Jumat, 13 September 2013

011 - Sekelumit Kisah Jaka Bayu

Perlahan-lahan Jaka Bayu berjalan mendekati rumpunan bunga indah itu. Ia melangkahkan kaki dipinggir rumpunan bunga, "Astaga, lihay benar barisan ini, jika aku tidak tahu tentang ini, jangan harap bisa keluar dari tempat ini tanpa pertolongan orang yang paham. Hm, mungkin karena tempat ini adalah sebuah kota dan bukan wilayah yang patut dipasangi barisan selihay ini, maka Aki itu hanya menampilkan sebagian kecil kelihayannya."
Pemuda ini melangkah memasukinya. Dia bermaksud mengujinya, apakah benar barisan itu seperti yang di maksud. Ternyata sesuai dengan teori yang dia ketahui! Jaka menghela nafas prihatin, bahwa Ki Lukita bukan pendekar biasa, memang dia percaya penuh. Tapi dengan adanya formasi barisan itu, dia sadar, urusannya tak semudah yang dibayangkan.
Pemuda ini sengaja salah melangkah, tiba-tiba matanya seperti melihat gambar buram, dia seperti melihat beratus bayangan turun dari langit mengurung dirinya, padahal itu hanya formasi yang dibuat pada bunga setinggi lutut! Benar-benar hebat dan mengerikan. Menyadari hal itu dengan cepat Jaka melangkah tiga tindak kekanan dan dua langkah kedepan lalu dengan cepat ia juga meneruskan tujuh langkah kebelakang memutar teratur, setelah itu dengan gerakan bagai burung elang ia melenting kebelakang, gerakannya cepat sekali, jika ada orang yang melihat dari luar, pasti mengira pemuda itu cuma melompat kecil. Padahal refleknya, bukan saja gerakan penuh perhitungan, tapi merupakan jurus menghindar yang lihay.

“Luar biasa, sekalipun aku sudah mengetahui kelihayannya, tetapi apa yang disebutkan dalam kitab dengan kenyataan yang ada memang beda.” Batinnya, merasa kagum.
Dengan berdiri termangu, Jaka mengamati barisan itu dengan seksama. “Bukan main, kelihayan barisan kuno ini tak bisa sembarangan muncul begitu saja, kenapa bisa ada disini?” Jaka berpikir keras. Sesaat, dia menghela nafas panjang, agaknya sudah bisa memahami sesuatu. “Benar, mungkin mereka termasuk didalamnya.”
Didalamnya? Di dalam apa?
Pemuda ini kembali memperhatikan barisan bunga itu baik-baik, “Aneh, rasanya ini bukan seperti barisan yang kukenal." Kepalanya sedikit miring, pemuda ini makin seksama memperhatikan barisan rumpun bunga itu.
"Ah, tahulah aku! Lima Langit Menjaring Bumi dikombinasikan dengan formasi Teratai Mengurung si Cantik! Hebat sekali, benar-benar luar biasa cerdik. Sebuah formasi barisan biasa digabung dengan barisan hebat, menghasilkan kombinasi aneh, benar-benar pintar. Cerdik sekali, sejak semula aku yakin, Aki itu memang bukan orang biasa."
Pemuda ini masih saja berdiri termangu memperhatikan bunga-bunga itu, kalau dari luar halaman, orang mengira kalau pemuda ini hanya memperhatikan keindahan bunga itu, padahal tidak, Jaka sedang menyelami kelihayan dari dua barisan yang bergabung itu.
"Betapapun, barisan ini belum bisa menjaring orang yang punya peringan tubuh tinggi."
Pemuda ini tidak sadar kalau sejak ia melangkah memasuki rumpun bunga, sedikitnya ada dua pasang mata yang memperhatikannya. Pertama sepasang mata sang Aki dan yang kedua sepasang mata jeli milik seorang gadis.
Setelah sekian lama, barulah pemuda ini tertawa penuh kagum, "Aku memang salah lihat. Lihay sekali, pantas saja formasi Teratai Mengurung Si Cantik hanya dikembangkan separuh, ternyata warna-warni bunga inipun mempengaruhi daya pandang dan daya pikir orang. Jika barisan Lima Langit Mengurung Bumi dikembangkan separuh saja, kuyakin tiada orang yang mampu melepaskan diri dari kuruangan bunga ini.” Jaka menghal nafas dalam. “Benar juga kata Kakek baik hati, pada setiap keindahan terdapat hal misterius yang kadang kala lebih menakutkan, malah menyesatkan pikiran orang."
Dengan senyum ringan, Jaka kembali duduk, dan tak lama kemudian Aki Lukita keluar. Ia membawa sebuah buku cukup tebal.
"Apa yang pernah kuketahui sebagian terdapat di dalam catatan ini, mungkin bisa bermanfaat buatmu." Kata Aki Lukita begitu duduk langsung menyerahkan catatan tadi.
Jaka menerimanya dengan hati masih diliputi keheranan.
Beberapa saat kemudian, Ki Lukita mengajak Jaka untuk pindah di beranda samping rumah, sehinga percakapan mereka lebih leluasa. Mereka duduk di bawah pohon rambutan, tak jauh dari situ ada kolam ikan cukup luas. Sungguh situasi yang asri dan melenakan.
Jaka mengikuti Aki itu dengan pikiran diliputi kebingungan, dia sama sekali tak menyangka si Aki bisa berbaik hati seperti itu.
"Ini-ini…” Jaka tergagap serba salah. “Kita baru berjumpa sekali, mengapa Aki begitu percaya pada saya? Bukankah catatan kitab ini merupakan sebuah catatan berharga?"
"Tentu saja berharga, karena itu kuputuskan untuk menyerahkannya padamu. Sebelumnya aku memang sudah percaya padamu apalagi setelah kau masuki barisan bunga milik cucuku, aku jadi tambah percaya kalau kau bukan pemuda kelana biasa, karena itu aku harap kau dapat mempergunakan sebaik mungkin. Nah, simpanlah, aku tidak butuh penolakan juga kata terima kasih atau basa-basi lainnya."
"Ah..." Jaka mendesah terkejut, ia tak menyangka kalau Aki itu begitu memperhatikan dirinya. Buru-buru ia meletakkan kitab itu di meja, dan mengangguk memberi hormat. "Mendapat kepercayaan dari seorang tetua seperti Aki sungguh sebuah kehormatan, saya tidak akan menyia-nyiakannya."
Jaka tidak mengucapkan terima kasih dan berbasa basi, hanya saja ia mengangguk memberi hormat dan mengucapkan janjinya, tentu saja itu bukan tergolong basa-basi.
Dari sini Aki itu dapat menilai sampai dimana pribadi anak muda tersebut, yakni; menuruti apa kata seorang tetua dan selalu mengindahkan orang yang lebih tua. Kakek ini tertawa lepas. "Aku sudah hidup hampir tujuh puluh tahun, bisa bertemu tunas secemerlang kau ini tak sia-sia hidupku, sungguh aku merasa beruntung." Pemuda ini hanya bisa diam saja, ia tak tahu apa yang hendak dikatakannya. Kemudian Aki Lukita melanjutkan perkataannya,
"Aku tahu benar kalau bukan orang yang mengetahui kelihayan dan seluk beluk barisan Lima Langit Menjaring Bumi, belum tentu kau bisa keluar, tapi nyatanya kau bahkan sangat paham sekali seluk beluk barisan itu. Bahkan kau tahu kalau barisan itu hanya dikerahkan sebagian kecil dari yang sesungguhnya, apalagi setelah kau mencoba untuk melakukan langkah salah, kau langsung mengetahui kalau barisan itu digabung dengan formasi biasa, Teratai Mengurung Si Cantik. Dewasa ini, orang yang mengetahui barisan Lima Langit Mengurung Bumi hanya ada satu-dua orang saja, itupun hanya dari angkatan tua. Tapi kau yang masih berusia begini muda malah mengetahui lebih mendalam. Jadi aku bisa berkesimpulan, kau memiliki bekal baik sekali, lebih dari cukup, untuk sekedar berkelana!"
Jaka mendesah. "Ah, Aki terlalu berlebihan, tentu saja saya manusia biasa, tentang barisan itu, saya ketahui juga karena kebetulan."
"Barisan selangka itu, kau ketahui hanya kebetulan, aku tak percaya.” Ujar Aki Lukita agak mangkel, dari tadi Jaka selalu menjawab serba kebetulan. “Bolehkah kutahu siapa gurumu?" tanyanya.
Mendengar pertanyaan Aki Lukita, Jaka jadi tertegun. Untuk sesaat lamanya pemuda ini tak tahu harus menjawab apa. Sambil menghela nafas dalam Jaka berkata, "Kalau saya katakan mungkin Aki tidak percaya…"
"Katakan saja, apa yang kaukatakan sudah pasti benar dan aku pasti percaya sepenuhnya."
"Tidak seperti yang Aki bayangkan, saya tidak punya guru," jawab pemuda ini mantap.
Mendengar ucapan pemuda didepannya, Aki itu tertegun, tadinya ia menyangka kalau Jaka adalah murid salah satu tokoh termasyur yang tentu saja namanya pernah menggetarkan kolong langit.
Melihat Aki itu agak tertegun, pemuda ini tahu kalau Aki itu tidak percaya, maka ia lanjutkan ceritanya.
"Sejak usia empat-lima tahun, orang tua saya selalu menekankan pentingnya belajar sastra dan menghafal, karena itu hampir lima tahun lamanya saya hanya belajar ilmu sastra dan senantiasa dipaksa menghafal. Mungkin karena paksaan orang tua lama kelamaan saya dapat menyelami keindahan dari sastra dan saya sangat menyukainya. Tentu saja kalau yang Aki maksudkan sembarang guru, tentu saya punya. Beliaulah yang mengajari kesusastraan pada saya.”
“Maksudku dari mana kau mengetahui semua hal yang… kupikir aneh dan agak mustahil itu?”
“Formasi barisan tadi?”
“Benar.”
Jaka terpekur sesaat, satu hal yang ia sukai adalah hidup dengan hati yang jujur, dan tentunya menjawab dengan jujur pertanyaan orang, tetapi ada kalanya harus ada yang disembunyikan. Apalagi kalau sudah menyangkut rahasianya, sungguh terasa berat dilidah, tetapi iapun kini memutuskan untuk menjawab dengan jujur—seluruhnyakah? Entahlah!
“Saya menemukannya di perpustakaan keluarga. Jangan tanya saya dari mana datangnya kitab-kitab itu. Sebab tugas saya saat itu hanya mempelajarinya dan mendalaminya saja.”
“Tugas?”
“Oh, istilah tugas merupakan kewajiban yang saya buat untuk diri saya sendiri, supaya bersemangat belajar.”
Ki Lukita tidak menanggapi, dia hanya menggumam pendek.
“Dan ada satu hal aneh yang menjadi pertanyaan saya, hingga kini.”
“Apa itu?”
Jaka tercenung sampai beberapa lama, dan akhirnya ia mengatakan juga. “Awal mulanya terjadi saat usia saya menjelang dua belas tahun,” Jaka memutuskan menceritakan sekelumit persoalan yang mengganggu benaknya. “Secara tidak sengaja saya menemukan sebuah kitab di perpustakan keluarga, karena saya pikir kitab itu merupakan kitab sastra kuno, maka dengan bersemangat saya pelajari. Dalam waktu satu bulan kitab itu sudah selesai saya hapal, namun belakangan saya tahu kalau kitab itu tidaklah lengkap karena bagian depannya sengaja disobek, karena penasaran saya mencari bagian pertama dari kitab itu. Singkatnya saya menemukan bagian depan kitab itu tanpa sengaja di gudang itu juga, dan ternyata baru saya sadari kalau kitab yang saya baca merupakan kitab ilmu silat," tutur Jaka bercerita, tentu saja tak mungkin ia ceritakan semuanya, dan kebenarannya mungkin perlu diragukan? Entahlah, itupun hanya Jaka yang tahu.
"Apa nama kitab itu?' tanya Aki Lukita tertarik.
"Tidak jelas Ki, hanya saja di sampul kitab itu tertera kata Bola, dan beberapa huruf yang tidak jelas."
Mendengar penjelasan itu, wajah Aki ini berubah, "Apakah kitab itu memuat pelajaran bersemadi secara tergantung dan mengutamakan peringan tubuh?"
"Eh, bagaimana Aki tahu?"
Dari ucapan Jaka tentu saja Aki ini tahu kalau dugaannya memang benar. "Hanya sekedar tahu saja, dulu waktu aku masih muda ada seorang kenalan dari sobatku yang memiliki ilmu silat lihay sekali. Nanti saja kuceritakan, sekarang bagaimana kelanjutannya?"
"Karena tertarik, maka saya berniat mempelajari seluruhnya, dan dalam tempo satu tahun saya berhasil menguasainya, hanya saja dalam kitab itu dikatakan kalau ingin melatihnya tidak diperbolehkan untuk diketahui orang, maka apa yang saya pelajari banyak kelemahan disana sini.
“Kemudian tanpa sengaja, kembali saya menemukan dua kitab yang kelihatannya sudah kuno. Kitab pertama menuliskan berbagai macam pengetahuan mengenai barisan gaib,”
“Jadi kau menemukannya setelah menemukan kitab Bola itu?” potong Ki Lukita bertanya.
“Benar,” jawab Jaka.
Ia kembali melanjutkan, “...kalau tidak salah dalam kitab itu hanya memuat tujuh catatan barisan gaib saja, namun membuat banyak penjelasan tentang formasi barisan lain—dan Lima Langit Menjaring Bumi termasuk salah satunya. Karena dalam kitab itu menuliskan bahwa tujuh barisan itu adalah sebagian dari barisan yang pernah merajai formasi barisan, dan sangat ditakuti tiap insan persilatan. Dalam kitab itu menyebutkan bahwa; barisan kuno itu jarang diketahui orang, kecuali orang itu adalah para ahli formasi barisan, dan keturunan atau murid dari salah satu Tujuh Malaikat Gunung Api. Karena itu saya sangat terkejut melihat dalam rumpun bunga tertanam unsur barisan gaib, yang katanya mengejutkan orang persilatan…" Saat itu Jaka memandang wajah Aki Lukita dalam sekejap. Agaknya sang Aki tahu apa yang sedang dipikirkan pemuda itu.
"Lanjutkan ceritamu, setelah kau bercerita barulah gantian aku bercerita…" ujar Aki ini sambil tertawa.
"Maaf…" sahut Jaka tersipu karena maksud hatinya ketahuan, pemuda ini memang ingin tahu dari mana Aki itu bisa membuat barisan gaib Lima Langit Menjaring Bumi.
"Karena saya sangat tertarik, maka kitab itu saya pelajari sampai tuntas. Seluruh perubahan dan bagaimana kelihayannya, saya ketahui dengan jelas.” Jaka berhenti sesaat, dia memutuskan apakah akan menceritakannya atau tidak, akhirnya dia memutusakan untuk bercerita sekelumit saja. “Kemudian pada kitab kedua tercantum ilmu pengobatan, dalam sampulnya tertulis Selaksa Racun, Selaksa Dewa, Selaksa Malaikat, Selaksa Hidup Mati. Kitab pengobatan itu tebal sekali, mungkin sampai satu jengkal. Saya menguasainya lebih lama dari yang lain, hampir satu setengah tahun.”
“Oh…” Ki Lukita terperanjat, sekalipun pemuda didepannya membual, tapi kabar berita adanya kitab pengobatan itu bukanlah suatu kabar yang beredar murahan. Hanya angkatan sesepuh saja yang masih ingat adanya kitab itu. Tapi bagaimana pemuda itu tahu? Seandaianya dia berkata benar, berarti dibalik semua itu masih ada latar belakang persoalan yang rumit. Jika Jaka berbohong, dari mana di tahu adanya kitab itu? Lalu apa motifasi pemuda ini menceritakan pada dirinya? Apa keuntungannya? Pikir punya piker, kakek ini merasa Jaka tidak memiliki keunutungan dengan menceritakannya. Ki Lukita menghela nafas panjang perlahan-lahan, sungguh tidak kecil kejutan yang dituturkan Jaka.
“Setelah selesai menguasainya, timbul keinginan saya untuk berkelana agar bisa memanfaatkan tiga kitab yang pernah saya pelajari. Tapi orang tua saya melarang. Saya malah dijodohkan dengan gadis yang konon tercantik di kota, karena saya jenuh dan bosan dengan kondisi yang selalu serba mudah dicapai tanpa tantangan—maksud saya—semuanya begitu lancar. Pendek kata tinggal kujentikkan jari, apapun bisa dipenuhi, hidup seperti itu tidak membuat hati nyaman. Maka saya memutuskan untuk menentukan jalan hidup saya sendiri. Setelah memutuskan pertunangan, saya pergi…"
"Bagus-bagus sekali," ujar Aki ini tertawa kering, maklum saja dia masih terkesima dengan kitab-kitab kuno, yang dituturkan Jaka.
"Dan begitulah… akhirnya saya merantau kesana kemari, saya berharap dapat menjumpai peristiwa-peristiwa hebat, seperti yang ditulis dalam kitab syair, tentang pertarungan, tentang kisah roman, tentang semuanya…" sambungnya lagi—tentu saja itu tidak sepenuhnya benar.
Tapi diam-diam Jaka heran, kenapa ia mau bercerita begitu gambling, apalagi yang ia ceritakan termasuk rahasia besar dunia persilatan (kalau mau disebut begitu). Apa mungkin karena penampilan Ki Lukita bisa membuat orang mempercayakan ‘sesuatu’ padanya? Entahlah, yang jelas pemuda ini merasa tidak ada salahnya menceritakan sekelumit dirinya pada orang tua itu. Perkara apakah keputusannya salah, itu urusan nanti!
”Hm…" suara Ki Lukita membuatnya tersadar dari pikiran yang berbelit-belit. "Jadi kau sama sekali tidak memiliki guru?" tanya Aki itu menyimpulkan.
"Hakikatnya selain guru sastra, saya memang tidak memiliki guru lain."
"Apakah kau membekali senjata saat merantau?"
"Bisa dibilang ada bisa dibilang tidak, betapapun saya tidak suka berkelahi dan saya juga tidak suka melukai orang karena itu saya lebih suka tak bersenjata. Tapi beberapa waktu lalu saya lebih merubah kebiasaan, saya menggunakan tongkat sebagai senjata, ya… hitung-hitung tongkat tersebut bisa membantu kalau ada kejadian diluar dugaan."
Mendengar uraian pemuda itu wajah Aki ini terlihat riang.
"Lalu dalam perantauanmu itu apa yang pernah kau perbuat?" tanya Aki ini lagi. Mendengar pertanyaan Aki itu, pemuda ini ragu apakah perlu dia ceritakan kejadian sesungguhnya atau tidak sama sekali. Setelah menimbang beberapa saat dia memutuskan untuk tidak menceritakannya.
"Ah, saya hanya mondar-mandir kesana kemari, kadang kala menetap di sebuah kota untuk berapa lama lalu meneruskan perjalanan kembali."
Aki itu manggut-manggut. "Oh ya, mengenai ceritamu tadi, aku sangat tertarik dengan cerita tiga kitab yang kau temukan, apakah setelah kau pelajari seluruhnya lalu kau musnahkan?"
"Eh, Aki tahu hal itu?" pemuda ini malah balas bertanya, kelihatannya begitu polos.
"Hh…" Aki Lukita menghela nafas panjang. "Aih, benar-benar anak yang baru turun gunung," pikirnya sambil menggelang kepala. “Coba kalau orang lain yang dia temui, mustahil tidak akan kepincut mendengar tiga kitab yang menggemparkan insan persilatan itu.”
"Ada apa Ki?"
"Tahukah kau mengapa kau harus cepat-cepat memusnahkannya?"
"Saya tidak tahu, tapi pada tiga kitab itu selalu disinggung bahwa setelah saya dapat menguasai bab pertama atau selanjutnya, bab itu harus dibakar musnah. Menurut beberapa orang tua, bahwa mempelajari sesuatu itu, berarti; sesuatu itu adalah guru kita, karena kitab itu menganjurkan begitu maka sayapun tidak membantah, lagi pula saya pikir alasannya bisa dipahami."
"Jadi kau sama sekali tidak tahu alasan sebenarnya?" Ki Lukita bertanya dengan menekankan pada kata terakhir.
"Hm…" Jaka berpikir sejenak. "Saya pikir mungkin sebagai cambuk, sebab bagi orang yang mempelajari tidak dengan serius biarpun sudah hafal tentu akan lupa kembali. Karena disebutkan bahwa; tiap bab yang sudah dipelajari harus dibakar, maka mau tak mau bab tersebut sudah dihapal mati."
"Memang itu salah satu alasannya, apakah kau tahu alasan yang lain?"
"Tidak." sahut Jaka singkat.
"Sebab kitab itu merupakan mustika pusaka yang banyak diperebutkan orang,"
"Lho…" pemuda ini terperangah-begitu kelihatannya.
"Tahukah kau bahwa ilmu silat yang kau pelajari merupakan salah satu pusaka dunia persilatan?"
"Hah, masa?" Ujar pemuda, beberapa tahun berkelana, tahulah dirinya bahwa di dunia persilatan ada dimaklumkan sembilan ilmu sakti, yang katanya menjadi mustika tak terkalahkan—Jaka selalu mencibir bila mendengar kabar itu. Tapi selama itu dia tidak tahu apa nama sembilan mustika ilmu silat—atau mungkin Jaka memang enggan mencari tahu. Bahwa dia menguasai ilmu yang dia cibir, sungguh diluar dugaan.
"Kalau dari keteranganmu tadi, ilmu yang kau pelajari adalah Hawa Bola Sakti."
"Hawa Bola Sakti?"
"Benar, ilmu itu termasuk dalam sembilan mustika ilmu silat dunia persilatan. Karena kau memperolehnya secara kebetulan, maka kuanjurkan padamu jangan sekali-kali memperlihatkan ilmu itu sembarangan. Sebab bila orang lain tahu, maka para sesepuh dan petugas yang menjaga sembilan mustika ilmu silat akan memburumu dan meminta kembali ilmu silat itu."
"Masa begitu serius?" ujar pemuda ini dengan wajah tercengang, ia tahu arti dari 'meminta kembali ilmu silat' tak lain adalah tidakan memunahkan kepandaiannya. Tentu saja tindakan itu kelewatan, tapi mau bagaimana lagi?
"Tentu saja serius, bahkan orang dari golongan hitam dan golongan putih selalu mengindahkan peraturan tersebut tanpa kecuali. Bahkan ada peraturan dari Dewan Penjaga Sembilan Mustika, bahwa bagi siapa saja yang mengetahui dan dapat menangkap seseorang yang bisa menggunakan sembilan ilmu mustika tanpa sepengetahuan Dewan Penjagaan Sembilan Ilmu Mustika, maka orang itu akan diberi imbalan sejurus ilmu sakti..."
