua
serangan mendadak itu.
Mendadak, secara aneh,
tubuhnya beringsut kekiri. Jika gerakan itu adalah upaya menghindar, itu wajar,
tiap kaum persilatan bisa melakukan gerak reflek semacam itu. Tapi ingsutan ‘si
beliau’ ini serupa orang yang mendadak di tarik oleh tangan tak
terlihat—seperti besi yang terhisap daya magnet raksasa—dengan kecepatan luar
biasa. Setengah detik berikutnya, serangan pedang lawan lewat sejarak satu
jengkal dari lengan terluar.
“Sudah?”
Pemuda dari kereta kedua
terperangah, tergagu, tak bisa menjawab. Dia tak mengerti dengan cara apa dua
serangannya itu bisa dielakkan demikian cepat. Serangan tadi adalah andalan
baginya, dan itu terjadi dalam sekejapan mata saja. Tapi jurus yang dibanggakan
itu, kali ini bagai mainan anak-anak di hadapan ‘si beliau’.
“Hanya demikian saja?”
“I-iya…” apa lagi yang perlu
dia katakan? Belum lagi lawannya menyerang, dia sudah kalah dengan tragis. Jika
si beliau mau turun tangan, setelah lolos dari serangan tadi, detik berikut
giliran nyawanya yang melayang. Hanya butuh tiga hitungan saja untuk
menghabisinya.
“Kira-kira aku perlu
menyembutkan namaku?”
Dengan wajah pias, pemuda ini
menggeleng. “Aku sadar, aku tak cukup berharga mengetahui namamu.”
Si beliau tertawa kecil. “Kau
salah, jika kau tak cukup berharga, apa bedanya dengan orang mati? Namaku Jaka
Bayu.”
Pemuda dari Pratyantara ini
termenung sesaat, dan dia paham maksud yang dikatakan si beliau itu. Dengan
kata lain, si beliau mengatakan padanya; ‘kalau kau tak cukup berharga lebih
baik kumatikan saja’ atau ‘belum terlambat jika ingin kembali’, kembali? Ya,
kembali kejalan yang semestinya—kebenaran.
“Terima kasih, sungguh
pelajaran berharga.” Ucapanya seraya menghormat—membungkukkan badan, dia
berlalu di ikuti rekan-rekannya. dan terakhir si kusir misterius juga menyusul
enam muda mudi itu.
Jaka menghampiri orang-orang
Riyut Atirodra yang masih tergeletak lemas di atas kuda, dia membantu mereka
siuman.
“Jadi apa yang membuat anda
melakukan rencana penghancuran tebing?” pertanyaan Jaka membuat pimpinan Riyut
Atirodra yang tadi dihajar Hastin, tertawa sinis.
“Kau pikir setelah, apa yang
kau lakukan, bisa leluasa berbicang-bicang dengan kami?” ujarnya dengan sengit.
Jaka tertawa. “Saudara
Kanayana, jika tiap perbuatanku selalu mengambil keuntungan, saat ini aku pasti
sudah jadi orang sepertimu dulu—terpandang.”
Ucapan Jaka membuat Arwah
Pedang dan Hasitn heran, tapi orang-orang Riyut Atirodra justru terkejut
sekali.
“Da-dari mana kau tahu
namaku?”
“Ah, hal sesepele ini pun kau
tanyakan. Tentu saja aku bertanya, apakah nama-nama kalian didunia persilatan
demikian rahasia?” ucapan yang sederhana itu justru membuat orang-orang Riyut
Atirodra tercekam.
Sudah diketahui bersama,
bahwa Kaum Atirodra adalah golongan orang-orang hina yang bisa melakukan perbuatan
keji apapun tanpa berkerut kening, dan mereka juga terkenal karena memiliki
loyalitas. Bahkan sangat loyal—jika tak ingin dibilang fanatik. Keloyalan
mereka pada perkumpulan tak perlu di pertanyaan. Sejak berdirinya perkumpulan
Riyut Atirodra, belum pernah ada satupun pihak lawan yang berhasil mengorek
keterangan dari mereka—apapun informasinya. Siksaan atau ancaman apapun bukan
hal baru bagi mereka. Para anggota lebih memilih mati daripada harus
membocorkan rahasia perkumpulan. Jadi menjadi sebuah pukulan telak, saat Jaka
menyatakan bahwa dia mengetahui apa yang dia perlu ketahui dari bertanya.
“Jadi bisakah kau memberitahu
padaku apa yang membuatmu melakukan hal itu?” Lelaki paruh baya yang di sebut
Kanayana tercenung, agaknya dia sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Tegaskan padaku satu hal!”
“Ya?”
“Apakah tanggung jawab ini
kau yang memikulnya?”
Pemuda ini sadar, Kanayana
mungkin ingin mengatakan, dia bisa bicara hanya dengan orang yang memiliki
posisi jelas, mungkin dia menganggap posisi Hastin yang ternama tak cukup baik
untuk bicara dengannya—berbicara dengan Kaum Riyut Atriodra.
Jaka menoleh pada Hastin,
meminta kepastiannya. Lelaki ini mengerutkan kening sesaat. Jika menuruti
egonya, sudah jelas akan ditolak mentah-mentah. Dia lebih baik menghadapi Kaum
Riyut Atirodra sampai mati—jika itu terjadi, tapi mengingat banyak orang yang
berada dalam perlindungannya, diapun harus berpikir lagi jika ingin bertindak
tanpa perhitungan. Dengan mantap dia mengangguk.
“Benar! Kau cukup berurusan
denganku.”
“Baiklah, jadi hutangnya akan
kami tagih padamu!” Tegas Kanayana sembari memandang Hastin dengan sengit.
“Jangan lupakan ucapanmu.”
Pemuda ini berujar serius. Siapapun yang mendengar perbicangan mereka, sudah
jelas pihak mana yang mengancam—Kanayana, tapi dengan ucapan Jaka barusan,
ancaman Kanayana bukanlah apa-apa, kedatangan mereka akan sangat ditunggu. Jaka
seolah menegaskan; ‘apapun urusan kalian, jangan palingkan wajah kalian dariku,
tidak ada pihak lain yang pantas kalian ganggu, kecuali aku!’ tentu saja ucapan
Jaka juga bisa ditafsirkan, ‘jika kalian tak mendatangiku, aku yang akan
mendatangi kalian’.
“Lalu?”
Kanayana terpekur senjenak.
“Sebenarnya bagi kami bukan hal penting, tapi pelanggaran sekecil apapun dari
kalangan luar, sudah merupakan aib, ada beberapa …”
“Cukup.” Potong Jaka.
“Ha? Cukup? Maksudmu?!” Tanya
Kanayana terheran-heran.
Jaka tersenyum, “Tak perlu
saudara lanjutkan, aku sudah tahu apa yang membuat kalian bergerak seperti
ini.”
Bukan cuma orang-orang Riyut
Atirodra yang terkesima, bahkan Arwah Pedang yang sudah mengenal Jaka terkejut
sekali. Sedangkan Hastin, justru menyangka Jaka sedang bermain api. Api yang
sangat besar! Dia tak habis pikir, entah keyakinan apa yang menopangnya,
sehingga dia begitu nyaman mempermainkan Riyut Atirodra?
Kali ini Kanayana benar-benar
habis akal, sebenarnya dia ingin mengorek keterangan siapa pemuda dihadapannya
itu. Tapi, baru beberapa patah kata saja, Jaka sudah tahu apa yang bergolak
dikalangan mereka? Benarkah?! Sungguh hal ini membuatnya penasaran! Dia ingin
menanyakan sejauh apa yang Jaka tahu, tapi egonya sebagai anggota Riyut
Atirodra melarangnya. Bahkan sebuah celah pertanyaan untuk ‘menyerang’ pemuda
itu, tak ditemukannya.
Skak mat! Si beliau—Jaka
Bayu, diatas angin. Situasi sepenuhnya dikendalikan pemuda ini, bahkan sebelum
dia memperlihatkan apa yang menjadi andalannya.
“Kupikir, ada hal besar lain
yang ingin kalian kerjakan.” Pemuda ini memecah keheningan sesaat dengan
ungkapan yang kembali membuat kening berkerut.
Sebenarnya ada tanya yang
nyaris terlontar, tapi urung, wajah merekapun pias, saat melihat raut muka
Jaka. Wajah yang terlihat tenang penuh senyum sekarang terlihat begitu serius.
Dengan sendirinya mereka mengira Jaka akan menyerang. Tapi tidak ada
tanda-tanda pemuda itu bergerak, hanya saja ada perasaan sangat kuat untuk
segera menyingkir dari situ.
Arwah Pedang menarik sobatnya
untuk mundur beberapa langkah. Tiba-tiba saja Hastin merasa ada tekanan hebat
terpancar dari tubuh Jaka. Kaum Riyut Atirodra-pun demikian, tanpa dikomando
mereka segera menjauh dari Jaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar