Jumat, 13 September 2013

010 - Perjumpaan Dengan Calon Guru

Rupanya saran Sugiri cukup baik, penginapan itu besar dan nyaman, tidak terlalu mewah, sangat sesuai dengan selera Jaka. Dengan langkah lebar, ia memasuki penginapan itu dan langsung disambut pihak penginapan dengan penuh suka cita. Tentu saja mereka menyambutnya penuh suka cita, siapa sih yang tidak mau duit? Karena hari masih siang, Jaka tidak berminat tinggal dalam kamar, pemuda ini memesan sebuah kamar nomer satu yang berada di pojok ruangan pada tingkat kedua. Usai menaruh barang bawaannya, pemuda itu segera melangkah keluar dari penginapan. Sejak semula dia memang ingin mengunjungi tempat yang menjadi objek wisata, hanya saja ia tidak tahu dimana tempatnya—walau dia sudah pernah beberapa kali kekota itu, untuk suatu keperluan (bukan untuk santai)—setidaknya ia berharap ada orang yang menjadi pemandu, kalau ia menginginkan pelayan itu, rasanya ada yang tidak pas. Ada banyak hal kenapa ia menganggap pelayan itu tak pantas, pertama karena dia ‘mirip’ pelayan. Kedua, dan seterusnya, masih banyak alasan yang memberatkan menurut Jaka.
Dengan berjalan mengikuti kemana arah jalan besar, dia mengharap ada sesuatu pemandangan yang dapat menarik minat hatinya sebagai petualang dan pencinta alam, juga sebagai...
Namun sejauh itu, Jaka tidak menemukan hal-hal baru yang dapat membuatnya terkesima. Maklum, dulu dia pernah ada di kota ini untuk urusan lain. Hanya saja corak kota itu memang lain dari pada kota yang pernah ia kunjungi selama ini. Penduduk di kota itu sangat menaruh perhatian pada pengunjung atau orang asing yang baru pernah terlihat satu dua kali.
Dari hal itu, Jaka dapat menarik kesimpulan bahwa, penduduk kota ini memiliki hubungan kekeluargaan amat erat. Karena bingung hendak pergi kemana, pemuda itu berniat menanyakan tempat pada salah seorang warga.
Langkah pemuda itu santai, tak terburu. Namun ia terpaksa surutkan langkah tak kala melihat orang yang hendak ia tanya sedang berbicara keras dengan lelaki tinggi besar.
"Bergola, karena memandang Aki dan ayahmu, sejauh ini aku selalu mengalah padamu, tapi kali ini tindakanmu sangat keterlaluan…" Jaka mendengar si Aki berkata dengan nada prihatin.
"Hm, siapa suruh kau pandang ayah dan Aki-ku? Apa yang kulakukan tiada sangkut pautnya dengan nama keluargaku! Jadi singkatnya, sekali lagi kutanyakan, apakah kau setuju atau tidak? Kalau setuju, tengah malam kentongan pertama datanglah ke kuil diujung timur perbatasan kota…"
"Kalau tidak?" ujar Aki itu dengan nada sengit.
"Kalau tidak? He-he, kalau tidak kau bilang? Berarti kau gali lubangmu sendiri! Dan ingat baik-baik, apa yang kulakukan juga untuk kebaikanmu sekeluarga!" Dengus lelaki besar itu dengan nada dalam. Usai berkata demikian ia melangkah pergi dari beranda rumah Aki itu.
Melihat kejadian tadi, Jaka jadi agak ragu untuk masuk menemui Aki tadi, saat hendak berlalu pemuda itu melihat Aki tadi melambaikan tangan padanya, rupanya Aki berwajah ramah itu sudah melihat kehadirannya. Mau tak mau pemuda ini segera datang.
"Maaf kalau saya mengganggu Ki..." kata pemuda ini begitu sampai didepan lelaki tua berusia mendekati tujuh puluhan, tapi kelihatan masih bugar.
”Ah, tidak apa-apa." sahut si Aki ramah. "Ada keperluan apa anak muda?"
Jaka agak canggung karena melihat kejadian tadi, apapun juga, biasanya seseorang yang menahan amarah pasti akan melampiaskan pada orang lain, tetapi agaknya Aki itu tidak terpengaruh peristiwa tadi. Diam-diam Jaka Bayu mengagumi ketabahan sang Aki.
”Eh, sebenarnya tidak ada hal penting yang saya tanyakan, hanya saja karena baru hari ini saya datang, maka saya ingin mengunjungi tempat-tempat yang dipandang indah untuk melancong."
"Ooo.." Aki itu tersenyum sambil manggut-manggut.
"Nama saya Jaka Bayu..." pemuda ini tidak lupa mengenalkan dirinya.
"Nama yang bagus sekali seperti orangnya," gumam Aki itu. "Aku Sasro Lukita, hanya karena aku merupakan salah satu sesepuh dikota ini, banyak orang memanggilku Aki Lukita."
Pemuda ini manggut-manggut. "Maaf Aki, saya lihat pemuda yang datang seperti ada keperluan dengan Aki?" tanya pemuda ini menyelidik.
"Ah, tidak apa-apa. Biasa, anak muda jaman sekarang memang kalau ada masalah selalu saja merepotkan orang tua seperti aku ini." Gumam Aki Lukita dengan senyum tawar.
Jaka menangkap ada sesuatu yang tidak beres dibalik perkataannya. Ia ingin menanyakan tetapi diurungkan, karena disadari bahwa dirinya adalah pendatang dan belum ketahuan baik buruknya dimata orang, tentu saja orang mudah bercuriga kepadanya, tak terkecuali Aki ramah didepannya.
"Ayo masuk," Aki itu mempersilahkan Jaka untuk duduk kemudian dengan santai ia pun duduk dikursinya, rokok kawung yang tadi dimatikannya ia sulut kembali.
"Ah, sampai lupa… kau tadi menanyakan tempat yang cocok untuk berpesiar ya? Di kota ini memang banyak tempat seperti itu, di sebelah barat kota ini ada Telaga Batu, airnya jernih sekali, biarpun telaga itu tidak terlampau luas, tapi termasuk salah satu telaga besar di daerah ini. Terus, jika engkau menuju selatan, di sana ada Gua Batu, tempat itu dijaga ketat oleh pemerintah kota ini, sebab daerah itu salah satu petilasan dari tetua kerajaan ini. Hanya saja setelah puluhan tahun, daerah itu dibuka untuk umum, tetapi bagi yang ingin masuk harus menjalani pemeriksaan ketat. Kemudian disebelah timur terdapat Sungai Batu dengan air terjun Watu Kisruh, dan disebelah utara dapat dikatakan ada dua macam tempat yang cocok untuk berpesiar, yang pertama sebuah kuil tua yang berumur ratusan tahun dan yang kedua Perguruan Naga Batu."
Uraian singkatnya membuat Jaka heran, bukan tak percaya, hanya saja mengenai namanya, kenapa pakai batu semua? Apa karena daerah ini lebih banyak batunya ketimbang daerah lain? Kunjungan waktu lampau, tak membuatnya sempat memperhatikan kondisi kota, maklum saja... saat itu dirinya berdaya menyembuhkan orang.
Melihat pemuda itu memandangnya dengan raut muka heran, Aki itu tertawa, tentu saja dia dapat menyelami pikiran pemuda itu. "Kau tentu heran dengan penamaan tempat-tempat itu bukan?"
"Benar Ki, mengapa harus memakai nama batu semua?"
"Ceritanya panjang, aku khawatir kau tidak sabar dan bosan mendengarkannya…" katanya sembari tersenyum.
"Ah, tidak, sebagai seorang petualang, terhadap tempat yang saya pandang menarik dan memiliki keanehan, saya selalu menaruh perhatian, dan waktu lebih…"
"Oh, jadi kau seorang petualang?" tanya Aki itu.
"Benar," sahut Jaka merasa kelepasan omong. Dimata orang berpendidikan, seorang petualang itu dipandang seperti pengangguran, bisa juga disamakan dengan preman.
"Bagus... bagus sekali," Aki itu tertawa sambil manggut-manggut.
Jaka bengong tak mengerti. Tapi pemuda itu tidak mau mengusik Aki itu, mungkin saja ia tertawa karena satu hal, bukan menyangkut dengan dirinya.
"Anak muda yang bersemangat, kulihat dari sinar mata dan postur tubuh, kau tidak cocok jadi seorang kelana, tetapi kau dapat menuruti kata hatimu, aku yakin asal usulmu tentu bukan sembarangan." Kata Aki itu sambil menatap tajam anak muda itu.
Jaka Bayu terkejut, ia tak menyangka kalau Aki ini begitu lihay menilai orang—meski hanya melihat raut wajah dan postur tubuh.
Sambil menenangkan hati, Jaka menjawab kalem, "Ah, Aki salah mengira, saya hanya seorang biasa, asal usul juga tak luar biasa. Saya sama dengan orang lain. Punya tempat tinggal, punya teman, dan lain-lain, tidak ada yang luar biasa…"
Aki itu tertawa tanpa suara, "Aku hidup lebih tujuh puluh tahun, semua macam pengalaman hidup sudah bisa kurasakan manis dan pahit getirnya. Memang hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat jelas seseorang, hanya dari wajah dan gerak-geriknya, dan mungkin aku salah satu diantaranya." Sambil menyedot rokok kawungnya, Aki itu menuruskan ucapannya. "Tadi aku hanya mengatakan kalau asal usulmu luar biasa, jika tebakanku salah, kau cukup menyangkal dengan satu kalimat saja, tidak perlu memberi alasan, apalagi contoh. Bagaimana?”
Jaka tertawa canggung. “Terserah Aki sajalah bagaimana menilai saya.”
Aki ini mengangguk. “Diluar penilaianku yang tadi, kulihat pancaran matamu tenang dan dalam, tapi disana aku masih melihat kegelisahan, resah dan pertentangan, kuyakin kau berasal dari keluarga terhormat, mungkin hanya karena beda prinsip maka kau bisa luntang lantung begini rupa."
Jaka terkesip mendengar uraian sang Aki. "Hebat kakek ini, dia dapat meraba kejadian masa lalu hanya melihat tampangku, orang ini bukan sekedar sesepuh kota!" katanya dalam hati.
”Mungkin apa yang Aki katakan benar.” Sahut Jaka tersenyum tanpa merasa terpancing. “Oh ya, bagaimana asal usul nama tempat itu tadi Ki?" Tanya Jaka mengalihkan pembicaraan.
Aki itu manggut-manggut sambil tersenyum, dia tahu mengapa pemuda itu mengalihkan perhatian. Diapun maklum, membicarakan seseorang tanpa orang itu menyetujui bukanlah hal yang mengenakkan.
"Sebenarnya yang membuat setiap tempat itu bernama batu, disebabkan satu hal—dulu, hampir satu abad lalu—ada seorang tokoh persilatan yang memiliki nama gemilang, julukannya Pedang Emas Kepalan Batu, beliau juga merupakan adipati wilayah ini. Pada waktu itu suasana antar kerajaan selalu diliputi ketegangan, tetapi dengan adanya beliau, daerah ini merupakan satu-satunya wilayah bebas konflik."
"Hebat sekali."
"Memang, beliau adalah lelaki hebat yang memiliki tanggung jawab besar dan sanggup pula memikulnya. Saat beliau meninggal, maka Sang Prabu membuat tiap tempat yang sering dikunjungi dan merupakan tempat kesukaan adipati, di tambahkan kata Batu, sesuai dengan julukan sang adipati, sebagai tanda hormatnya."
"Siapakah nama adipati hebat itu?" tanya Jaka, rupanya pemuda ini tertarik.
"Cakra Sapta, namanya Cakra Sapta..."
Mendengar nama itu, tiba-tiba wajah pemuda ini berubah, selebar mukanya merah semu dan tiba-tiba matanya sedikit menyipit. Perubahan itu hanya sekejap, tetapi Aki Lukita melihatnya. Diam-diam Aki itu tersenyum ringan.
"Ki, apakah nama Perguruan Naga Batu hanya mengambil kebesaran nama Adipati Cakra Sapta atau karena sebab lain?" tanya Jaka.
Mendengar nada pertanyaan anak muda itu, Aki ini makin melebarkan senyumnya, rupanya dugaan dalam hatinya kemungkinan besar benar. "Tentu saja ada alasan lain, kalau tidak pihak kerajaan tentu tak akan mengijinkan penamaan itu."
"Apa alasannya?"
"Mudah saja, karena sang adipati sendiri yang menjadi cikal bakal dari perguruan itu. Karena itu tiap masyarakat di kota ini sangat menghormati Perguruan Naga Batu."
Jawaban itu membuat Jaka makin terkesip, tetapi diluarnya ia tetap tenang, cuma kali ini matanya tampak berkilat tajam. Aki Lukita merupakan orang tua berpengalaman luas, melihat anak muda itu terdiam tentu saja ada yang dipikirkannya.
"Bolehkan aku bertanya padamu Jaka?"
"Oh, tentu saja Ki," sahut Jaka buru-buru menjawab.
"Apakah kau memiliki hubungan dengan perguruan itu?"
Mendengar pertanyaan itu Jaka terheran-heran, namun hatinya tergetar juga dengan pertanyaan itu, mimpipun ia tak menyangka kalau Aki Lukita bertanya segamblang itu.
"Andai saja seperti itu.” Jawab Jaka dengan nada mengharap, tapi Ki Lukita melihat kalau itu cuma candanya. “Yang saya tahu, saya tidak punya rejeki sebesar itu. Andai menjadi murid perguruan itu saja sudah merupakan kebahagiaan tersendiri, konon ada hubungan, sungguh tidak berani membayangkan…" Jawab Jaka sambil tersenyum canggung.
Tapi ia berpikir, jawabannya kurang bijak, maka buru-buru ia menambahkan. “Tapi mungkin juga dugaan Aki ada benarnya. Kita hidup saling bergantung satu sama lain, mungkin saja kelak atau entah kapan saya ada hubungannya dengan perguruan itu atau bahkan Aki sendiri.” Tutur Jaka.
Mulanya Aki itu mengira bisa membaca karakter Jaka semudah melihat wajah pemuda itu, tetapi dengan jawaban barusan, membuat Aki itu tertegun. Kata-kata bersayap Jaka, membuatnya bingung.
Setelah lengang beberapa saat, Jaka berniat untuk menanyakan masalah Aki itu dengan lelaki tinggi besar bernama Bergola. "Aki, maaf kalau saya kurang sopan, saya ingin menanyakan sesuatu…"
Aki itu tertawa ramah, "Tanyakanlah," biarpun ia berkata begitu namun ia sudah dapat apa yang akan ditanyakan pemuda itu.
"Menurut saya, pemuda tadi tidak begitu… ehm, baik? Mungkin ada sesuatu yang bisa saya bantu?" Jaka bertanya dengan nada mengambang, ragu. Tetapi bagi yang bersangkutan justru sangat jelas sekali.
Aki itu tertawa ramah, "Andai kata seratus orang muda saja yang memiliki perasaan dan rasa hormat sepertimu aku yakin tidak akan banyak pergolakan dalam dunia persilatan." Ucapan Aki itu seperti sambil lalu, tetapi nadanya aneh sekali, bagaimana orang biasa yang hidup tentram dikota bisa membicarakan masalah dunia persilatan? Lagi pula mengapa dia membicarakan dengan Jaka? Dari sini Jaka sudah dapat menduga—dan yakin akan kebenaran dugaannya—bahwa kemungkinan besar Aki itu adalah salah satu tokoh ternama dalam dunia persilatan, dan tentunya sudah mengasingkan diri. Sambil menghela nafas panjang Aki itu meneruskan bicaranya.
"Sebenarnya aku tidak ingin masalah kecil seperti ini diketahui orang lain, tetapi aku tahu kalau aku tak memberi tahu mungkin kau tak enak makan tidur dan bakal menguntit diriku tengah malam nanti." Perkataan tersebut membuat wajah Jaka bersemu. Ia tidak bisa mengingkari kenyataan yang diucapkan Aki itu.
"Memang benar Ki," sahut pemuda ini membenarkan tanpa ragu. Aki Lukita tersenyum penuh arti mendengar jawaban Jaka. "Aku tak menyalahkanmu, kalau saja aku yang menjadi dirimu, sebagai pemuda yang berdarah panas, tentu saja selalu ingin mencari tahu rahasia yang dianggap menarik.” Sambil menghembuskan asap rokok, Aki ini kembali bertutur. “Baiklah, aku akan memberitahu padamu tetapi ini hanya sepintas lalu saja… lelaki tadi bernama Bergola. Sesungguhnya dia seorang pemuda yang memiliki semangat besar, hanya saja salah menggunakan kemampuannya. Apalagi akhir-akhir ini terdengar kabar amat santar, munculnya Perkumpulan Lidah Api, aku tidak tahu perkumpulan macam apa itu, tetapi aksi mereka selalu merangkul pejabat pemerintahan dan tokoh-tokoh silat kelas atas." Tutur Aki itu dengan menghela nafas panjang. “Kemungkinan besar ada hubungannya dengan Perkumpulan Dewa Darah.” Sambungnya lagi, sambil menatap Jaka dengan tajam. Tapi dia tidak menemukan perubahan pada raut wajah Jaka. Tapi sesaat tadi diapun melihat ‘senyuman’ pada mata pemuda itu. Apakah dia paham dengan yang dikatakannya tadi?
"Aki tahu begitu banyak, saya rasa Aki masih memiliki hubungan dengan tokoh sakti kelas atas?" tanya Jaka memotong.
Ki Lukita memandang Jaka sesaat, lalu tertawa lepas. Dia maklum dengan ucapan Jaka yang mengartikan bahwa dirinya salah satu tokoh sakti. "Ah, berbohong denganmu kelihatannya percuma,” ujarnya. “Kutahu dirimupun bukan orang biasa, karenanya aku juga bersikap terbuka padamu.”
Jaka tertawa mendengarnya, yah, apa lagi yang harus dikatakannya, kalau perkataan itu benar?
“Dulu aku seorang pesilat yang hanya mengandalkan satu dua jurus cakar ayam, cuma saja tidak seorangpun tahu akan hal itu, kecuali keluargaku, para sahabatku dan kini… dirimu. Aku yakin, sekali melihat engkau pasti dapat menilai orang macam apa aku ini, tentu saja hal itu tergantung pada pengalaman dan pandanganmu dalam menilai seseorang. Dan kedatangan Bergola tidak ada sangkut pautnya dengan diriku yang dulu."
“Saya ingin tanya, apakah Bergola asli penduduk kota ini?”
“Terhitung asli. Orang tua dan kakeknya adalah penduduk sini, tapi pada masa kecilnya dulu, orang tua Begola pernah berdagang ke kota lain. Setelah hampir sepuluh tahun, mereka kembali kesini.”
“Tentu dagangannya berhasil.”
“Dari mana kau tahu?”
“Orang yang berhasil dengan usahanya, pasti senang jika keluarganya dan orang lain tahu.”
“Benar.”
“Saya bisa memastikan, setelah orang tua dan anaknya—Bergola—kembali kesini, sikap mereka masih seperti dulu dan tak berubah dalam janga waktu tertentu.” Ki Lukita mengangguk membenarkan. Dia juga agak merasa heran, sekalipun dia tahu hal itu, tapi cara Jaka menganalisis persoalan sepele seperti itu, membuatnya makin curiga—yakin akan satu hal—bahwa anak muda dihadapannya bukan sekedar petualang biasa.
“Saya tak tahu seberapa kaya mereka, tapi sifat mereka pada awalanya pasti simpatik, dan lambat laun, tidak lagi. Dan saya yakin penduduk tidak merasa heran lagi.”
Ki Lukita mengiyakan.
“Kalau begitukan persoalannya jadi mudah ditebak. Hanya pedagang batu mulia saja yang bisa memiliki kekayaan besar dalam sepuluh tahun—dengan catatan tak merugi. Tapi jika bukan, pasti ini suatu kejanggalan.”
“Kau salah, justru mereka adalah perdagang emas dan permata.”
“Sebelum pindah kekota lain, juga pedagang batu mulia?”
Ki Lukita berpikir sejenak. “Hanya pedagang klontong dan penjulan perhiasan dari logam.”
Jaka tersenyum. “Perkumpulan Dewa Darah, Perkumpulan Lidah Api… entah seperti apa mereka.” Katanya sambil mendesah.
Baru kali ini Ki Lukita paham sepenuhnya dengan penuturan Jaka. Ternyata pemuda ini hendak mengatakan bahwa, sejak semula orang tua Bergola memang merupakan kepanjangan tangan orang lain—itu disebutkan saat Jaka mengatakan dua perkumpulan tadi, ‘entah seperti apa mereka’. Lelaki tua ini menatap pemuda dihadapannya dengan sedikit terpana, apakah pemuda ini sama seperti dirinya? Sama… tentang apa?
“Uraianmu cukup bagus.”
Jaka menghela nafas. "Jadi, tentunya masuk akal jika dia membuat masalah dengan Aki.”
“Masuk akal? Kau dapat dalil dari mana?”
“Ah, masa itu terhitung dalil segala Ki?” ujar Jaka tersenyum. “Orang juga akan berpikir sama, sebab siapapun yang ingin menguasai suatu tempat, harus mengetahui seluk beluk tempat itu, khususnya para pamong—orang-orang yang sangat dikenal oleh warga setempat, betul tidak?”
“Betul.”
“Nah, kalau sudah begitu kan mudah untuk menjalankan rencana selanjutnya?”
“Ya…”
“Dengan sendirinya Bergola juga tidak bekerja seorang diri.”
“Kau benar lagi,”
“Dan akan lebih baik jika orang yang sangat paham seluk beluk daerah tersebut—dalam hal ini mungkin kota ini—bisa merangkul orang-orang tertentu. Betul tidak?”
Ki Lukita tertawa, dia tidak menjawab, hanya tersenyum saja. Jaka juga tersenyum. “Kalau cara itu gagal kan paling mudah jika orang itu mengintimidasi—mengancam—si korban, jika tidak mempan juga, pasti akan ada siasat lebih baik lagi.”
“Ha, kelihatannya kau pandai menebak,” kata Ki Lukita seraya tersenyum. “lalu menurutmu siasat apa yang akan dilakukan orang itu?”
Jaka memutar bola matanya, “Kalau aku jadi orang itu, aku akan membuat dia—dalam hal ini Aki, agar tidak bisa hidup dimana tanah dipijak langit dijunjung.”
Gemerdep mata Ki Lukita, “Kau maksudkan dengan fitnah?”
“Benar, dengan sendirinya, apapun yang akan Aki katakan jika para warga tidak lagi percaya, maka sia-sialah semuanya, bukankah dengan demikian satu-satunya cara terbaik adalah pergi dari sini, atau melawan dengan siasat yang serupa pula?”
“Pintar, kau benar, memang harusnya seperti itu…” gumam Ki Lukita memandang jauh kedepan.
Keduanya diam. Mereka berdua sama tahu bahwa percakapan mereka tidak lazim bagi orang yang baru saling berjumpa sepuluh menit seumur hidupnya. Namun merekapun tidak menyangkal kalau percakapan mereka saling melengkapi dan tidak ada perasaan mengganjal diantaranya. Tapi justru menambah banyak pertanyaan di benak masing-masing, tetang ‘siapa dia sebenarnya’. Kedua orang ini merasa penasaran dengan masing-masing pihak.
“Jadi, apakah Bergola itu salah satu anggota Perkumpulan Lidah Api atau Dewa Darah?" tanya Jaka kemudian.
"Aku salah. Seharusnya aku tidak membicarakan masalah ini padamu.”
Alis Jaka terangkat satu, “Mengapa?”
“Sebab jika kau terlibat didalamnya, runyamlah nasibmu!”
Pemuda ini tersenyum, sungguh heran hati si Aki melihatnya, puluhan tahun dia hidup, sudah ratusan, mungkin ribuan senyum ia lihat, tetapi tiada yang semenarik senyuman pemuda dihadapannya. Jika dia bisa memisalkan, senyum si pemuda seolah-olah serumpun bunga yang mekar serentak, dan membuat suasana tenang, membuat damai.
“Kenapa kau tersenyum?” tanya Aki ini penasaran juga.
“Kenapa? Saya sendiri tidak tahu, tapi yang membuat saya tersenyum adalah, cara Aki memandang kehidupan orang dari satu sisi saja.”
“Satu sisi?”
Pemuda ini mengangguk, “Ya, Aki hanya memandang siapapun yang terlibat hal tertentu pasti sedikit-banyak akan tertimpa kemalangan, itu mungkin benar. Tapi manusia hidup itu perlu usaha, perlu cita-cita, dan untuk itulah dia mengerti kenapa dia ada di dunia ini.”
Aki ini termenung mendengar perkataan Jaka, perlu usaha, perlu cita-cita. Sungguh kata-kata yang sederhana, tapi tahukah kau, jika kau tidak pernah memikirkan untuk apa kau dilahirkan didunia, maka celakalah hidupmu. Memangnya setiap saat dirimu akan terus menggantungkan diri pada orang lain? Dan benarlah apa yang dikatakan Jaka! Untuk lingkup sempit, manusia perlu kerja, perlu aktivitas, dan punya tujuan, supaya hidup ini tidak hambar.
“Benar... benar sekali ucapanmu!” gumam Aki ini sambil menatap tajam pemuda yang ada dihadapannya.
Dia tahu siapapun yang bisa mengatakan ucapan bijak seperti itu, pastilah sudah banyak pengalaman pahit-getir yang dialaminya. Tetapi, pemuda itu masih begitu ‘kecil’ mungkin dua puluhan? Tapi bagaimana dia bisa berfikir seperti itu? Diam-diam Aki ini menghela nafas, sungguh dia merasa kagum juga heran.
Jaka balas menatap Aki itu. “Dan bagaimana menurut Aki?”
“Menurutku?” tanya Aki ini sedikit kaget, dipikirnya tentang ucapan bijak Jaka tadi yang ditanyakan tanggapannya.
“Masalah Bergola tadi.”
“Entahlah, tetapi aku menduga dia pasti salah satu anggota dari dua perkumpulan itu. Setelah percakapanmu denganku, aku yakin dirimu akan dibuat susah orang tertentu, mungkin saja karena mereka menganggap kau ikut campur urusan mereka."
"Mengenai masalah itu, saya rasa Aki tidak perlu kawatir, saya punya cara sendiri menghindari mereka."
"Aku percaya padamu.”
Alis Jaka terangkat, tapi sebelum dia bertanya, orang tua ini sudah memberi penjelasa. “Sebab menurut penilaianku, kau merupakan tunas cemerlang dari dunia persilatan. Sungguh sebuah keberuntungan bagi dunia persilatan…"
Pemuda ini tersenyum kecil. "Ah, Aki terlalu menyanjung, biarpun hanya memiliki kepandaian sejurus dua jurus, itupun hanya dapat melindungi diri dari gangguan binatang buas, saya belum pantas disebut pesilat."
Aki ini kembali menghela nafas, dengan perkataan Jaka barusan, dia sudah dapat mengambil kesimpulan sedikit, sebenarnya pemuda macam apa yang ada didepannya itu? Pemuda itu tak takut dirinya direcoki kelompok Bergola, bahkan secara samar Jaka mengatakan bahwa tujuan hidupnya itu memang untuk menghapus orang-orang yang terkumpul dalam satu wadah yang sedang mereka bicarakan, mungkin itu sedikit kesimpulan yang diperolehnya.
"Merendah sih boleh, tetapi jangan terlalu kelewatan," ujar Aki itu menasehati, setelah beberapa lama dia terdiam. "Kutahu engkau bukan sembarang orang, apa lagi mengenai…” sampai disini si Aki menggantung ucapannya.
Jaka mengerutkan dahi, mau tak-mau dia merasa penasaran juga dengan ucapan Aki itu. “Mengenai apa?”
“Tentu saja mengenai asal usulmu yang kemungkinan besar ada hubungannya dengan Perguruan Naga Batu…" tukas Aki ini dengan santai, tetapi ucapan itu membuat Jaka terdiam membeku, lalu menyeringai serba salah. Dia enggan menyangkal, kalaupun ingin menyangkal rasanya tidak ada yang perlu disangkal, sebab kenyataannya mungkin saja begitu, mungkin juga tidak.
“Dan sekarang kuberi tahu kau satu rahasia.” Ujar Ki Lukita setelah—kelihatannya—menimbang ucapannya matang-matang.
“Rahasia, apa itu?”
“Jangan pernah sebutkan nama Perkumpulan Dewa Darah sembarangan, perkumpulan itu merupakan salah satu rahasia dalam dunia persilatan. Diantara seratus orang pendekar yang aktif berkelana, paling tidak hanya ada lima orang yang tahu apa itu Dewa Darah.”
“Mengapa begitu?”
“Sudah kubilang itu perkumpulan rahasia, dan mungkin ada hubungannya dengan Perkumpulan Lidah Api atau banyak lagi perkumpulan lain—yang jelas mereka selalu meneror dan membuat kerusuhan.”
Jaka tersenyum samar, ia manggut-manggut paham. “Baik, saya tidak akan sembarang menyebut namanya. Tapi kalau kita membicarakan dengan santai begini, kan sudah termasuk bukan rahasia lagi?”
Aki ini melegak, “Ehm, kau benar.” katanya menjawab serba salah, sungguh tak disadarinya dia bisa membuka celah fatal seperti itu, tadinya dia memikirkan jika membicarakan hal itu tidak berbahaya—untuk identitasnya.
Tapi kini?
Kalau semua orang tidak tahu kenapa dia bisa tahu? Itu kan sama seperti orang memasang papan nama didahinya bahwa dia lain dari yang lain? Lalu orang macam apa dia itu? Diam-diam Aki ini mengeluh, mudah-mudahan pemuda itu tidak bertanya, demikian ia berharap.
“Lalu dari mana Aki tahu?” pertanyaan Jaka mengandaskan harapan si Aki.
Percuma mengelak, Aki ini tersenyum, senyum yang tenang, bukan senyum serba salah—memang tak malu dia disebut jago kawanan. “Tentu saja aku tahu karena aku sudah tua.” Jawabnya bijak. “Jadi banyak mengerti banyak hal.”
Jaka tersenyum, “Memang benar Ki, orang yang lebih tua lebih tahu dari kaum muda, itu kan sudah jamak?”
“Nah, kau sendiri menyadarinya.” Sahut si Aki tanpa ragu, dengan demikian dia tak perlu membuka rahasia dirinya.
“Ya, saya langsung menyadarinya, dan kini saya paham, mungkin saja Aki salah satu Telik Sandi Kwancasakya, benar begitu Ki?” tanya Jaka membuat Aki itu terperanjat setengah mati.
Dia adalah orang berpengalaman, tapi bisa dibuat terkejut dengan ucapan Jaka yang baru dikenalnya, sungguh membuat dirinya serupa orang tersadung batu—sangat mengherankan—dan kini dia merasa tidak mengenal dirinya lagi, ketenangan yang dipupuknya sekian puluh tahun, bisa lenyap secepat itu, hanya karena satu kalimat yang di utarakan Jaka. Untuk beberapa saat Aki ini terdiam, rasanya dia akan mengomentari hal itu, tapi rasanya tidak pas.
“Bukan!” Akhirnya ia menjawab apa adanya, sebab terkadang jawaban bertele-tele akan membuat lebih banyak rahasia terungkap. “Anggap saja aku banyak tahu rahasia orang. Tapi dari mana kau tahu ada Telik Sandi Kwancasakya?” tanyanya heran.
Jaka garuk-garuk kepala. “Mungkin kebetulan Ki.” Katanya tersenyum. Mereka sama-sama tersenyum, dan kini keduanya maklum, mereka sama tak inginnya membicarakan rahasia yang mungkin hanya diketahui mereka sendiri.
Perlu diketahui, Telik Sandi Kwancasakya adalah sebuah perkumpulan yang bergerak dalam banyak bidang, apakah itu politik, ekonomi, bahkan sampai kebijakkan yang diatur dalam kerajaanpun mereka bisa mempengaruhinya, mereka memiliki jaringan diseantero negeri. Sesuai dengan namanya, mereka mengkhususkan diri sebagai mata-mata. Mereka mempunyai informasi dan menjualnya dengan harga tinggi pada orang yang membutuhkan. Keberadaan perkumpulan ini entah ada sejak kapan, yang jelas jika ada orang yang dirundung kesulitan, selalu saja ada anggota mata-mata itu yang menawarkan jalan keluar dengan imbalan besar. Mereka datang, dengan, dan, atau, tanpa diundang. Mereka ada dimana-mana. Dan mereka bisa sangat berbahaya. Adalah luar biasa kalau pemuda macam Jaka tahu adanya perkumpulan mata-mata itu. Dan lebih aneh lagi bagaimana bisa seorang sesepuh kota tahu tentang mereka? Bukankan perkumpulan itu sama rahasianya dengan Perkumpulan Dewa Darah? Bahkan jaringan mata-mata itu jauh lebih rahasia, dan lebih menakutkan!
"Mengenai perkumpulan tadi, aku tidak banyak mengetahui, tetapi kalau kau ingin tahu, tidak ada salahnya kau mulai ‘melancong’ dari Telaga Batu sampai Pesanggrahan Batu, dan Goa Batu, mungkin ada beberapa petunjuk yang bisa menambah keingintahuanmu." Aki ini kembali menjelaskan persoalan tadi. Jaka paham penjelasan itu, si Aki ingin dirinya menyelediki tempat itu, tentu saja kalau memungkinkan.
Tapi mendengar keterangan barusan, dia agak heran, "Kenapa beliau begitu gamblang menjelaskannya padaku? Apa tidak takut kalau urusan ini diketahui orang lain? Apa karena Aki ini salah satu dari anggota perkumpulan yang berusaha menjebakku?" Atas dugaan yang dikemukakan dalam hatinya, Jaka merasa kalau kecurigaan ini mungkin saja terjadi.
"Mengapa Aki begitu mudah membuka rahasia pada saya?" tanya Jaka berlagak heran.
"Tak perlu lagi kuberi jawabannya, engkau tentu sudah mengerti sendiri, semua itu karena aku melihat dirimu, kalau bukan kau yang bertanya tak nanti aku mengatakan yang kutahu." Ujar Aki ini dengan nada ramah yang berkesan santai, namun ucapannya itu harus direnungkan dalam-dalam. Sebab bisa saja itu jebakan, tapi bisa saja sebuah jalan? Jalan apa itu? Hanya Jaka sendiri yang bisa menebaknya.
Atas semua ucapan Aki itu Jaka makin yakin kalau Aki itu bukan sekedar purnapendekar (pendekar yang sudah tidak aktif lagi), sebab selama dalam perjalanan berkelana hanya beberapa orang saja yang mengetahui bahwa dirinya memiliki kelihayan tersendiri. Karena sebagian identitas dirinya dapat dibaca maka iapun berniat mengorek setiap rahasia dari urusan penting yang ingin dia ketahui, secara terang-terangan.
"Baiklah, saya anggap Aki sudah mengetahui siapa saya ini, karena ini penting, saya ingin sekali mengetahui urusan ini."
Ki Lukita tertawa panjang. "Sungguh baik sekali, dari dulu aku memang paling suka dengan orang yang bicara berterus terang. Baiklah, terhadap orang seperti kau ini, tentu saja aku menaruh pengecualian bahwa aku hanya seorang tetua kota ini," ujar sang Aki sambil bangkit berdiri. "Tunggulah sebentar."
Perkataan Aki Lukita membuat Jaka heran, tetapi sebagai pemuda yang selalu memikirkan tiap persoalan dengan hati-hati, ia pun tak ingin berlaku ceroboh. Maka dengan senyum mengembang di bibir ia berkata, "Silahkan Ki."
Begitu punggung Aki itu lenyap dibalik pintu, Jaka duduk bersandar sambil mengalihkan perhatiannya kesekeliling penjuru, dia mengamati keadaan rumah. Halaman depan rumah Ki Lukita cukup lebar, disitu ditanami dengan berbagai bunga, dari anggrek sampai melati semuanya ada, kebetulan saat itu sedang waktunya bunga bermekaran, suasana di rumah Aki Lukita makin asri dan sejuk, benar-benar membuat betah.
Saat masuk Jaka tidak memperhatikan keadaan rumah itu, tetapi sekarang baru ia sadar kalau setiap jengkal tanah di halaman Aki Lukita benar-benar dimanfaatkan untuk menanam berbagai bunga indah. Rasanya kalau dilihat dari usianya memang pantas kalau Aki itu punya hobi menanam bunga, atau mungkin saja ia memiliki seorang cucu atau seorang putri, yang mengurus dan menanami bunga itu.
Makin memperhatikan rumpun bunga, hati Jaka makin terguncang—rasanya ia bisa merasakan bulu kuduknya merinding perlahan—sebab dia yakin, rumpunan bunga indah itu merupakan Barisan Lima Langit Menjaring Bumi. Dulu saat pertama kali belajar mendalami banyak hal—termasuk silat, dia pernah menemukan kitab-kitab kuno diperpustakaan rumah, diantara kitab itu terdapat sebuah kitab yang khusus membahas mengenai barisan yang memiliki daya unsur gaib.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar