Senin, 19 Agustus 2013

Bocah Seribu Aneh - I - Kelahiran

Pendekar Aneh
Jilid 1 : Bocah Seribu Aneh
Bagian - I - Kelahiran



Langit begitu mendung. Awan sudah berwarna hitam kelam. Matahari tak menampakkan sinarnya setitikpun. Kelam, semua gelap, entah bermakna apa. Hanya Dia saja yang tahu apa maknanya. Para penduduk berkeliaran diluar rumah untuk melihat apa gerangan yang terjadi.

Hari itu adalah hari yang paling aneh. Sepanjang waktu yang pernah dilewati, belum pernah ada kejadian seperti itu. Biasanya kalau ada kejadian aneh, para penduduk desa yang lebih percaya pada mitos kuno, selalu menunggu diluar rumah untuk meminta berkah pada kejadian aneh itu. Hi… itu kan syirik!

Langit kian pekat bagai menjelang malam, berangsur-angsur mengelam dan makin gelap. Di ufuk barat sana, petir berkeredepan dengan ganasnya. Sebuah pohon beringin yang berusia puluhan tahun tersambar. Tapi tunggu dulu! Biasanya kalau pohon kesambar petir, tentunya hangus, gosong! Atau setidaknya ada hangus dan item-itemnya sedikit. Tapi ini malah sebaliknya. Pohon beringin tadi, bukannya tumbang dan berubah warna, malah kelihatan semakin hijau. Yang lebih aneh, dengan lambat tapi pasti, daunnya berubah menjadi kuning. Tapi bukan kuning layu, tapi kuning keemasan. Warna yang memancarkan sinar kewibawaan dan keangkuhan.


Kejadian aneh itu, bukan hanya terjadi disebelah barat saja. Tapi disemua penjuru mata angin. Sungguh aneh sekali! Entah pertanda apakah itu? Kegelapan yang menyelimuti langit, ternyata hanya sebentar saja. Tapi itu sudah menjadikan sebagian bumi di tanah Jawa mengalami perubahan yang mencolok. Tapi yang mengherankan, orang-orang yang tahu, malah tidak menyadarinya. Ya, mata mereka melihat tapi buta! Itulah yang terjadi saat ini. Keadaan disekitar mereka berubah total, tapi didalam pandangan mata mereka, tampak normal-normal saja.

Setelah langit berubah lagi, tiba-tiba angin datang berhembus dari semua ufuk. Angin ini mula-mula semilir saja, tapi bertambah terus kekuatannya. Angin yang telah membadai itu membawa tebaran aroma wangi kayu cendana, kayu putih, melati, kembang taik kucing dan sebagainya. Tapi yang jelas, sekarang hanya tersiar aroma wangi berkesan lembut, benar-benar aroma yang melenakan, dan lebih lembut dari parfum manapun, dan tolong, jangan dibandingkan dengan Axe Alaska.

Karena dari delapan penjuru mata angin, angin berhembus sama kencang dan sama kuatnya, maka dapat dibayangakan, arah mereka yang berlawanan tentu menimbulkan satu gelombang pemisah dan ruang hampa udara di titik pusat pertemuan itu.

Pada titik temu, angin-angin misterus itu berubah bentuk menjadi gumpalan awan yang berwarna pelangi. Kejadian aneh itu tepatnya berada di Lembah Awan Perak. Sebuah lembah yang selalu kelihatan putih berseri dan menyilaukan, membuat orang enggan berkunjung kesana. Karena menyimpan begitu banyak misteri. Dan awan-awan itupun, terpecah menjadi sembilan bagian.

Duuum! Dumm!

Suaranya ramai sekali! Seperti suara jin pindah rumah. Gemuruh luar biasa dahsyatnya membuat sekitar lembah digoncang gempa. Lembah Awan Perak menjadi bersinar terang. Kilau peraknya bagai gunung intan tertimpa matahari. Bayangkan saja sendiri, pokoknya luar biasa.

Suasana sudah tenang. Dan pohon-pohon yang tadi tersambar petir aneh, kini sudah menjadi seperti sedia kala. Tapi itu hanyalah perasaan orang-orang awam saja. Bagi seorang yang berilmu tinggi—miliki ilmu yang mumpuni, tentu dapat melihat kilauan indah itu, dengan mata hati yang bersih.

Sementara di Lembah Awan Perak, selama sembilan puluh sembilan hari berturut-turut, terjadi keanehan alam yang tak seorangpun menyaksikannya. Berawal dari pertemuan angin dari delapan penjuru mata angina itulah, tercipta cekungan pada titik temunya. Titik temu itu tepat terletak ditengah lembah, dengan kedalaman tak terukur. Itulah keajaiban alam yang dikehendaki oleh-Nya. Dalam waktu seratus hari kurang satu itulah, hujan besar turun. Lembah Awan Perak yang terkenal akan padang rumput dan padang pasirnya, kini menjadi sebuah telaga. Yang kemudian hari dikenal dengan sebutan telaga Banyu Perak. Semenjak kejadian itu, tidak seorangpun sanggup menemukan dimana adanya lembah itu. Sebab selalu saja disesatkan dengan fenomna alam yang aneh. Bahkan pertapa yang telah mensucikan dirinya dari urusan keduniawian, tidak mampu meneropong dimana letaknya. Mungkin itulah cara Dia menjaga rahasia-Nya dari tangan hamba-Nya yang yang jahil. Mungkin hanya orang yang berjodoh saja yang akan menemukan tempat itu.

------

Dua puluh tahun berlalu, setelah mayapada Jawa Dwipa gempar...

Kicauan burung terdengar demikian merdunya, ketika menyambut mentari pagi muncul. Burung-burung beterbangan kesana kemari sepertinya ingin menyapa alam dengan ramah. Semenjak kejadian dahsyat yang ternyata menenggelamkan ujung dari pulau Jawa bagian Timur itu, kini tanah Jawa terlihat makin subur.

Memang, disetiap kehancuran, tentunya ada sebuah mahligai tersembunyi. Dan itu tidak dirasakan oleh orang-orang. Dasar! tak tahu diuntung! Begitulah orang bijak mencaci mereka yang tak bersyukur.

"Kinarum sayang, sejak tadi kuperhatikan kau merenung terus. Ada apa, apa aku bersalah padamu?!" Lelaki berparas tampan itu menegur wanita yang sedang menimang anaknya yang berusia dua tahunan.

"Kakang Sindu, kau tidak bersalah apa-apa." Desah istrinya dengan suaranya yang manja dan lembut. Amboy, mesranya keadaan saat itu. Setelah istrinya berkata begitu, Sindu memeluknya dari belakang dan membawa istri yang sedang menimang anak kepangkuannya. "Aku hanya heran saja...."

“Heran kenapa sayang?" suara Sindu begitu lembut dan membuat bulu kuduk berdiri, apa lagi setelah itu, ia mencium istrinya. Entah yang mana yang diciumnya, pokoknya dicium. Alamak...

"Apakah kau tidak merasakan heran waktu aku melahirkan anak ini?!" tanya Kinarum sambil merebahkan kepalanya di dada Sindu.

Sindu berpikir sejenak. Lelaki berusia dua puluh lima tahun yang semenjak tiga setengah tahun yang lalu telah beristrikan Kinarum, tampak berkerut keningnya. Sesaat kemudian ia berkata sambil menghembuskan nafas panjang.

"Aku memang menemukan kejanggalan! Kukira bukan cuma kita saja yang tahu akan kejanggalan dan keanehan itu. Tapi ayahku dan ayahmupun kurasa mengetahuinya bahkan mungkin mereka paham."

"Aku jadi merasa tidak enak kakang. Coba kau pikir, masa anak kita yang sudah berumur dua tahun ini, belum boleh dikasih nama. Apa eyangku itu, sudah pikun atau bagaimana?"

"Huss! Kau tidak boleh berkata begitu. Aku yakin eyangmu punya alasan. Dia seorang yang waskita, Kinarum. Kau tak perlu ragu untuk mempercayainya. Lagi pula nama eyangmu sudah berkibar harum di dunia persilatan. Beliau itu orang yang linuwih dan bisa dipercaya seratus persen!"

"Tapi aku harus bersabar sampai kapan Kakang? Eyang bilang, kelak kita harus menunggu seorang kakek bernama Ki Ampel Perak yang datang untuk memberikan nama anak kita. Aku jadi punya pikiran kalau anak kita ini bukan hak kita saja." Kinarum berbicara dengan bersungut-sungut.

"Kita sabar saja. Yakinlah, waktu penantian kita tak akan lama. Lagi pula eyangmu—Ki Bondan Asih—telah memberikan petunjuk pada kita, kalau kelak kedatangan kakek yang dikatakan beliau itu, sebelumnya akan mendatangkan petir sembilan kali. Dan lagi aku yakin waktunya tak akan lama lagi."

Kinarum terdiam mendengar bujukan suaminya. "Tapi aku rindu memanggil nama anak ini. Masa, setiap hari harus memanggil nak-nak-nak, terus."

"Sttt, sabarlah. Kita bisa panggil anak kita dengan nama apa saja asal hanya sementara, dan tidak sampai diingat olehnya. Lagipula tidak sampai tiga tahun, tentunya kakek yang dimaksudkan pasti datang...."
"Kau tahu dari mana?"

"Cobalah kau pikir. Ketika anak kita lahir, bertepatan dengan bencana menimpa tanah Jawa selama sembilan puluh sembilan hari tanpa henti. Dan eyangmu mengatakan kelak kedatangan Ki Ampel Perak disertai dengan sembilan petir. Dan aku berkesimpulan bahwa anak kita nanti akan diberi nama, pada hari kesembilan ratus sembilan puluh sembilan. Berarti kalau dihitung sejak kelahiran anak kita, kita cuma butuh waktu menunggu selama kurang lebih sepuluh bulan lagi. Sabarlah sayang..." Sindu berkata dengan alasan demikian tepat sehingga istrinya percaya dan tidak merajuk lagi.

Apa lagi setelah itu, suami tercintanya mencium bibirnya dengan lembut. Rangsangan sang suami tepat sasaran, birahinya mulai menggejolak. Kinarum—wanita dengan kecantikan menggetarkan hati lelaki manapun, membalas cumbuan suaminya tak kalah mesra.

Dua insan itu, berpagutan begitu lama. Kebetulan bocah berumur dua tahun lebih itu sudah tertidur lagi, ini kesempatan langka! Maka dengan segera Sindu membopong istrinya masuk kedalam. Kinarum jelas-jelas setuju 1000%, dengan tindakan suaminya. Dari pada menggerutu, lebih baik bercinta, itu perinsipnya (baguskah?). Lagi pula dia menyukainya mukadimah bercinta sang suami. Masuk rumah, menutup pintu, terus masuk kamar, terus tutup pintu kamar, ‘tutup-buka’, ‘tutup-buka’, terus, terus, terus...

Siapa mereka itu? Tentu saja mereka bukan 'Romeo and Juliet'. Mereka adalah sepasang sejoli yang merupakan pendekar kondang dan namanya telah mencakar rimba persilatan. Sindu Wardhana adalah murid terkasih Pendekar Dendang Syair Emas yang merupakan salah satu dedengkot pendekar golongan putih.

Dyah Kinarum sendiri murid dari Malaikat Wajah Dewa. Keduanya bertemu tak kala mereka sedang berupaya, bahu membahu membasmi kelompok hitam yang bersatu untuk menghabisi seluruh golongan putih. Dari situlah cinta diantara mereka mulai bersemi. Dan pada akhirnya membuahkan pujaan hati mereka... seorang anak lelaki.

Ayah Sindu Wardhana memimpin sebuah pedepokan bernama Perguruan Minyak Bintang. Agak aneh namanya memang, tapi perguruan itu sangat disegani oleh semua golongan silat dari manapun. Bukan karena Minyak Bintang itu bengkel atau doorsmeer dan sebagainya, tapi karena ketinggian ilmu mereka itulah yang membuat kharisma tersendiri. Lebih dari empat puluh tahun perguruan itu berdiri dengan jaminan bahwa : ‘teguh karena adil, tegas karena makar’. Dan baru-baru ini mereka merayakan ulang tahun emas—lima puluh tahun, Perguruan Minyak Bintang.

Kinarum sendiri berasal dari Perguruan Rajawali Cendasih. Perguruan tak kalah terkenal dengan Perguruan Minyak Bintang. Sebagai pimpinan perguruan, adalah ayah Kinarum sendiri. Rupanya diantara dua pergurauan itu, sudah ada perjanjian untuk menikahkan anak-anak mereka untuk memperkuat hubungan persaudaraan.

Dan betapa gembiranya hati dua orang ayah itu, menyadari anak mereka sudah mendahului—saling mengenal dan juga saling mencintai. Kelanjutanya dapat ditebak, dua sejoli itu, langsung dinikahkan. Pernikahan mereka dirayakan secara sederhana saja.

Tapi yang luar biasa, hampir seluruh tokoh golongan putih mengunjungi pesta pernikahan dua pendekar tersebut. Hal itu dapat terjadi, karena Sindu yang bergelar Penyair Asmara dan Kinarum yang bergelar Bidadari Serat Maut, telah menanam begitu banyak budi pada sesamanya. Jadi mereka yang berhutang budi—nyawa, tentunya dengan ikhlas dan hati gembira mendatangi pesta itu.

Selama setengah tahun, mereka masih berkelana untuk tetap menegakkan keadilan dan kebenaran. Tapi semenjak Kinarum mengandung, Sindu berniat mengundurkan diri dari dunia persilatan. Niatnya disetujui sang istri, karena dia juga ingin segera mendidik anak yang kelak akan lahir itu.

Kelahiran sang anak bertepatan dengan munculnya bencana dimana-mana. Petir selalu menyambar di atas rumah mereka. Kejadian itu membuat siapa saja cemas. Tak terkecuali sepasang suami istri ini. Bayi yang dilahirkan Kinarum, hanya berumur lima setengah bulan dalam kandungan. Bayi Prematur? Bukan. Hitungan prematur jika memasuki usia tujuh-delapan bulan. Jadi pada usia kandungan lima setengah bulan, belum lagi terbentuk janin yang sempurna. Jadi bagaimana statusnya? Prematurkah? Premankah? Atau pramuka-kah? Entahlah…

Tentu saja jika diukur jaman sekarang, bayi lahir tiga atau empat bulan setelah menikah, bukan hal aneh—apa lagi ajaib?!—maklum, mereka menikah karena MBA (Married By Accident) alias ‘kecelakaan’ duluan. Sekarang nikah, besok sudah punya anak, bukanlah hal gaib.

Tapi sumpah! Kinarum tidak melakukan hal menyenangkan yang dilarang itu lho... dia asli ting-ting, dan hamil terhitung (tit) tepat malam pertama setelah mereka menikah. Dan ternyata begitu lahir, bayi tersebut dalam keadaan sehat, normal—seperti layaknya bayi biasa. Aneh memang, setelah bayi keluar dari rahim si ibu, bencana yang terus menerus terjadi, 'kebetulan' berhenti. Hujan yang waktu itu turun dengan derasnya, juga terhenti seketika, mendung tebal tersibak dengan munculnya sinar mentari. Petir yang selalu mengelegar juga bungkam. Tidak ada yang bisa menafsirkan bagaimana itu bisa berhubungan dengan bayi yang dilahirkan oleh Kinarum. Sebuah kebetulan? Atau penampakan kemurkaan-Nya?! Tiada satupun yang tahu.

Sebulan setelah sang jabang bayi dilahirkan, datanglah eyang Kinarum, ternyata kakek itu hanya menyampaikan kabar bahwa buyutnya kelak harus diberi nama oleh seorang kakek yang bernama Ki Ampel Perak. Mulanya mereka tidak mengerti, tapi ketika mereka coba-coba menamai sang bayi, orok itu demam dan sakit selama sembilan hari. Dan sewaktu sakit, 'kebetulan lagi' keadaan alam diliputi mendung berkepanjangan dan sepertinya sewaktu-waktu bisa terjadi hujan lebat yang dapat membuat banjir.

Mertua Kinarum yang mengetahui pesan dari ayang sang besan—eyang Kinarum, segera memberitahu mereka, supaya jangan coba-coba memberikan nama pada sang anak. Dan sepasang pengantin muda itu mau mengerti. Mereka juga tidak mau menyiksa darah daging mereka sendiri.

Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah dua tahun berlalu. Bayi itu sekarang sudah tumbuh menjadi bocah yang sehat dan kuat. Sindu dan istrinya selalu mengamati perkembangan anaknya. Seiring waktu berlalu, mereka makin menemukan keanehan—bahkan jika itu bisa disebut keajaiban, pada anak mereka.
"Kakang, tidakkah kau heran melihat anak kita?" tanya Kinarum dengan wajah terheran-heran, meski demikian sorot matanya begitu lembut saat menatap sang putra.

"Aku merasakannya. Ini bukan hal wajar jika bayi berumur tiga bulan bisa berjalan tanpa bantuan orang lain!" sahut Sindu sambil memperhatikan anaknya yang telah berumur dua tahun lebih itu, sedang bermain dengan kakeknya. “Di tambah lagi, badannya tidak seperti bayi pada usianya… aneh sekali.” Sambungnya lagi.

"Dan dia begitu mudahnya belajar apapun, bahkan kini dapat membaca kitab sastra dasarmu. Dia juga dapat menulis syair Dewi Bulan, walau bentuknya kacau sekali. Betul-betul aneh, aku jadi khawatir… jika kabar ini tersiar, para tokoh persilatan akan memperebutkan anak kita."

"Ah, kuharap tidak sampai seperti itu! Simpanlah kekawatiranmu, kita tak perlu berpikiran buruk. Sekarang yang penting, bagaimana mendidik dia dengan baik."

"Apakah menurutmu anak kita itu sudah bisa diajari dasar ilmu silat?!" Kinarum bertanya lagi pada sang suami.

"Kurasa bisa. Kalau kita tilik kecerdasanya dan kemampuan dia menyerap hal-hal baru, tentunya ia dapat mempelajarinya. Tapi kusangsikan, apakah ia sanggup sabar untuk pelajari dasar-dasarnya? Anak kecil seperti dia masih suka bermain-main."

"Tapi aku sangat mengharapkan dia bisa." Sahut istri Sindu lagi.

"Aku pun begitu, tapi bagaimanapun juga dia tetaplah anak kecil, kurasa kita harus bersabar."

Mereka terdiam sambil memperhatikan tigkah polah putra mereka. Anak itu sedang bermain dengan kedua kakeknya. Terlihat riang dan gembira, dalam usia dua tahun anak pasangan pendekar ini, sudah bisa bicara lancar seperti anak berusia lima tahun, betul-betul aneh. Tak heran seluruh keluarga besar Sindu dan Kinarum menyayangi bocah itu. Bahkan murid-murid dua perguruan silat—adik dan kakang seperguruan pasangan suami-istri itu, juga amat menyayangi bocah cerdas tapi juga sangat bandel itu.

"Nak, kemari sebentar...." Kinarum memanggil putranya. Dengan berlari kecil, bocah itu menuju tempat orang tuanya. Sementara dua kakeknya mengikutinya dari belakang.

"Ya bu…" anak itu lalu duduk didepan orang tuanya dengan sikap manis. Aneh... dia bisa ngomong selancar itu! Menyadari bakat aneh itu, orang tuanya menggembleng tidak kepalang tanggung, kakek dan eyang buyutnyapun tak mau kalah, mereka turut menggembleng bocah itu. Sebab pikiran mereka serupa, yakni; tidak ingin menyia-nyiakan bakat unik si anak.

"Ibu ingin tahu, apa kamu sudah bisa membaca dengan lancar?"

"Sudah bu, ayah dan kakek yang mengajariku. Sekarang aku sudah bisa buat syair sendiri." kata bocah ini dengan lancar, tanpa cadel sedikitpun, namun yang membuat geli adalah lagaknya yang tengil. Memang menakjubkan, kalau saja ada orang lain disekitar situ, tentunya orang itu akan terpelongok bengong. Sebab menurut mereka, mana mungkin anak berusia dua tahun lebih, bisa bicara lancar dan pikirannya pun seperti anak remaja?!

Orang tua bocah itu melegak kaget mendengar ucapan anaknya. "Coba kau buat satu syair..." pinta Sindu sambil menatap anaknya dengan kekaguman dan tatapan kasih sayang.

Sejenak bocah itu berpikir. Tubuhnya yang besar seperti anak berusia lima tahun, membuat prilakunya kian konyol jika terlihat. Bayangkan saja, anak berusia dua tahun itu, kini seperti sedang berpikir layaknya orang tua menghadapi masalah. Dua tangannya di letakkan dibelakang. Sementara ia mondar-mandir jalan-jalan mengitari orang tua dan kakeknya. Mau tak mau dua kakek dan orang tuanya tersenyum melihat gaya tengil anak kecil itu.

"Em begini..." bocah itu lalu berhenti berjalan ketika sampai pada pertengahan orang tua dan dua kakeknya.
“Kera menggaruk pantat, tanda tak dalam. Nggg… selesai... bagus kan?" bocah itu tersenyum, melihat semua yang ada disitu bengong. Mereka bengong bukan karena syair ngawur si bocah, tetapi mereka bengong karena pandainya anak itu bicara dan menyusun kata sedemikian rupa.

"Hei, kau tahu arti syairmu?!" tanya Kiai Banaran, ayah Sindu menguji.

"Ng, tahu, eh… tidak. Ta-tapi, bagus kan?" Sahut si anak menambah geli dan kagum dihati para pembimbingnya.

"Kalau begitu apa artinya?!" tanya Kinarum pada putranya itu.

"Gampang, seperti kata eyang, air sungai yang deras pasti tidak dalam. Apa begitu ya?" bocah itu menggaruk kepalanya ketika tak mengerti penjelasannya sendiri.

Mereka yang mendengar saling pandang, dan tertawa geli. Mereka paham, yang maksud anak itu adalah ‘Air beriak tanda tak dalam, bukan kera menggaruk pantat…’

"Eyang, memangnya kera suka garuk pantat? Kenapa ada disunggai?" tanya si bocah pada eyangnya.

Mereka tambah geli, "Itu artinya, sang kera gatal mau mandi...." sahut ayah Sindu geli.

"Bukan!" sungut si anak.

"Bisulan kalau begitu." Kata Sindu menggoda.

"Bukaaan...."

"Oh... ayah tahu, pasti si kera bingung, jadi garuk-garuk pantat. Betul kan?" jawab si ayah, membuat semua orang tertawa geli, melihat mulut si anak makin cemberut.

"Bukan..." Sungut si anak dongkol.

"Jadi apa sayang?" ibu si bocah bertanya lembut, meski merasa geli.

"Ng tidak tahu." Sahutnya sebal.

"Ah, sudahlah, kalau sudah besar kau pasti tahu." Sahut sang eyang bijaksana.

Hari itu begitu cepat berlalu. Tak terasa umur si bocah sudah mendekati tiga tahun. Pada saat matahari mulai tenggelam, langit yang merona merah cerah itu, meredup dengan sangat aneh. Kini malam yang seharusnya akan terjadi sekitar tiga jam lagi, sepertinya telah dipercepat dalam beberapa kejap saja.

Blaaar!

Petir besar berwarna ungu tiba-tiba berkilat diatas sebuah bukit. Bukit itu adalah tempat bersemayam sepasang pendekar yang memiliki anak yang belum bernama.

Blaar!

Petir berkilat lagi, kini menyambar sebuah batu besar yang ada disamping rumah. Batu itu bukannya pecah ataupun hangus. Tapi malah berpijar perak untuk sesaat.

Sementara didalam rumah lumayan besar itu, berkumpul semua keluarga dari kedua belah pihak. Mereka tak ada yang bersuara sama sekali. Tampaknya apa yang dinanti-nantikan telah datang saatnya.

"Beliau dating!" Ki Bondan Asih berkata memberitahukan. Semuanya diam, bagaimanapun juga kini mereka lebih tahu siapa sungguhnya Ki Ampel Perak setelah eyang Kinarum menceritakannya.

Ki Ampel Perak menurut Ki Bondan Asih adalah sesepuh golongan putih yang tidak pernah menampakkan diri kecuali bila ada sesuatu hal yang sangat penting. Mungkin seperti saat ini, yaitu kelahiran bocah aneh yang memiliki kecerdasan luar biasa.

Sementara diluar, petir sudah menyalak(kaya anjing aja)sampai sembilan kali. Kalau sebelas orang dewasa yang ada dirumah itu, duduk dengan perasaan tegang. Lain halnya dengan bocah yang kini menjadi perhatian, anak itu malah pecicilan, lari kesana kemari. Kadang dengan jahil menarik-narik baju kakeknya, bahkan eyang buyutnya sendiri ia tarik-tarik jenggotnya.

"Anak ini, jangan main-main! Duduklah dengan tenang!" Sindu menasehati, begitu melihat kelakuan anaknya. Tampaknya bocah yang terlihat bandel itu menuruti ucapan ayahnya. Tapi hanya sesaat saja.

Di luar, sebuah kilatan petir yang tak bersuara, berkeredepan di atas rumah. Nun jauh dibawah bukit tempat keluarga pendekar ini tinggal, tampak bayangan melesat dengan kecepatan luar biasa. Bayangan itu
memancarkan sinar perak yang diliputi sinar pelangi. Sinar itu terang sekali sampai-sampai hari yang kini telah gelap, berubah bagai siang hari. Karena terpengaruh oleh terangnya sosok dalam cahaya terang itu.

"Salam sejahtera wahai saudaraku. Hamba Tuhan yang pandai bersyukur akan mendapat karunia lebih oleh-Nya." suara dalam cahaya itu berseru didepan pintu rumah yang hanya ada satu dibukit itu.

Mendengar suara itu, Ki Bondan Asih langsung mengajak yang lainnya untuk keluar rumah. Tak lupa si kecil yang bandelpun dibawa serta.

"Selamat datang Aki yang mulia..." ucap Ki Bondan Asih sambil membungkuk hormat, di ikuti dengan yang lain. "Maafkan peyambutan kami yang tidak layak ini..."

"Ah, lupakanlah. Penyambutan hanyalah formalitas, basa-basi, bukankah yang terpenting adalah tujuan utama?!"

"Benar sekali Kiai..." ucap Ki Bagas Rudo, eyang Sindu.

"Hm... tentu kalian sudah tahu maksud kedatanganku kemari." ucap orang yang masih diselimuti cahaya perak itu, berkata dengan tutur kata halus yang menunjukan kearifan dan kebijakannya.

"Ya, Kami tahu...." serempak semua menjawab.

"Kalau begitu, lebih cepat labih baik..." ucap orang dalam selubung sinar perak. "Mana anak itu?!" tanya si Ki Ampel Perak pada Kinarum.

Belum lagi ibu si anak menjawab, bocah bandel itu langsung maju kedepan. "Eyang mencari saya?!" tanya si bocah dengan suaranya yang lugu.

"Anak baik, anak pintar. Kau memang cukup pantas disebut bocah ajaib. Tapi aku cenderung mengatakanmu bocah aneh." Gumam orang dalam selubung sinar perak itu perlahan.

"Terserah eyang...." tiba-tiba saja si bocah menjawab perkataan sang kakek aneh itu, walau jawabanya memang tak diperlukan. Dan... ada satu keanehan lagi, tiba-tiba sikap si bocah begitu dewasa, cara biocaranya juga lebih bagus, seperti layaknya ia berbicara dengan orang yang sebaya.

Orang dalam selubung cahaya terlihat kaget. Hal itu terlihat pada sinar peraknya yang agak meredup. "Bocah luar biasa." desisnya dalam hati, seolah dia takut kata-katannya terdengar lagi oleh anak suami istri pendekar.
"Nah, anak baik... sekarang aku ingin bertanya padamu. Kau punya kemampuan apa?!"

"Eyang, aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan. Tapi kalau yang kau tanyakan kemampuanku dalam hal olah kanuragan, jelas aku belum bisa apa-apa. Cuma aku merasakan bahwa aku bisa melakukan apa yang aku inginkan." suara nyaring bocah berumur tiga tahun itu, membuat semua orang heran bercampur takjub.

"Maukah kau tunjukan padaku apa yang bisa kau lakukan?" pinta orang dalam selubung cahaya perak itu.
Si bocah cuma mengangguk saja. Kejap berikutnya, semua orang yang ada disitu terbelalak kagum. Sebab, ketika dua tangan mungil anak itu terangkat, semua burung yang sedang terbang sontak berbalik arah menuju kearahnya. Dari seluruh penjuru arah semua burung menuju tempat bocah itu.

"Kemarilah, bermainlah denganku." seru anak itu. Sepertinya suara anak itu, dimengerti seluruh binatang, bukan cuma burung saja, buktinya ketika si anak berseru, dari semak-semak terdengar suara riuh rendah. Lalu muncul, kijang, kucing, ular, dan semua hewan-hewan bukit itu. Tentu saja melihat kedatangan hewan-hewan tersebut, semua orang yang mengelilingi anak itu, terpaksa menyingkir ketempat yang lebih tinggi lagi, agar tidak mengganggu pertemuan bocah itu dengan marga satwa, tak terkecuali orang dalam selubung sinar.

Dalam waktu sebentar saja, puncak bukit kecil itu menjadi seperti kebun binatang. Bermacam hewan terkumpul menjadi satu, dan semua mengelilingi si bocah.

"Cukup nak..." terdengar seruan dari orang dalam selubung. Dan si bocahpun mematuhinya. Kedua lengannya dikibaskan kesamping kanan dan kiri, serta keudara. Sontak semua binatang lari ketempat bermulanya. Dan puncak bukit kecil itu, sekarang terdengar begitu bergemuruh sekali. Mungkin orang-orang yang ada di bawah bukit itu, menyangka ada longsoran batu jatuh dari susunannya.

"Ada lagikah kemampuanmu yang lain?!" tanya orang dalam selubung sinar perak.

"Aku tidak tahu kiai..." ucap anak itu perlahan.

"Kenapa?!" tanya orang dalam selubung itu mencoba menguji.

"Karena tidak ada yang harus kubuktikan lewat itu. Aku hanya anak yang mempunyai sedikit kelebihan dari anak seusiaku. Dan dengan kelebihanku, aku akan berbuat apa yang kuinginkan bagi orang banyak!"
"Apakah artinya anakku?!" tanya orang dalam selubung perak kembali menguji.

"Aku harus bisa berkorban bagi orang banyak. Tapi pengorbanan itu bukanlah suatu kesia-siaan, melainkan sebuah hak dan kewajiban yang memang diperlukan bagi semua umat. Seperti kebenaran dan hidup dibawah naungan keadilan, dan itu harus dijalan Tuhan." Bocah itu berbicara begitu lancar dan berbobot, seolah saat ini bukan dirinya yang berbicara dengan Ki Ampel Perak.

"Luar biasa.... benar-benar persis!" desis orang dalam selubung sinar perak itu, dalam hatinya. Begitu juga dengan lainnya yang turut mendengarkan penuturan si bocah. Anak ini memang begitu banyak keanehannya. Dan yang tidak lazim dimiliki oleh orang pribumi, juga dimiliki bocah ini, yaitu warna mata yang ungu. Sebuah warna yang lain dari kebanyakan milik para pribumi. Padahal kalau ditelusuri lebih lanjut dari segi keturunan, semua leluhur orang tua si bocah adalah orang pribumi. Benar-benar mengherankan!

"Baiklah, cukup rasanya aku mengujimu. Sekarang, tahukah apa arti kedatanganku ini anak bagus?!"

"Untuk memberiku nama." Jawab si bocah singkat.

"Nah, kau dengarkanlah penuturanku ini, dan kalian semua yang ada disini." orang dalam selubung sinar itu berkata dengan suara nyaring dan penuh perbawa. Dan tiba-tiba secara berangsur, selubung sinar perak yang melingkupi tubuh orang didalamnya memudar. Kini terlihatlah orang dalam cahaya putih tadi. Usia orang itu sekitar enam puluh tahunan. Wajahnya masih kelihatan tampan, jenggotnya yang berwarna putih menjulai sampai dada. Semua rambutnya berwarna putih, tapi bukan putih karena uban. Melainkan putih karena terpengaruh hawa panas yang luar biasa, yang menjadikan berkilat putih. Pakaiannya juga berwarna putih, kain yang digunakannya terlihat aneh. Sebab, jika dilihat orang, sepertinya baju yang dikenakan kakek ini adalah baju yang terbuat dari besi perak yang terkenal keras, liat dan tajam. Tapi yang mengherankan, begitu tertiup angin,baju itu berkibar, melambai lembut. Semua orang mencoba mencari tahu, dari bahan apakah kain itu terbuat? Tapi tak ada yang tahu terbuat dari apa kain baju itu.

"Kurang lebih duapuluh tahun yang lalu, dan tiga tahun yang lalu, di daratan jawa ini terjadi bencana yang mengerikan selama seratus kurang satu hari. Dan tahukah kalian, ternyata bencana itu mengiringi kelahiran bayi yang kini menjadi anak didepanku ini. Sebelum bencana, telah terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan terjadi secara runtun, dalam kurun waktu tiga tahun. Kalian tahu, apa maknanya?!" Kakek itu terdiam sesaat untuk mengambil nafas panjang.

"Itu pertanda akan terjadi perubahan yang hebat dipermukaan bumi ini, dan salah satunya adalah anak ini! Gerhana matahari dan bulan, tidak pernah terjadi dalam kurun waktu sedekat itu sejak dulu. Melainkan setiap seribu sembilan tahun sekali terjadinya. Aku mencoba meminta penjelasan kepada Yang Maha Sakti, dan Dia memberikan ilham-Nya padaku, supaya mencari bayi yang lahir dengan iringan bencana sebanyak asma-Nya itu.... bayi yang memiliki pertumbuhan otak maupun badan yang luar biasa.

“Aku sengaja memberitahu lewat pikiranku pada salah satu keluarga kalian agar tidak memberi nama pada bayi ini dahulu, itu semua agar tidak ada kesalahan yang terjadi dengan brutal. Tentunya kalian telah tahu sendiri. Ketika kalian mencoba memberi anak ini nama, bukankah dia sakit selama sembilan hari dan bencanapun kembali mengiringinya?! Ya, itu salah satu kesalahan yang kalian lihat. Tapi diluar sana, kaum hitam makin menjadi dengan ulah mereka. Meski dapat selalu dibendung, tapi ulah-ulah mereka datang seperti gelombang lautan ganas, sehingga sulit dibendung." kakek itu diam sejenak untuk mengisi paru-parunya dengan udara.

"Kini adalah saatnya aku memberi nama kepada anak ini." Ki Ampel Perak, memandang bocah yang sejak tadi diam menyimak perkataannya. "Apakah kau tahu kira-kira nama yang akan kuberikan padamu anak baik?!" kakek itu bertanya untuk menguji, sejauh mana kemampuan teropong batin si bocah.
Si bocah mengerinyitkan keningnya. Sejenak ia menatap si kakek. Lalu katanya, "Aku tidak tahu kakek mau memberiku nama apa. Tapi aku mungkin bisa menduga kalau namaku ada hubungannya dengan bencana alam ataupun kejadian sebelum aku lahir. Dan menurutku, salah satu bagian namaku nanti berhubungan dengan itu."

Ucapan bocah berumur tiga tahun ini, betul-betul membuat semua orang yang ada disitu membelalakan mata karena kagum. Bagaimana mungkin,seorang bocah seperti dia dapat menebak atau tepatnya meneropong sesuatu hal kejadian yang akan terjadi untuknya?! Dan lagi suara bocah itu serupa benar dengan suara orang dewasa, seolah yang sedang berbicara dengan orang dalam selubung perak itu adalah orang yang telah dewasa.

Kekaguman mereka yang ada disitu, adalah bocah sekecil itu seolah sudah menguasai Teropong Batin. Kalau dalam dunia persilatan, ilmu sejenis Teropong Batin bayak dikuasai oleh orang yang memiliki hawa gaib dan nyali yang kuat. Apakah itu dari golongan hitam ataupun putih. Tapi anak pasangan pendekar dua perguruan ini, luar biasa sekali. Perkataannya yang sudah menjurus kedewasaan saja sudah membuat mereka tercengang kagum, belum lagi jalan pikirannya yang encer.

"Ha...ha...ha..., luar biasa sekali kau bocah! memang aku akan menamaimu dengan kejadian alam seperti yang kau katakan tadi, dan sebagaian nama belakangmu adalah Gerhana." kata kakek berbaju putih unik itu.
Mendengar perkataan Ki Ampel Perak, semua makin terbelalak kagum dengan si bocah aneh itu.
"Dan nama lengkapmu adalah Wisnu Bayu Sakyayuda Gerhana!" sambung kakek ini. “Dan engkau akan lebih dikenal dengan nama Yuda Gerhana!”

Setelah kakek itu sebutkan nama untuk si bocah, mendadak saja langit menjadi begitu temaram, begitu gelap. Padahal kegelapan malam saat itu sudah cukup kelam. Tapi gelap kali ini, untuk melihat bagian dari tubuh sendiri saja tidak cukup. Malah nafas terasa kian sesak. Seolah gelap itu menyedot semua udara disekitar bukit Satwa Mega.

Kemudian secara mengejutkan, muncul cahaya yang luar biasa terangnya. Tapi tidak panas, melainkan sangat sejuk dan orang yang merasakannya merasa tenteram dan damai. Cahaya itu lama menyinari bukit tempat tinggal anak bernama Yuda.

"Nah dengarkanlah baik-baik! Kegelapan sesaat tadi menandakan kalau setiap manusia mempunyai sisi gelap pada jiwa masing-masing. Dan terang tadi bermakna setiap manusia selalu mendapat kesempatan untuk menyelami sisi jiwanya yang putih, yang tulus. Untuk ini aku menamaimu dengan unsur Yuda Gerhana karena sisi gelap dalam jiwamu yang berarti gerhana suatu saat akan memberontak dalam dirimu.

“Kau dilahirkan bertepatan dengan dua gerhana yang memiliki kepekatan sama dan saling mendukung satu sama lain. Yuda dalam dirimu berarti peperangan antara hak dan batil akan selalu berkecamuk dalam hidupmu. Dan ingatlah satu hal Yuda, setiap sisi gelap manusia sebenarnya adalah jalan kembali menuju kebenaran. Tanpa kesalahan, orang tak akan tahu apa itu kebenaran. Manfaatkanlah sisi gelapmu yang istimewa untuk lebih mematangkan perkembangan jiwamu. Kemudian satu hal lagi yang harus kau ingat selalu. Gerhana berarti kata pengingat untuk kembali pada-Nya. Karena gerhana merupakan kuasa dan kehendak-Nya, dalam mengatur seisi jagad. Ingatlah selalu kepada namamu sendiri, maka kau akan tersadar betapa kecilnya dirimu, betapa hinanya dirimu di atas semua kuasa Tuhan. Apabila kegelapan atas dirimu datang, resapi ia dengan sungguh-sungguh, tapi jangan sampai kau terbawa didalamnya.... kau akan tahu kelak kalau keadaanmu sudah betul-betul matang anakku......" Usai bicara panjang lebar menasehati si bocah yang kini bernama Yuda, kilat berwarna biru keunguan tampak menggaris dilangit sembilan kali. Baru beberapa saat kemudian suaranya menyusul, namun hanya sekali saja.

"Ingat anakku! Sembilan kilat, adalah pengingatmu. Sembilan petir itu penyadarmu, karena itu ingatlah pada pemilik sembilan puluh sembilan nama pemilik segala sesuatu yang ada, yaitu Dia! Tuhan yang menguasai seluruh kehidupan mayapada ini!" si kakek berkata demikian sambil menunjuk keatas.

Bagai mengerti semua ucapan si kakek, Yuda tiba-tiba berlutut dan berkata perlahan, "Eyang, aku akan selalu ingat perkataanmu dan aku mulai saat ini akan benar-benar menjaga amanatmu."

"Bukan amanatku anak baik. Tapi amanat hati nurani yang cinta damai, cinta akan keindahan dunia dengan kebajikan, kebijakan, kebenaran dan keadilan yang digariskan-Nya tanpa tersesat..."

Yuda hanya mengangguk saja. Bocah yang sudah nampak seperti anak berusia sepuluh tahun ini kemudian mengambil tangan kakek didepannya, lalu menciumnya. "Terima kasih Eyang."

"Anak bagus, anak baik!" ucap kakek ini dengan nada penuh kasih sayang. Dan tangan kanannya mengusap-usap kepala Yuda, bocah ini merasa ada seesuatu yang amat sejuk mengalir ditubuhnya. Sebenarnya Yuda bisa mengira apa itu yang sedang memasuki dirinya, tapi bocah ini tidak mau mengusik dengan pikirannya, karena ia memang tidak ingin tahu. Yuda merasakan kalau itu belum waktunya bagi dirinya untuk menggunakan kemampuan Teropong Batin, sebab dalam usia semuda itu, teropong batin hanya bisa dilakukan sekali saja.

Setelah mengusap-usap Yuda, Ki Ampel Perak menghilang dari bukit Satwa Mega tanpa diketahui kepergiannya. Cuma saja disetiap telinga orang kecuali Yuda, terngiang sebuah pesan.

"Jaga anak itu, arahkan ia dengan semua pengetahuan kalian..., hanya orang yang masih berhubungan darah darinya yang bisa dengan mudah memasukan ilmu pengetahuan tanpa ia pertimbangkan lagi, tapi selama ia tidak berkemauan akan tetap sulit bagi kalian untuk memberikan padanya ilmu, jadi biarlah ia berkembang dengan kemampuannya. Amati anak itu dari jauh!"

Lalu terang benderang dipuncak bukit itupun redup dengan cepat bagai ditelan seribu gurita malam. Suasana kembali temaram, matahari tenggelam masih terlihat cahayanya di ufuk barat. Cekaman kegelapan sudah usai, rasanya hanya seperti terjadi sesaat saja.

Sementara itu dua keluarga dari ayah dan ibu Yuda, tampak masih tercenung dengan pesan Ki Ampel Perak. Tanpa mereka sadari, hari sudah kembali beranjak pagi. Yuda, bocah bengal yang memiliki banyak kelebihan itu, tertidur tengkurap ditanah.

"Yuda.... anakku, bangun nak!" suara Kinarum yang begitu lembut membangunkan si bocah—kasih ibu memang tiada taranya—dengan penuh kelembutan sang ibu mengecup kepala sang anak, mata sia anak langsung terbuka.

"Ibu..." desisnya lirih.

Ibu muda yang teramat sayang pada Yuda, lalu memeluk anak itu dan membawanya kedalam rumah. "Kau sudah bernama nak...," kata ibunya ketika sudah ada dirumah, begitu pula dengan yang lain.

"Ah, ibu ini ada-ada saja. Tentunya ibu yang memberi namaku ketika aku lahir dulu...." Perkataan bocah itu, membuat orang saling berpandangan heran. Mereka lalu menatap Yuda dengan keherananan makin membuncah.

"Apakah kau tidak merasakan kehadiran pembawa namamu tadi malam Yuda...?!" tanya ayahnya dengan heran.

"Tidak tahu ayah, aku hanya merasakan bertemu dengan seorang kakek, ia memberi namaku dan ibu juga menyebut namaku. Sepertinya aku bermimpi, tapi aku tidak merasakan kehadirannya kakek yang memberikan namaku tadi malam...., melainkan aku merasakannya seperti tiga tahun lalu saat aku dilahirkan, dan itu termimpikan olehku tadi malam, aku seolah melihat aku sendiri setelah ibu melahirkan...." ucapan Yuda, membuat orang makin mengerutkan kening tak mengerti. Mereka tak mengerti bagaimana bocah dua tahun lebih ini, bisa lancar berargumen seperti itu, tapi mereka tidak mempersoalkan lebih lanjut lagi, kini perhatian orang-orang yang begitu menyayangi Yuda, hanya akan terpusat pada bocah itu.

Dan mulai saat itu juga mereka menggembleng Yuda kecil dengan berbagai kemampuan dan ilmu pengetahuan. Tapi seperti apa yang diucapkan Ki Ampel Perak, bila Yuda memang tak berkeinginan maka akan susah sekali mereka memberi pelajaran pada bocah yang makin terlihat bengal itu. Yuda lebih banyak bermain dari pada belajar, dan 'guru-guru' bocah itu, hanya mampu menggeleng kepala menyaksikan tingkah polah anak yang mulai berkembang itu. Terkadang mereka jengkel kalau pada saat Yuda kecil diberi pelajaran malah maunya main kuda-kudaan dengan pengajarnya. Tapi sekali ia berminat, tidak tanggung-tanggung ia menguasainya. Dalam satu hari saja sebanyak apapun pelajaran yang diberikan, semua bisa melekat diotaknya tanpa lupa sedikitpun! Albert Einstein? Lewat deh....

(bersambung)

Related Post

2 komentar: