"Hei!" sebuah seruan nyaring memecah keheningan. Ternyata seruan itu berasal dari perahu pesiar mewah. Hampir semua orang menoleh kearah perahu itu, kecuali Jaka. "Hei peniup suling,"
Mendengar seruan ini, tentu
saja Jaka harus menoleh, karena dirinya yang dipanggil.
"Aku?" ujarnya
bingung.
"Memangnya siapa lagi
yang sedang meniup suling?" ujar suara dari dalam perahu pesiar itu
terdengar melengking merdu.
"Ada urusan apa?"
"Guru dan nona kami
mengundangmu…" suara lain terdengar melengking, kali ini terlihat sosok
tubuh muncul di ujung perahu pesiar mewah itu. Seorang nona berusia paling
banyak tujuh belas tahun berpakaian merah, wajahnya mungil dan terlihat amat
manis. Kalau melihat bibirnya yang kecil dan tipis, serta raut mukanya, orang
pasti dapat menduga kalau nona itu cerewet.
Pemuda ini tertegun,
seingatnya dia tidak memiliki kenalan di daerah ini. "Tapi aku tidak
mengenal guru dan nonamu." Sahut pemuda ini bimbang.
"Tidak perlu berkenalan
segala, kalau guru kami ingin mengundang siapa yang dapat menolak?" sahut
seorang nona barbaju hijau yang muncul dari perahu itu. Karena jarak antara
perahu Jaka dengan perahu mewah itu hanya tujuh tombak, maka pemuda ini dapat
melihat jelas bagaimana wajah dua nona yang suaranya terdengar amat binal dan
centil itu. Keduanya memang cantik dan sama-sama cerewet.
"Ada keperluan apa
sebenarnya?" pemuda ini masih enggan kesana. Sebab dari tingkah dua gadis
ini saja ia mungkin sudah dapat gambaran dari tuan rumah perahu mewah itu.
"Mana kami tahu…"
tukas nona baju hijau.
"Wah bagaimana ya,"
pemuda ini mengangkat bahunya, seakan tak perduli. "Kalau bukan masalah
penting, lebih baik aku tidak perlu berkunjung, mengganggu ketenanganku."
Sambung pemuda ini tegas.
"Eh, kau berani
menolak?" teriak nona maju merah sewot.
Jaka tersenyum, "Aku
bukannya menolak, hanya saja karena maksud mengundangku tidak jelas, kan tidak
salah jika aku tidak begitu berminat bertemu dengan guru kalian. Tapi jika
sungguh-sungguh menginginkan aku jadi tamu, tanya kembali pada gurumu, apa
maksud mengundang diriku, kalau tidak ada jawabnya yang pasti lebih baik jangan
mengganggu. Alam seindah ini bukan tempat yang cocok untuk beradu kata-kata,
nona…"
Ucapan pemuda ini benar-benar
membuat nona baju merah jadi gemas sekali. Tapi ia tidak bisa marah, karena
Telaga Batu merupakan daerah umum, dia tidak bisa seenaknya bertingkah. Lagi
pula alasan pemuda itu memang tepat. Apalagi diantara mereka sebelumnya tidak
saling mengenal, orang bisa langsung memastikan kalau penghuni perahu mewah itu
sengaja cari gara-gara, bisa jatuh pamor meraka. Belum lagi nona baju merah
menjawab ucapan Jaka, nona baju hijau menyerobot lebih dulu. "Memangnya
kau ini siapa? Berani menolak undangan guru…" belum sampai ia
menyelesaikan ucapannya nona baju merah menyikut dirinya.
Mendengar nada ucapan nona
tadi, Jaka sudah dapat meraba situasinya. Dengan tersenyum ramah pemuda ini
membungkuk hormat. "Aku bukan siapa-siapa nona, aku hanya orang biasa yang
senang berkelana, karena itu undangan dari gurumu yang mendadak membuatku
merasa tersanjung, tapi juga membuat bingung. Dengan tidak mengurangi rasa
hormatku, aku menolak undangan ini karena tidak jelas apa arti undangan
ini!"
Perkataan Jaka diutarakan
dengan lemah lembut, dan lagi pula benar, dua nona itu tidak bisa apa-apa.
Mereka saling berpandangan, dengan muka cemberut, nona baju merah segera masuk
kedalam untuk bertanya maksud dari undangan gurunya pada Jaka.
"Tunggulah sebentar,
adikku akan menanyakan apa yang menjadi ganjalanmu!" kata nona baju hijau
ketus.
"Baik, aku tunggu."
Sahut pemuda ini masih tetap ramah. Lalu dengan duduk di ujung perahu, pemuda
ini kembali mengawasi dinding tebing batu untuk menikmati keindahannya. Pemuda
ini menghela nafas, dia sudah tidak begitu selera lagi menikmatinya, sekejap
dia melirik, ada dua perahu yang jaraknya hanya berkisar lima-enam tombak dari
perahunya.
Jaka melihat setiap perahu
memiliki penumpang empat orang. Pemuda ini menggeleng gemas, Sekaliapun kalian
bekerja secara rahasia, jika cara membuntuti orang, hanya berkemampuan begini,
andaikan aku atasan kalian, siang-siang aku sudah memecatnya. Sepintas saja
Jaka sudah tahu kalau mereka membuntutinya. Bagi orang awam, kedua perahu itu
tiada sesuatu yang patut dicurigai. Tapi bagi pandangan Jaka, justru banyak hal
yang dapat ia simpulkan—sekali pandang saja.
Jika mereka adalah pelancong,
bagaimana bisa ke delapan orang dalam dua perahu itu memiliki ciri yang sama?
Rata-rata bertubuh kekar. Sekalipun mereka bersikap santai, tapi gerak-geriknya
tidak leluasa—itu satu alasan kenapa Jaka mencela cara kerja mereka.
Adalah jamak jika Jaka
berpikiran, bahwa penguntitnya hanya pion-pion—seorang keroco. Dan pandangan
Jaka melayang tepi Telaga Batu, dia melihat sesosok tubuh tinggi besar, agak
tersembunyi dari keramaian nelayan. Jaka tersenyum sembari menghela nafas, dia
sudah dapat menarik kesimpulan bahwa delapan orang yang ada didua perahu itu
adalah kawan, atau anak buah Bergola. Sebenarnya timbul dalam pikiran Jaka
untuk melambaikan tangan kearah Bergola, tapi sesaat dia menyadari kalau itu
bisa mengganggu ketenteraman keluarga Ki Lukita.
Untuk sesaat dia mengawasi
perahu pesiar yang mewah, perahu itu berwarna abu-abu, di ujung badan perahu
terlihat pahatan kepala naga. Dan pada bagian badan perahunya juga terlihat
lukisan naga.
"Tapi, mungkinkah mereka
juga anggota Perguruan Naga Batu?"
Sambil mengawasi perahu mewah
itu, Jaka juga melirik sekilas ke arah dua perahu yang menguntit perahunya,
bibirnya tersenyum tipis.
Mereka seharusnya bertindak
sebelum aku jadi perhatian, ha-ha… kalian harus bersabar kalau tidak ingin
bentrok dengan orang-orang Perguruan Naga Batu. Hh, menyenangkan… kelihatannya
persoalan ini bisa kuraba arahnya, tak jadi masalah bagaimana akhirnya nanti.
Aku punya banyak alternatif untuk menyelesaikannya. Yah, tentunya dengan
catatan, jika orang dalam perahu mewah itu adalah anggota Perguruan Naga Batu.
Jika bukan, kemungkinan besar mereka satu perkumpulan dengan Bergola, mungkin
tingkatan mereka lebih tinggi. Jika dugaanku benar, penguntitku ini pasti tidak
ingin bertindak ceroboh, saat atasannya turun tangan sendiri. Rasanya cukup
beralasan, mereka menguntitku setelah Bergola meninggalkan rumah Ki Lukita.
Mungkin ada salah satu dari mereka, melihat diriku menjumpai Ki Lukita. Tapi
aku yakin mereka tidak mengetahui untuk apa aku berjumpa dengan beliau! Kalian
salah perhitungan, salah sasaran, salah pula mencari pelampiasan! Hh… senang
rasanya aku bisa menggerakkan badan lagi. Keterlibatanku pada kejadian ini
mungkin kebetulan, kusangka sederhana, tak nyana cukup gawat. Apakah ini
keberuntungan atau kemalangan? Aku tak tahu… sambil memikirkan kemungkinan yang
akan terjadi, dengan sabar pemuda ini menunggu munculnya orang dari perahu
mewah.
Berkelana beberapa lama dalam
dunia persilatan, sudah cukup banyak pengalaman yang diperoleh anak muda ini.
Hanya saja dia sering kali bertindak ceroboh, masa bodoh, kadang acuh tak acuh.
Meskipun dia tahu apa yang dilaluinya merupakan jebakan. Terkadang Jaka
mengikuti permainan lawan lebih dahulu, baru setelah dia berada didalam, segala
daya upaya dia curahkan untuk memecahkan kesulitan yang di alami. Menurutnya
kesempatan itu sangat langka, dan dengan hal tersebut seluruh potensinya bisa
ditarik keluar. Sungguh pikiran yang aneh. Tentu saja dengan pikiran seperti
itu, taruhannya sangat besar, nyawa! Tapi Jaka tak pernah menghiraukannya,
bukan karena Jaka tidak takut mati, tetapi dia memiliki alasan tertentu, yang
memang seharusnya dia lakukan. Sebagai ujian dan sebagai bekal. Perlu
diketahui, selama berkelana, pemuda ini boleh dibilang jarang—bukannya tidak
pernah—sekali mempergunakan ilmu silatnya, ia selalu bertindak wajar, sebagai
layaknya orang awam yang tidak tahu kepandaian silat, kalaupun keadaan terpaksa
ia hanya mengerahkan olah-langkah dan peringan tubuhnya saja. Alasan utama dia
bertindak demikian, karena dia mencegah dirinya agar tidak mencelakai siapapun.
Tentu saja masih banyak alasan lain…
Tapi itu tidaklah absolut,
artinya bisa saja Jaka bertindak, melihat situasi dan kondisi. Jika memang
memungkinkan baginya tidak mengeluarkan ilmu silat, dia lebih suka berdiplomasi
dari pada harus bertempur.
Kali ini Jaka berpikir apakah
dirinya harus memperlihatkan bahwa dirinya mahir ilmu silat? Sambil menghela
nafas panjang, pemuda ini makin tenggelam dalam lamunan. Dia tidak sadar kalau
nona baju merah sudah keluar dari dalam bilik perahu.
Tapi anehnya, melihat pemuda
itu sedang melamun, dia sama sekali tidak mengganggu. Mungkin setelah melapor,
nona itu malah kena tegur sang guru, agar tidak bertindak kasar dengan calon
tamunya.
Jaka masih merenung, Jika aku
membuyarkan identitas—bahwa aku memiliki ilmu silat, saat aku berkunjung
kerumah Ki Lukita, mungkin tak leluasa lagi. Bisa saja, beliau malah dicurigai.
Nanti malam Aki akan menghadari sebuah pertemuan, yang aku sendiri tidak tahu
untuk apa. Jika kali ini mereka tahu bahwa aku menguasai ilmu silat, bukankah
saat kukuntit pertemuan nanti malam, Bergola mungkin sudah menduga bahwa aku
yang datang? Lalu bagaimana dengan Ki Lukita? Sekalipun aku tahu beliau
memiliki semacam kelompok rahasia, aku tidak boleh membuat beliau hidup tak
tenang. Hh, masih banyak pemecahan dari persoalan ini. Kalau saja saat ini
kutunjukan bahwa aku mahir ilmu silat maka gerak-gerik Bergola tidak akan
seberani saat ini, lagi pula Ki Lukita tidak akan di curigai bahwa beliau punya
ilmu silat. Wah, apapun tindakan yang kuambil harus hati-hati, apa lagi aku
juga dilarang menggunakan ilmu mustika. Hh, sebenarnya aku tak perlu merisaukan
masalah seperti ini. Lagi pula, siapa bisa menduga apa yang akan kulakukan?
Berpikir demikian, Jaka kelihatan lebih tenang.
Perlahan ia berdiri, lalu
mendongkakkan kepala kearah perahu mewah itu. Entah berapa lama ia berpikir
merangkai satu kesimpulan. Dilihatnya geladak perahu mewah besar itu sudah ada
lima orang nona yang terlihat menanti dirinya. Menyadari ia tak bisa
menghindari undangan itu, iapun segera menaruh perhatian.
"Bagaimana, ada maksud
apa tuan kalian ingin mengundangku?” tanya Jaka tak berbasa basi.
"Guru kami mengatakan
bahwa ia selalu menjamu setiap orang berbakat bagus, ia mengatakan kalau tuan
adalah orang yang berbakat bagus dalam bidang yang tuan tekuni, jadi beliau
tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menjamu tuan." Kata nona berbaju
merah. Jaka agak heran mendengar nona itu tidak berani berbicara keras dan
kurang ajar seperti tadi, sesungguhnya pemuda ini paling suka kalau ada seorang
gadis yang tidak pernah menutup-nutupi sifat aslinya dengan sikap ramah seperti
itu.
Tapi kalau menilik dari nada
bicara nona baju merah itu pemuda ini dapat menyimpulkan bahwa orang dalam
perahu mengetahui kalau ia menguasai sebuah kepandaian, mungkin orang itu
mengukur tingkat kehandalan dan bakat dirinya dari seruling yang ia tiup tadi.
Suara, ya… mereka mengukur keandalan orang dari suara! Berpikir seperti itu,
mau tak mau Jaka harus waspada, sebab orang yang dapat mengetahui bakat orang
hanya dari frekuensi suara, tergolong tokoh tingkatan tinggi.
“Jika aku menolak?” tanya
Jaka sambil tersenyum.
Gadis-gadis itu saling tatap.
“Berarti kau…” si nona baju merah tak meneruskan ucapannya.
“Ya?”
“Kau…”
“Aku kenapa?”
“Kau orang tolol!”
Jaka melegak sesaat, lalu ia
tertawa. “Memang benar aku orang tolol, malah tidak membuat repot guru kalian
untuk mengundangku segala?”
Sungguh gemas mereka
mendengar ucapan Jaka, memang benar ucapan Jaka, logikanya kalau dia adalah
orang tolol, maka undangan untuk menjamu orang berbakat kan tidak berlaku?
“Kau…” geram si gadis baju
merah dongkol.
“Aku bagaimana nona?”
“Maafkan dia tuan.” Tiba-tiba
saja gadis baju hijau menyoja kearah Jaka.
“Ucapannya hanya menuruti
kata hatinya.”
Jaka tertawa. “Tidak mengapa,
aku malah senang menghadapi orang-orang polos seperti dia.”
Sungguh, baru disadari
olehnya—si gadis baju merah—bahwa; ia sangat beruntung memakai baju merah,
sebab pipinya yang merona tidak diketahui teman-temannya. Ucapan Jaka yang
sepintas lalu tadi, baginya lebih berpengaruh, dari pada rayuan.
Sejak awal Jaka memang
tertarik untuk mengenal siapa orang dalam perahu. Jaka berkata menolak cuma
iseng saja.
"Baiklah, demi
menghormati kalian yang mau bersusah payah bertanya, aku akan segera datang.”
“Terima kasih.” Sahut gadis
berbaju hijau.
“Sebelum aku lupa, kuingin
bertanya… apakah kalian keberatan?"
"Silahkan, jangan
sungkan-sungkan…" suara nona baju biru ini terdengar lebih empuk dan merdu
ketimbang nona baju hijau dan nona baju merah.
"Apakah kalian… guru
kalian, adalah anggota Perguruan Naga Batu?"
"Benar!" sahut nona
baju biru memperhatikan Jaka lekat-lekat, meski jaraknya agak jauh, tetapi dia
bisa melihat raut wajah si pemuda dengan jelas, dan sesaat kemudian ia tak
berani memandangnya lagi.
Mendengar jawaban itu, Jaka
menghela nafas antara lega dan gelisah, namun begitu, seluruh perhitungannya
tadi jadi tidak sia-sia.
"Kalau begitu apakah aku
harus segera datang?" tanya pemuda ini lagi.
"Tentu saja, guru kami
sudah menanti…" setelah berkata begitu, nona baju biru menoleh kearah nona
baju merah. "Adik sediakan tangga tali!"
"Tidak perlu nona!"
sahut Jaka. "Biar aku yang datang kesitu…" setelah berkata begitu,
Jaka mengeluarkan batu pemberat yang terikat pada tali di ujung perahu, di
cemplungkan batu itu agar perahunya tak berpindah karena terhempas gelombang
telaga. Setelah selesai, seperti tak sengaja, pemuda ini melirik sekejap kearah
dua perahu yang ada dibelakangnya.
"Hm," mengumam perlahan
penuh perhitangan, mendadak tubuhnya melecat keatas dan melayang bagai burung.
Perahu yang dibuat tumpuan untuk meloncat, tak begerak—kecuali karena hempasan
gelombang telaga.
Semula jarak antara perahunya
dengan perahu mewah itu ada tujuh tombak, tapi kini sudah terpisah sepuluh
tombak, karena perahunya terhempas oleh gelombang telaga. Dan anehnya Jaka
tidak melompat menuju perahu mewah itu, pemuda ini malah melompat tinggi di
atas perahunya.
Tiba-tiba saja di udara tubuh
pemuda menggeliat lembut bagaikan sehelai kapas tertiup angin, dengan perlahan
tubuhnya bergeser atau lebih tepat lagi, melayang! Dan akhirnya mencapai ujung
perahu mewah.
Wajah pemuda itu terlihat
biasa, nafasnya juga tidak terengah. Dari sini saja sudah terlihat betapa
menakjubkan kelihayan peringan tubuh pemuda itu. Lima nona yang ada di perahu
mewah itu terbelalak takjub melihat demonstrasi peringan tubuh yang amat
sempurna. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pemuda berusia paling tidak
dua puluh tahun itu, memiliki peringan tubuh lihay. Andai saja Jaka meloncat
dari perahunya ke perahu mereka dengan jarak yang sama, kelima nona itu akan
tetap mengaguminya. Bagaimanapun juga, meloncat tanpa ancang-ancang sejauh
sepuluh tombak (20 meter) hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki dasar
olah ilmu murni, dan latihan keras belasan tahun. Tapi apa yang dilakukan Jaka
berkali lipat lebih hebat dari sekedar meloncat, hakikatnya ilmu meringankan
tubuh macam itu belum pernah terlihat oleh mereka. Padahal selama banyak tahun
mengikuti sang guru, mereka sudah merasa cukup berpengalaman, mereka yakin
cukup tahu berbagai gerakan jurus-jurus perguruan lain. Tapi pengalaman kali
ini benar-benar membungkam mereka dan makin melebarkan mata mereka, bahwa
peringan tubuh pemuda ini tidak sama dengan pengetahuan yang mereka ketahui.
Mereka sadar, sang tamu itu bukan sekedar pemuda biasa, mungkin saja salah satu
murid sesepuh persilatan yang sudah mengundurkan diri. Tanpa terasa timbul rasa
hormat padanya…
Ternyata, bukan hanya lima
nona itu saja yang terkejut, mereka yang tadi menguntit Jaka, juga kaget bukan
kepalang, dalam hati, mereka sangat bersyukur tidak bertindak ceroboh. Mereka
sadar bisa jadi merekalah yang menjadi bulan-bulanan pemuda yang dikuntit tadi.
Begitu pula dengan Bergola
dan temannya—dia yang melihat sembunyi-sembunyi dari tepi telaga—turut tercekat
kaget. Wajahnya pias, rasa kawatirnya makin besar, begitu melihat pertunjukan
peringan tubuh lihay tadi. Dia berpikir untuk menyusun rencana baru, kalau
rencana lamanya gagal.
Tentu saja yang dimaksud
'rencana' disini adalah urusannya dengan Aki Lukita, ia mendapat laporan dari
anak buahnya bahwa setelah kepergiannya datang seorang pemuda menjumpai Aki
Lukita, karena takut Aki Lukita meminta bantuan atau membocorkan rahasianya
pada pemuda itu, maka Bergola memata-matai Jaka dari jauh, dan berniat
menghabisinya jika ada kesempatan. Tapi siapa duga peringan tubuh Jaka selihay
itu? Sekalipun pemuda itu hanya memiliki peringan tubuh, bagi dirinya itu sudah
cukup mengawatirkan. Kelak jika saling berhadapan, bisakah aku membunuhnya?
Berpikir begitu, ciut nyali Bergola. Dia sadar, hal apapun tentang lawan, dia
tak tahu sama sekali, jangankan untuk menghabisi, membayangkan jika dirinya
bertemu dengan Jaka, tubuh Bergola berkeringat dingin. Bergola segera
mengundurkan diri, dia tak ingin ada orang tahu dirinya bersikap aneh—maklum
saja, sehari-hari dia dikenal cukup supel…
"Dimana aku bisa menemui
tuan rumah, nona?" tanya Jaka.
Mendengar pertanyaan itu,
kelimanya terkejut, hampir bersamaan mereka tampak tersipu-sipu, begitu juga
dengan nona baju merah. Sebab tadi dia bersikap sinis, akibat hatinya tersentil
ucapan Jaka. Tapi begitu menyaksikan kelihayan peringan tubuh tadi, nona baju
merah itu merasa malu pada dirinya. Saat Jaka sibuk menyangkal ucapannya,
timbul keinginan dalam hati untuk menantang bertarung. Nyatanya setelah melihat
pertunjukan lihay tadi, hatinya langsung dingin, perasaannya jadi tak tentram,
untung saja sikap sinisnya tadi semata-mata lantaran dongkol, karena alasan
yang diucapakan pemuda itu tak bisa dia bantah.
"Silahkan
mengikutiku…" nona baju biru yang pertama kali tersadar. Di iringi lima
nona itu, akhirnya Jaka masuk ke dalam perahu mewah. Sesampainya didalam,
pemuda ini melihat dua orang laki-laki paruh baya, dan seorang lagi sedikit
lebih tua dari keduanya, mereka terlihat gagah berwibawa.
Wibawa mereka itu pasti
bukannya didapatkan dengan cara yang mudah. Gurat tekad, kemauan tercermin dari
sikapnya. Diam-diam Jaka menghela nafas prihatin, dia sadar urusan ini bukan
sekedar perjamuan saja, pasti akan berkembang lebih rumit. Meskipun merasa
kurang nyaman, Jaka tidak bertindak kurang hormat.
Begitu
berhadapan dengan mereka, Jaka sedikit membungkuk memberi hormat, "Saya
Jaka, merasa terhormat dapat berjumpa dengan tokoh dari Perguruan Naga
Batu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar