Perlahan-lahan Jaka Bayu
berjalan mendekati rumpunan bunga indah itu. Ia melangkahkan kaki dipinggir
rumpunan bunga, "Astaga, lihay benar barisan ini, jika aku tidak tahu
tentang ini, jangan harap bisa keluar dari tempat ini tanpa pertolongan orang
yang paham. Hm, mungkin karena tempat ini adalah sebuah kota dan bukan wilayah
yang patut dipasangi barisan selihay ini, maka Aki itu hanya menampilkan
sebagian kecil kelihayannya."
Pemuda ini melangkah
memasukinya. Dia bermaksud mengujinya, apakah benar barisan itu seperti yang di
maksud. Ternyata sesuai dengan teori yang dia ketahui! Jaka menghela nafas
prihatin, bahwa Ki Lukita bukan pendekar biasa, memang dia percaya penuh. Tapi
dengan adanya formasi barisan itu, dia sadar, urusannya tak semudah yang
dibayangkan.
Pemuda ini sengaja salah
melangkah, tiba-tiba matanya seperti melihat gambar buram, dia seperti melihat
beratus bayangan turun dari langit mengurung dirinya, padahal itu hanya formasi
yang dibuat pada bunga setinggi lutut! Benar-benar hebat dan mengerikan.
Menyadari hal itu dengan cepat Jaka melangkah tiga tindak kekanan dan dua
langkah kedepan lalu dengan cepat ia juga meneruskan tujuh langkah kebelakang
memutar teratur, setelah itu dengan gerakan bagai burung elang ia melenting
kebelakang, gerakannya cepat sekali, jika ada orang yang melihat dari luar,
pasti mengira pemuda itu cuma melompat kecil. Padahal refleknya, bukan saja
gerakan penuh perhitungan, tapi merupakan jurus menghindar yang lihay.
“Luar biasa, sekalipun aku
sudah mengetahui kelihayannya, tetapi apa yang disebutkan dalam kitab dengan
kenyataan yang ada memang beda.” Batinnya, merasa kagum.
Dengan berdiri termangu, Jaka
mengamati barisan itu dengan seksama. “Bukan main, kelihayan barisan kuno ini
tak bisa sembarangan muncul begitu saja, kenapa bisa ada disini?” Jaka berpikir
keras. Sesaat, dia menghela nafas panjang, agaknya sudah bisa memahami sesuatu.
“Benar, mungkin mereka termasuk didalamnya.”
Didalamnya? Di dalam apa?
Pemuda ini kembali
memperhatikan barisan bunga itu baik-baik, “Aneh, rasanya ini bukan seperti
barisan yang kukenal." Kepalanya sedikit miring, pemuda ini makin seksama
memperhatikan barisan rumpun bunga itu.
"Ah, tahulah aku! Lima
Langit Menjaring Bumi dikombinasikan dengan formasi Teratai Mengurung si
Cantik! Hebat sekali, benar-benar luar biasa cerdik. Sebuah formasi barisan
biasa digabung dengan barisan hebat, menghasilkan kombinasi aneh, benar-benar
pintar. Cerdik sekali, sejak semula aku yakin, Aki itu memang bukan orang
biasa."
Pemuda ini masih saja berdiri
termangu memperhatikan bunga-bunga itu, kalau dari luar halaman, orang mengira
kalau pemuda ini hanya memperhatikan keindahan bunga itu, padahal tidak, Jaka
sedang menyelami kelihayan dari dua barisan yang bergabung itu.
"Betapapun, barisan ini
belum bisa menjaring orang yang punya peringan tubuh tinggi."
Pemuda ini tidak sadar kalau
sejak ia melangkah memasuki rumpun bunga, sedikitnya ada dua pasang mata yang
memperhatikannya. Pertama sepasang mata sang Aki dan yang kedua sepasang mata
jeli milik seorang gadis.
Setelah sekian lama, barulah
pemuda ini tertawa penuh kagum, "Aku memang salah lihat. Lihay sekali,
pantas saja formasi Teratai Mengurung Si Cantik hanya dikembangkan separuh,
ternyata warna-warni bunga inipun mempengaruhi daya pandang dan daya pikir
orang. Jika barisan Lima Langit Mengurung Bumi dikembangkan separuh saja,
kuyakin tiada orang yang mampu melepaskan diri dari kuruangan bunga ini.” Jaka
menghal nafas dalam. “Benar juga kata Kakek baik hati, pada setiap keindahan
terdapat hal misterius yang kadang kala lebih menakutkan, malah menyesatkan
pikiran orang."
Dengan senyum ringan, Jaka
kembali duduk, dan tak lama kemudian Aki Lukita keluar. Ia membawa sebuah buku
cukup tebal.
"Apa yang pernah
kuketahui sebagian terdapat di dalam catatan ini, mungkin bisa bermanfaat
buatmu." Kata Aki Lukita begitu duduk langsung menyerahkan catatan tadi.
Jaka menerimanya dengan hati
masih diliputi keheranan.
Beberapa saat kemudian, Ki
Lukita mengajak Jaka untuk pindah di beranda samping rumah, sehinga percakapan
mereka lebih leluasa. Mereka duduk di bawah pohon rambutan, tak jauh dari situ
ada kolam ikan cukup luas. Sungguh situasi yang asri dan melenakan.
Jaka mengikuti Aki itu dengan
pikiran diliputi kebingungan, dia sama sekali tak menyangka si Aki bisa berbaik
hati seperti itu.
"Ini-ini…” Jaka tergagap
serba salah. “Kita baru berjumpa sekali, mengapa Aki begitu percaya pada saya?
Bukankah catatan kitab ini merupakan sebuah catatan berharga?"
"Tentu saja berharga,
karena itu kuputuskan untuk menyerahkannya padamu. Sebelumnya aku memang sudah
percaya padamu apalagi setelah kau masuki barisan bunga milik cucuku, aku jadi
tambah percaya kalau kau bukan pemuda kelana biasa, karena itu aku harap kau
dapat mempergunakan sebaik mungkin. Nah, simpanlah, aku tidak butuh penolakan
juga kata terima kasih atau basa-basi lainnya."
"Ah..." Jaka
mendesah terkejut, ia tak menyangka kalau Aki itu begitu memperhatikan dirinya.
Buru-buru ia meletakkan kitab itu di meja, dan mengangguk memberi hormat.
"Mendapat kepercayaan dari seorang tetua seperti Aki sungguh sebuah
kehormatan, saya tidak akan menyia-nyiakannya."
Jaka tidak mengucapkan terima
kasih dan berbasa basi, hanya saja ia mengangguk memberi hormat dan mengucapkan
janjinya, tentu saja itu bukan tergolong basa-basi.
Dari sini Aki itu dapat
menilai sampai dimana pribadi anak muda tersebut, yakni; menuruti apa kata
seorang tetua dan selalu mengindahkan orang yang lebih tua. Kakek ini tertawa
lepas. "Aku sudah hidup hampir tujuh puluh tahun, bisa bertemu tunas
secemerlang kau ini tak sia-sia hidupku, sungguh aku merasa beruntung." Pemuda
ini hanya bisa diam saja, ia tak tahu apa yang hendak dikatakannya. Kemudian
Aki Lukita melanjutkan perkataannya,
"Aku tahu benar kalau
bukan orang yang mengetahui kelihayan dan seluk beluk barisan Lima Langit
Menjaring Bumi, belum tentu kau bisa keluar, tapi nyatanya kau bahkan sangat
paham sekali seluk beluk barisan itu. Bahkan kau tahu kalau barisan itu hanya
dikerahkan sebagian kecil dari yang sesungguhnya, apalagi setelah kau mencoba
untuk melakukan langkah salah, kau langsung mengetahui kalau barisan itu
digabung dengan formasi biasa, Teratai Mengurung Si Cantik. Dewasa
ini, orang yang mengetahui barisan Lima Langit Mengurung Bumi hanya ada
satu-dua orang saja, itupun hanya dari angkatan tua. Tapi kau yang masih
berusia begini muda malah mengetahui lebih mendalam. Jadi aku bisa
berkesimpulan, kau memiliki bekal baik sekali, lebih dari cukup, untuk sekedar
berkelana!"
Jaka mendesah. "Ah, Aki
terlalu berlebihan, tentu saja saya manusia biasa, tentang barisan itu, saya
ketahui juga karena kebetulan."
"Barisan selangka itu,
kau ketahui hanya kebetulan, aku tak percaya.” Ujar Aki Lukita agak mangkel,
dari tadi Jaka selalu menjawab serba kebetulan. “Bolehkah kutahu siapa
gurumu?" tanyanya.
Mendengar pertanyaan Aki
Lukita, Jaka jadi tertegun. Untuk sesaat lamanya pemuda ini tak tahu harus
menjawab apa. Sambil menghela nafas dalam Jaka berkata, "Kalau saya
katakan mungkin Aki tidak percaya…"
"Katakan saja, apa yang
kaukatakan sudah pasti benar dan aku pasti percaya sepenuhnya."
"Tidak seperti yang Aki
bayangkan, saya tidak punya guru," jawab pemuda ini mantap.
Mendengar ucapan pemuda
didepannya, Aki itu tertegun, tadinya ia menyangka kalau Jaka adalah murid
salah satu tokoh termasyur yang tentu saja namanya pernah menggetarkan kolong
langit.
Melihat Aki itu agak
tertegun, pemuda ini tahu kalau Aki itu tidak percaya, maka ia lanjutkan
ceritanya.
"Sejak usia empat-lima
tahun, orang tua saya selalu menekankan pentingnya belajar sastra dan
menghafal, karena itu hampir lima tahun lamanya saya hanya belajar ilmu sastra
dan senantiasa dipaksa menghafal. Mungkin karena paksaan orang tua lama
kelamaan saya dapat menyelami keindahan dari sastra dan saya sangat
menyukainya. Tentu saja kalau yang Aki maksudkan sembarang guru, tentu saya
punya. Beliaulah yang mengajari kesusastraan pada saya.”
“Maksudku dari mana kau
mengetahui semua hal yang… kupikir aneh dan agak mustahil itu?”
“Formasi barisan tadi?”
“Benar.”
Jaka terpekur sesaat, satu
hal yang ia sukai adalah hidup dengan hati yang jujur, dan tentunya menjawab
dengan jujur pertanyaan orang, tetapi ada kalanya harus ada yang disembunyikan.
Apalagi kalau sudah menyangkut rahasianya, sungguh terasa berat dilidah, tetapi
iapun kini memutuskan untuk menjawab dengan jujur—seluruhnyakah? Entahlah!
“Saya menemukannya di
perpustakaan keluarga. Jangan tanya saya dari mana datangnya kitab-kitab itu.
Sebab tugas saya saat itu hanya mempelajarinya dan mendalaminya saja.”
“Tugas?”
“Oh, istilah tugas merupakan
kewajiban yang saya buat untuk diri saya sendiri, supaya bersemangat belajar.”
Ki Lukita tidak menanggapi,
dia hanya menggumam pendek.
“Dan ada satu hal aneh yang
menjadi pertanyaan saya, hingga kini.”
“Apa itu?”
Jaka tercenung sampai
beberapa lama, dan akhirnya ia mengatakan juga. “Awal mulanya terjadi saat usia
saya menjelang dua belas tahun,” Jaka memutuskan menceritakan sekelumit
persoalan yang mengganggu benaknya. “Secara tidak sengaja saya menemukan sebuah
kitab di perpustakan keluarga, karena saya pikir kitab itu merupakan kitab
sastra kuno, maka dengan bersemangat saya pelajari. Dalam waktu satu bulan
kitab itu sudah selesai saya hapal, namun belakangan saya tahu kalau kitab itu
tidaklah lengkap karena bagian depannya sengaja disobek, karena penasaran saya
mencari bagian pertama dari kitab itu. Singkatnya saya menemukan bagian depan
kitab itu tanpa sengaja di gudang itu juga, dan ternyata baru saya sadari kalau
kitab yang saya baca merupakan kitab ilmu silat," tutur Jaka bercerita,
tentu saja tak mungkin ia ceritakan semuanya, dan kebenarannya mungkin perlu
diragukan? Entahlah, itupun hanya Jaka yang tahu.
"Apa nama kitab itu?'
tanya Aki Lukita tertarik.
"Tidak jelas Ki, hanya
saja di sampul kitab itu tertera kata Bola, dan beberapa huruf yang tidak
jelas."
Mendengar penjelasan itu,
wajah Aki ini berubah, "Apakah kitab itu memuat pelajaran bersemadi secara
tergantung dan mengutamakan peringan tubuh?"
"Eh, bagaimana Aki
tahu?"
Dari ucapan Jaka tentu saja
Aki ini tahu kalau dugaannya memang benar. "Hanya sekedar tahu saja, dulu
waktu aku masih muda ada seorang kenalan dari sobatku yang memiliki ilmu silat
lihay sekali. Nanti saja kuceritakan, sekarang bagaimana kelanjutannya?"
"Karena tertarik, maka
saya berniat mempelajari seluruhnya, dan dalam tempo satu tahun saya berhasil
menguasainya, hanya saja dalam kitab itu dikatakan kalau ingin melatihnya tidak
diperbolehkan untuk diketahui orang, maka apa yang saya pelajari banyak
kelemahan disana sini.
“Kemudian tanpa sengaja,
kembali saya menemukan dua kitab yang kelihatannya sudah kuno. Kitab pertama
menuliskan berbagai macam pengetahuan mengenai barisan gaib,”
“Jadi kau menemukannya
setelah menemukan kitab Bola itu?” potong Ki Lukita bertanya.
“Benar,” jawab Jaka.
Ia kembali melanjutkan,
“...kalau tidak salah dalam kitab itu hanya memuat tujuh catatan barisan gaib
saja, namun membuat banyak penjelasan tentang formasi barisan lain—dan Lima
Langit Menjaring Bumi termasuk salah satunya. Karena dalam kitab itu menuliskan
bahwa tujuh barisan itu adalah sebagian dari barisan yang pernah merajai
formasi barisan, dan sangat ditakuti tiap insan persilatan. Dalam kitab itu
menyebutkan bahwa; barisan kuno itu jarang diketahui orang, kecuali orang itu
adalah para ahli formasi barisan, dan keturunan atau murid dari salah satu
Tujuh Malaikat Gunung Api. Karena itu saya sangat terkejut melihat dalam rumpun
bunga tertanam unsur barisan gaib, yang katanya mengejutkan orang
persilatan…" Saat itu Jaka memandang wajah Aki Lukita dalam sekejap.
Agaknya sang Aki tahu apa yang sedang dipikirkan pemuda itu.
"Lanjutkan ceritamu,
setelah kau bercerita barulah gantian aku bercerita…" ujar Aki ini sambil
tertawa.
"Maaf…" sahut Jaka
tersipu karena maksud hatinya ketahuan, pemuda ini memang ingin tahu dari mana
Aki itu bisa membuat barisan gaib Lima Langit Menjaring Bumi.
"Karena saya sangat
tertarik, maka kitab itu saya pelajari sampai tuntas. Seluruh perubahan dan
bagaimana kelihayannya, saya ketahui dengan jelas.” Jaka berhenti sesaat, dia
memutuskan apakah akan menceritakannya atau tidak, akhirnya dia memutusakan
untuk bercerita sekelumit saja. “Kemudian pada kitab kedua tercantum ilmu
pengobatan, dalam sampulnya tertulis Selaksa Racun, Selaksa Dewa, Selaksa
Malaikat, Selaksa Hidup Mati. Kitab pengobatan itu tebal sekali, mungkin sampai
satu jengkal. Saya menguasainya lebih lama dari yang lain, hampir satu setengah
tahun.”
“Oh…” Ki Lukita terperanjat,
sekalipun pemuda didepannya membual, tapi kabar berita adanya kitab pengobatan
itu bukanlah suatu kabar yang beredar murahan. Hanya angkatan sesepuh saja yang
masih ingat adanya kitab itu. Tapi bagaimana pemuda itu tahu? Seandaianya dia
berkata benar, berarti dibalik semua itu masih ada latar belakang persoalan
yang rumit. Jika Jaka berbohong, dari mana di tahu adanya kitab itu? Lalu apa
motifasi pemuda ini menceritakan pada dirinya? Apa keuntungannya? Pikir punya
piker, kakek ini merasa Jaka tidak memiliki keunutungan dengan menceritakannya.
Ki Lukita menghela nafas panjang perlahan-lahan, sungguh tidak kecil kejutan
yang dituturkan Jaka.
“Setelah selesai
menguasainya, timbul keinginan saya untuk berkelana agar bisa memanfaatkan tiga
kitab yang pernah saya pelajari. Tapi orang tua saya melarang. Saya malah
dijodohkan dengan gadis yang konon tercantik di kota, karena saya jenuh dan
bosan dengan kondisi yang selalu serba mudah dicapai tanpa tantangan—maksud
saya—semuanya begitu lancar. Pendek kata tinggal kujentikkan jari, apapun bisa dipenuhi,
hidup seperti itu tidak membuat hati nyaman. Maka saya memutuskan untuk
menentukan jalan hidup saya sendiri. Setelah memutuskan pertunangan, saya
pergi…"
"Bagus-bagus
sekali," ujar Aki ini tertawa kering, maklum saja dia masih terkesima
dengan kitab-kitab kuno, yang dituturkan Jaka.
"Dan begitulah… akhirnya
saya merantau kesana kemari, saya berharap dapat menjumpai peristiwa-peristiwa
hebat, seperti yang ditulis dalam kitab syair, tentang pertarungan, tentang
kisah roman, tentang semuanya…" sambungnya lagi—tentu saja itu tidak
sepenuhnya benar.
Tapi diam-diam Jaka heran,
kenapa ia mau bercerita begitu gambling, apalagi yang ia ceritakan termasuk
rahasia besar dunia persilatan (kalau mau disebut begitu). Apa mungkin karena
penampilan Ki Lukita bisa membuat orang mempercayakan ‘sesuatu’ padanya?
Entahlah, yang jelas pemuda ini merasa tidak ada salahnya menceritakan
sekelumit dirinya pada orang tua itu. Perkara apakah keputusannya salah, itu
urusan nanti!
”Hm…" suara Ki Lukita
membuatnya tersadar dari pikiran yang berbelit-belit. "Jadi kau sama
sekali tidak memiliki guru?" tanya Aki itu menyimpulkan.
"Hakikatnya selain guru
sastra, saya memang tidak memiliki guru lain."
"Apakah kau membekali
senjata saat merantau?"
"Bisa dibilang ada bisa
dibilang tidak, betapapun saya tidak suka berkelahi dan saya juga tidak suka
melukai orang karena itu saya lebih suka tak bersenjata. Tapi beberapa waktu
lalu saya lebih merubah kebiasaan, saya menggunakan tongkat sebagai senjata,
ya… hitung-hitung tongkat tersebut bisa membantu kalau ada kejadian diluar
dugaan."
Mendengar uraian pemuda itu
wajah Aki ini terlihat riang.
"Lalu dalam perantauanmu
itu apa yang pernah kau perbuat?" tanya Aki ini lagi. Mendengar pertanyaan
Aki itu, pemuda ini ragu apakah perlu dia ceritakan kejadian sesungguhnya atau
tidak sama sekali. Setelah menimbang beberapa saat dia memutuskan untuk tidak
menceritakannya.
"Ah, saya hanya
mondar-mandir kesana kemari, kadang kala menetap di sebuah kota untuk berapa
lama lalu meneruskan perjalanan kembali."
Aki itu manggut-manggut.
"Oh ya, mengenai ceritamu tadi, aku sangat tertarik dengan cerita tiga
kitab yang kau temukan, apakah setelah kau pelajari seluruhnya lalu kau
musnahkan?"
"Eh, Aki tahu hal
itu?" pemuda ini malah balas bertanya, kelihatannya begitu polos.
"Hh…" Aki Lukita
menghela nafas panjang. "Aih, benar-benar anak yang baru turun
gunung," pikirnya sambil menggelang kepala. “Coba kalau orang lain yang
dia temui, mustahil tidak akan kepincut mendengar tiga kitab yang menggemparkan
insan persilatan itu.”
"Ada apa Ki?"
"Tahukah kau mengapa kau
harus cepat-cepat memusnahkannya?"
"Saya tidak tahu, tapi
pada tiga kitab itu selalu disinggung bahwa setelah saya dapat menguasai bab
pertama atau selanjutnya, bab itu harus dibakar musnah. Menurut beberapa orang
tua, bahwa mempelajari sesuatu itu, berarti; sesuatu itu adalah guru kita,
karena kitab itu menganjurkan begitu maka sayapun tidak membantah, lagi pula
saya pikir alasannya bisa dipahami."
"Jadi kau sama sekali
tidak tahu alasan sebenarnya?" Ki Lukita bertanya dengan menekankan pada
kata terakhir.
"Hm…" Jaka berpikir
sejenak. "Saya pikir mungkin sebagai cambuk, sebab bagi orang yang
mempelajari tidak dengan serius biarpun sudah hafal tentu akan lupa kembali.
Karena disebutkan bahwa; tiap bab yang sudah dipelajari harus dibakar, maka mau
tak mau bab tersebut sudah dihapal mati."
"Memang itu salah satu
alasannya, apakah kau tahu alasan yang lain?"
"Tidak." sahut Jaka
singkat.
"Sebab kitab itu
merupakan mustika pusaka yang banyak diperebutkan orang,"
"Lho…" pemuda ini
terperangah-begitu kelihatannya.
"Tahukah kau bahwa ilmu
silat yang kau pelajari merupakan salah satu pusaka dunia persilatan?"
"Hah, masa?" Ujar
pemuda, beberapa tahun berkelana, tahulah dirinya bahwa di dunia persilatan ada
dimaklumkan sembilan ilmu sakti, yang katanya menjadi mustika tak
terkalahkan—Jaka selalu mencibir bila mendengar kabar itu. Tapi selama itu dia
tidak tahu apa nama sembilan mustika ilmu silat—atau mungkin Jaka memang enggan
mencari tahu. Bahwa dia menguasai ilmu yang dia cibir, sungguh diluar dugaan.
"Kalau dari keteranganmu
tadi, ilmu yang kau pelajari adalah Hawa Bola Sakti."
"Hawa Bola Sakti?"
"Benar, ilmu itu
termasuk dalam sembilan mustika ilmu silat dunia persilatan. Karena kau
memperolehnya secara kebetulan, maka kuanjurkan padamu jangan sekali-kali
memperlihatkan ilmu itu sembarangan. Sebab bila orang lain tahu, maka para
sesepuh dan petugas yang menjaga sembilan mustika ilmu silat akan memburumu dan
meminta kembali ilmu silat itu."
"Masa begitu
serius?" ujar pemuda ini dengan wajah tercengang, ia tahu arti dari
'meminta kembali ilmu silat' tak lain adalah tidakan memunahkan kepandaiannya.
Tentu saja tindakan itu kelewatan, tapi mau bagaimana lagi?
"Tentu saja serius,
bahkan orang dari golongan hitam dan golongan putih selalu mengindahkan
peraturan tersebut tanpa kecuali. Bahkan ada peraturan dari Dewan Penjaga
Sembilan Mustika, bahwa bagi siapa saja yang mengetahui dan dapat
menangkap seseorang yang bisa menggunakan sembilan ilmu mustika tanpa
sepengetahuan Dewan Penjagaan Sembilan Ilmu Mustika, maka orang itu akan diberi
imbalan sejurus ilmu sakti..."
"Wah, kalau begitu aku
tidak boleh memakainya sembarangan." Gumam Jaka.
"Benar sekali,"
“Untung sekali selama ini
saya tidak pernah menggunakannya walau sekali.” Tentu saja berkata seperti itu
untuk membuat Ki Lukita tenang. Memang ia tak pernah mengeluarkannya… selain
tiga kali, atau mungkin lebih? Entah juga, dia memang enggan menghitung. Sebab
dihitung ataupun tidak, bagi Jaka tak ada bedanya.
"Syukurlah." Sambut
Aki Lukita.
"Ki, apakah ilmu yang
ada terdapat kata Sumsum dan Salju termasuk dalam sembilan ilmu mustika?"
tanya Jaka lagi.
"Apa kau bilang?"
seru Aki ini terlonjak kaget. "Kau menguasai Hawa Dingin Penghancur Sumsum
dan Badai Gurun Salju?"
"Apa itu nama lengkap
ilmu dengan potongan kata Salju dan Sumsum?"
Ki Lukita memandang wajah
Jaka tak berkesip sambil mengangguk.
"Ya, saya memang
menguasainya, keduanya termasuk sembilan ilmu mustika?"
Aki itu menggelang-geleng
perlahan. “Anak macam apa dia ini? Kenapa ilmu yang begitu rumit dan belum
tentu sempurna walau dipelajari dua puluh tahun bisa dia kuasai? Ada dia hanya
membual?” pikir Ki Lukita.
"Syukur jika
bukan…" gumam pemuda ini.
Ki Lukita menyeringai, antara
rasa percaya dan tidak. "Dua ilmu itu justru merupakan bagian dari
sembilan pusaka ilmu silat."
"Kenapa Aki tadi
menggeleng?" tanya pemuda ini heran.
"Aku menggelang karena
tak habis pikir, cara bagaimana kau mempelajari tiga ilmu silat yang amat rumit
itu."
Jaka hanya mengangkat
bahunya. "Saya belajar sama seperti orang lain belajar itu saja.” Jawab
Jaka. “Jadi bagaimana baiknya?" tanya pemuda ini merasa diluar dugaan.
"Tak usah takut, aku tak
bakal melaporkanmu.”
“Bukan begitu maksud saya…”
“Aku paham, terus terang saja
kukatakan padamu, kalau aku adalah satu orang yang menguasai satu dari sembilan
pusaka ilmu silat."
"Ah..." desah Jaka
terkejut. "Aki mempelajari ilmu apa?"
" Tapak Naga Besi."
sahut Aki itu datar.
"Oo... tapi kenapa Aki
membuka rahasia pada saya?" tanya Jaka beruntun, sebab ia merasa sangat
janggal. Masa baru kenal belum lagi setengah hari, sudah bicara blak-blakan,
dan pembicaraan mereka menyangkut rahasia besar pula. Aneh bukan?
Kakek wajah ramah itu tertawa
ringan, "Aih, kau tidak tahu hati orang tua. Jika kau melihat ada orang
yang sudah kau ketahui hitam-putihnya, tentu kau akan mudah menentukan sikapmu
pada siapapun. Begitu juga aku, aku yakin dengan penilaianku padamu—semoga
begitu. Dan sesungguhnya yang harus bertanya seperti kau ini adalah aku,
mengapa kau begitu percaya padaku? Apa kau tidak kawatir kalau pusaka-pusaka
yang pernah kau pelajari akan kurebut atau beritanya akan kusiarkan? Apa kau
tidak kawatir kalau wajah ramahku merupakan kedok untuk memancing keluar semua
rahasiamu?"
Jaka tertegun mendengar
perkataan Ki Lukita, pemuda ini menggaruk kepalanya. "Saya memang kawatir.
Terus terang saja, saya juga berpikir demikian, tapi entah kenapa saya percaya
begitu saja… mungkin karena sifat jelek saya."
“Sifat jelek?”
“Kadang orang menganggap saya
bodoh, karena selalu berpikir tiap orang bisa dipercaya. Kadang kala, bahkan
menceritakan hal-hal yang tidak perlu, yang mungkin bisa dikategorikan
rahasia.”
“Kau tidak takut dengan sikap
itu bisa menjadi bumerang bagimu?” tanya Aki ini heran, rasa sukanya pada
pemuda itu bertambah lagi.
“Tentu saja takut, tapi saya
selalu berkeyakinan jika saya berada dipihak yang benar, apapun rencana orang
pasti bisa saya atasi. Entah itu keyakinan berlebihan, atau lantaran saya belum
pernah mengalami masalah lebih pelik. Tapi selama ini perhitungan saya belum
pernah salah, semoga saja…”
“Belum pernah salah?”
“Syukurlah sejauh ini, belum
sama sekali.” Ujar Jaka menegaskan, tanpa bermaksud sombong.
Kembali Aki ini tertegun,
belum pernah salah sama sekali? Sungguh kata-kata yang kedengaran sombong
itulah, yang ingin dia tanyakan. Dengan demikian, Jaka seperti mengatakan kalau
sudah banyak hal yang membuat dirinya waspada, selalu bisa menaklukkan orang
yang menjebak dirinya? Apa memang benar begitu? Sangat banyak pertanyaan yang
mungkin akan dilontarkannya, tapi dia tahu itu kurang etis, tak sopan, dan lagi
pula jika ia menanyakannya, sama saja dia ingin tahu seluk beluk si pemuda, itu
kan serupa orang memancing ikan tapi tak pakai umpan? Atau bahkan tidak pakai
kail? Mana bisa?
“Mudah-mudahan memang begitu
seterusnya.” Akhirnya ia cuma bisa mengatakan itu saja.
“Saya harap demikian, tentu
saja bukan lantaran mengandalkan keberuntungan semata.”
Ki Lukita tertawa menanggapi
perkataan Jaka, namun belum lagi ia bicara, Jaka sudah menyambung pembicaraan
semula.
"Ki, selain keempat ilmu
yang sudah Aki sebutkan, bagaimana dengan ilmu lain yang termasuk sembilan
mustika pusaka silat?"
"Masih ada Ilmu mustika
Api Pembakar Dunia, Pasir Awan Hitam, Naga Beracun, Hawa Mayat Tanpa Batas dan
Jari Maut Tanpa Tanding."
"Jadi, bisa dikatakan
keselamatan saya senatiasa terancam jika menggunakan ilmu mustika tanpa seijin
Dewan Penjaga? "
"Tentu saja, kalau kita
harus pikirkan akibat buruknya, keselamatanmu senantiasa terancam! Jadi
berhati-hatilah bertindak…"
Mendengar ucapan Aki, pemuda
ini tidak menjadi cemas, kelihatannya dia tenang-tenang saja, malah tersenyum
pula. "Air dimanapun juga tetap air, kenapa musti kawatir? Kalau memang
keadaannya begitu rupa, aku tidak perlu cemas," gumam pemuda ini.
"Tak perlu
khawatir?" ujar Aki itu tak mengerti.
"Ah," pemuda ini
tersadar bahwa Aki Lukita mendengar ucapannya. "Tentu saja serupa air…”
“Serupa air?”
“Benar, bisa atau tidak bisa
ilmu silat, serupa orang diam tak bergerak, dua orang yang berbeda itu
sama-sama perlu makan dan minum.”
Ki Lukita melegak. “Kau
maksudkan tidak perlu kau menggunakan ilmu silat?”
Jaka tertawa, “Hampir benar,”
mendengar jawaban Jaka, merahlah wajah Ki Lukita, sungguh dia merasa gemas.
“orang makan-minum tidak perlu ilmu silat, orang tidur juga tidak memerlukannya.
Bukankah lebih mudah menghindari apapun jika memang hati kita ingin
menghindarinya?”
“Oh, apa kau bermaksud
mengatakan kalau tanpa menggunakan ilmu silat kau bisa hidup di dunia
persilatan?”
“Benar, maksud saya,
sayangnya jawaban saya memang seperti itu.”
“Apa kau gila?” tanya Ki
Lukita dengan kening berkerut.
Jaka tertawa lagi, sungguh,
diapun merasa heran dengan situasi akrab yang tercipta diantara mereka. Padahal
berkenalan satu jampun belum ada “Tentu saja saya tidak gila. Maksud saya,
dengan menghindari segala macam urusan, kita tidak perlu berkelahi? Apa
susahnya?"
Ki Lukita tercengang, apalagi
istilah bertarung mempertahankan hidup—di rimba persilatan—dirubah ‘berkelahi’,
tentu saja itu merendahkan arti mempertahankan jiwa. “Kau ini aneh. Memang ada
beberapa orang berpikiran begitu, dan ada yang lolos dari banyak persoalan saat
ia bekecimpung di dunia persilatan. Tetapi, ada sementara urusan yang tak perlu
kau urusi, mau tak mau kau harus turut campur." Kata Aki Lukita sambil
tertawa. "Kau menguasai ilmu silat, tetapi kau tak mau berkelahi, suatu
saat, ada orang yang membutuhkan pertolonganmu, apa kau hanya diam saja?”
“Tentu saja tidak, saya kan
punya mulut, tinggal berteriak minta tolong saja kan beres?” ujar Jaka sambil
tertawa.
“Sinting…” seru Ki Lukita
merasa gemas. “Kalau begitu apa gunanya kau belajar ilmu silat?”
“Tentu saja ada gunanya,
kalau tidak terlihat orang, kita bisa berolah raga dengan ilmu silat untuk
membuat tubuh sehat, bukankah itu lebih berguna?”
“Busyet!” seru Ki Lukita
sambil terbahak. Sungguh bercakap-cakap dengan Jaka, dirinya merasa dua puluh
tahun lebih muda, gregetan benar hatinya, mana geli, jengkel, tapi juga kagum,
sungguh dia merasa gemas dengan pemuda itu.
“Mungkin kau memang tidak
ingin berkelahi, tapi apakah bukan mustahil orang mengajak kau berkelahi?"
Ki Lukita kembali mendebat.
"Benar juga..."
ujar pemuda ini, membuat Aki ini tersenyum merasa menang. "Tapi kalau kita
selalu berbuat baik, memangnya ada orang yang mengajak kita berkelahi?”
Ki Lukita melongo mendengar
jawaban Jaka. Ia menggeleng kepalanya merasa gegetun, benar-benar anak sialan,
pikirnya gemas. “Kebaikan menurutmu, tapi mungkin juga menjadi kejahatan bagi
orang lain.”
“Masa? Misalnya menolong
orang yang hendak dirampok termasuk kejahatan?” Jaka juga menjawab tak mau
kalah.
“Tentu saja tidak, tapi dari
pandangan si perampok itu, kau telah mencapuri urusannya, dan kau dipandang
jahat oleh penjahat itu.”
Jaka tertawa mendengarnya.
“Logika bengkok.” Ujarnya geli. Ki Lukita juga tertawa—tertawa masam, mendengar
ucapan Jaka. “Tapi jika kita menghindar dan melarikan diri kan tidak
apa-apa?"
Mendengar ucapan pemuda
didepannya, Aki Lukita menghela nafas perlahan, "Sungguh pemuda yang naif,
aku malah khawatir dia lebih banyak celakanya dari pada selamat kalau cara
berpikirnya demikian." Ujar Aki ini dalam hati, rupanya dia mengalah.
"Kau bicara seperti itu
seolah memiliki pegangan kuat. Apa kau memiliki sesuatu yang bisa kau andalkan
untuk menghindari perkelahian?" Aki ini bertanya sambil lalu, tanpa
bermaksud menanggapi ucapan Jaka tadi—dan rasanya dia juga enggan mendebat Jaka
lagi.
"Memang benar,"
jawaban pemuda ini di luar dugaan Ki Lukita. "Saat mempelajari formasi
barisan kuno, terpikir oleh saya untuk menciptakan sebuah gerakan langkah untuk
menghindari serangan. Saya rasa itu lebih bermanfaat dari pada menghamburkan
tenaga untuk bertarung."
Kali ini, ucapan Jaka
benar-benar membuat Ki Lukita kaget, sebab untuk menciptakan sebuah ilmu
biarpun inti sarinya diambil dari ilmu yang sudah dikuasai, bukanlah pekerjaan
gampang. Memang banyak juga orang yang bisa menciptakan gerakan-gerakan silat,
tetapi jika gerakan itu tak mampu dilakukan dan kualitasnya pun rendah, jika
digunakan bertarung, bukankah serupa ular cari penggebuk?
Lagi pula sampai saat ini
yang dapat menciptakan hal seperti itu hanya tokoh besar yang kerjanya
bersemadi untuk mendapatkan ilham dalam menciptakan ilmu, sudah tentu ilmu itu
berkualitas tinggi. Tapi dengan entengnya anak muda yang baru berusia dua puluh
tahun itu mengatakan bahwa dia menciptakan ilmu langkah? Segampang itukah?
Memangnya seperti orang jualan pisang?
Tapi jika melihat fisiknya,
dan dari percakapan mereka tadi yang menyiratkan kecerdikan pemuda itu, dia
yakin Jaka merupakan pemuda berbakat. Tapi bakat tidak cukup untuk mencipta
suatu ilmu berkualitas tinggi, sebab penciptaan seperti itu juga harus
membutuhkan ketenangan jiwa, karsa, dan rasa yang sempurna. Dan kemungkinannya
kini hanya fifty-fifty, apakah ilmu yang diciptakan Jaka tinggi kualitasnya
atau rendah?
Hakikatnya yang menilai
apakah suatu ilmu ciptaan itu tinggi atau rendah, hanya lawan yang pernah
bergebrak dengannya saja yang bisa menilai. Lalu apa kata lawan-lawan Jaka?
Sungguh inilah pertanyaan menggelitik yang ingin segera diketahui jawabannya.
Aki Lukita tertegun sampai
sekian lama. Saat memperhatikan Jaka dengan benar-benar barulah hatinya dapat
diyakinkan, mata pemuda itu jernih dan menyorot hangat, itu menandakan Jaka
adalah pemuda cerdas, dan menurutnya juga berjiwa terbuka—itulah point
terpenting, pikir Ki Lukita, berjuwa lurus dan terbuka!
Pernahkah kau mendengar teori
hakikat ilmu, mungkin bisa juga disebut sebagai tataran menuju satu tingkat
lebih tinggi, yakni; Jika jiwamu lapang, apapun yang kau kerjakan selalu
membuahkan hasil terbaik, dan jika hatimu lurus, apapun yang kau pelajari akan
sampai pada tujuan akhir.
Terlepas dari ujian apa yang
diberikan Tuhan bagi orang berjiwa lurus, jika dia berhasil melewatinya dengan
ikhlas dan sabar, maka sampailah dia pada suatu karuni yang besar, dan lebih
besar lagi. Tapi, bukan hal mudah untuk mencapai tataran itu. Berapa banyak
orang yang sudah hampir menyentuh tataran itu kembali terlempar dari awal, saat
itu mereka tergoda, harta, wanita, tahta, dan banyak alasan lain...
Mungkin banyak orang, sama
berpikir kalau pada saat mencapai tataran menentukan, suatu ketika ia ditimpa
azab—cobaan—dari situlah baru bisa diketahui, apakah dia akan terus maju atau
mundur, jika maju apakah ‘sesuatu’ yang diperolehnya berkualitas atau tidak.
Hal inipun bersangkutan dengan penciptaan sebuah ilmu; semakin kau sulit untuk
melangkah maju, semakin terbuka sebuah hasil maksimal yang bisa kau raih. Masih
banyak hal yang menyangkut tentang penciptaan sebuah ilmu, dan itu sangat
rumit.
Tapi dengan mudahnya seorang
‘bocah’ berkata, ‘...terpikir oleh saya untuk menciptakan…’ sungguh tidak bisa
dipercaya.
Berpikir bolak-balik seperti
itu, membuat kepala Ki Lukita pusing, apa perkataannya benar, bisa dipercaya?
Dia bertanya dalam hatinya berulang kali. Seharusnya, Ki Lukita bisa saja
mengutarakan pertanyaan itu, tapi rasanya berat, lagipula kurang etis. Tapi
akhirnya Ki Lukita hanya berkata,
"Kalau begitu
bagus..." Memang cuma itu yang bisa dikatakannya, memangnya dia bisa
berkata apa lagi, apa dirinya harus berkata; Ah, yang benar? Ah, mana mungkin?
Justru ucapan seperti itu akan meragukan kapasitas dirinya, sebagai seorang
sesepuh yang waspada. Perkara orang mau bicara bohong atau tidak, bukan
urusannya. Berpikir begitu, redalah rasa penasaran hatinya.
Jaka manggut-manggut.
"Saya pikir juga begitu Ki, selama berkelana saya pernah menghadapi
beberapa orang, dengan menggunakan olah langkah itu, dan berhasil. Senang
rasanya, jerih payah sebulan memeras tenaga dan pikiran, ternyata menghasilkan
manfaat besar. Dengan begitu, bukankah saya tidak perlu memukul orang?"
Aki Lukita mengangguk. Kalau
tadi dia sudah cukup kaget, kali ini ‘terpaksa’ mengurut dada, cuma sebulan?
Setengah tahun mencipta sebuah ilmu, termasuk manusia jenius, tapi dalam jangka
sebulan? Manusia macam apa dia? Seharusnya dengan kepintaran dan hati lurus
seperti itu, pemuda ini tentunya tahu, mana yang harus ia lakukan dan mana yang
tidak. Tapi dengan pedoman bahwa ia tidak mau menyakiti orang lain, mungkin
saja siasat licik lawan yang dia ketahui, bukannya dihindari, tapi mungkin saja
dia sengaja masuk dalam siasat lawan. Ah, anak yang rumit! Pikirnya.
"Jika dilihat dari segi
menghemat waktu, mungkin kau kurang memperhatikan," kata Aki ini
melanjutkan kritiknya.
"Maksud Aki?"
"Kau tidak ingin memukul
dan melukai lawanmu, tapi apakah lawanmu juga akan melakukan hal seperti itu?
Kalau kau memukul dengan salah satu gerakan dari tiga ilmu pusaka dunia
persilatan, bukankah orang akan segera mengetahui? Karena itu tindakanmu yang
hanya menghindar saja mungkin akan mendatangkan celaka yang lebih besar
untukmu."
"Ucapan Aki ada
benarnya," pemuda ini merenung sesaat, lalu ia mengela nafas panjang.
“Tapi, peringan tubuh saya cukup bagus. Jika saya lari—menghindari musuh saya,
kan tak jadi soal.”
Ki Lukita melegak. Anak aneh,
pikirnya merasa geli. Bagi kebanyakan jago muda, lari dari lawan adalah
pantangan—itu hal hina dan memalukan. Bahkan kebanyakan dari mereka
berpendapat; apapun yang menghalangi langkahnya akan dihadapi dengan cara
apapun. Ya, sifat khas seorang yang masih hijau. Belum berpengalaman. Tapi
Jaka? Dia mengatakan seolah tidak perduli jika orang mengatakan dirinya
pegecut, atau penakut. Dengan kata lain pemuda ini tak perduli dengan harga
dirinya. Anak yang unik, pikir Ki Lukita.
“Bagaimana jika lawanmu bisa
mengejar?” Tanya Ki Lukita.
"Ya, kemungkinan ini
memang ada. Tapi, jika serangan lawan selalu bisa dihindari, bukankah itu cukup
bagus?”
Ki Lukita menggelengkan
kepala. “Kau bisa menghindarinya, sudah tentu bagus! Tapi jika suatu saat kau
dikejar waktu, apakah seterusnya kau harus melayani pertarungan yang tak
berkesudahan itu?”
Jaka tersenyum. “Seandainya
saya menciptakan jurus serangan dengan dasar ketiga ilmu pusaka, apakah ada
kemungkinan orang akan tahu induk ilmunya?”
“Tentu saja, tetapi kau tak
perlu kawatir, sebab kemampuan untuk mengetahui sebuah gerakan bersumber dari
ilmu apa, hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya.” Sambung Ki
Lukita. “Dan kukira itu jarang dimiliki kebanyakan orang persilatan.”
Jaka manggut-manggut. “Terima
kasih atas pemberitahuannya. Pendek kata, saya akan berhati-hati dalam semua
tindakan. Sekali lagi terima kasih."
Aki ini tertawa mendengar
ucapan pemuda didepannya. "Kalau kau berperinsip berhati-hati dalam tiap
tindakan, itu juga lebih baik." Sahut Aki Lukita agak mengambang
perkataannya, sepertinya Aki ini sedang mempertimbangkan sesuatu.
”Ki…"
"Ada apa?"
"Menurut Aki apakah
tujuh barisan dan ilmu pertabiban yang saya dapatkan juga merupakan pusaka
berharga?" Jaka bertanya serupa orang menguji.
"Tentu saja, anak
bodoh!" seru Aki Lukita sambil tertawa lebar. Jaka tidak merasa
tersinggung, justru ia merasa heran kenapa hatinya terasa hangat, seolah kakek
itu sama seperti orang tua sendiri.
Melihat Jaka diam saja, Ki
Lukita tersenyum ramah, ia melanjutkan ucapannya. "Apakah kau tidak bisa
menebak dari pelajaran yang terkandung didalamnya? Tujuh formasi barisan itu
memang termasyur pada jamannya, sebagai tujuh barisan kuno yang berdaya gaib
tak tertembus. Aku tidak tahu bagaimana hebatnya kelima barisan yang lain, tapi
kalau Lima Langit Menjaring Bumi termasuk diantaranya, dapat diduga lima
barisan lainnya benar-benar hebat…”
“Lima?” potong Jaka bertanya.
“Ya, kami menguasai dua macam
barisan.”
“Hanya dua? Kenapa bisa
begitu?”
“Banyak lika-likunya, lagi
pula mempelajari ilmu barisan jauh lebih sulit dari mempelaji ilmu silat.
Karena ilmu barisan termasuk ilmu pasti, juga berunsur mistik, gaib. Kau tahu
perbintangan?”
Jaka mengangguk. “Sedikit…”
“Begitulah prinsip ilmu
barisan dibuat.”
“Oo…”
“Sedangkan,”
“Tunggu, tadi Aki katakana
‘kami’ apa maksudnya?” tanya Jaka memotong penjelasan Aki itu.
“Kenapa kau harus bertanya?
Kau bisa menebak sendiri, atau bahkan bisa menyimpulkan sendiri, bukan? Malah
bisa jadi kau sudah tahu sejauh yang harus diketahui?” ujar Ki Lukita tertawa
penuh kemenangan.
Jaka menghela nafas.
“Mungkin...” sahutnya tanpa semangat.
“Kulanjutkan penjelasanku,”
“Silahkan.”
“Sedangkan kitab pertabiban
yang kau dapatkan, juga merupakan pusaka luar biasa. Kau tahu, dulu, pada masa
dua abad silam, dunia persilatan dilanda kerusuhan yang luar biasa besar,"
"Sebab apa Ki?"
kembali Jaka memotong ceritanya, kelihatannya dia merasa tertarik.
"Tentu saja disebabkan
kitab yang kau pelajari itu! Tapi saat itu, kitab yang kau pelajari belum lagi
ada, sumber dari kehebohan adalah munculnya seorang tabib yang amat piawai di
bidangnya, juga amat lihay dibidang tata formasi barisan. Ada pameo memuji
kehebatan si tabib, yakni; ‘asal masih tersisa nafas, tiada penyakit yang tidak
bisa disembuhkannya’. Namun tabib itu memiliki sikap sangat aneh, ada kalanya
ia tidak mau mengobati orang, padahal sakit yang dideritanya belum tergolong
parah. Tiada satu pun orang yang mengetahui sebab apa tabib tersebut kadang tak
mau mengobati orang. Hingga puluhan tahun kemudian orang baru tahu apa sebab
tabib itu tidak mau mengobatinya, alasannya cuma satu, yakni dia tidak ingin
menentang takdir! Sebab selain mengetahui pertabiban, dia juga sangat lihay
dalam perbintangan, dan pandai meramal. Sehingga ia tahu pasien mana yang harus
di sembuhkan dan mana yang tidak perlu, karena kematian memang sudah
takdirnya,"
“Takabur…” gumam Jaka.
“Ya, namanya juga tokoh
bertabiat aneh. Walau ramalannya tak selalu benar, tapi ada juga yang tepat.”
"Tapi apa yang
membuatnya menjadi kerusuhan? Lalu apa sebabnya kitab tabib itu disebut Selaksa
Racun-Selaksa Dewa-Selaksa Malaikat-Selaksa Hidup-Mati?"
"Tunggu saja, nanti toh
aku ceritakan… kalau cuma kejadian macam itu tentu belum seberapa menghebohkan
orang. Pada saat tabib itu menjelang tua, dia mengambil tiga orang anak berusia
lima, enam, dan delapan tahun, untuk dijadikan murid. Singkat cerita setelah
murid-muridnya dewasa, tabib itu melepas mereka untuk berkelana mencari
pengalaman. Mereka sudah menguasai semua ilmu pertabiban sang guru. Tapi,
kadang yang disebut- bahwa guru tidak menurunkan semua kepandaian, ada kalanya
benar. Ternyata sang tabib ini menyisakan tiga bagian ilmunya. Saat tiga orang
muridnya tahu bahwa sang guru belum mengajarkan semua ilmunya, hati mereka jadi
sirik. Namun diluarnya mereka bertiga seperti murid-murid alim yang
patuh,"
"Dengan maksud
bagaimana, tabib itu tidak mengajarkan semua ilmunya?" pemuda ini memotong
cerita.
"Karena dia kenal watak
murid-muridnya. Murid tertua memiliki watak angkuh dan sombong, murid kedua
licin, dan licik sedangkan murid ketiga pendendam, dan kejam. Tentu saja sejak
mereka kecil, sang tabib sudah tahu watak dasar mereka. Sejak semula ini memang
berpegang teguh pada prinsip tidak ingin menentang takdir, tapi melihat tiga
anak yang amat berbakat itu, dia memutuskan menentang kebiasannya."
"Maksudnya, tabib itu
sengaja mendidik mereka bertiga agar semua sifat jelek mereka hilang?"
"Benar! Hanya saja,
perhitungan manusia memang tidak bisa mengungguli takdir Tuhan. Bukan saja
watak tiga muridnya jadi hilang, justeru apa yang selama ini diajarkan sang
tabib menjadikan ketiga muridnya menjadi orang yang sanggup tersenyum diatas
derita orang lain, pendek kata mereka luar biasa munafik. Diluarnya saja mereka
tersenyum dan bermanis muka, padahal didalam hatinya memendam kebencian yang
luar biasa, orang persilatan mencaci kaum munafik macam itu dengan pameo
menyembunyikan golok dibalik senyum… setelah dua tahun turun gunung, dalam
dunia persilatan timbul badai besar yang amat mengerikan,"
”Apakah ditimbulkan tiga
murid tabib itu?"
"Benar, memang tiga
orang itulah yang menyebabkan semua kerusuhan. Murid tertua menjuluki dirinya
Tabib Malaikat, murid kedua Tabib Dewa sedangkan murid ketiganya adalah…"
”Maha Racun?" sahut Jaka
dengan mendadak.
"Benar, kau tahu dari
mana?" serunya heran.
”Waktu saya membaca kitab
pertabiban, kitab itu terbagi dalam lima bab. Bab pertama dinamakan Kehidupan
Jalan Untuk Mati; bab kedua Kematian Menguatkan Hidup; bab ketiga tertulis
Malaikat Menggenggam Takdir; bab kempat Dewa Menabur Benih Kehidupan; bab
terakhir Semesta Maha Racun. Dari cerita Aki, saya dapat mengambil kesimpulan
kalau yang menulis bab ketiga adalah murid pertama bab keempat adalah murid
kedua sedangkan bab terakhir ditulis murid ketiga…"
Aki itu manggut-manggut,
"Kalau menilik judul babnya mungkin saja benar. Tiga orang itu memang
sangat tinggi hati dan congkaknya bukan kepalang, tapi jika menilik kelihayan
mereka yang amat termasyur, tak heran mereka menyombongkan diri. Aku tidak
kaget jika mereka menamakan kitabnya dengan nama muluk-muluk,"
"Kitab?" tanya
pemuda ini heran.
"Apakah kau tidak
memperhatian bahwa mungkin saja kitab yang kau baca itu sesungguhnya gabungan
dari lima buah kitab?"
Jaka berpikir sesaat seperti
menimbang sesuatu, lalu mengerutkan kening sejenak, "Rasanya benar, setiap
kali saya membaca ulang bab pertama dan kedua, tidak ada hubungan sama sekali,
demikian juga dengan bab berikutnya, seperti bagian tersendiri. Lalu bagaimana
kelanjutan kisah tadi?"
Dengan menghembuskan asap
rokok kuat-kuat, Aki Lukita meneruskan ceritanya. "Tiap orang murid itu
berkelana, tapi setelah dua tahun tindakan mereka benar-benar membuat dunia
persilatan banjir darah. Rupanya mereka sudah bersepakat dalam tiap tindakkan.
Murid tertua mengguncang daerah selatan, murid kedua membuat banjir darah di
utara, dan murid ketiga membuat situasi makin rumit didaerah timur, tindakan
mereka benar-benar telegas, sayangnya tiada satupun tokoh sakti yang sanggup
menghentikan tindakan brutal itu…"
"Eh, bukankah Aki tadi
menceritakan kalau guru tiga orang itu tidak memiliki ilmu silat? Bagaimana
muridnya bisa membuat situasi jadi tak karuan tanpa seorangpun sanggup
mencegahnya?" Pemuda ini bertanya dengan serius.
"Memang mereka tidak
memiliki ilmu silat, tapi semenjak kecil guru mereka mengajarkan ilmu
perbintangan, ilmu bangunan dan berbagai macam kemahiran yang lain. Dalam dua
tahun itu, dengan mengandalkan kecerdasan otak mereka, akhirnya mereka sanggup
membuat begitu banyak ragam racun, yang sangat ditakuti kalangan persilatan.
Salah satu karya murid tertua adalah Bubuk Pelenyap Sukma, jika ada orang yang
terkena benda itu, dalam jangka waktu beberapa hitungan saja takluk! Apa yang
dikatakan tuan mereka, tidak dapat ditolak.
“Oh, sejenis obat bius…”
“Benar, tapi lebih sadis.”
Ujar Ki Lukita. Lalu ia meneruskan,
“Murid kedua membuat Pil
Pembuyar Nyawa, apabila menelan pil ini dapat dipastikan hidupnya berakhir
begitu saja setelah mengalami penyiksaan berat selama satu bulan—sungguh
mengerikan. Dan murid ketiga menciptakan Racun Sembilan Belas Aroma, kupikir
ini racun paling mematikan diantar ketiganya. Siapapun yang terkena, bila ia
membaui sesuatu yang agak menyengat, dengan sendiri ia akan gila dan mati
perlahan-lahan. Sungguh harus di akui kejeniusan orang-orang itu…”
“Ya, sayangnya terlalu pintar
membuat mereka tak sadar dengan perbuatannya sendiri! Hh, mereka tidak
memandang sebelah mata orang lain.”
Ki Lukita membenarkan
pendapat Jaka.
“Lalu apa reaksi para
penguasa dan pendekar silat masa itu?”
Kakek ini mengakat bahunya.
“Siapa yang tahu? Kurasa yang mengetahui kisah sebenarnya hanya keturunan
orang-orang yang dekat dengan mereka.”
“Apa mereka tak mempunya
sanak saudara? Anak atau istri?”
“Entahlah, tidak ada
informasi jelas tentang itu.”
Jaka merenung sesaat, dia
sangat tertrarik dengan cerita itu. Maklum saja, siapapun orangnya yang tahu
ihwal sejarah tentang apa yang dia kuasai, mau tak mau jadi menaruh perhatian
besar. Begitu pula dengan Jaka. Tak disangkanya apa yang dia pelajari ternyata
begitu berharga.
Ki Lukita kembali bertutur
sambil menghela nafas panjang. “Entah apa yang mereka pikirkan, tapi sehebat
apapun mereka, manusia bukanlah mahluk abadi. Satu hal yang pasti, kematian
pasti mendekat.”
Jaka mengangguk membenarkan.
“Kemunculan mereka bagai
badai yang menyapu kalangan pesilat. Hakikatnya para pendekar seperti laron
menerjang api saat menghadapi mereka. Beberapa dari mereka terjungkal lantaran
jebakan licik, tapi lebih banyak lagi yang menderita lantaran racun.”
"Apa mereka menguasai
para tokoh persilatan dengan racun?"
“Mungkin saja demikian,
mengenai hal itu aku kurang begitu jelas. Tapi satu hal yang diyakini
kebenarannya, sejak pertama kali mereka mencipta racun-racun laknat, belum ada
yang sanggup membuat penawarnya.”
Pemuda ini mendesah, antar
percaya dan tidak. Maklum, darah muda.
“Tentunya bukan cuma racun-racun
itu saja yang mereka ciptakan, banyak lagi bermacam ramuan yang bermanfaat,
tetapi lebih banyak bersifat keji."
“Kalau yang mereka ciptakan
kebanyakan racun, apa mereka benar-benar tak terlawan? Mungkin saja para
pendekar tak sanggup memunahkan racunnya, tapi mereka bisa menghindarinya?!
Apakah saat itu tidak ada satupun cendekia—seorang pemikir yang bisa mengatasi
siasat licik dengan siasat pula?”
"Entahlah. Kejadiannya
sudah begitu lama, mengenai lika-liku masa lampau, sungguh tidak mudah mendapat
kebenarannya. Mungkin kabar yang beredar di luaran sana, lebih banyak bualan
dari pada kebenarannya. Mengenai tokoh cendekia, sudah pasti ada. Saat itu
sudah pasti banyak pendekar cerdik, tapi sepanjang pengetahuanku, tak satupun
dari mereka sanggup mengatasi rencana ketiga saudara seperguruan itu. Pada
akhirnya tentu dapat diduga, mereka semua kalah. Kalau tidak mati, tentu
menjadi budak. Karena itu dalam dua tahun sejak mereka turun gunung, dunia
persilatan benar-benar porak-poranda."
"Oh…” Jaka tercenung
takjub mendengarnya. “Lalu bagaimana dengan guru tiga orang itu, setelah
mendengar kabar itu?"
"Tentu saja dia tidak
berdaya apa-apa, tapi bukan berarti ia tidak berusaha. Untuk mengantisipasi
tindakan tiga orang muridnya itu, satu tahun setelah mereka turun gunung ia
sudah mengambil seorang murid lagi. Ilmu pertabiban orang itu sangat hebat,
anak muda yang tadinya tidak tahu apa-apa dalam tiga tahun saja memiliki
kepandaian sejajar dengan tiga orang murid sebelumnya,"
"Kepandaian sejajar?
Maksud Aki dalam hal pertabiban?"
"Ya, juga dalam ilmu
silat. Menurut cerita, dalam ilmu pertabiban orang itu, ada sebuah kemampuan
membangkitkan semua daya potensi manusia yang terpendam. Karena itu sang tabib
mengoperasi otak, dan membobol seluruh jalan darah tubuh murid terakhirnya,
tujuannya tentu saja untuk mengeluarkan semua kepintaran dan memunculkan hawa
murni dalam tubuh murid keempatnya. Tentu saja prosesnya berbelit-belit,
menurut cerita hampir memakan waktu setengah tahun. Ada juga yang mengatakan
satu tahun"
"Wah, hebat juga
kemampuannya…" gumam Jaka kagum.
“Hebat juga?” seru Ki Lukita
mengerinyitkan kening. Sekalipun itu cerita lampau dan terasa pahit jika
dikenang, tapi kehebatan tiga gembong ibils dan gurunya itu tidaklah pantas
diberi predikat ‘hebat juga’ yang bisa berkonotasi lumayan. “Bagaimana mungkin
kau menyebut dedengkot para tabib dengan penilaian seperti itu?”
“Itukan cerita turun temurun,
bisa jadi ada lika-liku lain yang sama sekali tidak diketahui. Mungkin saja
sumber cerita itu menambah-nambahkan atau mengurangi keaslian cerita siapa yang
tahu?”
“Benar, siapa pula yang tahu.
Tapi kenapa pula kau bilang hebat juga—lumayan? Rasanya terkesan meremehkan,
bagaimanapun juga tabib eksentrik itu sesepuh dunia persilatan.”
“Aki benar, mungkin saja saya
kurang hormat kepada para pelaku sejarah dunia persilatan, tapi toh manfaat
cerita itu tidak banyak. Paling sebagai peringatan jangan terlalu rakus
kedudukan.”
“Ucapanmu memang benar. Ah,
dasar anak keras kepala. Tapi yang kutanyakan dari tadi belum kau jawab.”
“Tentang lumayan tadi?”
“Ya!”
Jaka tertawa perlahan. “Aki
mau jawaban basa-basi atau jawaban jujur?”
“Kau anak aneh, tentu saja
jujur!” gerutu Aki ini dengan muka masam.
“Kalau begitu saya akan
bertanya satu hal, menurut Aki, dalam perbandingan biasa, mana lebih hebat
kemampuan guru dan murid; di misalkan sang murid sudah lama berkelana, dan
mendapatkan banyak pengalaman.”
“Tentu masih lebih hebat sang
guru, kecuali si murid menemukan ilmu yang lebih hebat dari yang dipelajari.
Kalau memang begitu kesimpulannya, semisal si murid tak menemukan apa-apa, tapi
dia mengembangkan ilmu gurunya, dengan sendirinya banyak kemajuan yang
didapat.”
“Kalau begitu sekalipun satu
sumber, jika yang ditemukan berbeda dengan gurunya, apa memiliki kemajuan
pula?” tanya Jaka, di iyakan Ki Lukita.
“Lalu apa maksud pertanyaanmu
itu?” tanya Ki Lukita.
“Apa jadinya ilmu sang guru
di gabung dengan semua pengetahuan empat muridnya yang sudah berbeda dengan
sang guru, jika dijadian satu?”
Ki Lukita terperanjat. “Tentu
saja jadi satu kesatuan hebat, ampuh dan saling melengkapi.”
“Itu yang akan saya katakan.
Kemampuan satu orang jika dibandingan dengan lima orang secara keseluruhan,
maka logikanya ia hanya mengantongi seperlima bagian saja. Karena itu saya
katakan lumayan. Sekalipun mereka satu sumber, tetapi pengembangannya justru
jauh dari sumbernya, mereka sudah menjadi asing satu sama lain.”
Ki Lukita mengangguk paham.
Kalau apa yang dikatakan anak ini benar, berarti pengetahuannya tentang
pertabiban diatas Tabib Hidup-Mati, dan sang guru? pikirnya dalam hati. Apa
mungkin begitu? Apakah semudah itu dia menguasai pengetahuai demikian rumit?
Jangan-jangan hanya bualannya saja!”
Kalau sekedar untuk
mengoperasi seperti yang dilakukan sang guru pada murid keempatnya. Akupun bisa
melakukan hal itu, hanya banyak hal rumit yang aku tak sempat mencobanya, tapi
aku yakin bisa. Pikir pemuda ini sambil menerawang, membayangkan kegetiran masa
lalunya—yang menurutnya dari situlah dia dilahirkan jadi manusia baru...
Apapun juga, dia merasa
berterima kasih pada Ki Lukita. Meski cerdas, tapi pada saat mempelajari ilmu
pertabiban, bisa dikatakan hanya belajar secara membuta, keterangan Ki Lukita
bisa membuka suatu kazanah baru bagi dirinya.
“Selanjutnya bagaimana Ki?”
Ki Lukita segera meneruskan
ceritanya. "Memang, kalau kita tahu caranya segala sesuatu yang dianggap
mustahil juga bisa dibuat… kemudian setelah satu tahun itu, akhirnya murid
keempat yang masih berusia sebaya denganmu, turun gunung untuk mencari tiga
orang murid murtad sang tabib. Dalam waktu dua tahun berikutnya tiga orang
murid murtad itu dapat diringkus, sampai disini tidak ada cerita lagi.
“Sebab tiada seorangpun yang
tahu bagaimana kisah sebenarnya, bahkan saat murid keempat meringkus tiga orang
kakak seperguruannya, tiada orangpun yang tahu dimana tempat dan bagaimana
kejadiannya… hanya saja setelah tiga empat tahun nama Tabib Malaikat, Tabib
Dewa dan Maha Racun hilang, muncul seorang yang amat aneh sekali tabiatnya.
Orang itu tabiatnya persis dengan sang tabib, guru dari tiga orang manusia
laknat itu. Kau tahu julukan orang itu?" tiba-tiba saja Aki ini bertanya
pada Jaka.
Pemuda ini tertegun sesaat,
"Mungkin orang itu murid ke empat? Kalau benar begitu julukannya pasti
Tabib Hidup Mati."
"Pintar! Memang orang
itu adalah murid terakhir sang tabib, selain tabiatnya sangat aneh, orang itu
benar-benar ringan tangan. Siapa saja yang kebentur dirinya, kalau tidak minta
pengobatan tentu ia beri sejurus ilmu silat sakti. Tindakannya memang sangat
aneh, tapi hanya beberapa tokoh saja yang tahu kenapa ia bertindak seperti itu,
ia ingin menebus kesalahan tiga kakak seperguruannya. Sebab waktu itu hampir
semua tokoh sakti yang masih aktif gugur semua, tindakan Tabib Hidup-Mati yang
sangat royal mengajarkan ilmu-ilmu sakti pada tiap orang yang dijumpai menjadi
buah bibir. Tapi sayangnya dia hanya muncul selama tiga tahun saja, namun hasil
kerjanya benar-benar luar biasa. Dalam tiga tahun itu banyak bermunculan
jago-jago lihay yang berkepandaian amat tinggi, dan tentunya itu semua adalah
karya dari Tabib Hidup-Mati,"
"Ki, apakah tindakan
Tabib Hidup Mati tidak terlalu ceroboh?" tanya pemuda ini.
"Memang sepintas
kelihatan sangat ceroboh, orang yang tidak tahu akan mengira dia mungkin saja
ingin menimbulkan badai dalam dunia persilatan. Tapi dia memberikan ajaran
ilmu-ilmu sakti hanya pada ketutunan yang menjadi korban, saudara
seperguruannya. Meski dia juga memberi satu-dua jurus pada orang lain, dia
selalu meminta mereka dengan tiga syarat berat—bisa disebut tiga syarat mulia,
tiga syarat itulah yang menjadi panji dari kebenaran saat itu."
"Apa itu?"
"Pertama, menjunjung
tinggi keadilan dan kebenaran, kedua tidak mendurhakai orang tua dan guru,
sedangkan syarat ketiga, adalah membunuh jika patut dibunuh, mengampuni jika
patut diampuni. Itulah tiga syarat Tabib Hidup-Mati,"
"Memang bagus, tapi bisa
saja orang-orang itu memang mau bersumpah hanya karena kepingin ilmu
sakti."
"Semula aku juga
berpikir begitu," sahut Aki Lukita. "Tapi ternyata setelah
orang-orang itu mengucapkan janji, Tabib Hidup-Mati memberi sebuah obat untuk
ditelan setiap orang yang akan dia ajari ilmu. Menurut cerita, Pil itu bernama
Pil Kebenaran, siapa saja yang meminum pil itu, konon selalu bertindak membela
kebenaran, kalau ada pikiran untuk menyimpang, maka dalam jangka waktu satu bulan
kematian akan segera menghampirinya."
Omong kosong macam apa itu?
Batinnya tak percaya. Tapi demi menghargai cerita Ki Lukita, diluarnya di
berkata. "Ah, aneh…”
“Apa anehnya?”
“Tingkahnya tak beda dengan
saudara perguruannya, cuma mengatasnamakan keadilan. Menarik, dan perlu
dicurigai…”
Ki Lukita manggut-manggut
sambil tertawa, dalam hatinya dia tahu, Jaka memang tak mau mengakui kebesaran
Tabib Hidup Mati. “Benar memang ada yang aneh. Sekalipun kau ingin melacaknya
juga tak mungkin, karena kejadian itu sudah lama. Apapun yang terjadi dulu,
sudah tidak ada kaitannya dengan sekarang.”
“Cuma lucu juga ada obat yang
seperti itu, apa tadi, pil kebenaran?" ujar Jaka setengah tertawa.
Kakek ini menggeleng getun
mendengar antipati Jaka pada tokoh yang dia kisahkan. "Kalau ada pil yang
menguasai kesadaran orang, kenapa tidak ada pil semacam itu? Lagi pula Tabib
Hidup-Mati memang jenius, untuk menciptakan pil semacam itu mudah
baginya," Aki ini menarik nafas panjang, lalu ia melanjutkan lagi.
"Setelah Tabib Hidup-Mati lenyap setengah abad, dunia persilatan
dikejutkan dengan munculnya sebuah kitab,"
"Apakah itu kitab yang
saya pelajari?" tanya pemuda ini tak sabar.
"Benar, itulah kitab
Selaksa Racun-Selaksa Malaikat-Selaksa Dewa-Selaksa Hidup-Mati. Tapi orang
lebih suka menyebutnya sebagai Kitab Racun Selaksa Malaikat-Dewa Hidup Mati,
kenapa dinamakan begitu tentu kau sudah tahu bukan?" tanpa menunggu
jawaban pemuda ini, Aki Lukita menyambung lagi.
"Sebab sejak kemunculan
tiga orang murid sang tabib dan kemunculan Tabib Hidup-Mati, dunia persilatan
bagaikan di hancur leburkan lalu dibangkitkan kembali. Arti dari Dewa Mati
berarti para tokoh persilatan yang gugur di tangan tiga manusia sesat itu,
sedangkan Malaikat Hidup Teracuni adalah kemunculan Tabib Hidup-Mati yang
memberikan berbagai ilmu silat, namun di dasari dengan syarat dan harus menelan
sebuah obat."
“…atau racun!” sambung Jaka.
“Terserah kau…” gumam Ki
Lukita sembari tertawa geli.
Mendengar penjelasan tadi,
Jaka terpikir sesuatu, yang dulu pernah ia curigai, tapi dia simpan rapat-rapat
kembali pemikiran itu, "Lalu bagaimana dengan nasib kitab itu?"
Ki Lukita tertawa geli.
"Kalau kau bertanya padaku, aku harus bertanya pada siapa? Bukankah kitab
itu sudah kau pelajari?"
"Eh, maksudnya nasib
kitab pada waktu itu…" kata pemuda ini buru-buru, menyadari pertanyaan
bodohnya.
"Entah bagaimana
nasibnya, kemunculannya bagai angin berhembus, dalam tempo setahun saja kitab
itu lenyap entah kemana. Konon, kitab itu diperebutkan tiap insan
persilatan—bisa kau bayangkan bagaimana kacaunya suasana. Bahkan orang-orang
dari lain negara juga turut serta. Mereka tak sayang mengorbankan apa saja
untuk merebutnya. Tapi bagaimana akhir perebutan itu, tiada satu kabar
beritapun yang bisa dipercaya. Kitab itu lenyap entah kemana. Orang tidak tahu
dari mana kitab itu datang, dan lenyapnya pun tiada yang tahu, apakah kitab itu
didapatkan seseorang atau bahkan sengaja dihancurkan, siapa yang tahu?"
sampai disini Aki itu menghebus nafas panjang. "Sekarang ini aku hanya
punya perasaan heran yang menggelitik hatiku,”
“Apa itu Ki?”
“Aku ingin tahu, dari mana
kau dapatkan kitab-kitab pusaka itu?"
Pemuda ini kelihatan serba
susah mendengar pertanyaan Aki itu, ia sendiri tidak tahu kenapa kisah yang
biasanya dikategorikan rahasia, malah diceritakan pada Aki yang baru
dikenalnya. Kenapa dia bisa langsung percaya padanya?
"Kitab ilmu itu saya
temukan tanpa sengaja…" akhirnya pemuda ini memutuskan untuk bercerita,
tentu saja hanya bagian yang tak perlu—yang tak terhitung sebagai rahasia.
"Waktu itu saya baru
saja berlatih ilmu Badai Gurun Salju, karena ilmu itu memusatkan latihan hawa
dingin keras dan lunak, maka saya membuat sebuah lubang yang dalamnya mencapai
leher. Lubang itu saya maksudkan untuk menyerap hawa dingin keras dari dalam
tanah, tapi siapa sangka saat kedalamnya mencapai leher, muncul sebuah lubang
di dasarnya.
“Karena terkejut, saya
terjeblos masuk kesitu. Rupanya lubang itu merupakan lorong yang berhubungan
dengan gua, saya terus menelusuri gua itu dan akhirnya setelah menjumpai jalan
buntu, tak disangka saya menemukan sebuah peti yang terpendam di tanah. Peti
itu hanya terlihat tutup bagian atasnya saja, mungkin sudah terpendam berpuluh
tahun disitu, maka saya mengangkatnya dengan hati-hati. Ternyata didalamnya
terdapat sebuah kitab tebal," tuturnya—tentu saja Jaka tidak menuturkan
kejadian sesungguhnya.
“Eh, tunggu kalau tak salah
kau menemukan kitab itu diperpustakan keluargamu?”
Jaka tertawa. “Tentu saja tidak, saya tidak bertutur demikian saat bercerita, yang ada diperpustakaan keluarga, hanya kitab ilmu mustika.” Lalu Jaka meneruskan penuturannya.
Jaka tertawa. “Tentu saja tidak, saya tidak bertutur demikian saat bercerita, yang ada diperpustakaan keluarga, hanya kitab ilmu mustika.” Lalu Jaka meneruskan penuturannya.
"Karena penasaran, saya
mengambil kitab itu, dan ternyata merupakan sebuah kitab pengobatan yang memuat
berbagai macam pelajaran membuat obat, racun dan segala macam pengetahuan
syaraf. Pada saat itu, saya merasa seperti kejatuha durian runtuh. Karena
menurut saya, sayalah satu-satunya yang bias membaca kitab itu.”
“Ho, kenapa kau berkesimpulan
seperti itu?”
“Sebab aksara yang tertulis
adalah aksara kuno, anehnya lagi, dari aksara itu bukan seperti yang kita kenal
dulu atau sekarang.”
“Oh, berarti bukan dari
Nuswantara Dwipa?”
“Ya, itu bahasa Farisi, Hindi
dan Tiongkok kuno.”
“Wah, beruntung sekali kau
sebelumnya meguasai kesuastraan.”
Jaka tersenyum. “Kenyataan
itulah yang membuat saya senang dan lega.”
“Kenapa bisa begitu?” Ki
Lukita sudah tahu alasannya, toh dia tetap bertanya.
“Karena saya tak perlu
mengkhawatirkannya, jika kitab itu terjatuh ketangan orang lain. Sebab dia
harus memenuhi tiga syarat utama untuk membacanya.”
“Oh, ada kejadian semacam
itu?” Tanya Ki Lukita tertarik.
“Ya, selain dia harus bisa
tiga bahasa kuno, dia juga harus cukup pintar untuk memecahkan rumus sastra,
yang terakhir, coba tebak…”
Ki Lukita tersenyum sambil
menggeleng. “Aku tak dapat mengiranya.”
“Dia harus paham ilmu pasti.
Itu semacam perhitungan dalam mempelajari formasi barisan.”
“Ah…” rupanya memang sudah
jodohnya, pikir Ki Lukita ikut bergembira—perasaan yang menurutnya aneh, dapat
timbul spontan. “Lalu kau apakan kitab itu?”
“Takut ada semacam jebakan,
tidak menunggu lama, saya ambil kitab itu, segera keluar, lalu menimbun lubang
itu rapat-rapat. Sebelumnya saya juga menyumbat pintu gua,"
"Kenapa kau melakukan
itu?" tanya Aki Lukita heran.
"Sebab dinding dekat
peti itu terlihat tulisan yang memerintahkan, jika sudah menemukan pusaka
dimaksud, harus segera menutup gua dan jalan yang menuju gua itu, bahkan kalau
bisa gua itu diruntuhkan. Mungkin dibalik perintah ini ada satu isyarat lain,
dan benar juga dugaan saya… sebab setelah membaca tulisan itu beberapa saat
kemudian muncul banyak binatang aneh dari dalam dasar peti yang berlubang.
Terburu-buru saya segera keluar dari tempat itu. Untung saja segala sesuatunya
memang sudah dipersiapkan oleh orang yang dulunya menyimpan kitab itu, dalam
tulisan di dinding menyebutkan kalau setelah mendapatkan kitab itu harus segera
menghancurkan kotak batu di pojok gua. Begitu saya hancurkan kotak itu, seluruh
langit-langit gua runtuh, dengan begitu pekerjaan saya hanya menimbun lubang
yang saya buat."
"Wah, untuk ukuran usiamu.
Pengalamanmu sangat hebat. Lalu tiga kitab mustika ilmu silat itu berasal dari
mana?"
"Seperti yang saya
ceritakan tadi, ketiga kitab itu memang asalnya ada di perpustakaan keluarga
saya. Seperti yang tadi saya ceritakan pada Aki, selain kitab Hawa Bola sakti,
dua kitab lainnya malah terpencar tiga-empat bagian. Setelah mencarinya hampir
setengah bulan akhirnya saya temukan secara lengkap…"
Aki itu termenung sesaat,
seperti ada yang ia pikirkan. "Bagaimana dengan pelajaran tiga ilmu
itu?"
“Maksudnya?”
“Apa kau sudah menyelesaikan
semuanya dengan sempurna?
"Semuanya sudah saya
pelajari, hanya latihan dan pengalaman yang diperlukan untuk menambal latihan
saya." Tutur pemuda ini menjelaskan.
"Berapa lama kau
pelajari tiga kitab itu?"
Jaka mengangkat bahunya.
"Mungkin, jika tanpa latihan, total seluruhnya ada dua bulan. Saat itu
saya terlalu malas, seharusnya tiga kitab itu bisa saya selasaikan dalam satu
bulan, tapi karena saya juga harus mempelajari kitab sastra lain, maka banyak
hal yang terhambat."
"Oo…" Aki ini hanya
bisa mengatakan begitu saja. "Apakah sudah kau hafal seluruhnya?"
"Tentu saja sudah, kalau
belum bagaimana mungkin saya berani memusnahkan tiga kitab itu?"
“Tapi apa kau sendiri juga
paham dengan apa yang dimaksudkan kitab-kitab itu?”
Jaka diam sesaat, akhirnya dia memutuskan menjawab secara samar. “Pengetahuan manusia itu berawal dari nol, yakni ketidaktahuan, dan kelak juga akan kembali ke titik nol, saat dia mati. Masalah paham tidaknya, itu tergantung bagaimana dia mengerti atau tidak, akan kebodohan dirinya.”
Jaka diam sesaat, akhirnya dia memutuskan menjawab secara samar. “Pengetahuan manusia itu berawal dari nol, yakni ketidaktahuan, dan kelak juga akan kembali ke titik nol, saat dia mati. Masalah paham tidaknya, itu tergantung bagaimana dia mengerti atau tidak, akan kebodohan dirinya.”
Ki Lukita menatap Jaka agak
lama, dia membatin, sungguh anak yang menarik. Dia bisa memahami maksud Jaka,
karena hanya orang yang tahu akan sesuatu, yang tidak mau mengutarakan- nya
terang-terangan. Tapi jika dilihat dari persoalan yang mereka bicarakan tadi,
seharusnya yang mengatakan seperti itu adalah orang yang sudah uzur, artinya
dia sudah paham dengan makna kehidupan yang dijalani. Dia selalu
mengintrospeksi keadaan dirinya. Tapi ‘anak kecil’ berusia 20-an itu kenapa
bisa bicara se-uzur itu? Ki Lukita menemukan banyak hal kontradiktif pada Jaka.
"Memang seharusnya
begitu," ujarnya kemudian sambil menghela nafas panjang. Ombak belakang
memang selalu mendorong ombak yang ada didepan, gumamnya perlahan sekali.
Memang Aki ini sepantasnya
mengatakan demikian, sebab untuk menghafal satu kitab dari sembilan mustika
ilmu silat, orang pintarpun harus membutuhkan waktu minimal tiga-empat tahun,
belum lagi ditambah waktu untuk memahaminya. Tapi pemuda ini sanggup menghafal
dan memahaminya—Ki Lukita mengambil kesimpulan bahwa Jaka juga paham—dalam
jangka waktu dua bulan? Bukan satu yang dipahami tapi tiga kitab mustika
sekaligus! Jika itu memang benar terjadi, hati siapa tak akan bergetar
mengetahui hal itu?
"Ki, boleh saya
bertanya?"
"Tentu saja,"
"Sebenarnya aturan Dewan
Pelindung Sembilan Mustika siapa yang menetapkan? Dan bagaimana pula asal usul
sembilan ilmu itu sehingga bisa menjadi mustika dunia persilatan?"
"Panjang sekali kalau
mau diceritakan, untuk jelasnya lebih baik kau baca kitab yang kuberikan
padamu."
"Bukankah kitab ini
merupakan catatan tentang Perkumpulan Dewa Darah?"
"Itu hanya salah satu
diantaranya, bukankah aku tadi mengatakan kalau kitab itu merupakan catatan apa
yang kuketahui? Berarti semua pengalaman dan perjalanan hidupku-pun tertuang
dalam kitab itu."
"Kalau begitu kitab ini
benar-benar berharga… saya merasa tidak sanggup menerimanya," ujar pemuda
ini gugup.
"Kau tak perlu merasa
sungkan. Sebab menurutku kau pantas menerimanya. Catatan itu terbagi dalam tiga
buku, buku yang berada padamu adalah buku kedua. Kalau kau memang berminat bisa
kuberikan dua buku lainnya,"
"Eh, Aki tidak perlu
berbuat begitu, bagi saya menerima satu buku ini saja sudah merupakan
kehormatan tak terhingga, konon lagi tiga buku sekaligus? Saya tidak berani
menerimanya." Kata pemuda ini terburu-buru.
"Em, terserah kau saja.
Tapi aku memang berniat untuk menyerahkan sisa buku lainnya," ujar Aki ini
sambil tertawa, ia diam sebentar, lalu menyambung lagi perkataannya.
"Kalau kau tidak
keberatan maukah kau menjadi muridku?" tanya Aki ini dengan mendadak.
Suasana yang hangat,
tiba-tiba saja seperti berubah menjadi sedingin salju, agaknya ketegangan
mencekam situasi saat itu. Pemuda ini kawatir telinganya salah dengar.
"Ehm, ini, ini…"
Jaka terkejut, ia sama sekali tidak menyangka kalau Aki Lukita bakal mengajukan
permintaan yang begitu menarik juga sangat mendadak. Dalam hatinya, Jaka merasa
senang.
Senang? Jika orang lain
berada pada posisi Jaka, mungkin malah merasa curiga. Bayangkan, jika dia menguasai
apa yang menjadi impian kaum persilatan, tiba-tiba ada seseorang menawarkan
diri menjadi guru, bukankah sama artinya dia menghendaki apa yang dikuasai si
calon murid? Apa itu tak terlalu aneh? Apakah Jaka tidak berpikir kearah itu?
Apa lantaran pemuda ini memang punya kebiasaan mencari tantangan, atau
katakanlah semacam pertaruhan, bahwa; apakah dirinya akan dimanfaatkan atau
tidak… Di lain pihak, jika orang lain berada pada posisi Ki Lukita, apakah dia
akan menarik keuntungan seandainya semua yang diceritakan Jaka hanya bualan?
Apa orang tua ini memang tulus meminta Jaka menjadi muridnya atau karena ada
maksud lain? Tiada yang tahu kecuali hati dua orang ini sendiri.
Pemuda ini menghala nafas
dalam. "Ini… entahlah, rasanya terlalu mendadak, tapi seandainya saja saya
mau, apakah Aki tidak salah memilih? Apa Aki tidak memperhitungkan, mungkin
kelak saya bakal membuat Aki menyesal?"
Ki Lukita tertawa lepas.
"Kau seharusnya menyadari keadaan dirimu, dari ucapanmu saja aku yakin
kalau apa yang akan kau lakukan nantinya tidak akan demikian, lagi pula aku
dapat meraba tingkah-lakumu dari gerak gerik… dari perbawamu. Tapi permintaanku
ini memang buru-buru, ada baiknya kalau kau pikirkan masak-masak.”
"Baik. Tapi saya harap
Aki tidak menyesal apapun jawaban saya nanti. Sebagai rasa terima kasih karena
permintaan Aki dan juga kepercayaan Aki, terimalah hormat saya.” Setelah
berkata begitu, Jaka hendak membungkuk memberi penghormatan. Namun belum sampai
Jaka menghormat kedua kalinya segulung tenaga kuat sudah menahannya, karuan
Jaka tidak bisa membungkuk lagi, sebenarnya bisa saja ia mengerahkan tenaganya,
tapi dia sadar kenapa pula dia harus ngotot?
"Ha-ha…" Aki Lukita
tertawa terbahak-bahak, air matanya sampai menitik keluar. "Mendapatkan
calon murid seperti kau ini siapa yang tidak bangga? Sudahlah tidak perlu
berbasa-basi, mulai besok atau kapan kau bisa, datang saja kerumahku, kita bisa
membicarakan banyak hal."
"Baik Ki," sahut
pemuda ini dengan hikmat. "Kalau begitu rasanya saya tidak perlu membawa
kitab catatan Aki, toh nanti juga akan kembali."
"Tidak usah, tiga kitab
catatanku memang sudah seharusnya diserahkan pada generasi muda, agar bisa
belajar dari pengalaman genarsi tua. Bawa saja kitab itu, siapa tahu saat
berpesiar nanti kau merasa bosan, tidak ada salahnya kau baca kitab itu.
Apalagi kau juga seorang kutu buku, apakah kau bisa tahan tidak mempunyai
bacaan dikala senggang?" mendengar ucapan Aki Lukita itu Jaka Bayu
tersipu. "Karena itu lebih baik lagi kalau kitab itu ada padamu, dari pada
disini hanya menjadi setumpuk lembaran kertas tak berguna."
"Kalau begitu, saya
hanya bisa menurut," sahut Jaka dengan hormat. Mendengar jawaban pemuda
ini Aki Lukita tertawa lepas.
"Sesungguhnya kejadian
ini perlu kita rayakan, tapi berhubung kau baru satu hari dikota ini, tidak ada
salahnya setelah puas berkeliling, baru kita adakan pembicaran lebih dalam.
Perlu kau ketahui, jika kau sudah menjadi muridku, kita akan lakukan perayaan
dan upacara pengangkatan murid."
"Ah, apakah itu tidak
terlalu berlebihan Ki?” sahut Jaka menimpali perkataan Ki Lukita, seakan dia
sudah menjadi murid Aki itu. “Menurut hemat saya, rasanya tidak perlu
mengadakan perayaan segala, kalau upacara mungkin bisa juga, tentu saja tidak
berlebihan."
Ki Lukita tersenyum girang,
dari perkataan Jaka ia jadi tahu kalau kemungkinan besar pemuda itu mau menjadi
muridnya. "Baik, aku setuju pendapatmu. Sejak dulu, secara turun temurun
dalam keluargaku, harus diadakan upacara apabila mau mengangkat seorang
murid."
"Apakah sebelumnya Aki
juga mempunyai murid?"
"Ya, aku mempunyai dua
murid. Tiap tahun mereka pulang dari perantauan untuk menjengukku. Kukira tahun
ini usia mereka sudah masuk kepala empat, lagi pula mereka sudah berkeluarga,
jadi aku maklum kalau suatu saat mereka tak datang."
"Menurut kebiasan, kalau
hendak mengadakan penerimaan guru-murid bukankah murid tertua atau angkatan
atas harus datang? Kalau angkatan atas tidak datang, paling tidak harus lebih
dari satu murid yang diresmikan oleh sang guru."
"Memang benar, jika kau
jadi muridku, kau memiliki calon adik seperguruan..."
"Adik seperguruan?"
pemuda ini terpelongok heran.
"Dia cucu perempuanku,
sudah banyak tahun ia menerima pelajaranku, tapi hubungan kami hanya sebagai
Aki dan cucu saja, belum resmi sebagai guru murid. Karena itu, upacara pengangkatan
guru murid nanti sekalian saja,"
”Oh, kiranya begitu…"
ujar pemuda ini paham, namun hatinya agak risau, karena bagaimanapun dia belum
menyatakan mau menjadi murid Ki Lukita, tapi pembicaraan ini rasanya sudah
seperti guru dan murid saja, ini sudah melampaui batas, pikirnya.
Jaka tidak bertanya lagi,
karena ia sudah merasa cukup lama berada disitu, sekalipun mereka berada
diberanda samping rumah, gerak-geriknya juga terbatas. Bagaimanapun juga, orang
asing yang berbicara terlalu lama dengan seorang sesepuh kota, mudah menjadi
sasaran kecurigaan sekelompok orang.
"Ki, bisakah saya ikut
serta nanti malam?" Jaka bertanya tanpa canggung.
"Boleh, tapi tidak bisa
terang-terangan."
"Kalau begitu sekarang
saya harus pergi." Pinta Jaka dengan hormat.
"Baiklah, kapan kau
kemari lagi?"
"Mungkin dua atau tiga
hari kemudian, bisa juga malam nanti..."
Setelah memberi hormat, Jaka
segera pamitan. Di iringi pandangan mata penuh harap Ki Lukita, akhirnya
bayangan pemuda bersahaja itu menghilang di belokan jalan.
Tiba-tiba saja pintu rumah
terbuka, muncul gadis berbaju biru muda, wajahnya cantik sekali, kalau
tersenyum atau tertawa, muncul lesung pipi. Tapi kali ini wajahnya tampak
cemberut.
"Kek, kenapa engkau
tidak menahan calon kakak seperguruan lebih lama? Kenapa tidak di kenalkan pada
keluarga kita?" tanya gadis itu bertubi.
"Ha-ha-ha, budak
cerewet. Keluarga kita, kau bilang? Ah alasan yang kau buat memang bagus, kalau
sudah kembali kesini tentu saja segera kuperkenalkan kepadamu, kau tidak usah
kawatir. Hari ini, dia baru datang kekota, mungkin butuh istirahat. Bukankah
dua tiga hari lagi kau bakal kenal dengannya?" ujar Aki ini dengan tertawa
menggoda.
"Ih…" seru gadis
baju biru ini sambil cemberut, wajahnya yang jelita terlihat merona merah.
Dengan terburu-buru ia masuk kembali.
Sambil tertawa riang dan
geleng-geleng kepala, Aki Lukita kembali menghisap rokok kawungnya. "Dasar
budak binal." Gerutu Aki itu melihat tingkah cucu perempuannya.
Kakek tua yang dihormati
penduduk kota itu, kembali meneruskan pekerjaan sehari-harinya, dia merawat
bunga yang kelihatannya begitu indah. Padahal, kalau saja orang tahu rumpunan
bunga yang terdapat di seluruh halaman rumah Aki ini adalah formasi barisan
lihay, belum tentu mereka dapat memuji seperti saat melihat bunga indah bermekaran,
sebab siapapun tidak bisa melihat nilai keindahan dan kemisteriusannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar