Rupanya saran Sugiri cukup
baik, penginapan itu besar dan nyaman, tidak terlalu mewah, sangat sesuai
dengan selera Jaka. Dengan langkah lebar, ia memasuki penginapan itu dan
langsung disambut pihak penginapan dengan penuh suka cita. Tentu saja mereka
menyambutnya penuh suka cita, siapa sih yang tidak mau duit? Karena hari masih
siang, Jaka tidak berminat tinggal dalam kamar, pemuda ini memesan sebuah kamar
nomer satu yang berada di pojok ruangan pada tingkat kedua. Usai menaruh barang
bawaannya, pemuda itu segera melangkah keluar dari penginapan. Sejak semula dia
memang ingin mengunjungi tempat yang menjadi objek wisata, hanya saja ia tidak
tahu dimana tempatnya—walau dia sudah pernah beberapa kali kekota itu, untuk
suatu keperluan (bukan untuk santai)—setidaknya ia berharap ada orang yang
menjadi pemandu, kalau ia menginginkan pelayan itu, rasanya ada yang tidak pas.
Ada banyak hal kenapa ia menganggap pelayan itu tak pantas, pertama karena dia
‘mirip’ pelayan. Kedua, dan seterusnya, masih banyak alasan yang memberatkan
menurut Jaka.
Dengan berjalan mengikuti
kemana arah jalan besar, dia mengharap ada sesuatu pemandangan yang dapat
menarik minat hatinya sebagai petualang dan pencinta alam, juga sebagai...
Namun sejauh itu, Jaka tidak
menemukan hal-hal baru yang dapat membuatnya terkesima. Maklum, dulu dia pernah
ada di kota ini untuk urusan lain. Hanya saja corak kota itu memang lain dari
pada kota yang pernah ia kunjungi selama ini. Penduduk di kota itu sangat
menaruh perhatian pada pengunjung atau orang asing yang baru pernah terlihat
satu dua kali.
Dari hal itu, Jaka dapat
menarik kesimpulan bahwa, penduduk kota ini memiliki hubungan kekeluargaan amat
erat. Karena bingung hendak pergi kemana, pemuda itu berniat menanyakan tempat
pada salah seorang warga.
Langkah pemuda itu santai,
tak terburu. Namun ia terpaksa surutkan langkah tak kala melihat orang yang
hendak ia tanya sedang berbicara keras dengan lelaki tinggi besar.
"Bergola, karena
memandang Aki dan ayahmu, sejauh ini aku selalu mengalah padamu, tapi kali ini
tindakanmu sangat keterlaluan…" Jaka mendengar si Aki berkata dengan nada
prihatin.
"Hm, siapa suruh kau
pandang ayah dan Aki-ku? Apa yang kulakukan tiada sangkut pautnya dengan nama
keluargaku! Jadi singkatnya, sekali lagi kutanyakan, apakah kau setuju atau
tidak? Kalau setuju, tengah malam kentongan pertama datanglah ke kuil diujung
timur perbatasan kota…"
"Kalau tidak?" ujar
Aki itu dengan nada sengit.
"Kalau tidak? He-he,
kalau tidak kau bilang? Berarti kau gali lubangmu sendiri! Dan ingat baik-baik,
apa yang kulakukan juga untuk kebaikanmu sekeluarga!" Dengus lelaki besar
itu dengan nada dalam. Usai berkata demikian ia melangkah pergi dari beranda
rumah Aki itu.
Melihat kejadian tadi, Jaka
jadi agak ragu untuk masuk menemui Aki tadi, saat hendak berlalu pemuda itu
melihat Aki tadi melambaikan tangan padanya, rupanya Aki berwajah ramah itu
sudah melihat kehadirannya. Mau tak mau pemuda ini segera datang.
"Maaf kalau saya
mengganggu Ki..." kata pemuda ini begitu sampai didepan lelaki tua berusia
mendekati tujuh puluhan, tapi kelihatan masih bugar.
”Ah, tidak apa-apa."
sahut si Aki ramah. "Ada keperluan apa anak muda?"
Jaka agak canggung karena
melihat kejadian tadi, apapun juga, biasanya seseorang yang menahan amarah
pasti akan melampiaskan pada orang lain, tetapi agaknya Aki itu tidak
terpengaruh peristiwa tadi. Diam-diam Jaka Bayu mengagumi ketabahan sang Aki.
”Eh, sebenarnya tidak ada hal
penting yang saya tanyakan, hanya saja karena baru hari ini saya datang, maka
saya ingin mengunjungi tempat-tempat yang dipandang indah untuk
melancong."
"Ooo.." Aki itu
tersenyum sambil manggut-manggut.
"Nama saya Jaka
Bayu..." pemuda ini tidak lupa mengenalkan dirinya.
"Nama yang bagus sekali
seperti orangnya," gumam Aki itu. "Aku Sasro Lukita, hanya karena aku
merupakan salah satu sesepuh dikota ini, banyak orang memanggilku Aki
Lukita."
Pemuda ini manggut-manggut.
"Maaf Aki, saya lihat pemuda yang datang seperti ada keperluan dengan
Aki?" tanya pemuda ini menyelidik.
"Ah, tidak apa-apa.
Biasa, anak muda jaman sekarang memang kalau ada masalah selalu saja merepotkan
orang tua seperti aku ini." Gumam Aki Lukita dengan senyum tawar.
Jaka menangkap ada sesuatu
yang tidak beres dibalik perkataannya. Ia ingin menanyakan tetapi diurungkan,
karena disadari bahwa dirinya adalah pendatang dan belum ketahuan baik buruknya
dimata orang, tentu saja orang mudah bercuriga kepadanya, tak terkecuali Aki
ramah didepannya.
"Ayo masuk," Aki
itu mempersilahkan Jaka untuk duduk kemudian dengan santai ia pun duduk
dikursinya, rokok kawung yang tadi dimatikannya ia sulut kembali.
"Ah, sampai lupa… kau
tadi menanyakan tempat yang cocok untuk berpesiar ya? Di kota ini memang banyak
tempat seperti itu, di sebelah barat kota ini ada Telaga Batu, airnya jernih
sekali, biarpun telaga itu tidak terlampau luas, tapi termasuk salah satu
telaga besar di daerah ini. Terus, jika engkau menuju selatan, di sana ada Gua
Batu, tempat itu dijaga ketat oleh pemerintah kota ini, sebab daerah itu salah
satu petilasan dari tetua kerajaan ini. Hanya saja setelah puluhan tahun,
daerah itu dibuka untuk umum, tetapi bagi yang ingin masuk harus menjalani
pemeriksaan ketat. Kemudian disebelah timur terdapat Sungai Batu dengan air terjun
Watu Kisruh, dan disebelah utara dapat dikatakan ada dua macam tempat yang
cocok untuk berpesiar, yang pertama sebuah kuil tua yang berumur ratusan tahun
dan yang kedua Perguruan Naga Batu."
Uraian singkatnya membuat
Jaka heran, bukan tak percaya, hanya saja mengenai namanya, kenapa pakai batu
semua? Apa karena daerah ini lebih banyak batunya ketimbang daerah lain?
Kunjungan waktu lampau, tak membuatnya sempat memperhatikan kondisi kota,
maklum saja... saat itu dirinya berdaya menyembuhkan orang.
Melihat pemuda itu
memandangnya dengan raut muka heran, Aki itu tertawa, tentu saja dia dapat
menyelami pikiran pemuda itu. "Kau tentu heran dengan penamaan
tempat-tempat itu bukan?"
"Benar Ki, mengapa harus
memakai nama batu semua?"
"Ceritanya panjang, aku
khawatir kau tidak sabar dan bosan mendengarkannya…" katanya sembari
tersenyum.
"Ah, tidak, sebagai
seorang petualang, terhadap tempat yang saya pandang menarik dan memiliki
keanehan, saya selalu menaruh perhatian, dan waktu lebih…"
"Oh, jadi kau seorang
petualang?" tanya Aki itu.
"Benar," sahut Jaka
merasa kelepasan omong. Dimata orang berpendidikan, seorang petualang itu
dipandang seperti pengangguran, bisa juga disamakan dengan preman.
"Bagus... bagus
sekali," Aki itu tertawa sambil manggut-manggut.
Jaka bengong tak mengerti.
Tapi pemuda itu tidak mau mengusik Aki itu, mungkin saja ia tertawa karena satu
hal, bukan menyangkut dengan dirinya.
"Anak muda yang
bersemangat, kulihat dari sinar mata dan postur tubuh, kau tidak cocok jadi
seorang kelana, tetapi kau dapat menuruti kata hatimu, aku yakin asal usulmu
tentu bukan sembarangan." Kata Aki itu sambil menatap tajam anak muda itu.
Jaka Bayu terkejut, ia tak
menyangka kalau Aki ini begitu lihay menilai orang—meski hanya melihat raut
wajah dan postur tubuh.
Sambil menenangkan hati, Jaka
menjawab kalem, "Ah, Aki salah mengira, saya hanya seorang biasa, asal
usul juga tak luar biasa. Saya sama dengan orang lain. Punya tempat tinggal,
punya teman, dan lain-lain, tidak ada yang luar biasa…"
Aki itu tertawa tanpa suara,
"Aku hidup lebih tujuh puluh tahun, semua macam pengalaman hidup sudah
bisa kurasakan manis dan pahit getirnya. Memang hanya orang-orang tertentu yang
dapat melihat jelas seseorang, hanya dari wajah dan gerak-geriknya, dan mungkin
aku salah satu diantaranya." Sambil menyedot rokok kawungnya, Aki itu
menuruskan ucapannya. "Tadi aku hanya mengatakan kalau asal usulmu luar
biasa, jika tebakanku salah, kau cukup menyangkal dengan satu kalimat saja,
tidak perlu memberi alasan, apalagi contoh. Bagaimana?”
Jaka tertawa canggung.
“Terserah Aki sajalah bagaimana menilai saya.”
Aki ini mengangguk. “Diluar
penilaianku yang tadi, kulihat pancaran matamu tenang dan dalam, tapi disana
aku masih melihat kegelisahan, resah dan pertentangan, kuyakin kau berasal dari
keluarga terhormat, mungkin hanya karena beda prinsip maka kau bisa luntang
lantung begini rupa."
Jaka terkesip mendengar
uraian sang Aki. "Hebat kakek ini, dia dapat meraba kejadian masa lalu
hanya melihat tampangku, orang ini bukan sekedar sesepuh kota!" katanya
dalam hati.
”Mungkin apa yang Aki katakan
benar.” Sahut Jaka tersenyum tanpa merasa terpancing. “Oh ya, bagaimana asal
usul nama tempat itu tadi Ki?" Tanya Jaka mengalihkan pembicaraan.
Aki itu manggut-manggut
sambil tersenyum, dia tahu mengapa pemuda itu mengalihkan perhatian. Diapun
maklum, membicarakan seseorang tanpa orang itu menyetujui bukanlah hal yang
mengenakkan.
"Sebenarnya yang membuat
setiap tempat itu bernama batu, disebabkan satu hal—dulu, hampir satu abad
lalu—ada seorang tokoh persilatan yang memiliki nama gemilang, julukannya
Pedang Emas Kepalan Batu, beliau juga merupakan adipati wilayah ini. Pada waktu
itu suasana antar kerajaan selalu diliputi ketegangan, tetapi dengan adanya
beliau, daerah ini merupakan satu-satunya wilayah bebas konflik."
"Hebat sekali."
"Memang, beliau adalah
lelaki hebat yang memiliki tanggung jawab besar dan sanggup pula memikulnya.
Saat beliau meninggal, maka Sang Prabu membuat tiap tempat yang sering
dikunjungi dan merupakan tempat kesukaan adipati, di tambahkan kata Batu,
sesuai dengan julukan sang adipati, sebagai tanda hormatnya."
"Siapakah nama adipati
hebat itu?" tanya Jaka, rupanya pemuda ini tertarik.
"Cakra Sapta, namanya Cakra Sapta..."
"Cakra Sapta, namanya Cakra Sapta..."
Mendengar nama itu, tiba-tiba
wajah pemuda ini berubah, selebar mukanya merah semu dan tiba-tiba matanya
sedikit menyipit. Perubahan itu hanya sekejap, tetapi Aki Lukita melihatnya.
Diam-diam Aki itu tersenyum ringan.
"Ki, apakah nama
Perguruan Naga Batu hanya mengambil kebesaran nama Adipati Cakra Sapta atau
karena sebab lain?" tanya Jaka.
Mendengar nada pertanyaan
anak muda itu, Aki ini makin melebarkan senyumnya, rupanya dugaan dalam hatinya
kemungkinan besar benar. "Tentu saja ada alasan lain, kalau tidak pihak
kerajaan tentu tak akan mengijinkan penamaan itu."
"Apa alasannya?"
"Mudah saja, karena sang
adipati sendiri yang menjadi cikal bakal dari perguruan itu. Karena itu tiap
masyarakat di kota ini sangat menghormati Perguruan Naga Batu."
Jawaban itu membuat Jaka
makin terkesip, tetapi diluarnya ia tetap tenang, cuma kali ini matanya tampak
berkilat tajam. Aki Lukita merupakan orang tua berpengalaman luas, melihat anak
muda itu terdiam tentu saja ada yang dipikirkannya.
"Bolehkan aku bertanya
padamu Jaka?"
"Oh, tentu saja
Ki," sahut Jaka buru-buru menjawab.
"Apakah kau memiliki
hubungan dengan perguruan itu?"
Mendengar pertanyaan itu Jaka
terheran-heran, namun hatinya tergetar juga dengan pertanyaan itu, mimpipun ia
tak menyangka kalau Aki Lukita bertanya segamblang itu.
"Andai saja seperti
itu.” Jawab Jaka dengan nada mengharap, tapi Ki Lukita melihat kalau itu cuma
candanya. “Yang saya tahu, saya tidak punya rejeki sebesar itu. Andai menjadi
murid perguruan itu saja sudah merupakan kebahagiaan tersendiri, konon ada
hubungan, sungguh tidak berani membayangkan…" Jawab Jaka sambil tersenyum
canggung.
Tapi ia berpikir, jawabannya
kurang bijak, maka buru-buru ia menambahkan. “Tapi mungkin juga dugaan Aki ada
benarnya. Kita hidup saling bergantung satu sama lain, mungkin saja kelak atau
entah kapan saya ada hubungannya dengan perguruan itu atau bahkan Aki sendiri.”
Tutur Jaka.
Mulanya Aki itu mengira bisa
membaca karakter Jaka semudah melihat wajah pemuda itu, tetapi dengan jawaban
barusan, membuat Aki itu tertegun. Kata-kata bersayap Jaka, membuatnya bingung.
Setelah lengang beberapa
saat, Jaka berniat untuk menanyakan masalah Aki itu dengan lelaki tinggi besar
bernama Bergola. "Aki, maaf kalau saya kurang sopan, saya ingin menanyakan
sesuatu…"
Aki itu tertawa ramah,
"Tanyakanlah," biarpun ia berkata begitu namun ia sudah dapat apa
yang akan ditanyakan pemuda itu.
"Menurut saya, pemuda
tadi tidak begitu… ehm, baik? Mungkin ada sesuatu yang bisa saya bantu?"
Jaka bertanya dengan nada mengambang, ragu. Tetapi bagi yang bersangkutan
justru sangat jelas sekali.
Aki itu tertawa ramah,
"Andai kata seratus orang muda saja yang memiliki perasaan dan rasa hormat
sepertimu aku yakin tidak akan banyak pergolakan dalam dunia persilatan."
Ucapan Aki itu seperti sambil lalu, tetapi nadanya aneh sekali, bagaimana orang
biasa yang hidup tentram dikota bisa membicarakan masalah dunia persilatan?
Lagi pula mengapa dia membicarakan dengan Jaka? Dari sini Jaka sudah dapat
menduga—dan yakin akan kebenaran dugaannya—bahwa kemungkinan besar Aki itu
adalah salah satu tokoh ternama dalam dunia persilatan, dan tentunya sudah
mengasingkan diri. Sambil menghela nafas panjang Aki itu meneruskan bicaranya.
"Sebenarnya aku tidak
ingin masalah kecil seperti ini diketahui orang lain, tetapi aku tahu kalau aku
tak memberi tahu mungkin kau tak enak makan tidur dan bakal menguntit diriku
tengah malam nanti." Perkataan tersebut membuat wajah Jaka bersemu. Ia
tidak bisa mengingkari kenyataan yang diucapkan Aki itu.
"Memang benar Ki,"
sahut pemuda ini membenarkan tanpa ragu. Aki Lukita tersenyum penuh arti
mendengar jawaban Jaka. "Aku tak menyalahkanmu, kalau saja aku yang
menjadi dirimu, sebagai pemuda yang berdarah panas, tentu saja selalu ingin
mencari tahu rahasia yang dianggap menarik.” Sambil menghembuskan asap rokok,
Aki ini kembali bertutur. “Baiklah, aku akan memberitahu padamu tetapi ini
hanya sepintas lalu saja… lelaki tadi bernama Bergola. Sesungguhnya dia seorang
pemuda yang memiliki semangat besar, hanya saja salah menggunakan kemampuannya.
Apalagi akhir-akhir ini terdengar kabar amat santar, munculnya Perkumpulan
Lidah Api, aku tidak tahu perkumpulan macam apa itu, tetapi aksi mereka selalu
merangkul pejabat pemerintahan dan tokoh-tokoh silat kelas atas." Tutur
Aki itu dengan menghela nafas panjang. “Kemungkinan besar ada hubungannya
dengan Perkumpulan Dewa Darah.” Sambungnya lagi, sambil menatap Jaka dengan
tajam. Tapi dia tidak menemukan perubahan pada raut wajah Jaka. Tapi sesaat
tadi diapun melihat ‘senyuman’ pada mata pemuda itu. Apakah dia paham dengan
yang dikatakannya tadi?
"Aki tahu begitu banyak,
saya rasa Aki masih memiliki hubungan dengan tokoh sakti kelas atas?"
tanya Jaka memotong.
Ki Lukita memandang Jaka
sesaat, lalu tertawa lepas. Dia maklum dengan ucapan Jaka yang mengartikan
bahwa dirinya salah satu tokoh sakti. "Ah, berbohong denganmu kelihatannya
percuma,” ujarnya. “Kutahu dirimupun bukan orang biasa, karenanya aku juga
bersikap terbuka padamu.”
Jaka tertawa mendengarnya,
yah, apa lagi yang harus dikatakannya, kalau perkataan itu benar?
“Dulu aku seorang pesilat
yang hanya mengandalkan satu dua jurus cakar ayam, cuma saja tidak seorangpun
tahu akan hal itu, kecuali keluargaku, para sahabatku dan kini… dirimu. Aku
yakin, sekali melihat engkau pasti dapat menilai orang macam apa aku ini, tentu
saja hal itu tergantung pada pengalaman dan pandanganmu dalam menilai
seseorang. Dan kedatangan Bergola tidak ada sangkut pautnya dengan diriku yang
dulu."
“Saya ingin tanya, apakah
Bergola asli penduduk kota ini?”
“Terhitung asli. Orang tua
dan kakeknya adalah penduduk sini, tapi pada masa kecilnya dulu, orang tua
Begola pernah berdagang ke kota lain. Setelah hampir sepuluh tahun, mereka
kembali kesini.”
“Tentu dagangannya berhasil.”
“Dari mana kau tahu?”
“Orang yang berhasil dengan
usahanya, pasti senang jika keluarganya dan orang lain tahu.”
“Benar.”
“Saya bisa memastikan,
setelah orang tua dan anaknya—Bergola—kembali kesini, sikap mereka masih
seperti dulu dan tak berubah dalam janga waktu tertentu.” Ki Lukita mengangguk
membenarkan. Dia juga agak merasa heran, sekalipun dia tahu hal itu, tapi cara
Jaka menganalisis persoalan sepele seperti itu, membuatnya makin curiga—yakin
akan satu hal—bahwa anak muda dihadapannya bukan sekedar petualang biasa.
“Saya tak tahu seberapa kaya
mereka, tapi sifat mereka pada awalanya pasti simpatik, dan lambat laun, tidak lagi.
Dan saya yakin penduduk tidak merasa heran lagi.”
Ki Lukita mengiyakan.
“Kalau begitukan persoalannya
jadi mudah ditebak. Hanya pedagang batu mulia saja yang bisa memiliki kekayaan
besar dalam sepuluh tahun—dengan catatan tak merugi. Tapi jika bukan, pasti ini
suatu kejanggalan.”
“Kau salah, justru mereka
adalah perdagang emas dan permata.”
“Sebelum pindah kekota lain,
juga pedagang batu mulia?”
Ki Lukita berpikir sejenak.
“Hanya pedagang klontong dan penjulan perhiasan dari logam.”
Jaka tersenyum. “Perkumpulan
Dewa Darah, Perkumpulan Lidah Api… entah seperti apa mereka.” Katanya sambil
mendesah.
Baru kali ini Ki Lukita paham
sepenuhnya dengan penuturan Jaka. Ternyata pemuda ini hendak mengatakan bahwa,
sejak semula orang tua Bergola memang merupakan kepanjangan tangan orang
lain—itu disebutkan saat Jaka mengatakan dua perkumpulan tadi, ‘entah seperti
apa mereka’. Lelaki tua ini menatap pemuda dihadapannya dengan sedikit terpana,
apakah pemuda ini sama seperti dirinya? Sama… tentang apa?
“Uraianmu cukup bagus.”
Jaka menghela nafas.
"Jadi, tentunya masuk akal jika dia membuat masalah dengan Aki.”
“Masuk akal? Kau dapat dalil
dari mana?”
“Ah, masa itu terhitung dalil
segala Ki?” ujar Jaka tersenyum. “Orang juga akan berpikir sama, sebab siapapun
yang ingin menguasai suatu tempat, harus mengetahui seluk beluk tempat itu,
khususnya para pamong—orang-orang yang sangat dikenal oleh warga setempat,
betul tidak?”
“Betul.”
“Nah, kalau sudah begitu kan
mudah untuk menjalankan rencana selanjutnya?”
“Ya…”
“Dengan sendirinya Bergola
juga tidak bekerja seorang diri.”
“Kau benar lagi,”
“Dan akan lebih baik jika
orang yang sangat paham seluk beluk daerah tersebut—dalam hal ini mungkin kota
ini—bisa merangkul orang-orang tertentu. Betul tidak?”
Ki Lukita tertawa, dia tidak
menjawab, hanya tersenyum saja. Jaka juga tersenyum. “Kalau cara itu gagal kan
paling mudah jika orang itu mengintimidasi—mengancam—si korban, jika tidak
mempan juga, pasti akan ada siasat lebih baik lagi.”
“Ha, kelihatannya kau pandai
menebak,” kata Ki Lukita seraya tersenyum. “lalu menurutmu siasat apa yang akan
dilakukan orang itu?”
Jaka memutar bola matanya,
“Kalau aku jadi orang itu, aku akan membuat dia—dalam hal ini Aki, agar tidak
bisa hidup dimana tanah dipijak langit dijunjung.”
Gemerdep mata Ki Lukita, “Kau
maksudkan dengan fitnah?”
“Benar, dengan sendirinya,
apapun yang akan Aki katakan jika para warga tidak lagi percaya, maka
sia-sialah semuanya, bukankah dengan demikian satu-satunya cara terbaik adalah
pergi dari sini, atau melawan dengan siasat yang serupa pula?”
“Pintar, kau benar, memang
harusnya seperti itu…” gumam Ki Lukita memandang jauh kedepan.
Keduanya diam. Mereka berdua
sama tahu bahwa percakapan mereka tidak lazim bagi orang yang baru saling
berjumpa sepuluh menit seumur hidupnya. Namun merekapun tidak menyangkal kalau
percakapan mereka saling melengkapi dan tidak ada perasaan mengganjal
diantaranya. Tapi justru menambah banyak pertanyaan di benak masing-masing,
tetang ‘siapa dia sebenarnya’. Kedua orang ini merasa penasaran dengan masing-masing
pihak.
“Jadi, apakah Bergola itu
salah satu anggota Perkumpulan Lidah Api atau Dewa Darah?" tanya Jaka
kemudian.
"Aku salah. Seharusnya
aku tidak membicarakan masalah ini padamu.”
Alis Jaka terangkat satu,
“Mengapa?”
“Sebab jika kau terlibat didalamnya,
runyamlah nasibmu!”
Pemuda ini tersenyum, sungguh
heran hati si Aki melihatnya, puluhan tahun dia hidup, sudah ratusan, mungkin
ribuan senyum ia lihat, tetapi tiada yang semenarik senyuman pemuda
dihadapannya. Jika dia bisa memisalkan, senyum si pemuda seolah-olah serumpun
bunga yang mekar serentak, dan membuat suasana tenang, membuat damai.
“Kenapa kau tersenyum?” tanya
Aki ini penasaran juga.
“Kenapa? Saya sendiri tidak
tahu, tapi yang membuat saya tersenyum adalah, cara Aki memandang kehidupan
orang dari satu sisi saja.”
“Satu sisi?”
Pemuda ini mengangguk, “Ya,
Aki hanya memandang siapapun yang terlibat hal tertentu pasti sedikit-banyak
akan tertimpa kemalangan, itu mungkin benar. Tapi manusia hidup itu perlu
usaha, perlu cita-cita, dan untuk itulah dia mengerti kenapa dia ada di dunia
ini.”
Aki ini termenung mendengar
perkataan Jaka, perlu usaha, perlu cita-cita. Sungguh kata-kata yang sederhana,
tapi tahukah kau, jika kau tidak pernah memikirkan untuk apa kau dilahirkan
didunia, maka celakalah hidupmu. Memangnya setiap saat dirimu akan terus
menggantungkan diri pada orang lain? Dan benarlah apa yang dikatakan Jaka!
Untuk lingkup sempit, manusia perlu kerja, perlu aktivitas, dan punya tujuan,
supaya hidup ini tidak hambar.
“Benar... benar sekali
ucapanmu!” gumam Aki ini sambil menatap tajam pemuda yang ada dihadapannya.
Dia tahu siapapun yang bisa
mengatakan ucapan bijak seperti itu, pastilah sudah banyak pengalaman
pahit-getir yang dialaminya. Tetapi, pemuda itu masih begitu ‘kecil’ mungkin
dua puluhan? Tapi bagaimana dia bisa berfikir seperti itu? Diam-diam Aki ini
menghela nafas, sungguh dia merasa kagum juga heran.
Jaka balas menatap Aki itu.
“Dan bagaimana menurut Aki?”
“Menurutku?” tanya Aki ini
sedikit kaget, dipikirnya tentang ucapan bijak Jaka tadi yang ditanyakan
tanggapannya.
“Masalah Bergola tadi.”
“Entahlah, tetapi aku menduga
dia pasti salah satu anggota dari dua perkumpulan itu. Setelah percakapanmu
denganku, aku yakin dirimu akan dibuat susah orang tertentu, mungkin saja
karena mereka menganggap kau ikut campur urusan mereka."
"Mengenai masalah itu,
saya rasa Aki tidak perlu kawatir, saya punya cara sendiri menghindari
mereka."
"Aku percaya padamu.”
Alis Jaka terangkat, tapi
sebelum dia bertanya, orang tua ini sudah memberi penjelasa. “Sebab menurut
penilaianku, kau merupakan tunas cemerlang dari dunia persilatan. Sungguh
sebuah keberuntungan bagi dunia persilatan…"
Pemuda ini tersenyum kecil.
"Ah, Aki terlalu menyanjung, biarpun hanya memiliki kepandaian sejurus dua
jurus, itupun hanya dapat melindungi diri dari gangguan binatang buas, saya
belum pantas disebut pesilat."
Aki ini kembali menghela
nafas, dengan perkataan Jaka barusan, dia sudah dapat mengambil kesimpulan
sedikit, sebenarnya pemuda macam apa yang ada didepannya itu? Pemuda itu tak
takut dirinya direcoki kelompok Bergola, bahkan secara samar Jaka mengatakan
bahwa tujuan hidupnya itu memang untuk menghapus orang-orang yang terkumpul
dalam satu wadah yang sedang mereka bicarakan, mungkin itu sedikit kesimpulan
yang diperolehnya.
"Merendah sih boleh,
tetapi jangan terlalu kelewatan," ujar Aki itu menasehati, setelah
beberapa lama dia terdiam. "Kutahu engkau bukan sembarang orang, apa lagi
mengenai…” sampai disini si Aki menggantung ucapannya.
Jaka mengerutkan dahi, mau
tak-mau dia merasa penasaran juga dengan ucapan Aki itu. “Mengenai apa?”
“Tentu saja mengenai asal
usulmu yang kemungkinan besar ada hubungannya dengan Perguruan Naga Batu…"
tukas Aki ini dengan santai, tetapi ucapan itu membuat Jaka terdiam membeku,
lalu menyeringai serba salah. Dia enggan menyangkal, kalaupun ingin menyangkal
rasanya tidak ada yang perlu disangkal, sebab kenyataannya mungkin saja begitu,
mungkin juga tidak.
“Dan sekarang kuberi tahu kau
satu rahasia.” Ujar Ki Lukita setelah—kelihatannya—menimbang ucapannya
matang-matang.
“Rahasia, apa itu?”
“Jangan pernah sebutkan nama
Perkumpulan Dewa Darah sembarangan, perkumpulan itu merupakan salah satu
rahasia dalam dunia persilatan. Diantara seratus orang pendekar yang aktif
berkelana, paling tidak hanya ada lima orang yang tahu apa itu Dewa Darah.”
“Mengapa begitu?”
“Sudah kubilang itu
perkumpulan rahasia, dan mungkin ada hubungannya dengan Perkumpulan Lidah Api
atau banyak lagi perkumpulan lain—yang jelas mereka selalu meneror dan membuat
kerusuhan.”
Jaka tersenyum samar, ia
manggut-manggut paham. “Baik, saya tidak akan sembarang menyebut namanya. Tapi
kalau kita membicarakan dengan santai begini, kan sudah termasuk bukan rahasia
lagi?”
Aki ini melegak, “Ehm, kau
benar.” katanya menjawab serba salah, sungguh tak disadarinya dia bisa membuka
celah fatal seperti itu, tadinya dia memikirkan jika membicarakan hal itu tidak
berbahaya—untuk identitasnya.
Tapi kini?
Kalau semua orang tidak tahu
kenapa dia bisa tahu? Itu kan sama seperti orang memasang papan nama didahinya
bahwa dia lain dari yang lain? Lalu orang macam apa dia itu? Diam-diam Aki ini
mengeluh, mudah-mudahan pemuda itu tidak bertanya, demikian ia berharap.
“Lalu dari mana Aki tahu?”
pertanyaan Jaka mengandaskan harapan si Aki.
Percuma mengelak, Aki ini
tersenyum, senyum yang tenang, bukan senyum serba salah—memang tak malu dia
disebut jago kawanan. “Tentu saja aku tahu karena aku sudah tua.” Jawabnya
bijak. “Jadi banyak mengerti banyak hal.”
Jaka tersenyum, “Memang benar
Ki, orang yang lebih tua lebih tahu dari kaum muda, itu kan sudah jamak?”
“Nah, kau sendiri
menyadarinya.” Sahut si Aki tanpa ragu, dengan demikian dia tak perlu membuka
rahasia dirinya.
“Ya, saya langsung
menyadarinya, dan kini saya paham, mungkin saja Aki salah satu Telik Sandi
Kwancasakya, benar begitu Ki?” tanya Jaka membuat Aki itu terperanjat
setengah mati.
Dia adalah orang
berpengalaman, tapi bisa dibuat terkejut dengan ucapan Jaka yang baru
dikenalnya, sungguh membuat dirinya serupa orang tersadung batu—sangat
mengherankan—dan kini dia merasa tidak mengenal dirinya lagi, ketenangan yang
dipupuknya sekian puluh tahun, bisa lenyap secepat itu, hanya karena satu
kalimat yang di utarakan Jaka. Untuk beberapa saat Aki ini terdiam, rasanya dia
akan mengomentari hal itu, tapi rasanya tidak pas.
“Bukan!” Akhirnya ia menjawab
apa adanya, sebab terkadang jawaban bertele-tele akan membuat lebih banyak
rahasia terungkap. “Anggap saja aku banyak tahu rahasia orang. Tapi dari mana
kau tahu ada Telik Sandi Kwancasakya?” tanyanya heran.
Jaka garuk-garuk kepala.
“Mungkin kebetulan Ki.” Katanya tersenyum. Mereka sama-sama tersenyum, dan kini
keduanya maklum, mereka sama tak inginnya membicarakan rahasia yang mungkin
hanya diketahui mereka sendiri.
Perlu diketahui, Telik Sandi
Kwancasakya adalah sebuah perkumpulan yang bergerak dalam banyak bidang, apakah
itu politik, ekonomi, bahkan sampai kebijakkan yang diatur dalam kerajaanpun
mereka bisa mempengaruhinya, mereka memiliki jaringan diseantero negeri. Sesuai
dengan namanya, mereka mengkhususkan diri sebagai mata-mata. Mereka mempunyai
informasi dan menjualnya dengan harga tinggi pada orang yang membutuhkan.
Keberadaan perkumpulan ini entah ada sejak kapan, yang jelas jika ada orang
yang dirundung kesulitan, selalu saja ada anggota mata-mata itu yang menawarkan
jalan keluar dengan imbalan besar. Mereka datang, dengan, dan, atau, tanpa
diundang. Mereka ada dimana-mana. Dan mereka bisa sangat berbahaya. Adalah luar
biasa kalau pemuda macam Jaka tahu adanya perkumpulan mata-mata itu. Dan lebih
aneh lagi bagaimana bisa seorang sesepuh kota tahu tentang mereka? Bukankan
perkumpulan itu sama rahasianya dengan Perkumpulan Dewa Darah? Bahkan jaringan
mata-mata itu jauh lebih rahasia, dan lebih menakutkan!
"Mengenai perkumpulan
tadi, aku tidak banyak mengetahui, tetapi kalau kau ingin tahu, tidak ada
salahnya kau mulai ‘melancong’ dari Telaga Batu sampai Pesanggrahan Batu, dan
Goa Batu, mungkin ada beberapa petunjuk yang bisa menambah
keingintahuanmu." Aki ini kembali menjelaskan persoalan tadi. Jaka paham
penjelasan itu, si Aki ingin dirinya menyelediki tempat itu, tentu saja kalau
memungkinkan.
Tapi mendengar keterangan
barusan, dia agak heran, "Kenapa beliau begitu gamblang menjelaskannya
padaku? Apa tidak takut kalau urusan ini diketahui orang lain? Apa karena Aki
ini salah satu dari anggota perkumpulan yang berusaha menjebakku?" Atas
dugaan yang dikemukakan dalam hatinya, Jaka merasa kalau kecurigaan ini mungkin
saja terjadi.
"Mengapa Aki begitu
mudah membuka rahasia pada saya?" tanya Jaka berlagak heran.
"Tak perlu lagi kuberi
jawabannya, engkau tentu sudah mengerti sendiri, semua itu karena aku melihat
dirimu, kalau bukan kau yang bertanya tak nanti aku mengatakan yang
kutahu." Ujar Aki ini dengan nada ramah yang berkesan santai, namun
ucapannya itu harus direnungkan dalam-dalam. Sebab bisa saja itu jebakan, tapi
bisa saja sebuah jalan? Jalan apa itu? Hanya Jaka sendiri yang bisa menebaknya.
Atas semua ucapan Aki itu
Jaka makin yakin kalau Aki itu bukan sekedar purnapendekar (pendekar yang sudah
tidak aktif lagi), sebab selama dalam perjalanan berkelana hanya beberapa orang
saja yang mengetahui bahwa dirinya memiliki kelihayan tersendiri. Karena
sebagian identitas dirinya dapat dibaca maka iapun berniat mengorek setiap
rahasia dari urusan penting yang ingin dia ketahui, secara terang-terangan.
"Baiklah, saya anggap
Aki sudah mengetahui siapa saya ini, karena ini penting, saya ingin sekali
mengetahui urusan ini."
Ki Lukita tertawa panjang.
"Sungguh baik sekali, dari dulu aku memang paling suka dengan orang yang bicara
berterus terang. Baiklah, terhadap orang seperti kau ini, tentu saja aku
menaruh pengecualian bahwa aku hanya seorang tetua kota ini," ujar sang
Aki sambil bangkit berdiri. "Tunggulah sebentar."
Perkataan Aki Lukita membuat
Jaka heran, tetapi sebagai pemuda yang selalu memikirkan tiap persoalan dengan
hati-hati, ia pun tak ingin berlaku ceroboh. Maka dengan senyum mengembang di
bibir ia berkata, "Silahkan Ki."
Begitu punggung Aki itu
lenyap dibalik pintu, Jaka duduk bersandar sambil mengalihkan perhatiannya
kesekeliling penjuru, dia mengamati keadaan rumah. Halaman depan rumah Ki
Lukita cukup lebar, disitu ditanami dengan berbagai bunga, dari anggrek sampai
melati semuanya ada, kebetulan saat itu sedang waktunya bunga bermekaran,
suasana di rumah Aki Lukita makin asri dan sejuk, benar-benar membuat betah.
Saat masuk Jaka tidak
memperhatikan keadaan rumah itu, tetapi sekarang baru ia sadar kalau setiap
jengkal tanah di halaman Aki Lukita benar-benar dimanfaatkan untuk menanam
berbagai bunga indah. Rasanya kalau dilihat dari usianya memang pantas kalau
Aki itu punya hobi menanam bunga, atau mungkin saja ia memiliki seorang cucu
atau seorang putri, yang mengurus dan menanami bunga itu.
Makin
memperhatikan rumpun bunga, hati Jaka makin terguncang—rasanya ia bisa
merasakan bulu kuduknya merinding perlahan—sebab dia yakin, rumpunan bunga
indah itu merupakan Barisan
Lima Langit Menjaring Bumi. Dulu saat pertama kali belajar
mendalami banyak hal—termasuk silat, dia pernah menemukan kitab-kitab kuno
diperpustakaan rumah, diantara kitab itu terdapat sebuah kitab yang khusus
membahas mengenai barisan yang memiliki daya unsur gaib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar