Jumat, 13 September 2013

013 - Menjumpai Tokoh Perguruan Naga Batu


"Hei!" sebuah seruan nyaring memecah keheningan. Ternyata seruan itu berasal dari perahu pesiar mewah. Hampir semua orang menoleh kearah perahu itu, kecuali Jaka. "Hei peniup suling,"
Mendengar seruan ini, tentu saja Jaka harus menoleh, karena dirinya yang dipanggil.
"Aku?" ujarnya bingung.
"Memangnya siapa lagi yang sedang meniup suling?" ujar suara dari dalam perahu pesiar itu terdengar melengking merdu.
"Ada urusan apa?"
"Guru dan nona kami mengundangmu…" suara lain terdengar melengking, kali ini terlihat sosok tubuh muncul di ujung perahu pesiar mewah itu. Seorang nona berusia paling banyak tujuh belas tahun berpakaian merah, wajahnya mungil dan terlihat amat manis. Kalau melihat bibirnya yang kecil dan tipis, serta raut mukanya, orang pasti dapat menduga kalau nona itu cerewet.
Pemuda ini tertegun, seingatnya dia tidak memiliki kenalan di daerah ini. "Tapi aku tidak mengenal guru dan nonamu." Sahut pemuda ini bimbang.
"Tidak perlu berkenalan segala, kalau guru kami ingin mengundang siapa yang dapat menolak?" sahut seorang nona barbaju hijau yang muncul dari perahu itu. Karena jarak antara perahu Jaka dengan perahu mewah itu hanya tujuh tombak, maka pemuda ini dapat melihat jelas bagaimana wajah dua nona yang suaranya terdengar amat binal dan centil itu. Keduanya memang cantik dan sama-sama cerewet.
"Ada keperluan apa sebenarnya?" pemuda ini masih enggan kesana. Sebab dari tingkah dua gadis ini saja ia mungkin sudah dapat gambaran dari tuan rumah perahu mewah itu.
"Mana kami tahu…" tukas nona baju hijau.
"Wah bagaimana ya," pemuda ini mengangkat bahunya, seakan tak perduli. "Kalau bukan masalah penting, lebih baik aku tidak perlu berkunjung, mengganggu ketenanganku." Sambung pemuda ini tegas.
"Eh, kau berani menolak?" teriak nona maju merah sewot.
Jaka tersenyum, "Aku bukannya menolak, hanya saja karena maksud mengundangku tidak jelas, kan tidak salah jika aku tidak begitu berminat bertemu dengan guru kalian. Tapi jika sungguh-sungguh menginginkan aku jadi tamu, tanya kembali pada gurumu, apa maksud mengundang diriku, kalau tidak ada jawabnya yang pasti lebih baik jangan mengganggu. Alam seindah ini bukan tempat yang cocok untuk beradu kata-kata, nona…"
Ucapan pemuda ini benar-benar membuat nona baju merah jadi gemas sekali. Tapi ia tidak bisa marah, karena Telaga Batu merupakan daerah umum, dia tidak bisa seenaknya bertingkah. Lagi pula alasan pemuda itu memang tepat. Apalagi diantara mereka sebelumnya tidak saling mengenal, orang bisa langsung memastikan kalau penghuni perahu mewah itu sengaja cari gara-gara, bisa jatuh pamor meraka. Belum lagi nona baju merah menjawab ucapan Jaka, nona baju hijau menyerobot lebih dulu. "Memangnya kau ini siapa? Berani menolak undangan guru…" belum sampai ia menyelesaikan ucapannya nona baju merah menyikut dirinya.
Mendengar nada ucapan nona tadi, Jaka sudah dapat meraba situasinya. Dengan tersenyum ramah pemuda ini membungkuk hormat. "Aku bukan siapa-siapa nona, aku hanya orang biasa yang senang berkelana, karena itu undangan dari gurumu yang mendadak membuatku merasa tersanjung, tapi juga membuat bingung. Dengan tidak mengurangi rasa hormatku, aku menolak undangan ini karena tidak jelas apa arti undangan ini!"
Perkataan Jaka diutarakan dengan lemah lembut, dan lagi pula benar, dua nona itu tidak bisa apa-apa. Mereka saling berpandangan, dengan muka cemberut, nona baju merah segera masuk kedalam untuk bertanya maksud dari undangan gurunya pada Jaka.
"Tunggulah sebentar, adikku akan menanyakan apa yang menjadi ganjalanmu!" kata nona baju hijau ketus.
"Baik, aku tunggu." Sahut pemuda ini masih tetap ramah. Lalu dengan duduk di ujung perahu, pemuda ini kembali mengawasi dinding tebing batu untuk menikmati keindahannya. Pemuda ini menghela nafas, dia sudah tidak begitu selera lagi menikmatinya, sekejap dia melirik, ada dua perahu yang jaraknya hanya berkisar lima-enam tombak dari perahunya.
Jaka melihat setiap perahu memiliki penumpang empat orang. Pemuda ini menggeleng gemas, Sekaliapun kalian bekerja secara rahasia, jika cara membuntuti orang, hanya berkemampuan begini, andaikan aku atasan kalian, siang-siang aku sudah memecatnya. Sepintas saja Jaka sudah tahu kalau mereka membuntutinya. Bagi orang awam, kedua perahu itu tiada sesuatu yang patut dicurigai. Tapi bagi pandangan Jaka, justru banyak hal yang dapat ia simpulkan—sekali pandang saja.
Jika mereka adalah pelancong, bagaimana bisa ke delapan orang dalam dua perahu itu memiliki ciri yang sama? Rata-rata bertubuh kekar. Sekalipun mereka bersikap santai, tapi gerak-geriknya tidak leluasa—itu satu alasan kenapa Jaka mencela cara kerja mereka.
Adalah jamak jika Jaka berpikiran, bahwa penguntitnya hanya pion-pion—seorang keroco. Dan pandangan Jaka melayang tepi Telaga Batu, dia melihat sesosok tubuh tinggi besar, agak tersembunyi dari keramaian nelayan. Jaka tersenyum sembari menghela nafas, dia sudah dapat menarik kesimpulan bahwa delapan orang yang ada didua perahu itu adalah kawan, atau anak buah Bergola. Sebenarnya timbul dalam pikiran Jaka untuk melambaikan tangan kearah Bergola, tapi sesaat dia menyadari kalau itu bisa mengganggu ketenteraman keluarga Ki Lukita.
Untuk sesaat dia mengawasi perahu pesiar yang mewah, perahu itu berwarna abu-abu, di ujung badan perahu terlihat pahatan kepala naga. Dan pada bagian badan perahunya juga terlihat lukisan naga.
"Tapi, mungkinkah mereka juga anggota Perguruan Naga Batu?"
Sambil mengawasi perahu mewah itu, Jaka juga melirik sekilas ke arah dua perahu yang menguntit perahunya, bibirnya tersenyum tipis.
Mereka seharusnya bertindak sebelum aku jadi perhatian, ha-ha… kalian harus bersabar kalau tidak ingin bentrok dengan orang-orang Perguruan Naga Batu. Hh, menyenangkan… kelihatannya persoalan ini bisa kuraba arahnya, tak jadi masalah bagaimana akhirnya nanti. Aku punya banyak alternatif untuk menyelesaikannya. Yah, tentunya dengan catatan, jika orang dalam perahu mewah itu adalah anggota Perguruan Naga Batu. Jika bukan, kemungkinan besar mereka satu perkumpulan dengan Bergola, mungkin tingkatan mereka lebih tinggi. Jika dugaanku benar, penguntitku ini pasti tidak ingin bertindak ceroboh, saat atasannya turun tangan sendiri. Rasanya cukup beralasan, mereka menguntitku setelah Bergola meninggalkan rumah Ki Lukita. Mungkin ada salah satu dari mereka, melihat diriku menjumpai Ki Lukita. Tapi aku yakin mereka tidak mengetahui untuk apa aku berjumpa dengan beliau! Kalian salah perhitungan, salah sasaran, salah pula mencari pelampiasan! Hh… senang rasanya aku bisa menggerakkan badan lagi. Keterlibatanku pada kejadian ini mungkin kebetulan, kusangka sederhana, tak nyana cukup gawat. Apakah ini keberuntungan atau kemalangan? Aku tak tahu… sambil memikirkan kemungkinan yang akan terjadi, dengan sabar pemuda ini menunggu munculnya orang dari perahu mewah.
Berkelana beberapa lama dalam dunia persilatan, sudah cukup banyak pengalaman yang diperoleh anak muda ini. Hanya saja dia sering kali bertindak ceroboh, masa bodoh, kadang acuh tak acuh. Meskipun dia tahu apa yang dilaluinya merupakan jebakan. Terkadang Jaka mengikuti permainan lawan lebih dahulu, baru setelah dia berada didalam, segala daya upaya dia curahkan untuk memecahkan kesulitan yang di alami. Menurutnya kesempatan itu sangat langka, dan dengan hal tersebut seluruh potensinya bisa ditarik keluar. Sungguh pikiran yang aneh. Tentu saja dengan pikiran seperti itu, taruhannya sangat besar, nyawa! Tapi Jaka tak pernah menghiraukannya, bukan karena Jaka tidak takut mati, tetapi dia memiliki alasan tertentu, yang memang seharusnya dia lakukan. Sebagai ujian dan sebagai bekal. Perlu diketahui, selama berkelana, pemuda ini boleh dibilang jarang—bukannya tidak pernah—sekali mempergunakan ilmu silatnya, ia selalu bertindak wajar, sebagai layaknya orang awam yang tidak tahu kepandaian silat, kalaupun keadaan terpaksa ia hanya mengerahkan olah-langkah dan peringan tubuhnya saja. Alasan utama dia bertindak demikian, karena dia mencegah dirinya agar tidak mencelakai siapapun. Tentu saja masih banyak alasan lain…
Tapi itu tidaklah absolut, artinya bisa saja Jaka bertindak, melihat situasi dan kondisi. Jika memang memungkinkan baginya tidak mengeluarkan ilmu silat, dia lebih suka berdiplomasi dari pada harus bertempur.
Kali ini Jaka berpikir apakah dirinya harus memperlihatkan bahwa dirinya mahir ilmu silat? Sambil menghela nafas panjang, pemuda ini makin tenggelam dalam lamunan. Dia tidak sadar kalau nona baju merah sudah keluar dari dalam bilik perahu.
Tapi anehnya, melihat pemuda itu sedang melamun, dia sama sekali tidak mengganggu. Mungkin setelah melapor, nona itu malah kena tegur sang guru, agar tidak bertindak kasar dengan calon tamunya.
Jaka masih merenung, Jika aku membuyarkan identitas—bahwa aku memiliki ilmu silat, saat aku berkunjung kerumah Ki Lukita, mungkin tak leluasa lagi. Bisa saja, beliau malah dicurigai. Nanti malam Aki akan menghadari sebuah pertemuan, yang aku sendiri tidak tahu untuk apa. Jika kali ini mereka tahu bahwa aku menguasai ilmu silat, bukankah saat kukuntit pertemuan nanti malam, Bergola mungkin sudah menduga bahwa aku yang datang? Lalu bagaimana dengan Ki Lukita? Sekalipun aku tahu beliau memiliki semacam kelompok rahasia, aku tidak boleh membuat beliau hidup tak tenang. Hh, masih banyak pemecahan dari persoalan ini. Kalau saja saat ini kutunjukan bahwa aku mahir ilmu silat maka gerak-gerik Bergola tidak akan seberani saat ini, lagi pula Ki Lukita tidak akan di curigai bahwa beliau punya ilmu silat. Wah, apapun tindakan yang kuambil harus hati-hati, apa lagi aku juga dilarang menggunakan ilmu mustika. Hh, sebenarnya aku tak perlu merisaukan masalah seperti ini. Lagi pula, siapa bisa menduga apa yang akan kulakukan? Berpikir demikian, Jaka kelihatan lebih tenang.
Perlahan ia berdiri, lalu mendongkakkan kepala kearah perahu mewah itu. Entah berapa lama ia berpikir merangkai satu kesimpulan. Dilihatnya geladak perahu mewah besar itu sudah ada lima orang nona yang terlihat menanti dirinya. Menyadari ia tak bisa menghindari undangan itu, iapun segera menaruh perhatian.
"Bagaimana, ada maksud apa tuan kalian ingin mengundangku?” tanya Jaka tak berbasa basi.
"Guru kami mengatakan bahwa ia selalu menjamu setiap orang berbakat bagus, ia mengatakan kalau tuan adalah orang yang berbakat bagus dalam bidang yang tuan tekuni, jadi beliau tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menjamu tuan." Kata nona berbaju merah. Jaka agak heran mendengar nona itu tidak berani berbicara keras dan kurang ajar seperti tadi, sesungguhnya pemuda ini paling suka kalau ada seorang gadis yang tidak pernah menutup-nutupi sifat aslinya dengan sikap ramah seperti itu.
Tapi kalau menilik dari nada bicara nona baju merah itu pemuda ini dapat menyimpulkan bahwa orang dalam perahu mengetahui kalau ia menguasai sebuah kepandaian, mungkin orang itu mengukur tingkat kehandalan dan bakat dirinya dari seruling yang ia tiup tadi. Suara, ya… mereka mengukur keandalan orang dari suara! Berpikir seperti itu, mau tak mau Jaka harus waspada, sebab orang yang dapat mengetahui bakat orang hanya dari frekuensi suara, tergolong tokoh tingkatan tinggi.
“Jika aku menolak?” tanya Jaka sambil tersenyum.
Gadis-gadis itu saling tatap. “Berarti kau…” si nona baju merah tak meneruskan ucapannya.
“Ya?”
“Kau…”
“Aku kenapa?”
“Kau orang tolol!”
Jaka melegak sesaat, lalu ia tertawa. “Memang benar aku orang tolol, malah tidak membuat repot guru kalian untuk mengundangku segala?”
Sungguh gemas mereka mendengar ucapan Jaka, memang benar ucapan Jaka, logikanya kalau dia adalah orang tolol, maka undangan untuk menjamu orang berbakat kan tidak berlaku?
“Kau…” geram si gadis baju merah dongkol.
“Aku bagaimana nona?”
“Maafkan dia tuan.” Tiba-tiba saja gadis baju hijau menyoja kearah Jaka.
“Ucapannya hanya menuruti kata hatinya.”
Jaka tertawa. “Tidak mengapa, aku malah senang menghadapi orang-orang polos seperti dia.”
Sungguh, baru disadari olehnya—si gadis baju merah—bahwa; ia sangat beruntung memakai baju merah, sebab pipinya yang merona tidak diketahui teman-temannya. Ucapan Jaka yang sepintas lalu tadi, baginya lebih berpengaruh, dari pada rayuan.
Sejak awal Jaka memang tertarik untuk mengenal siapa orang dalam perahu. Jaka berkata menolak cuma iseng saja.
"Baiklah, demi menghormati kalian yang mau bersusah payah bertanya, aku akan segera datang.”
“Terima kasih.” Sahut gadis berbaju hijau.
“Sebelum aku lupa, kuingin bertanya… apakah kalian keberatan?"
"Silahkan, jangan sungkan-sungkan…" suara nona baju biru ini terdengar lebih empuk dan merdu ketimbang nona baju hijau dan nona baju merah.
"Apakah kalian… guru kalian, adalah anggota Perguruan Naga Batu?"
"Benar!" sahut nona baju biru memperhatikan Jaka lekat-lekat, meski jaraknya agak jauh, tetapi dia bisa melihat raut wajah si pemuda dengan jelas, dan sesaat kemudian ia tak berani memandangnya lagi.
Mendengar jawaban itu, Jaka menghela nafas antara lega dan gelisah, namun begitu, seluruh perhitungannya tadi jadi tidak sia-sia.
"Kalau begitu apakah aku harus segera datang?" tanya pemuda ini lagi.
"Tentu saja, guru kami sudah menanti…" setelah berkata begitu, nona baju biru menoleh kearah nona baju merah. "Adik sediakan tangga tali!"
"Tidak perlu nona!" sahut Jaka. "Biar aku yang datang kesitu…" setelah berkata begitu, Jaka mengeluarkan batu pemberat yang terikat pada tali di ujung perahu, di cemplungkan batu itu agar perahunya tak berpindah karena terhempas gelombang telaga. Setelah selesai, seperti tak sengaja, pemuda ini melirik sekejap kearah dua perahu yang ada dibelakangnya.
"Hm," mengumam perlahan penuh perhitangan, mendadak tubuhnya melecat keatas dan melayang bagai burung. Perahu yang dibuat tumpuan untuk meloncat, tak begerak—kecuali karena hempasan gelombang telaga.
Semula jarak antara perahunya dengan perahu mewah itu ada tujuh tombak, tapi kini sudah terpisah sepuluh tombak, karena perahunya terhempas oleh gelombang telaga. Dan anehnya Jaka tidak melompat menuju perahu mewah itu, pemuda ini malah melompat tinggi di atas perahunya.
Tiba-tiba saja di udara tubuh pemuda menggeliat lembut bagaikan sehelai kapas tertiup angin, dengan perlahan tubuhnya bergeser atau lebih tepat lagi, melayang! Dan akhirnya mencapai ujung perahu mewah.
Wajah pemuda itu terlihat biasa, nafasnya juga tidak terengah. Dari sini saja sudah terlihat betapa menakjubkan kelihayan peringan tubuh pemuda itu. Lima nona yang ada di perahu mewah itu terbelalak takjub melihat demonstrasi peringan tubuh yang amat sempurna. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pemuda berusia paling tidak dua puluh tahun itu, memiliki peringan tubuh lihay. Andai saja Jaka meloncat dari perahunya ke perahu mereka dengan jarak yang sama, kelima nona itu akan tetap mengaguminya. Bagaimanapun juga, meloncat tanpa ancang-ancang sejauh sepuluh tombak (20 meter) hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki dasar olah ilmu murni, dan latihan keras belasan tahun. Tapi apa yang dilakukan Jaka berkali lipat lebih hebat dari sekedar meloncat, hakikatnya ilmu meringankan tubuh macam itu belum pernah terlihat oleh mereka. Padahal selama banyak tahun mengikuti sang guru, mereka sudah merasa cukup berpengalaman, mereka yakin cukup tahu berbagai gerakan jurus-jurus perguruan lain. Tapi pengalaman kali ini benar-benar membungkam mereka dan makin melebarkan mata mereka, bahwa peringan tubuh pemuda ini tidak sama dengan pengetahuan yang mereka ketahui. Mereka sadar, sang tamu itu bukan sekedar pemuda biasa, mungkin saja salah satu murid sesepuh persilatan yang sudah mengundurkan diri. Tanpa terasa timbul rasa hormat padanya…
Ternyata, bukan hanya lima nona itu saja yang terkejut, mereka yang tadi menguntit Jaka, juga kaget bukan kepalang, dalam hati, mereka sangat bersyukur tidak bertindak ceroboh. Mereka sadar bisa jadi merekalah yang menjadi bulan-bulanan pemuda yang dikuntit tadi.
Begitu pula dengan Bergola dan temannya—dia yang melihat sembunyi-sembunyi dari tepi telaga—turut tercekat kaget. Wajahnya pias, rasa kawatirnya makin besar, begitu melihat pertunjukan peringan tubuh lihay tadi. Dia berpikir untuk menyusun rencana baru, kalau rencana lamanya gagal.
Tentu saja yang dimaksud 'rencana' disini adalah urusannya dengan Aki Lukita, ia mendapat laporan dari anak buahnya bahwa setelah kepergiannya datang seorang pemuda menjumpai Aki Lukita, karena takut Aki Lukita meminta bantuan atau membocorkan rahasianya pada pemuda itu, maka Bergola memata-matai Jaka dari jauh, dan berniat menghabisinya jika ada kesempatan. Tapi siapa duga peringan tubuh Jaka selihay itu? Sekalipun pemuda itu hanya memiliki peringan tubuh, bagi dirinya itu sudah cukup mengawatirkan. Kelak jika saling berhadapan, bisakah aku membunuhnya? Berpikir begitu, ciut nyali Bergola. Dia sadar, hal apapun tentang lawan, dia tak tahu sama sekali, jangankan untuk menghabisi, membayangkan jika dirinya bertemu dengan Jaka, tubuh Bergola berkeringat dingin. Bergola segera mengundurkan diri, dia tak ingin ada orang tahu dirinya bersikap aneh—maklum saja, sehari-hari dia dikenal cukup supel…
"Dimana aku bisa menemui tuan rumah, nona?" tanya Jaka.
Mendengar pertanyaan itu, kelimanya terkejut, hampir bersamaan mereka tampak tersipu-sipu, begitu juga dengan nona baju merah. Sebab tadi dia bersikap sinis, akibat hatinya tersentil ucapan Jaka. Tapi begitu menyaksikan kelihayan peringan tubuh tadi, nona baju merah itu merasa malu pada dirinya. Saat Jaka sibuk menyangkal ucapannya, timbul keinginan dalam hati untuk menantang bertarung. Nyatanya setelah melihat pertunjukan lihay tadi, hatinya langsung dingin, perasaannya jadi tak tentram, untung saja sikap sinisnya tadi semata-mata lantaran dongkol, karena alasan yang diucapakan pemuda itu tak bisa dia bantah.
"Silahkan mengikutiku…" nona baju biru yang pertama kali tersadar. Di iringi lima nona itu, akhirnya Jaka masuk ke dalam perahu mewah. Sesampainya didalam, pemuda ini melihat dua orang laki-laki paruh baya, dan seorang lagi sedikit lebih tua dari keduanya, mereka terlihat gagah berwibawa.
Wibawa mereka itu pasti bukannya didapatkan dengan cara yang mudah. Gurat tekad, kemauan tercermin dari sikapnya. Diam-diam Jaka menghela nafas prihatin, dia sadar urusan ini bukan sekedar perjamuan saja, pasti akan berkembang lebih rumit. Meskipun merasa kurang nyaman, Jaka tidak bertindak kurang hormat.
Begitu berhadapan dengan mereka, Jaka sedikit membungkuk memberi hormat, "Saya Jaka, merasa terhormat dapat berjumpa dengan tokoh dari Perguruan Naga Batu."

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar