Suasana perbatasan diwilayah timur, kelihatan lengang. Kalau dihari biasa, penduduk kota itu juga jarang kesitu, sebab yang namanya perbatasan tentu saja selalu dilalu orang-orang yang berniat keluar-masuk kota.
Tak jauh dari gapuran perbatasan, ada sebuah kuil cukup
besar. Kuil itu sudah ditinggalkan penghuninya, disana sini banyak semak
meranggas. Kuil itu disebut para penduduk kota sebagai Kuil Ireng atau kuil
hitam. Disebut itu karena baik siang atau malam dinding kuil yang seharusnya
abu-abu selalu terlihat hitam legam. Tentunya kalau malam orang tak perlu
memikirkannya, sebab tiap benda berwarna selain putih pasti terlihat hitam.
Tapi karena disiang hari kuil itu selalu dilindungi bayangan pohon besar
sehingga sinar matahari tidak bisa menembus sedikitpun, karena itulah dinding
yang kelabu terlihat hitam.
Kuil itu jarang disinggahi orang, kata penduduk
setempat Kuil Ireng termasuk angker. Entah apa yang membuat orang menyebutnya
begitu, yang jelas ada alasan tertentu.
Jaka sampai ditempat itu lebih lambat setengah
kentongan dari waktu yang dijanjikan. Dia mengedarkan pandangannya, banyak
pepohonan besar disekitar kuil. Karena saat itu Jaka berada ditempat terbuka,
tentu saja bila ada orang bersembunyi disitu, akan melihat kedatangannya.
Jaka bersiul, menirukan suara burung malam, suaranya
cukup keras. Di keremangan malam, terdengar suara semacam itu, jika kau seorang
penakut, pasti akan berpikir segera berlalu dari tepat itu. Pemuda ini menunggu
sesaat, sebelumnya Jaka tak berpikir untuk menggunakan ‘cara bodoh’ seperti itu
untuk memberitahukan kehadirannya, tapi untuk saat ini, dia memang ‘cara bodoh’
itulah yang dirasa tepat.
Jaka menunggu sesaat, dan ia melihat tiga sosok
berkelebat cepat kehadapannya.
"Hm…" pemuda ini menggumam penuh arti. Ia melihat orang yang menyamar jadi pelayan juga ada. "Maaf kalian menunggu terlalu lama, aku ada kepentingan mendadak, jadi kedatangku tertunda." Kata Jaka berbasa-basi.
"Hm…" pemuda ini menggumam penuh arti. Ia melihat orang yang menyamar jadi pelayan juga ada. "Maaf kalian menunggu terlalu lama, aku ada kepentingan mendadak, jadi kedatangku tertunda." Kata Jaka berbasa-basi.
"Tidak apa-apa," sahut orang yang berdiri
paling depan.
"Kaukah yang menjadi tuan dari dua orang
itu?" tanya Jaka.
"Benar, akulah orangnya, aku Mahesa Ageng!"
sahut orang itu dengan nada tegas dan berwibawa.
"Tidak mengecewakan," sahut Jaka sambil
tertawa. "Apakah kalian membawa barang-barangku?"
"Tentu saja!" sahut Mahesa Ageng tanpa
ekspresi. Ia menoleh dan meminta barang pada orang yang berada disebelah
pelayan gadungan. "Ini barangmu!" katanya sambil menyerahkan buntalan
barang itu pada Jaka.
"Tunggu dulu," seru Jaka cepat saat tangan
Mahesa Ageng terulur. "Aku ingin pelayanmu yang memberikan padaku…"
kata pemuda ini membuat wajah Mahesa Ageng berubah sesaat.
Permintaan Jaka disetujui tanpa mengucap sepatah
katapun. Jaka menerima buntalannya dari tangan pelayan gadungan. "Eh,
omong-omong siapa namamu?" tanya Jaka pada si pelayan itu.
"Durba!" jawabnya singkat.
"Durba ya, memang sudah seperti yang kuduga."
Gumam Jaka dengan tersenyum penuh misteri. Setelah menerima barangnya, Jaka
tidak segera memeriksanya, perbuatan Jaka ini membuat ketiganya tercengang.
Tiga orang itu saling berpandangan, wajah mereka
kelihatannya agak tegang.
"Baiklah kalian boleh pergi." Kata Jaka dengan santainya, ia membalikan badan.
"Baiklah kalian boleh pergi." Kata Jaka dengan santainya, ia membalikan badan.
"Eh, ta-tapi…" tiba-tiba saja Durba berseru.
"Tapi apa?" tanya Jaka.
"Bag-bagaimana dengan penawarnya tuan?" tanya
pelayan itu dengan wajah cemas, sesekali ia melirik tuannya.
"Aku tidak akan memberikannya, sebab dua orang
temanmu itu bukan orang yang ingin kutemui, walau aku belum pernah melihat
kawanmu yang lain, tapi aku yakin keduanya yang sekarang berdiri didepanku,
bukan sosok yang berkunjung kekamarku. Jika kalian ingin main-main denganku,
mungkin.. ini sangat tidak tepat. Tidak baik, tidak baik..." Kata Jaka
masih dengan suara ramah.
Pemuda ini kembali melangkah pergi. Wajah Durba dan dua
orang lainnya berubah, kalau wajah Durba berubah pucat pasi karena kawatir, dua
orang lainnya tampak kelam membesi.
"Berhenti kau!" bentak orang yang mengaku
sebagai Mahesa Ageng.
Jaka berhenti, ia menoleh sambil tersenyum. "Ada
apa tuan? Apakah anda ingin merintang jalanku?" tanya pemuda ini dengan
sikap yang sangat tenang.
Mahesa Ageng kelihatan tercengang, "Kalau benar,
kenapa?!"
"Kalau benar, berarti kau harus segera menyiapkan
pemakamanmu." Sahut Jaka halus dengan nada berduka.
Ucapan Jaka yang pasti, tindak tanduknya yang begitu
tenang, membuat Mahesa Ageng terkejut, tapi wajahnya sama sekali tidak
menampilkan perubahan.
"Hh!" ia mendengus keras. "Kau
menggertak?!" geramnya dengan suara mengancam.
Jaka menatap Mahesa Ageng dan satu orang lainnya yang mengurung dirinya.
Jaka menatap Mahesa Ageng dan satu orang lainnya yang mengurung dirinya.
Tiba-tiba saja Jaka tersenyum geli, biarpun senyum itu
tak menandakan apa-apa, tapi dari raut wajahnya Jaka seolah menunjukan
kejadiannya sangat lucu.
"Kalian lucu sekali, sungguh beruntung nasibku
bertemu pemain sandiwara hebat, seperti engkau ini!"
"Keparat!" dengus lelaki yang disamping
Mahesa Ageng. Ia menyerang dengan satu pukulan.
Jaka tersenyum sambil menghindar. "Pukulan bagus,
sayang luput, kelihatannya latihanmu belum sempurna!"
"Bangsat, jangan menghina!" geram orang itu
marah. Ia mengerahkan serangan berantai yang amat luar biasa. Andai saja ada
orang berpengalaman yang melihat serangan itu, tentu dia akan mengatakan
serangan lelaki itu adalah rangkaian jurus Matahari Tanpa Kutub salah
satu andalan dari Perguruan Matahari Tanpa Sinar yang ada di wilayah
Timur.
Serangan lelaki itu mengalir seperti air bah, tanpa
putus-putusnya mematikan gerak langkah Jaka. Tapi anehnya tiap serangan yang
bagaimana sulit dan berbahaya sekalipun, tidak dapat menyetuh Jaka. Lima puluh
jurus berlalu dengan sia-sia, lelaki itu sadar, Jaka selalu mengalah.
Kelihatannya pemuda ini hanya memperhatikan serangannya saja.
"Sungguh serangan yang bagus, dasar ilmu silatmu
sangat kokoh," puji Jaka. "Tapi sayang sekali, kau mempercepat jalan
kematian!" sambung Jaka dengan tersenyum ringan.
"Tutup mulut anjingmu!" maki orang itu marah.
"Uh, selain tak becus menyerang, kau juga punya
serangan mematikan dengan memaki orang," goda Jaka sambil berkelit.
Gerakan Jaka sangat wajar dan tidak dibuat-buat, Mahesa Ageng yang dari tadi memperhatikan
cara Jaka mengelak, wajahnya makin melegak heran. Seolah pemuda itu mengetahui
gerakan apa yang akan diperbuat temannya.
Tiba-tiba saja Jaka berkelit, dan menubruk ke arah
Mahesa Ageng. Tentu saja orang itu tidak ingin serangan Jaka menngenainya,
dengan cepat Mahesa Ageng menggeser langkah kekanan, tapi sayang gerakannya
kurang cepat, lengannya sempat terpegang Jaka, tapi dengan sigap orang itu
mengibasnya.
Jaka tertawa, seolah mengejek, "Hebat betul bisa
menghindar." Puji Jaka dengan suara dalam. Wajah Mahesa Ageng kelihatan
kelam mendengar pujian Jaka yang berarti sindiran baginya. Ia ingin menyerang,
tapi Jaka dengan cepat membaca situasi, ia melompat menjauh dan kembali
bergebrak dengan lawannya.
Seratus jurus sudah berlalu dengan cepatnya, tapi
jangankan menyarangkan pukulan, menyentuh ujung baju Jaka saja, orang itu sama
sekali tidak bisa.
"Kena…" seru Jaka sambil tertawa. Pemuda ini
mengarahkan tinjunya kemuka si penyerang.
"Ih…" lelaki itu terkejut sekali, dengan
cepat ia menghindar kesamping, tapi karena terlalu terburu-buru, keseimbangan
badannya tidak terjaga ia malah terguling-guling.
"Keparat!" makinya dengan amarah makin
memuncak. Tapi ia tidak bisa melampiaskan amarahnya, sebab setiap seranganya
tidak bisa menyentuh Jaka. Bahkan saking kesalnya tadi, ia melepaskan jurus
penjagaan, dan menyerang membabi buta, tanpa di perkirakan saat ia melepas
pertahanan atas dirinya, Jaka menyerang dengan satu pukulan sederhana.
"Cukup Gemanti!" bentak Mahesa Ageng.
"Benar kata kawanmu itu Gemanti," sahut Jaka
menimpali. "Kalau kau makin banyak mengeluarkan tenaga, maka racun yang
kusebarkan tadi akan semakin cepat menjalar keseluruh tubuhmu!" kata Jaka.
Mendengar ucapan Jaka, orang yang disebut Gemanti itu
tercekat dengan muka pias. "Huh! Segala macam bualan kau keluarkan aku tak
akan percaya!" dengusnya marah.
"Aku tidak hanya sekedar menggertak, kalau kau
tidak percaya, sekarang coba kau tekan paha kiri dekat kemaluanmu dan bahu kiri
satu jengkal dari leher…"
Kata-kata Jaka makin membuat wajah orang itu memerah
jengah tapi merasa kawatir juga, apalagi Jaka berkata serius. Tapi bagaimanapun
ia harus segera memeriksa tempat yang dikatakan Jaka. Ia menekan tempat itu,
tiba-tiba saja ia menjerit dan jatuh terduduk, hingga akhirnya terguling rebah.
"Bagaimana, aku tidak bohong bukan?" tanya
Jaka sambil tersenyum ramah.
Bagaimana bisa begitu? Apakah Jaka menggunakan racun?
Tentu saja kejadian sesungguhnya Jaka sama sekali tidak
menyebarkan racun, Jaka mengatakan hal seperti itu karena ia paham benar dengan
tata letak syaraf manusia. Jaka sengaja memancing Gemanti untuk menyerangnya
dengan segala kekuatan, dan dengan jarak hindar yang ia kehendaki pula,
sehingga Gemati sering melakukan pukulan dan tendangan tak terarah, dan terus
buru-buru menyerang pula, manakala dia menganggap sedikit lagi Jaka bisa
terpukul olehnya. Gerakan memukul dan menendang yang dipaksa keluar dari pakem
jurus itulah, yang membuat gumpalan darah yang terhimpit lemak, berhenti pada
syaraf paha dan bahu, maka Jaka segera mengatahui kalau pada syaraf bagan paha
dan bahu orang itu akan terjadi pembalikan aliran darah yang tidak stabil.
Boleh dibilang inilah kepandaian utama Jaka, dia
mengetahui efek apa yang akan terjadi manakala seseorang melakukan sebuah
gerakan. Tentu saja bukan cuma itu, gerakan menghindar Jaka-pun merupakan satu
syarat mempercepat rekasi penyumbatan darah. Olah langkah Jaka yang cermat
dalam menarik semua emosi lawan, membuatnya makin leluasa 'mengerjai' lawannya.
Seperti pada saat Gemati menyerang lurus kedepan, Jaka
menghindar kesamping, dengan sendirinya Gemati akan menyerang ke samping kiri
atau kanan dengan kaki atau tangannya. Pada saat serangan kedua dilakukan, Jaka
menghindar kembali keposisi awal, begitu seterusnya. Artinya, Jaka-lah yang
mengontrol cepat lambatnya, aliran dalah itu berantakan. Jika aliran darah
tidak lancar, pembuluh darahpun segera merasakan akibatnya. Lambat-laun
serngannya tak bisa lagi menggunakan tenaga dengan optimal. Walau dia menyerang
dengan jurus secara ‘rapi’ dan ‘teratur’, tapi jika distribusi aliran darah
dalam tubuhnya terganggu, diapun akan segera merasakan akibatnya. Belum lagi
ditambah pengerahan tenaga yang tidak seimbang karena emosinya terpancing,
klop-lah jebakan Jaka.
Dengan demikian Jaka bisa membuat seseorang percaya bahwa
ia ahli dalam racun karena bisa mempengaruhi tubuh seseorang.
Karena Gemanti terlalu banyak mengerahkan tenaga,
begitu ia menekan bahu dan pahanya sontak saja bagian itu jadi tempat kelemahan
yang paling fatal. Karuan saja ia jatuh saking lemasnya. Seluruh tubuh ia
rasakan tidak dialiri tenaga lagi.
Mahesa Ageng yang melihat keadaan Gemanti yang begitu
menderita jadi ragu-ragu untuk menyerang Jaka.
Tentu saja Jaka tahu apa yang dipikirkan orang itu,
pemuda ini segera memanfaatkan situasi.
"Kau pikir hanya Gemanti saja yang terkena
racunku? Durba dan kau sendiri kena… jadi jangan bertindak ceroboh, kalau ingin
hidup sampai dua hari dimuka. Ah, sebenarnya aku tidak bermaksud buruk, andai
saja kau tidak membaluri racun pada buntalanku, tentu aku juga tidak akan
menaburkan racunku pada kalian. Sayang sekali kau mencoba-coba bermain racun,
apakah sebelumnya Durba tidak memperingatimu? Aku yakin dia sudah mengatakannya
bukan?"
Wajah Mahesa Ageng terlihat kelam juga pucat pasi,
sebab ia melihat Gemanti makin lama makin payah keadaannya.
"Kau jangan mengkawatirkan keadannya, untuk saat
ini dia tidak apa-apa. Tapi satu jam kemudian ajal baru merenggutnya."
Kata Jaka dengan santai. Pemuda ini membalikan badan dan segera melangkah
pergi.
"Tttu-tuan.." panggil Durba tergagap.
"Ada apa lagi? Apa kau ingin menanyakan kapan kau
masih bisa hidup? Kalau begitu biarlah kujawab, kau masih memiliki waktu dua
jam lagi. Racun yang berada dibuntalanku tadi sudah menyusup kepori-porimu,
lalu racun yang kutebarkan dengan bantuan angin juga sudah kau hirup, dan
sebelumnya bukankah kau sudah terkena racunku yang lain? Beruntung sekali kau
akan mati tanpa penderitaan. Tiga kombinasi racun yang ada ditubuhmu membuat
setiap saraf perasamu mati. Jadi, jangan kawatir kalau kau akan kesakitan."
Tutur kata Jaka terdengar enak, tapi siapapun yang mendengarnya merinding. Lalu
ia membalikan tubuhnya kembali, siap untuk pergi.
"Bukan itu yang ingin saya tanyakan tuan…"
seru Durba dengan suara diberanikan.
Jaka kembali membalikan badannya, "Jadi apa? Oh.. aku tahu, kau pasti ingin aku membantumu membebaskan tuanmu yang ditawan dua orang itu bukan?"
Jaka kembali membalikan badannya, "Jadi apa? Oh.. aku tahu, kau pasti ingin aku membantumu membebaskan tuanmu yang ditawan dua orang itu bukan?"
"Be-benar tuan… tapi dari mana tuan tahu?"
tanya Durba heran dengan suara terbata-bata.
"Mudah saja, saat aku memanggil tadi, seharusnya..
sebelum tiga hitungan kalian sudah muncul. Tapi aku harus menunggu beberapa
saat kemudian, lalu saat aku ingin pergi, hanya kau yang memanggilku dengan
kawatir, mudah sekali bukan? Aih, aku harus minta maaf, karena sandiwara tadi
tidak membuatku tertarik. Tapi boleh juga sikap tuan penyamar yang berperan
sebagai tuanmu. Dia cukup berwibawa, sayangnya sudah terbongkar, hanya
gara-gara kesalahan kecil semuanya jadi kacau!" ujarnya, lalu Jaka terdiam
sesaat.
"Tapi, aku sedang mempertimbangkan maksudmu...”
ujar Jaka seperti sedang berpikir. “Baiklah aku bersedia menolong, kemari
kau!" perintah Jaka pada Durba. Kali ini Durba merasa dirinya benar-benar
jadi pelayan. Ia mendekati Jaka dengan kepala tertunduk.
"Kau masih ingin hidup lama?"
"Tentu saja ingin!" sahut Durba cepat.
"Baik, jadi sekarang ini kau memintaku untuk
membebaskan tuanmu?"
"Benar tuan, biar tubuh saya hancur lebur asal
tuan majikan saya selamat, saya tidak menyesal!"
"Benar-benar pelayan yang setia!" puji Jaka.
"Tenang sajalah, tanpa aku berbuat apa-apa, dia pasti akan menyerahkan
majikanmu padaku. Kuyakin dia masih ingin hidup!" ucapan Jaka yang
terakhir disertai lirikan pada Mahesa Ageng.
Setelah itu Jaka duduk dengan santainya ditempat
terbuka itu. Durba mengikuti perbuatan Jaka, ia duduk di samping kiri belakang
pemuda itu.
Jaka memandang Mahesa Ageng dengan tatapan lekat,
pemuda yang berusia paling tidak dua puluh lima tahun itu kelihatannya makin
gugup.
"Tuan…"
”Ada apa?"
"Bukankah tuan bilang kalau nyawa majikanku dan
temanku hanya sampai besok saja? Sedangkan racun yang mengenai orang itu baru
bereaksi setelah dua hari, lalu bagaimana kalau dia berpikir..." Durba
tidak meneruskan ucapannya agaknya ia sadar kalau ucapannya itu bisa dijadikan
senjata oleh Mahesa Ageng palsu.
Dan memang wajah pemuda itu tiba-tiba saja berubah agak
tenang. Muncul sekulum senyum menyeringai dibibirnya.
Jaka memandang Durga dan Mahesa Ageng palsu sekejap.
Lalu ia tertawa geli. "Oh Durba, si pelayan yang setia, kau ini terlalu
lugu!" seru Jaka. "Tentu saja aku sudah memikirkannya sampai disitu,
memangnya waktu aku berkelit dan memegang lengannya itu untuk apa? Tentu saja
aku menebarkan racun yang lebih ganas. Paling tidak dia masih bisa hidup lebih
lama satu jam dari kawannya…" Ucapan Jaka kontan saja membuat muka Mahesa
Ageng palsu pucat pasi.
Jaka tidak banyak bicara lagi, tapi ia duduk seenaknya
di atas batu sambil mengawasi Mahesa Ageng dan sesekali melihat Gemanti yang
masih mengerang-erang.
Setelah beberapa saat berlalu, Jaka menghela nafas
panjang. "Banyak jalan mencari surga, mengapa orang selalu ingin ke
neraka? Memangnya neraka itu lebih asik dari surga? Ah, benar-benar membuat
orang tidak habis pikir." Gumam pemuda ini.
"Eh, Mahesa.." panggil Jaka dengan suara
ramah dan bersahabat. "Kalau kau lelah kenapa tidak duduk, berdiri terus
juga tak enak. Jangan-jangan kau sulit membuat keputusan ya? Aku yakin kalau
kau sudah menyentuh mata kaki kanan kirimu kau tidak akan ragu lagi."
"Hm, omongan busuk!" Geram pemuda itu agak
kaget mendengar ucapan Jaka. Ia ingin melakukannya, tapi ia kawatir kalau
kejadian serupa Gemanti menipa dirinya.
"Kau takut?" jengek Jaka mengejek.
"Memang seharusnya begitu, menyekap orang untuk tujuan tak jelas dan takut
bertindak memang tindakan pengecut. Jika memang begitu sifatmu, tidak ada
alasan bagiku untuk menyalahkanmu!" kata Jaka dengan nada apa boleh buat.
"Keparat! Kau pikir kau ini siapa? Dari pada
terhina, lebih baik kita mati bersama!" bentaknya dengan sangat marah.
Ia berkelebat menyerang Jaka dengan seluruh tenaganya.
Deruan angin panas dan dingin merebak cepat, kesiuran angin serangan Mahesa
Ageng palsu itu dapat membuat tulang ngilu. Tapi Jaka sama sekali tidak
bergerak dari tempat duduknya. Nyali Durba tak seperti Jaka, dia buru-buru
mengelak dan bersembunyi dibalik pohon. Saat serangan tinggal setengah tombak.
"Aaakh..."
Jerit
kesakitan melengking menghiasi malam yang lengang. Tampak satu sosok ambruk
tersungkur. Durba mengira Jaka terkena serangan itu, tapi ternyata yang jatuh
tersungkur adalah Mahesa Ageng palsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar