Jumat, 13 September 2013

024 - Singo Lugas, Matahari Dua Bukit

Mengapa Mahesa Ageng palsu bisa terjatuh sampai kesakitan seperti itu? Padahal Jaka tidak menyerangnya. Memangnya Jaka punya ilmu sihir? Selain Jaka, bagi siapun yang melihatanya, tak akan mengerti alasan lain kenapa dia jatuh, kecuali dia terkena racun. Tapi bagi Jaka, tak ada penjelasan lain, kecuali bahwa; orang itu terkena ‘strees’ ringan. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa Jaka sangat menguasai semua pengetahuan anatomi tubuh manusia berserta syarafnya.

Mahesa Ageng yang berdiri lama dengan perasaan tegang dan tertekan, lalu akan segera menyerang Jaka, semua itu sudah diperhitungkan. Setelah Mahesa berdiri terlalu lama, Jaka segera memancingnya dengan kata-kata yang memanaskan telinga—memprovokasinya—untuk melancarkan semua perhitungannya.
Pada saat Mahesa berdiri lama dengan perasan tertekan, jalan darah di tubuhnya akan mengalir lebih cepat, dan kusus untuk jalan darah dikakinya akan mengalir lebih cepat lagi, andai saja saat itu Mahesa langsung menyerang Jaka maka dia tidak akan mengalami keadaan menyedihkan begitu rupa. Tapi Mahesa berdiri terlalu lama, sehingga aliran darah pada syaraf kakinya tidak sesuai dengan tarikan nafas—oksigen yang masuk—dan tak selaras dengan putaran hawa murninya.

023 - Perjumpaan Yang Tak Sesuai Rencana


Suasana perbatasan diwilayah timur, kelihatan lengang. Kalau dihari biasa, penduduk kota itu juga jarang kesitu, sebab yang namanya perbatasan tentu saja selalu dilalu orang-orang yang berniat keluar-masuk kota.
Tak jauh dari gapuran perbatasan, ada sebuah kuil cukup besar. Kuil itu sudah ditinggalkan penghuninya, disana sini banyak semak meranggas. Kuil itu disebut para penduduk kota sebagai Kuil Ireng atau kuil hitam. Disebut itu karena baik siang atau malam dinding kuil yang seharusnya abu-abu selalu terlihat hitam legam. Tentunya kalau malam orang tak perlu memikirkannya, sebab tiap benda berwarna selain putih pasti terlihat hitam. Tapi karena disiang hari kuil itu selalu dilindungi bayangan pohon besar sehingga sinar matahari tidak bisa menembus sedikitpun, karena itulah dinding yang kelabu terlihat hitam.
Kuil itu jarang disinggahi orang, kata penduduk setempat Kuil Ireng termasuk angker. Entah apa yang membuat orang menyebutnya begitu, yang jelas ada alasan tertentu.
Jaka sampai ditempat itu lebih lambat setengah kentongan dari waktu yang dijanjikan. Dia mengedarkan pandangannya, banyak pepohonan besar disekitar kuil. Karena saat itu Jaka berada ditempat terbuka, tentu saja bila ada orang bersembunyi disitu, akan melihat kedatangannya.

022 - Intai Mengintai


Sang guru dan tiga rekannya menatap pemuda itu, kelihatannya Jaka sama sekali tidak menampilkan perubahan pada raut wajahnya.
"Syukurlan Rubah Api masih hidup," gumam pemuda ini dengan suara lirih. Tapi empat orang sesepuh itu mendengarnya.
"Ya, sekarang giliranmu, kau bilang ingin menceritakan sesuatu yang menarik?!" tagih sang guru sambil tertawa.
Jaka tersenyum lalu ia mengeluarkan kertas dari balik pakaiannya, kertas itu ada lima lembar. Empat lembar berisi, sedangkan lembar lainnya kosong. Rupanya sebelum berangkat dari penginapan, Jaka sempatkan diri untuk menuliskan apa yang ia alami di Telaga Batu dan beberapa rencananya. Sementara tentang kejadian baru seperti; saat ia memergoki pelayan gadungan dan bertemu orang-orang Perguruan Sampar Angin, belum ia tambahkan, Jaka berniat memberitahu sang guru sekedarnya saja; bahwa dia berjumpa dengan orang-orang Perguruan Sampar Angin, cuma itu.

021 - Menjumpai Para Sesepuh

Jaka memutuskan menggunakan peringan tubuhnya, mengingat dia sudah terlalu banyak membuang waktu. “Bagaimana ya, apa aku harus menjadi murid Ki Lukita atau tidak?” pikirnya setengah melamun. “Tidak ada ruginya memang, tetapi sama saja aku mengikatkan diri pada sebuah peraturan.”

Jaka kembali menimbang, “Hh,” dihelanya nafas panjang. “Toh tidak ada salahnya aku menjadi murid beliau, banyak manfaat yang bisa kuperoleh darinya.”
Tak berapa lama kemudian, Jaka sudah sampai dijalan besar yang melewati kediaman Ki Lukita.
Tentu saja Jaka tidak begitu bodoh untuk masuk lewat depan, karena malam itu tidak sesepi yang ia kira. Banyaknya pengunjung dikota itu membuat malam dihari biasa yang seharusnya sepi, kini bagaikan waktu menjelang fajar.
Banyak orang yang berjalan-jalan disekitar jalan besar itu. Jaka tahu, kini gerakannya sudah tidak leluasa lagi, sebab ia masih harus berperan bahwa dirinya sudah dikuasai salah satu orang Naga Batu.

020 - Lima Pelindung Putih


Tapi tentu saja kedua orang itu tidak mudah untuk dibuat takut, apalagi dasarnya dua orang itu adalah orang licik yang pandai memanfaatkan situasi.
"He-he, mati hangus aku tak mau, tapi dapat tato petir enak juga. Sudah lama aku ingin menato tubuhku, hanya saja tidak pernah kudapatkan ahli yang terbaik. Kalau ada yang ingin menatoku dengan gratis, tentunya aku setuju saja..." kata Bergola dengan tertawa terkekeh-kekeh.
"Benar sekali perkataan saudaraku ini," sambung Momok Wajah Ramah sambil tersenyum girang, agaknya ia mendapatkan satu pemikiran bagus. "Terus terang saja kami sudah pernah mendengar kabar kehebatan empat kelompok kusus itu, dan aku ingin sekali berjumpa dengan mereka. Kini kami memiliki kesempatan untuk menjumpai salah satunya, ini kejadian yang menggembirakan…"
Mendengar ucapan Momok Wajah Ramah, mau tak mau Danu Tirta melegak. Sedikit banyaknya ia dapat meraba siapa sesungguhnya dua orang itu, karena itulah semua sedikit bualannya, adalah kenyataan bagi kedua orang itu. Tapi Danu Tirta tidak mengira kalau Momok Wajah Ramah sangat memperhatikan hal-hal kecil, dengan ucapannya tadi, dapat disimpulkan kalau orang itu ingin menyanderanya untuk memancing kedatangan kelompok Kilat.

019 - Tawanan dari Perguruan Sampar Angin



Untuk sesaat dua orang itu kelihatan tertegun. Mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat. Keduanya saling berpandangan, dari mata mereka terkandung satu maksud. Membunuh pemuda itu dan melenyapkan bukti, atau menyekap dan melepaskan sampai waktunya memungkinkan!
"Entah kami ini kurang ajar, atau memang terpaksa bertindak kurang ajar," kata Panah Tiga Belas. "Si kedok yang kau ceritakan tadi terpaksa kami kesampingkan, dan sekarang kami ingin tahu asal-usul dirimu yang sebenarnya. Kalau tidak, engkau sudah bisa membayangkan apa yang akan kami lakukan padamu." Kata orang tinggi kurus ini dengan ramah. Justru ucapan bernada ramah seperti itulah yang membuat orang bergidik, kalau orang bersuara dengan bengis, sedikit banyak keberanian akan tersentak, tapi suara ramah seperti itu justru menimbulkan perasaan ngeri.
Pemuda itu menyadari bahaya yang sedang dia hadapi, hatinya bergetar, wajahnya pias. Untung baginya kegelapan malam bisa menyembunyikan perubahan wajahnya—karena cemas.

018 - Geliat Perkumpulan Rahasia

Meski malam belum terlalu larut, tapi untuk menghindari kecurigaan orang, Jaka harus mengambil jalan yang lebih sunyi. Pemuda ini menyunggingkan senyum, agaknya memang sedang girang.
Ya, bagaimana Jaka tak merasa girang, sebab selama petualangannya, momen-momen menantang yang memaksa dia untuk berpikir, adu licik dan membakar keberanian, adalah kegemarannya. Siapa sangka malam ini diapun bisa ‘kembali beraksi’. Meski jika dibanding dengan kejadian lampau, belumlah memadai, [akan diceritakan dalam lain kisah] toh pemuda ini tetap beranggapan pantas untuk merasa puas, sebab dia berhasil membuat para penyatron tak dikenal—menurutnya mereka cukup cerdik—ketar-ketir.
Andai saja Jaka tidak melihat tindakan pelayan yang agak canggung saat berada dikamarnya, tentu tidak akan terbetik olehnya untuk bertindak ‘nakal’. Dia dapat memperhitungkan mereka yang datang adalah tiga orang, karena begitu si pelayan keluar, Jaka sempat melihat seutas benang tipis melintang dijendelanya. Dari benang itu, Jaka bisa menyimpulkan, si pelayan dan si pemasang benang, satu kelompok. Dua orang.

017 - Penjebak Terjebak


"Tentu saja saya tidak mungkin bertindak ceroboh. Tapi kalau dia tahu apa yang kulakukan, dia bisa apa?”
“Bodoh. Sekalipun hanya sekelebatan, aku sempat melihat gerakannya. Dia bukan lawan yang bisa diremehkan. Dan kalau kau pikir bisa menghadapinya, hm… rasanya tak mungkin! Coba pikir baik-baik, apakah orang yang menguasai ilmu itu, bisa kau kalahkan?”
Lelaki itu tertegun sejenak, kemudian dia mengangguk. “Tuan benar. Toh, dia tetap jatuh ke tangan kita.”
“Benar, sehebat apapun dia, jika kalah siasat, tetap saja kalah.” Sahut satunya mendukung ucapan rekannya.
“Hh…” orang yang mereka sebut tuan muda, tidak menjawab, dia hanya menghela nafas saja. Rupanya ada yang dirisaukan.

016 - Kejutan Untuk Penyatron


Jaka berjalan lambat seolah ingin menikmati setiap jengkal pemandangan, sudah tentu Jaka memiliki maksud tersendiri. Bila ada yang membuntuti, tentu dia merasa jenuh, dan meninggalkan Jaka saking kesalnya. Selain berjalan terlalu lambat, sesekali Jaka berhenti dan memandang sesuatu dengan seksama. Padahal hari sudah menjelang petang, apa sih yang bisa terlihat jelas? Dari telaga batu sampai ke penginapan, hanya berjarak 2 pal, tapi waktu yang dibutuhkan Jaka untuk menempuh perjalan pulang hampir 2 jam!
Dan memang, mereka yang mengikutinya, jadi gemas. Sudah tentu, sebelum mereka ketiduran lantaran terlalu lama menunggu Jaka bertingkah, diam-diam tiga orang penguntit itu meninggalkan Jaka. Mereka pikir, jika sudah mengetahui dimana sasaran menginap, apa yang harus dikawatirkan?
Tak terpikir oleh mereka, justru Jaka memancing supaya mereka putus asa. Pemuda
ini ingin tahu untuk apa mereka mengikuti dia. Bahwa Jaka adalah seorang pendatang, mutlak mereka tak akan tahu identitas dirinya yang sebenarnya. Dengan demikian, Jaka bisa mengambil kesimpulan, bahwa kemungkinan mereka bersengket dengan Ki Lukita, atau dengan penghuni perahu naga.

015 - Kisah Lampau Dalam Catatan Ki Lukita

Mengambil resiko—tanpa disadari—mungkin sudah menjadi kebiasaan Jaka. Saat racun pemilik perahu naga dilolohkan padanya, Jaka mengira bisa mengambil pelajaran, dengan menawarkannya. Tapi, nyatanya racun itu sudah pernah dia ketahui sebelumnya. Tentu saja menurut Jaka, kejadian itu tidak bermanfaat, selain kadarnya telalu rendah, racun semacam itu juga pernah dia tawarkan sebelumnya. Jika bagi dirinya bubuk pelumpuh tadi termasuk ‘obat usang’, mungkin berbeda bagi orang lain, bubuk itu termasuk racun yang jarang ditemui. Sudah tentu menurut pandangan kebanyakan orang, racun itu bukanlah ‘obat usang’, tapi masuk dalam jajaran racun mematikan.
Setidaknya rasa kesalku terobati, bisa mengelabui mereka juga hasil cukup memuaskan. Apa tak pernah terpikir dibenak mereka, sebuah kegagalan? Memangnya setiap perbuatan yang berlaku untuk seseorang, bisa berlaku untuk yang lain? Pikir Jaka merasa beruntung, bahwa mereka ‘ceroboh’.
Pemuda ini tak memikirkan kemampuan dirinya, seolah tiap orang bisa berbuat seperti dia. Dengan sendirinya mereka—orang Perguruan Naga Batu—yakin 100% atas keberhasilan racunnya. Tentu saja tak terpikir, bahwa; ada orang yang paham—dan bisa memunahkan—racun yang mereka gunakan.

014 - Beruluk Salam Menukar Muslihat


"Ah, saudara Jaka tidak perlu begitu sungkan," sahut lelaki berusia lima puluhan tahun itu. Dua lelaki berusia empat puluh tahun itu juga membalas memberi hormat pemuda itu.
"Mari, mari… silahkan duduk."
Begitu duduk, nampak nona baju hijau membawa nampan yang berisi air teh dan makanan. Setelah nona baju hijau menghilang di balik bilik, tanpa basa basi lagi Jaka bertanya, "Maaf jika pertanyaan saya agak keterlaluan, saya ingin tahu apa tujuan anda mengundang saya?"
"Jika tidak dijelaskan bisa jadi salah paham. Begini saudara Jaka, jabatan kami adalah pelindung Perguruan Naga Batu. Aku bernama Sadewa dan dua rekanku ini bernama Kunta Reksi dan Kundalini, kami bertiga memiliki kesenangan yang sama yakni suka menjamu orang yang memiliki bakat hebat seperti anda ini. Tidak sangka saudara Jaka memiliki kemampuan diluar dugaan kami."
”Ah, terlalu memuji." pemuda ini tersenyum tersipu. Orang bisa tertipu dengan lagak Jaka, diluarnya saja ia nampak seperti orang yang polos tidak tahu masalah. Diamnya Jaka disebabkan memikirkan langkah yang harus ditempuh untuk menghadapi lawan.

013 - Menjumpai Tokoh Perguruan Naga Batu


"Hei!" sebuah seruan nyaring memecah keheningan. Ternyata seruan itu berasal dari perahu pesiar mewah. Hampir semua orang menoleh kearah perahu itu, kecuali Jaka. "Hei peniup suling,"
Mendengar seruan ini, tentu saja Jaka harus menoleh, karena dirinya yang dipanggil.
"Aku?" ujarnya bingung.
"Memangnya siapa lagi yang sedang meniup suling?" ujar suara dari dalam perahu pesiar itu terdengar melengking merdu.
"Ada urusan apa?"
"Guru dan nona kami mengundangmu…" suara lain terdengar melengking, kali ini terlihat sosok tubuh muncul di ujung perahu pesiar mewah itu. Seorang nona berusia paling banyak tujuh belas tahun berpakaian merah, wajahnya mungil dan terlihat amat manis. Kalau melihat bibirnya yang kecil dan tipis, serta raut mukanya, orang pasti dapat menduga kalau nona itu cerewet.

012 - Telaga Batu


Jaka berjalan santai menyusuri jalan besar. Hari masih siang, mungkin sudah dua kentongan sejak matahari diatas ubun-ubun. Pemuda ini memang berniat jalan-jalan lebih dulu, baru ia kembali ke rumah Ki Lukita. Sesaat kemudian ia sudah sampai di penginapan Bunga Kenanga, tanpa terburu dia masuk kekamar. Pemuda ini mengambil kantung tempat menyimpan uang. Sungguh ceroboh dia menaruh semabarangan barang berharga, kalau semua itu hilang bagaimana? Tapi memang begitulah sifat Jaka, terkadang ceroboh.
Setelah itu dia bergegas hendak keluar, tapi Jaka merasa bajunya tak cocok, dia bermaksud ganti, lalu melepas ikat pinggang… begitu ikat pinggang itu terlepas, mendadak benda itu mengejang! Ternyata ‘ikat pinggang’ itu adalah sebuah tongkat bambu kuning! Aneh sekali, bambu itu memiliki daya lentur luar biasa, hingga bisa dibuat menjadi ikat pinggang. Jika di lihat besarnya—seukuran lengan anak kecil—adalah mustahil dapat dilengkungkan seperti itu, kecuali rotan, namun kenyataannya tongkat bambu itu lentur melebihi rotan! Bambu biasa saat dilengkungkan, tentu pecah. Tapi bambu kuning itu dikecualikan.Begitu dililitkan, bagian dalam bambu yang kosong, kempes tanpa ada kerutan atau tonjolan.Saat digunakan sekilas mirip ikat pinggang. Tentu saja selain pemiliknya, orang lain tidak ada yang tahu jenis bambu apa yang dibuat menjadi ikat pinggang.

011 - Sekelumit Kisah Jaka Bayu

Perlahan-lahan Jaka Bayu berjalan mendekati rumpunan bunga indah itu. Ia melangkahkan kaki dipinggir rumpunan bunga, "Astaga, lihay benar barisan ini, jika aku tidak tahu tentang ini, jangan harap bisa keluar dari tempat ini tanpa pertolongan orang yang paham. Hm, mungkin karena tempat ini adalah sebuah kota dan bukan wilayah yang patut dipasangi barisan selihay ini, maka Aki itu hanya menampilkan sebagian kecil kelihayannya."
Pemuda ini melangkah memasukinya. Dia bermaksud mengujinya, apakah benar barisan itu seperti yang di maksud. Ternyata sesuai dengan teori yang dia ketahui! Jaka menghela nafas prihatin, bahwa Ki Lukita bukan pendekar biasa, memang dia percaya penuh. Tapi dengan adanya formasi barisan itu, dia sadar, urusannya tak semudah yang dibayangkan.
Pemuda ini sengaja salah melangkah, tiba-tiba matanya seperti melihat gambar buram, dia seperti melihat beratus bayangan turun dari langit mengurung dirinya, padahal itu hanya formasi yang dibuat pada bunga setinggi lutut! Benar-benar hebat dan mengerikan. Menyadari hal itu dengan cepat Jaka melangkah tiga tindak kekanan dan dua langkah kedepan lalu dengan cepat ia juga meneruskan tujuh langkah kebelakang memutar teratur, setelah itu dengan gerakan bagai burung elang ia melenting kebelakang, gerakannya cepat sekali, jika ada orang yang melihat dari luar, pasti mengira pemuda itu cuma melompat kecil. Padahal refleknya, bukan saja gerakan penuh perhitungan, tapi merupakan jurus menghindar yang lihay.

010 - Perjumpaan Dengan Calon Guru

Rupanya saran Sugiri cukup baik, penginapan itu besar dan nyaman, tidak terlalu mewah, sangat sesuai dengan selera Jaka. Dengan langkah lebar, ia memasuki penginapan itu dan langsung disambut pihak penginapan dengan penuh suka cita. Tentu saja mereka menyambutnya penuh suka cita, siapa sih yang tidak mau duit? Karena hari masih siang, Jaka tidak berminat tinggal dalam kamar, pemuda ini memesan sebuah kamar nomer satu yang berada di pojok ruangan pada tingkat kedua. Usai menaruh barang bawaannya, pemuda itu segera melangkah keluar dari penginapan. Sejak semula dia memang ingin mengunjungi tempat yang menjadi objek wisata, hanya saja ia tidak tahu dimana tempatnya—walau dia sudah pernah beberapa kali kekota itu, untuk suatu keperluan (bukan untuk santai)—setidaknya ia berharap ada orang yang menjadi pemandu, kalau ia menginginkan pelayan itu, rasanya ada yang tidak pas. Ada banyak hal kenapa ia menganggap pelayan itu tak pantas, pertama karena dia ‘mirip’ pelayan. Kedua, dan seterusnya, masih banyak alasan yang memberatkan menurut Jaka.
Dengan berjalan mengikuti kemana arah jalan besar, dia mengharap ada sesuatu pemandangan yang dapat menarik minat hatinya sebagai petualang dan pencinta alam, juga sebagai...

009 - Kota Pagaruyung

Hari Kesatu

Siang itu tidak begitu panas, tapi penduduk kota jarang yang keluar rumah, padahal langit cerah tanpa awan. Di ujung jalan, terlihat beberapa orang berlalu lalang, dan diantaranya seorang pemuda. Dia berpakaian serba hijau agak lusuh, mengenakan penutup kepala dari kain putih yang di ikatkan begitu saja. Ikat pinggang yang membelit pinggang berwarna kuning tua agak kontras dengan bajunya. Penampilannya bersahaja, membuat orang tidak perlu memberi perhatian, dialah Jaka Bayu, pemuda ini memutuskan untuk menunda perjalanan ke Perguruan enam Pedang. dia teringat ada sebuah kota, yang dulu pernah disinggahinya, maka ia memutuskan untuk berdiam beberapa hari di kota ini.
"Cerah sekali hari ini," pemuda ini memandang berkeliling. "Kenapa tak seramai biasanya? Sayang, cuaca sebagus ini disia-siakan..."
Dengan langkah pasti dia memasuki sebuah rumah makan cukup mewah. Begitu masuk, dia segera merasakan hawa sejuk dalam ruangan itu, dan membuatnya ingin berlama-lama.

008 - Bersiasat

Terlihat oleh mereka tanah yang dipijak pemuda ini sedikit amblas, dan makin amblas. Padahal jalan pegunungan itu terbuat dari batu cadas. Bagi seorang yang memiliki hawa sakti handal, membuat amblas kaki ke dalam batu cadas itu hal sepele, tapi yang membuatnya jadi rumit dan luar biasa, tak kala hawa murni itu bukan sekedar membuat amblas, namun dalam jarak belasan langkah kesamping kanan kiripun ikut amblas. Seolah-olah ada benda raksasa jatuh menghantam tanah cadas itu.
Detik berikutnya Jaka melecat tinggi kesisi kiri dinding tebing dan dengan gerakan aneh pula, dia memutar tubuh dan kakinya menjejak tebing. Hadirin terperangah manakala jejakan kaki Jaka menimbulkan efek yang serupa seperti pada jalanan cadas, cuma ini jauh lebih dalam.
Dengan pekikan lantang tindakan aneh pemuda ini ternyata belum berhenti, tubuhnya kembali melesat dan memutar diudara. Kejap kemudian, dia sudah berdiri di samping orang-orang Riyut Atirodra. Tak ada tanda-tanda kelelahan, nafasnya teratur seperti biasa. Sudah tentu mereka terkaget-kaget, dengan tergesa kembali menjauhi Jaka.

007 - Beliau, Jaka Bayu

Karena didepannya begitu banyak halangan, dengan sendirinya kuda itu berhenti, dan dua orang yang membayangi pun ikut berhenti. Hadirin memandang dua orang itu dengan seksama, belum lagi mereka tahu siapa mereka.
Arwah Pedang berseru, “Beliau tak ada bersama kalian?”
Dan hadirin pun paham siapa mereka, keduanya adalah orang dari perkumpulan yang sama dengan Arwah Pedang.
“Seharusnya tadi bersama kami, tapi ditengah jalan beliau ingin berbincang dengan seorang teman, dan memisahkan diri. Kami pikir sebentar lagi akan sampai.”
“O…” Arwah Pedang merasa heran, di jalan yang hanya ada satu tujuan ini, dan jarang orang awam lewat, siapa pula yang akan diajaknya berbincang? Bukankah tidak ada orang lain, kaum pesilatkah?
“Kalian tahu siapa yang diajak bicara?”

Minggu, 08 September 2013

006 - Riyut Atirodra

Dengan termangu, salah seorang dari mereka menjawab. “Sekalipun kami punya sembilan kepala, kami tak berani mengusik kaum Riyut Atirodra.” (Riyut Atirodra=Gelap gulita yang menakutkan).

Ya, Riyut Atrirodra adalah perkumpulan orang-orang yang tidak punya aturan, menurut mereka, di dunia persilatan apapun kehendak hati itulah batas aturan yang berlaku. Konon kaum Riyut Atirodra adalah tempatnya para sampah persilatan berkumpul. Jika mereka bertarung, sudah pasti selalu main keroyok dan menggunakan cara apapun untuk menang—menggunakan racun dan sandera adalah hal biasa bagi mereka.
Perkumpulan ini ada sejak empat puluh tahun silam. Kaum persilatan mengenalnya karena seragam baju mereka yang khas dan atribut lainnya yang berwarna warni, sangat mencolok.

Orang-orang rimba persilatan sama pusing kepala, jika berurusan dengan kaum Riyut Atrirodra, karena itu sebisa mungkin mereka menghindarinya. Lima tahun berselang, ada seorang tokoh ternama yang juga menjadi ketua perguruan besar, berurusan dengan kaum Riyut Atirodya. Meskipun dia dan anak muridnya sangat tangguh, tapi menghadapi gempuran ribuan orang yang menggunakan beragam senjata dengan bertempur tanpa mengindahkan peraturan, racun mematikan digunakan, bahkan lawan yang tertangkap dipakai sebagai tameng… mereka hanya menunggu waktu kejatuhan saja. Dalam waktu tempo semalam, Perguruan Teratai Lindu yang ternama, beserta penghuninya lenyap tak berbekas. Hanya tinggal bangunan kosong dan ceceran darah saja yang tersisa dari pertempuran itu.

Jumat, 23 Agustus 2013

005 - Perkumpuan Pratyantara

Kusir itu tak menggunakan alas kaki, terlihat telapak kaki yang mengenai punggung lawannya, membengkak besar, dan mulai membiru. Melihat gejalanya, itu luka keracunan.

Meski kesakitan, kusir itu bertindak sigap, dia menotok titik dan nadi penting pada betis, lalu cambuknya dililitkan pada betis, rupanya untuk menghambat laju racun.

“Kau…” dengus si kusir dengan perasaan marah.

Orang yang punggungnya tertendang, membalik badannya, dia tak mengatakan apa-apa, hanya memandang si kusir dengan tatapan seolah mengatakan, ‘kenapa kau pandang remeh aku?’

“Ah, tak disangka kayu yang kau sembunyikan di punggung ada jarum beracunnya.” Ujar si kusir dengan tatapan mata nyalang.

004 - Biro Pengiriman Golok Sembilan

Jika diukur dari lereng Gunung Kumbhira, letak pusat pemerintahan Kerajaan Rakahayu hanya berjarak 190 pal (285 km) ke arah barat. Jarak Gunung Khumbira ke Kota Pagaruyung adalah 250 pal (375 km)—kearah timur. Tentu saja jika sedang menempuh perjalanan dari kota Pagaruyung menuju Kerajaan Rakahayu, akan menempuh jarak 440 pal (660 km), itu sama halnya berkuda tanpa henti selama 16½ jam. Sekalipun itu kuda terbaik—paling tangguh, tapi tak mungkin dipacu terus menerus seperti itu.

Sayangnya teori tersebut tak berlaku bagi beberapa orang berkuda yang melintas jalan dengan kecepatan tinggi. Mereka—lima orang, memacu kudanya seolah hanya itulah hal terakhir yang dapat dilakukan.
Kuda, tentu saja punya keterbatasan. Beberapa saat kemudian, kuda terdepan meringkik keras dan tersungkur, detik berikutnya kuda yang lain juga. Dari mulut kelima bintang itu keluar buih, binatang itu mati kelelahan.

Kelima orang itu saling pandang, wajah mereka tampak memucat. Tanpa bicara, pimpinan mereka memberi tanda agar perjalanan tetap dilanjutkan. Dengan patuh mereka segera berlari.

Senin, 19 Agustus 2013

Bocah Seribu Aneh - I - Kelahiran

Pendekar Aneh
Jilid 1 : Bocah Seribu Aneh
Bagian - I - Kelahiran



Langit begitu mendung. Awan sudah berwarna hitam kelam. Matahari tak menampakkan sinarnya setitikpun. Kelam, semua gelap, entah bermakna apa. Hanya Dia saja yang tahu apa maknanya. Para penduduk berkeliaran diluar rumah untuk melihat apa gerangan yang terjadi.

Hari itu adalah hari yang paling aneh. Sepanjang waktu yang pernah dilewati, belum pernah ada kejadian seperti itu. Biasanya kalau ada kejadian aneh, para penduduk desa yang lebih percaya pada mitos kuno, selalu menunggu diluar rumah untuk meminta berkah pada kejadian aneh itu. Hi… itu kan syirik!

Langit kian pekat bagai menjelang malam, berangsur-angsur mengelam dan makin gelap. Di ufuk barat sana, petir berkeredepan dengan ganasnya. Sebuah pohon beringin yang berusia puluhan tahun tersambar. Tapi tunggu dulu! Biasanya kalau pohon kesambar petir, tentunya hangus, gosong! Atau setidaknya ada hangus dan item-itemnya sedikit. Tapi ini malah sebaliknya. Pohon beringin tadi, bukannya tumbang dan berubah warna, malah kelihatan semakin hijau. Yang lebih aneh, dengan lambat tapi pasti, daunnya berubah menjadi kuning. Tapi bukan kuning layu, tapi kuning keemasan. Warna yang memancarkan sinar kewibawaan dan keangkuhan.

Pendekar Aneh - Prolog

Pendekar Aneh

Prolog

pendekar aneh mengisahkan petualangan seorang pemuda bernama Yuda Gerhana dalam rutinitas seorang pendekar, apalagi kalo bukan membasmi kejahatan dengan ilmu ala Wiro Sableng, (mungkin rada lebih hebat? hehe). Seorang pendekar dengan dandanan norak dan rada-rada playboy gitu deh.. banyak gadis kepincut, dan sialnya hatinya memang rada gamang menentukan mana yang akan jadi pilihan ke-3 .. loh?! :o

-----

Pedang Tetesan Embun 01 - Prolog

Pedang Tetesan Embun

01 - Prolog

Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
Dan bahwa seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
 Dan bahwa usaha itu kelak akan diperlihatkan
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,
Dan bahwa kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu,
Dan bahwa dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis,
Dan bahwa Dialah yang mematikan dan menghidupkan,
Dan bahwa Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.
Dari air mani, apabila dipancarkan.
(Serat Lintang, larik-38 sampai larik-46)

Di sebuah hutan, tampak seorang kakek tua menghela nafas, dia membaca penggalan kalimat itu dengan penyakinan dan perenungan mendalam. Secarik tulisan dari kulit kambing yang ada di tangan kakek itu sudah kusam, tulisannyapun tidak sama dengan yang dikenal masyarakat pada umumnya. Membaca tulisan itu lagi, wajah tuanya terlihat damai, meski ada segurat luka menghiasi parasnya.

01 – PB : Gluduk Alit

PETUALANG BENGAL

Suasana dipuncak gunung Halimun nampak tenang dan tentram. Setiap orang yang memandang puncak itu, sudah pasti akan berdecak kagum, karena memang puncak halimun yang kebanyakan dikenal orang berada di gunung Kabut, sangat indah. Hutan di sekitar gunung kabut rimbun dan hijau, penduduk yang tinggal jauh dari kaki gunung itu juga ramah. Singkatnya kehidupan di sekitar Gunung Kabut begitu mengesankan dan menyenangkan. Namun tak ada yang tahu kalau di puncak halimun, setiap pendaki hampir dipastikan tersesat dan tak pernah kembali.

Karena dari dulu amat banyak orang yang bermaksud mendaki puncak itu, maka sudah tak terhitung banyaknya orang yang hilang disitu, dari pendekar kenamaan sampai maling atau penjahat paling hina sekalipun, tak tentu rimbanya. Berita menghilangnya orang-orang gagah di puncak gunung itu, membuat orang penasaran. Mereka juga mencoba untuk mendaki kesana. Tetapi tetap tak satupun yang kembali. 

Hingga puluhan tahun berikutnya, tidak ada orang yang berani menapakkan kakinya untuk menuju puncak Halimun. Paling banyak orang hanya mau berjalan sampai lambung gunung kabut yang diberi nama Pusara Keramat. Mereka hanya ingin mendapat petuah dari Pusara Keramat, karena menurut kabar angin, orang yang dimakamkan disana merupakan sosok setengah dewa yang belum pernah dikalahkan oleh siapapun.

Kamis, 15 Agustus 2013

003 - Sang Pocong

Tanpa sadar keduanya saling berpegangan tangan. Sungguh sial ketemu hantu, pikirnya. Sekalipun mereka tahu, si pocong itu hanya hantu bohongan, tapi dimalam hari sunyi senyap, melihat orang yang sejak tadi tak bisa mereka lihat, sekalipun bukan hantu, si pocong sudah mereka anggap sama dengan hantu.

“Dasar anjing goblok!” ujar orang itu menirukan makian Sora sambil tertawa panjang—ngikik, mendirikan bulu roma. “Mana?” ucapnya sambil menjulurkan tangan. Maksudnya jelas, meminta apa yang dia pinta tadi.

Sora dan Sena saling pandang, cukup dari saling memandang, maka apa yang selanjutnya akan mereka lakukan sudah dipahami masing-masing.

“Hiat!”

002 - Cakar Darah Mayat

“Kalian binatang!” raung Kaliagni sambil menerjang. Serangan yang dikerahkan Kaliagni merupakan serangan putus asa, dia sudah tidak ingin hidup lagi melihat kesempatan sudah tertutup baginya—bagi keluarganya, karena itu tenaga yang dikeluarkan Kaliagni begitu besar, mungkin setara dengan tujuh puluh tahun hasil latihan

Dua orang itu tampak terperanjat, namun dengan sigap, mereka menghindar kesamping seraya menghamburkan hawa murni, pukulan jarak jauh menyambar! Dengan enteng, Kaliagni menghindarinya, dia melejit cepat menyergap Ketua Sembilan.

Kali ini Ludra tidak ingin terlambat lagi, begitu Kaliagni bergerak, diapun segera ikut menyerang. Agaknya dua ketua itu mendapatkan lawan setimpal. Lawan yang putus asa, terkadang lebih merepotkan, sebab mereka bisa mengembangkan seluruh potensi, karena terpikir bahwa, situasi, asa, dan kondisi, tidak berpihak lagi.

001 - Pertemuan Rahasia

SERULING SAKTI BAGIAN – 1:
ELEGI PERGURUAN NAGA BATU

Menjelang tengah malam, ditempat lain mungkin sudah sunyi senyap. Tapi kota Pagaruyung harus di kecualikan. Memasuki dini hari pun, suasana baik dipusat kota atau pinggiran, terlihat masih ramai. Banyak orang berjualan macam-macam, ada juga yang asyik bergadang di rumah makan sambil ngobrol.

Tapi keramaian itu tidak membuat tiga sosok bayangan yang berkelebat menyelinap kesana-kemari, terganggu, mereka terlihat ‘berjalan’ begitu enak dan santai di jalan sempit berjubel, lantaran banyak orang berjualan disitu.