"Wah, kalau begitu aku tidak boleh memakainya sembarangan." Gumam Jaka.
"Benar sekali,"
“Untung sekali selama ini saya tidak pernah menggunakannya walau sekali.” Tentu saja berkata seperti itu untuk membuat Ki Lukita tenang. Memang ia tak pernah mengeluarkannya… selain tiga kali, atau mungkin lebih? Entah juga, dia memang enggan menghitung. Sebab dihitung ataupun tidak, bagi Jaka tak ada bedanya.
"Syukurlah." Sambut Aki Lukita.
"Ki, apakah ilmu yang ada terdapat kata Sumsum dan Salju termasuk dalam sembilan ilmu mustika?" tanya Jaka lagi.
"Apa kau bilang?" seru Aki ini terlonjak kaget. "Kau menguasai Hawa Dingin Penghancur Sumsum dan Badai Gurun Salju?"
"Apa itu nama lengkap ilmu dengan potongan kata Salju dan Sumsum?"
Ki Lukita memandang wajah Jaka tak berkesip sambil mengangguk.
"Ya, saya memang menguasainya, keduanya termasuk sembilan ilmu mustika?"
Aki itu menggelang-geleng perlahan. “Anak macam apa dia ini? Kenapa ilmu yang begitu rumit dan belum tentu sempurna walau dipelajari dua puluh tahun bisa dia kuasai? Ada dia hanya membual?” pikir Ki Lukita.
"Syukur jika bukan…" gumam pemuda ini.
Ki Lukita menyeringai, antara rasa percaya dan tidak. "Dua ilmu itu justru merupakan bagian dari sembilan pusaka ilmu silat."
"Kenapa Aki tadi menggeleng?" tanya pemuda ini heran.
"Aku menggelang karena tak habis pikir, cara bagaimana kau mempelajari tiga ilmu silat yang amat rumit itu."
Jaka hanya mengangkat bahunya. "Saya belajar sama seperti orang lain belajar itu saja.” Jawab Jaka. “Jadi bagaimana baiknya?" tanya pemuda ini merasa diluar dugaan.
"Tak usah takut, aku tak bakal melaporkanmu.”
“Bukan begitu maksud saya…”
“Aku paham, terus terang saja kukatakan padamu, kalau aku adalah satu orang yang menguasai satu dari sembilan pusaka ilmu silat."
"Ah..." desah Jaka terkejut. "Aki mempelajari ilmu apa?"
" Tapak Naga Besi." sahut Aki itu datar.
"Oo... tapi kenapa Aki membuka rahasia pada saya?" tanya Jaka beruntun, sebab ia merasa sangat janggal. Masa baru kenal belum lagi setengah hari, sudah bicara blak-blakan, dan pembicaraan mereka menyangkut rahasia besar pula. Aneh bukan?
Kakek wajah ramah itu tertawa ringan, "Aih, kau tidak tahu hati orang tua. Jika kau melihat ada orang yang sudah kau ketahui hitam-putihnya, tentu kau akan mudah menentukan sikapmu pada siapapun. Begitu juga aku, aku yakin dengan penilaianku padamu—semoga begitu. Dan sesungguhnya yang harus bertanya seperti kau ini adalah aku, mengapa kau begitu percaya padaku? Apa kau tidak kawatir kalau pusaka-pusaka yang pernah kau pelajari akan kurebut atau beritanya akan kusiarkan? Apa kau tidak kawatir kalau wajah ramahku merupakan kedok untuk memancing keluar semua rahasiamu?"
Jaka tertegun mendengar perkataan Ki Lukita, pemuda ini menggaruk kepalanya. "Saya memang kawatir. Terus terang saja, saya juga berpikir demikian, tapi entah kenapa saya percaya begitu saja… mungkin karena sifat jelek saya."
“Sifat jelek?”
“Kadang orang menganggap saya bodoh, karena selalu berpikir tiap orang bisa dipercaya. Kadang kala, bahkan menceritakan hal-hal yang tidak perlu, yang mungkin bisa dikategorikan rahasia.”
“Kau tidak takut dengan sikap itu bisa menjadi bumerang bagimu?” tanya Aki ini heran, rasa sukanya pada pemuda itu bertambah lagi.
“Tentu saja takut, tapi saya selalu berkeyakinan jika saya berada dipihak yang benar, apapun rencana orang pasti bisa saya atasi. Entah itu keyakinan berlebihan, atau lantaran saya belum pernah mengalami masalah lebih pelik. Tapi selama ini perhitungan saya belum pernah salah, semoga saja…”
“Belum pernah salah?”
“Syukurlah sejauh ini, belum sama sekali.” Ujar Jaka menegaskan, tanpa bermaksud sombong.
Kembali Aki ini tertegun, belum pernah salah sama sekali? Sungguh kata-kata yang kedengaran sombong itulah, yang ingin dia tanyakan. Dengan demikian, Jaka seperti mengatakan kalau sudah banyak hal yang membuat dirinya waspada, selalu bisa menaklukkan orang yang menjebak dirinya? Apa memang benar begitu? Sangat banyak pertanyaan yang mungkin akan dilontarkannya, tapi dia tahu itu kurang etis, tak sopan, dan lagi pula jika ia menanyakannya, sama saja dia ingin tahu seluk beluk si pemuda, itu kan serupa orang memancing ikan tapi tak pakai umpan? Atau bahkan tidak pakai kail? Mana bisa?
“Mudah-mudahan memang begitu seterusnya.” Akhirnya ia cuma bisa mengatakan itu saja.
“Saya harap demikian, tentu saja bukan lantaran mengandalkan keberuntungan semata.”
Ki Lukita tertawa menanggapi perkataan Jaka, namun belum lagi ia bicara, Jaka sudah menyambung pembicaraan semula.
"Ki, selain keempat ilmu yang sudah Aki sebutkan, bagaimana dengan ilmu lain yang termasuk sembilan mustika pusaka silat?"
"Masih ada Ilmu mustika Api Pembakar Dunia, Pasir Awan Hitam, Naga Beracun, Hawa Mayat Tanpa Batas dan Jari Maut Tanpa Tanding."
"Jadi, bisa dikatakan keselamatan saya senatiasa terancam jika menggunakan ilmu mustika tanpa seijin Dewan Penjaga? "
"Tentu saja, kalau kita harus pikirkan akibat buruknya, keselamatanmu senantiasa terancam! Jadi berhati-hatilah bertindak…"
Mendengar ucapan Aki, pemuda ini tidak menjadi cemas, kelihatannya dia tenang-tenang saja, malah tersenyum pula. "Air dimanapun juga tetap air, kenapa musti kawatir? Kalau memang keadaannya begitu rupa, aku tidak perlu cemas," gumam pemuda ini.
"Tak perlu khawatir?" ujar Aki itu tak mengerti.
"Ah," pemuda ini tersadar bahwa Aki Lukita mendengar ucapannya. "Tentu saja serupa air…”
“Serupa air?”
“Benar, bisa atau tidak bisa ilmu silat, serupa orang diam tak bergerak, dua orang yang berbeda itu sama-sama perlu makan dan minum.”
Ki Lukita melegak. “Kau maksudkan tidak perlu kau menggunakan ilmu silat?”
Jaka tertawa, “Hampir benar,” mendengar jawaban Jaka, merahlah wajah Ki Lukita, sungguh dia merasa gemas. “orang makan-minum tidak perlu ilmu silat, orang tidur juga tidak memerlukannya. Bukankah lebih mudah menghindari apapun jika memang hati kita ingin menghindarinya?”
“Oh, apa kau bermaksud mengatakan kalau tanpa menggunakan ilmu silat kau bisa hidup di dunia persilatan?”
“Benar, maksud saya, sayangnya jawaban saya memang seperti itu.”
“Apa kau gila?” tanya Ki Lukita dengan kening berkerut.
Jaka tertawa lagi, sungguh, diapun merasa heran dengan situasi akrab yang tercipta diantara mereka. Padahal berkenalan satu jampun belum ada “Tentu saja saya tidak gila. Maksud saya, dengan menghindari segala macam urusan, kita tidak perlu berkelahi? Apa susahnya?"
Ki Lukita tercengang, apalagi istilah bertarung mempertahankan hidup—di rimba persilatan—dirubah ‘berkelahi’, tentu saja itu merendahkan arti mempertahankan jiwa. “Kau ini aneh. Memang ada beberapa orang berpikiran begitu, dan ada yang lolos dari banyak persoalan saat ia bekecimpung di dunia persilatan. Tetapi, ada sementara urusan yang tak perlu kau urusi, mau tak mau kau harus turut campur." Kata Aki Lukita sambil tertawa. "Kau menguasai ilmu silat, tetapi kau tak mau berkelahi, suatu saat, ada orang yang membutuhkan pertolonganmu, apa kau hanya diam saja?”
“Tentu saja tidak, saya kan punya mulut, tinggal berteriak minta tolong saja kan beres?” ujar Jaka sambil tertawa.
“Sinting…” seru Ki Lukita merasa gemas. “Kalau begitu apa gunanya kau belajar ilmu silat?”
“Tentu saja ada gunanya, kalau tidak terlihat orang, kita bisa berolah raga dengan ilmu silat untuk membuat tubuh sehat, bukankah itu lebih berguna?”
“Busyet!” seru Ki Lukita sambil terbahak. Sungguh bercakap-cakap dengan Jaka, dirinya merasa dua puluh tahun lebih muda, gregetan benar hatinya, mana geli, jengkel, tapi juga kagum, sungguh dia merasa gemas dengan pemuda itu.
“Mungkin kau memang tidak ingin berkelahi, tapi apakah bukan mustahil orang mengajak kau berkelahi?" Ki Lukita kembali mendebat.
"Benar juga..." ujar pemuda ini, membuat Aki ini tersenyum merasa menang. "Tapi kalau kita selalu berbuat baik, memangnya ada orang yang mengajak kita berkelahi?”
Ki Lukita melongo mendengar jawaban Jaka. Ia menggeleng kepalanya merasa gegetun, benar-benar anak sialan, pikirnya gemas. “Kebaikan menurutmu, tapi mungkin juga menjadi kejahatan bagi orang lain.”
“Masa? Misalnya menolong orang yang hendak dirampok termasuk kejahatan?” Jaka juga menjawab tak mau kalah.
“Tentu saja tidak, tapi dari pandangan si perampok itu, kau telah mencapuri urusannya, dan kau dipandang jahat oleh penjahat itu.”
Jaka tertawa mendengarnya. “Logika bengkok.” Ujarnya geli. Ki Lukita juga tertawa—tertawa masam, mendengar ucapan Jaka. “Tapi jika kita menghindar dan melarikan diri kan tidak apa-apa?"
Mendengar ucapan pemuda didepannya, Aki Lukita menghela nafas perlahan, "Sungguh pemuda yang naif, aku malah khawatir dia lebih banyak celakanya dari pada selamat kalau cara berpikirnya demikian." Ujar Aki ini dalam hati, rupanya dia mengalah.
"Kau bicara seperti itu seolah memiliki pegangan kuat. Apa kau memiliki sesuatu yang bisa kau andalkan untuk menghindari perkelahian?" Aki ini bertanya sambil lalu, tanpa bermaksud menanggapi ucapan Jaka tadi—dan rasanya dia juga enggan mendebat Jaka lagi.
"Memang benar," jawaban pemuda ini di luar dugaan Ki Lukita. "Saat mempelajari formasi barisan kuno, terpikir oleh saya untuk menciptakan sebuah gerakan langkah untuk menghindari serangan. Saya rasa itu lebih bermanfaat dari pada menghamburkan tenaga untuk bertarung."
Kali ini, ucapan Jaka benar-benar membuat Ki Lukita kaget, sebab untuk menciptakan sebuah ilmu biarpun inti sarinya diambil dari ilmu yang sudah dikuasai, bukanlah pekerjaan gampang. Memang banyak juga orang yang bisa menciptakan gerakan-gerakan silat, tetapi jika gerakan itu tak mampu dilakukan dan kualitasnya pun rendah, jika digunakan bertarung, bukankah serupa ular cari penggebuk?
Lagi pula sampai saat ini yang dapat menciptakan hal seperti itu hanya tokoh besar yang kerjanya bersemadi untuk mendapatkan ilham dalam menciptakan ilmu, sudah tentu ilmu itu berkualitas tinggi. Tapi dengan entengnya anak muda yang baru berusia dua puluh tahun itu mengatakan bahwa dia menciptakan ilmu langkah? Segampang itukah? Memangnya seperti orang jualan pisang?
Tapi jika melihat fisiknya, dan dari percakapan mereka tadi yang menyiratkan kecerdikan pemuda itu, dia yakin Jaka merupakan pemuda berbakat. Tapi bakat tidak cukup untuk mencipta suatu ilmu berkualitas tinggi, sebab penciptaan seperti itu juga harus membutuhkan ketenangan jiwa, karsa, dan rasa yang sempurna. Dan kemungkinannya kini hanya fifty-fifty, apakah ilmu yang diciptakan Jaka tinggi kualitasnya atau rendah?
Hakikatnya yang menilai apakah suatu ilmu ciptaan itu tinggi atau rendah, hanya lawan yang pernah bergebrak dengannya saja yang bisa menilai. Lalu apa kata lawan-lawan Jaka? Sungguh inilah pertanyaan menggelitik yang ingin segera diketahui jawabannya.
Aki Lukita tertegun sampai sekian lama. Saat memperhatikan Jaka dengan benar-benar barulah hatinya dapat diyakinkan, mata pemuda itu jernih dan menyorot hangat, itu menandakan Jaka adalah pemuda cerdas, dan menurutnya juga berjiwa terbuka—itulah point terpenting, pikir Ki Lukita, berjuwa lurus dan terbuka!
Pernahkah kau mendengar teori hakikat ilmu, mungkin bisa juga disebut sebagai tataran menuju satu tingkat lebih tinggi, yakni; Jika jiwamu lapang, apapun yang kau kerjakan selalu membuahkan hasil terbaik, dan jika hatimu lurus, apapun yang kau pelajari akan sampai pada tujuan akhir.
Terlepas dari ujian apa yang diberikan Tuhan bagi orang berjiwa lurus, jika dia berhasil melewatinya dengan ikhlas dan sabar, maka sampailah dia pada suatu karuni yang besar, dan lebih besar lagi. Tapi, bukan hal mudah untuk mencapai tataran itu. Berapa banyak orang yang sudah hampir menyentuh tataran itu kembali terlempar dari awal, saat itu mereka tergoda, harta, wanita, tahta, dan banyak alasan lain...
Mungkin banyak orang, sama berpikir kalau pada saat mencapai tataran menentukan, suatu ketika ia ditimpa azab—cobaan—dari situlah baru bisa diketahui, apakah dia akan terus maju atau mundur, jika maju apakah ‘sesuatu’ yang diperolehnya berkualitas atau tidak. Hal inipun bersangkutan dengan penciptaan sebuah ilmu; semakin kau sulit untuk melangkah maju, semakin terbuka sebuah hasil maksimal yang bisa kau raih. Masih banyak hal yang menyangkut tentang penciptaan sebuah ilmu, dan itu sangat rumit.
Tapi dengan mudahnya seorang ‘bocah’ berkata, ‘...terpikir oleh saya untuk menciptakan…’ sungguh tidak bisa dipercaya.
Berpikir bolak-balik seperti itu, membuat kepala Ki Lukita pusing, apa perkataannya benar, bisa dipercaya? Dia bertanya dalam hatinya berulang kali. Seharusnya, Ki Lukita bisa saja mengutarakan pertanyaan itu, tapi rasanya berat, lagipula kurang etis. Tapi akhirnya Ki Lukita hanya berkata,
"Kalau begitu bagus..." Memang cuma itu yang bisa dikatakannya, memangnya dia bisa berkata apa lagi, apa dirinya harus berkata; Ah, yang benar? Ah, mana mungkin? Justru ucapan seperti itu akan meragukan kapasitas dirinya, sebagai seorang sesepuh yang waspada. Perkara orang mau bicara bohong atau tidak, bukan urusannya. Berpikir begitu, redalah rasa penasaran hatinya.
Jaka manggut-manggut. "Saya pikir juga begitu Ki, selama berkelana saya pernah menghadapi beberapa orang, dengan menggunakan olah langkah itu, dan berhasil. Senang rasanya, jerih payah sebulan memeras tenaga dan pikiran, ternyata menghasilkan manfaat besar. Dengan begitu, bukankah saya tidak perlu memukul orang?"
Aki Lukita mengangguk. Kalau tadi dia sudah cukup kaget, kali ini ‘terpaksa’ mengurut dada, cuma sebulan? Setengah tahun mencipta sebuah ilmu, termasuk manusia jenius, tapi dalam jangka sebulan? Manusia macam apa dia? Seharusnya dengan kepintaran dan hati lurus seperti itu, pemuda ini tentunya tahu, mana yang harus ia lakukan dan mana yang tidak. Tapi dengan pedoman bahwa ia tidak mau menyakiti orang lain, mungkin saja siasat licik lawan yang dia ketahui, bukannya dihindari, tapi mungkin saja dia sengaja masuk dalam siasat lawan. Ah, anak yang rumit! Pikirnya.
"Jika dilihat dari segi menghemat waktu, mungkin kau kurang memperhatikan," kata Aki ini melanjutkan kritiknya.
"Maksud Aki?"
"Kau tidak ingin memukul dan melukai lawanmu, tapi apakah lawanmu juga akan melakukan hal seperti itu? Kalau kau memukul dengan salah satu gerakan dari tiga ilmu pusaka dunia persilatan, bukankah orang akan segera mengetahui? Karena itu tindakanmu yang hanya menghindar saja mungkin akan mendatangkan celaka yang lebih besar untukmu."
"Ucapan Aki ada benarnya," pemuda ini merenung sesaat, lalu ia mengela nafas panjang. “Tapi, peringan tubuh saya cukup bagus. Jika saya lari—menghindari musuh saya, kan tak jadi soal.”
Ki Lukita melegak. Anak aneh, pikirnya merasa geli. Bagi kebanyakan jago muda, lari dari lawan adalah pantangan—itu hal hina dan memalukan. Bahkan kebanyakan dari mereka berpendapat; apapun yang menghalangi langkahnya akan dihadapi dengan cara apapun. Ya, sifat khas seorang yang masih hijau. Belum berpengalaman. Tapi Jaka? Dia mengatakan seolah tidak perduli jika orang mengatakan dirinya pegecut, atau penakut. Dengan kata lain pemuda ini tak perduli dengan harga dirinya. Anak yang unik, pikir Ki Lukita.
“Bagaimana jika lawanmu bisa mengejar?” Tanya Ki Lukita.
"Ya, kemungkinan ini memang ada. Tapi, jika serangan lawan selalu bisa dihindari, bukankah itu cukup bagus?”
Ki Lukita menggelengkan kepala. “Kau bisa menghindarinya, sudah tentu bagus! Tapi jika suatu saat kau dikejar waktu, apakah seterusnya kau harus melayani pertarungan yang tak berkesudahan itu?”
Jaka tersenyum. “Seandainya saya menciptakan jurus serangan dengan dasar ketiga ilmu pusaka, apakah ada kemungkinan orang akan tahu induk ilmunya?”
“Tentu saja, tetapi kau tak perlu kawatir, sebab kemampuan untuk mengetahui sebuah gerakan bersumber dari ilmu apa, hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya.” Sambung Ki Lukita. “Dan kukira itu jarang dimiliki kebanyakan orang persilatan.”
Jaka manggut-manggut. “Terima kasih atas pemberitahuannya. Pendek kata, saya akan berhati-hati dalam semua tindakan. Sekali lagi terima kasih."
Aki ini tertawa mendengar ucapan pemuda didepannya. "Kalau kau berperinsip berhati-hati dalam tiap tindakan, itu juga lebih baik." Sahut Aki Lukita agak mengambang perkataannya, sepertinya Aki ini sedang mempertimbangkan sesuatu.
”Ki…"
"Ada apa?"
"Menurut Aki apakah tujuh barisan dan ilmu pertabiban yang saya dapatkan juga merupakan pusaka berharga?" Jaka bertanya serupa orang menguji.
"Tentu saja, anak bodoh!" seru Aki Lukita sambil tertawa lebar. Jaka tidak merasa tersinggung, justru ia merasa heran kenapa hatinya terasa hangat, seolah kakek itu sama seperti orang tua sendiri.
Melihat Jaka diam saja, Ki Lukita tersenyum ramah, ia melanjutkan ucapannya. "Apakah kau tidak bisa menebak dari pelajaran yang terkandung didalamnya? Tujuh formasi barisan itu memang termasyur pada jamannya, sebagai tujuh barisan kuno yang berdaya gaib tak tertembus. Aku tidak tahu bagaimana hebatnya kelima barisan yang lain, tapi kalau Lima Langit Menjaring Bumi termasuk diantaranya, dapat diduga lima barisan lainnya benar-benar hebat…”
“Lima?” potong Jaka bertanya.
“Ya, kami menguasai dua macam barisan.”
“Hanya dua? Kenapa bisa begitu?”
“Banyak lika-likunya, lagi pula mempelajari ilmu barisan jauh lebih sulit dari mempelaji ilmu silat. Karena ilmu barisan termasuk ilmu pasti, juga berunsur mistik, gaib. Kau tahu perbintangan?”
Jaka mengangguk. “Sedikit…”
“Begitulah prinsip ilmu barisan dibuat.”
“Oo…”
“Sedangkan,”
“Tunggu, tadi Aki katakana ‘kami’ apa maksudnya?” tanya Jaka memotong penjelasan Aki itu.
“Kenapa kau harus bertanya? Kau bisa menebak sendiri, atau bahkan bisa menyimpulkan sendiri, bukan? Malah bisa jadi kau sudah tahu sejauh yang harus diketahui?” ujar Ki Lukita tertawa penuh kemenangan.
Jaka menghela nafas. “Mungkin...” sahutnya tanpa semangat.
“Kulanjutkan penjelasanku,”
“Silahkan.”
“Sedangkan kitab pertabiban yang kau dapatkan, juga merupakan pusaka luar biasa. Kau tahu, dulu, pada masa dua abad silam, dunia persilatan dilanda kerusuhan yang luar biasa besar,"
"Sebab apa Ki?" kembali Jaka memotong ceritanya, kelihatannya dia merasa tertarik.
"Tentu saja disebabkan kitab yang kau pelajari itu! Tapi saat itu, kitab yang kau pelajari belum lagi ada, sumber dari kehebohan adalah munculnya seorang tabib yang amat piawai di bidangnya, juga amat lihay dibidang tata formasi barisan. Ada pameo memuji kehebatan si tabib, yakni; ‘asal masih tersisa nafas, tiada penyakit yang tidak bisa disembuhkannya’. Namun tabib itu memiliki sikap sangat aneh, ada kalanya ia tidak mau mengobati orang, padahal sakit yang dideritanya belum tergolong parah. Tiada satu pun orang yang mengetahui sebab apa tabib tersebut kadang tak mau mengobati orang. Hingga puluhan tahun kemudian orang baru tahu apa sebab tabib itu tidak mau mengobatinya, alasannya cuma satu, yakni dia tidak ingin menentang takdir! Sebab selain mengetahui pertabiban, dia juga sangat lihay dalam perbintangan, dan pandai meramal. Sehingga ia tahu pasien mana yang harus di sembuhkan dan mana yang tidak perlu, karena kematian memang sudah takdirnya,"
“Takabur…” gumam Jaka.
“Ya, namanya juga tokoh bertabiat aneh. Walau ramalannya tak selalu benar, tapi ada juga yang tepat.”
"Tapi apa yang membuatnya menjadi kerusuhan? Lalu apa sebabnya kitab tabib itu disebut Selaksa Racun-Selaksa Dewa-Selaksa Malaikat-Selaksa Hidup-Mati?"
"Tunggu saja, nanti toh aku ceritakan… kalau cuma kejadian macam itu tentu belum seberapa menghebohkan orang. Pada saat tabib itu menjelang tua, dia mengambil tiga orang anak berusia lima, enam, dan delapan tahun, untuk dijadikan murid. Singkat cerita setelah murid-muridnya dewasa, tabib itu melepas mereka untuk berkelana mencari pengalaman. Mereka sudah menguasai semua ilmu pertabiban sang guru. Tapi, kadang yang disebut- bahwa guru tidak menurunkan semua kepandaian, ada kalanya benar. Ternyata sang tabib ini menyisakan tiga bagian ilmunya. Saat tiga orang muridnya tahu bahwa sang guru belum mengajarkan semua ilmunya, hati mereka jadi sirik. Namun diluarnya mereka bertiga seperti murid-murid alim yang patuh,"
"Dengan maksud bagaimana, tabib itu tidak mengajarkan semua ilmunya?" pemuda ini memotong cerita.
"Karena dia kenal watak murid-muridnya. Murid tertua memiliki watak angkuh dan sombong, murid kedua licin, dan licik sedangkan murid ketiga pendendam, dan kejam. Tentu saja sejak mereka kecil, sang tabib sudah tahu watak dasar mereka. Sejak semula ini memang berpegang teguh pada prinsip tidak ingin menentang takdir, tapi melihat tiga anak yang amat berbakat itu, dia memutuskan menentang kebiasannya."
"Maksudnya, tabib itu sengaja mendidik mereka bertiga agar semua sifat jelek mereka hilang?"
"Benar! Hanya saja, perhitungan manusia memang tidak bisa mengungguli takdir Tuhan. Bukan saja watak tiga muridnya jadi hilang, justeru apa yang selama ini diajarkan sang tabib menjadikan ketiga muridnya menjadi orang yang sanggup tersenyum diatas derita orang lain, pendek kata mereka luar biasa munafik. Diluarnya saja mereka tersenyum dan bermanis muka, padahal didalam hatinya memendam kebencian yang luar biasa, orang persilatan mencaci kaum munafik macam itu dengan pameo menyembunyikan golok dibalik senyum… setelah dua tahun turun gunung, dalam dunia persilatan timbul badai besar yang amat mengerikan,"
”Apakah ditimbulkan tiga murid tabib itu?"
"Benar, memang tiga orang itulah yang menyebabkan semua kerusuhan. Murid tertua menjuluki dirinya Tabib Malaikat, murid kedua Tabib Dewa sedangkan murid ketiganya adalah…"
”Maha Racun?" sahut Jaka dengan mendadak.
"Benar, kau tahu dari mana?" serunya heran.
”Waktu saya membaca kitab pertabiban, kitab itu terbagi dalam lima bab. Bab pertama dinamakan Kehidupan Jalan Untuk Mati; bab kedua Kematian Menguatkan Hidup; bab ketiga tertulis Malaikat Menggenggam Takdir; bab kempat Dewa Menabur Benih Kehidupan; bab terakhir Semesta Maha Racun. Dari cerita Aki, saya dapat mengambil kesimpulan kalau yang menulis bab ketiga adalah murid pertama bab keempat adalah murid kedua sedangkan bab terakhir ditulis murid ketiga…"
Aki itu manggut-manggut, "Kalau menilik judul babnya mungkin saja benar. Tiga orang itu memang sangat tinggi hati dan congkaknya bukan kepalang, tapi jika menilik kelihayan mereka yang amat termasyur, tak heran mereka menyombongkan diri. Aku tidak kaget jika mereka menamakan kitabnya dengan nama muluk-muluk,"
"Kitab?" tanya pemuda ini heran.
"Apakah kau tidak memperhatian bahwa mungkin saja kitab yang kau baca itu sesungguhnya gabungan dari lima buah kitab?"
Jaka berpikir sesaat seperti menimbang sesuatu, lalu mengerutkan kening sejenak, "Rasanya benar, setiap kali saya membaca ulang bab pertama dan kedua, tidak ada hubungan sama sekali, demikian juga dengan bab berikutnya, seperti bagian tersendiri. Lalu bagaimana kelanjutan kisah tadi?"
Dengan menghembuskan asap rokok kuat-kuat, Aki Lukita meneruskan ceritanya. "Tiap orang murid itu berkelana, tapi setelah dua tahun tindakan mereka benar-benar membuat dunia persilatan banjir darah. Rupanya mereka sudah bersepakat dalam tiap tindakkan. Murid tertua mengguncang daerah selatan, murid kedua membuat banjir darah di utara, dan murid ketiga membuat situasi makin rumit didaerah timur, tindakan mereka benar-benar telegas, sayangnya tiada satupun tokoh sakti yang sanggup menghentikan tindakan brutal itu…"
"Eh, bukankah Aki tadi menceritakan kalau guru tiga orang itu tidak memiliki ilmu silat? Bagaimana muridnya bisa membuat situasi jadi tak karuan tanpa seorangpun sanggup mencegahnya?" Pemuda ini bertanya dengan serius.
"Memang mereka tidak memiliki ilmu silat, tapi semenjak kecil guru mereka mengajarkan ilmu perbintangan, ilmu bangunan dan berbagai macam kemahiran yang lain. Dalam dua tahun itu, dengan mengandalkan kecerdasan otak mereka, akhirnya mereka sanggup membuat begitu banyak ragam racun, yang sangat ditakuti kalangan persilatan. Salah satu karya murid tertua adalah Bubuk Pelenyap Sukma, jika ada orang yang terkena benda itu, dalam jangka waktu beberapa hitungan saja takluk! Apa yang dikatakan tuan mereka, tidak dapat ditolak.
“Oh, sejenis obat bius…”
“Benar, tapi lebih sadis.” Ujar Ki Lukita. Lalu ia meneruskan,
“Murid kedua membuat Pil Pembuyar Nyawa, apabila menelan pil ini dapat dipastikan hidupnya berakhir begitu saja setelah mengalami penyiksaan berat selama satu bulan—sungguh mengerikan. Dan murid ketiga menciptakan Racun Sembilan Belas Aroma, kupikir ini racun paling mematikan diantar ketiganya. Siapapun yang terkena, bila ia membaui sesuatu yang agak menyengat, dengan sendiri ia akan gila dan mati perlahan-lahan. Sungguh harus di akui kejeniusan orang-orang itu…”
“Ya, sayangnya terlalu pintar membuat mereka tak sadar dengan perbuatannya sendiri! Hh, mereka tidak memandang sebelah mata orang lain.”
Ki Lukita membenarkan pendapat Jaka.
“Lalu apa reaksi para penguasa dan pendekar silat masa itu?”
Kakek ini mengakat bahunya. “Siapa yang tahu? Kurasa yang mengetahui kisah sebenarnya hanya keturunan orang-orang yang dekat dengan mereka.”
“Apa mereka tak mempunya sanak saudara? Anak atau istri?”
“Entahlah, tidak ada informasi jelas tentang itu.”
Jaka merenung sesaat, dia sangat tertrarik dengan cerita itu. Maklum saja, siapapun orangnya yang tahu ihwal sejarah tentang apa yang dia kuasai, mau tak mau jadi menaruh perhatian besar. Begitu pula dengan Jaka. Tak disangkanya apa yang dia pelajari ternyata begitu berharga.
Ki Lukita kembali bertutur sambil menghela nafas panjang. “Entah apa yang mereka pikirkan, tapi sehebat apapun mereka, manusia bukanlah mahluk abadi. Satu hal yang pasti, kematian pasti mendekat.”
Jaka mengangguk membenarkan.
“Kemunculan mereka bagai badai yang menyapu kalangan pesilat. Hakikatnya para pendekar seperti laron menerjang api saat menghadapi mereka. Beberapa dari mereka terjungkal lantaran jebakan licik, tapi lebih banyak lagi yang menderita lantaran racun.”
"Apa mereka menguasai para tokoh persilatan dengan racun?"
“Mungkin saja demikian, mengenai hal itu aku kurang begitu jelas. Tapi satu hal yang diyakini kebenarannya, sejak pertama kali mereka mencipta racun-racun laknat, belum ada yang sanggup membuat penawarnya.”
Pemuda ini mendesah, antar percaya dan tidak. Maklum, darah muda.
“Tentunya bukan cuma racun-racun itu saja yang mereka ciptakan, banyak lagi bermacam ramuan yang bermanfaat, tetapi lebih banyak bersifat keji."
“Kalau yang mereka ciptakan kebanyakan racun, apa mereka benar-benar tak terlawan? Mungkin saja para pendekar tak sanggup memunahkan racunnya, tapi mereka bisa menghindarinya?! Apakah saat itu tidak ada satupun cendekia—seorang pemikir yang bisa mengatasi siasat licik dengan siasat pula?”
"Entahlah. Kejadiannya sudah begitu lama, mengenai lika-liku masa lampau, sungguh tidak mudah mendapat kebenarannya. Mungkin kabar yang beredar di luaran sana, lebih banyak bualan dari pada kebenarannya. Mengenai tokoh cendekia, sudah pasti ada. Saat itu sudah pasti banyak pendekar cerdik, tapi sepanjang pengetahuanku, tak satupun dari mereka sanggup mengatasi rencana ketiga saudara seperguruan itu. Pada akhirnya tentu dapat diduga, mereka semua kalah. Kalau tidak mati, tentu menjadi budak. Karena itu dalam dua tahun sejak mereka turun gunung, dunia persilatan benar-benar porak-poranda."
"Oh…” Jaka tercenung takjub mendengarnya. “Lalu bagaimana dengan guru tiga orang itu, setelah mendengar kabar itu?"
"Tentu saja dia tidak berdaya apa-apa, tapi bukan berarti ia tidak berusaha. Untuk mengantisipasi tindakan tiga orang muridnya itu, satu tahun setelah mereka turun gunung ia sudah mengambil seorang murid lagi. Ilmu pertabiban orang itu sangat hebat, anak muda yang tadinya tidak tahu apa-apa dalam tiga tahun saja memiliki kepandaian sejajar dengan tiga orang murid sebelumnya,"
"Kepandaian sejajar? Maksud Aki dalam hal pertabiban?"
"Ya, juga dalam ilmu silat. Menurut cerita, dalam ilmu pertabiban orang itu, ada sebuah kemampuan membangkitkan semua daya potensi manusia yang terpendam. Karena itu sang tabib mengoperasi otak, dan membobol seluruh jalan darah tubuh murid terakhirnya, tujuannya tentu saja untuk mengeluarkan semua kepintaran dan memunculkan hawa murni dalam tubuh murid keempatnya. Tentu saja prosesnya berbelit-belit, menurut cerita hampir memakan waktu setengah tahun. Ada juga yang mengatakan satu tahun"
"Wah, hebat juga kemampuannya…" gumam Jaka kagum.
“Hebat juga?” seru Ki Lukita mengerinyitkan kening. Sekalipun itu cerita lampau dan terasa pahit jika dikenang, tapi kehebatan tiga gembong ibils dan gurunya itu tidaklah pantas diberi predikat ‘hebat juga’ yang bisa berkonotasi lumayan. “Bagaimana mungkin kau menyebut dedengkot para tabib dengan penilaian seperti itu?”
“Itukan cerita turun temurun, bisa jadi ada lika-liku lain yang sama sekali tidak diketahui. Mungkin saja sumber cerita itu menambah-nambahkan atau mengurangi keaslian cerita siapa yang tahu?”
“Benar, siapa pula yang tahu. Tapi kenapa pula kau bilang hebat juga—lumayan? Rasanya terkesan meremehkan, bagaimanapun juga tabib eksentrik itu sesepuh dunia persilatan.”
“Aki benar, mungkin saja saya kurang hormat kepada para pelaku sejarah dunia persilatan, tapi toh manfaat cerita itu tidak banyak. Paling sebagai peringatan jangan terlalu rakus kedudukan.”
“Ucapanmu memang benar. Ah, dasar anak keras kepala. Tapi yang kutanyakan dari tadi belum kau jawab.”
“Tentang lumayan tadi?”
“Ya!”
Jaka tertawa perlahan. “Aki mau jawaban basa-basi atau jawaban jujur?”
“Kau anak aneh, tentu saja jujur!” gerutu Aki ini dengan muka masam.
“Kalau begitu saya akan bertanya satu hal, menurut Aki, dalam perbandingan biasa, mana lebih hebat kemampuan guru dan murid; di misalkan sang murid sudah lama berkelana, dan mendapatkan banyak pengalaman.”
“Tentu masih lebih hebat sang guru, kecuali si murid menemukan ilmu yang lebih hebat dari yang dipelajari. Kalau memang begitu kesimpulannya, semisal si murid tak menemukan apa-apa, tapi dia mengembangkan ilmu gurunya, dengan sendirinya banyak kemajuan yang didapat.”
“Kalau begitu sekalipun satu sumber, jika yang ditemukan berbeda dengan gurunya, apa memiliki kemajuan pula?” tanya Jaka, di iyakan Ki Lukita.
“Lalu apa maksud pertanyaanmu itu?” tanya Ki Lukita.
“Apa jadinya ilmu sang guru di gabung dengan semua pengetahuan empat muridnya yang sudah berbeda dengan sang guru, jika dijadian satu?”
Ki Lukita terperanjat. “Tentu saja jadi satu kesatuan hebat, ampuh dan saling melengkapi.”
“Itu yang akan saya katakan. Kemampuan satu orang jika dibandingan dengan lima orang secara keseluruhan, maka logikanya ia hanya mengantongi seperlima bagian saja. Karena itu saya katakan lumayan. Sekalipun mereka satu sumber, tetapi pengembangannya justru jauh dari sumbernya, mereka sudah menjadi asing satu sama lain.”
Ki Lukita mengangguk paham. Kalau apa yang dikatakan anak ini benar, berarti pengetahuannya tentang pertabiban diatas Tabib Hidup-Mati, dan sang guru? pikirnya dalam hati. Apa mungkin begitu? Apakah semudah itu dia menguasai pengetahuai demikian rumit? Jangan-jangan hanya bualannya saja!”
Kalau sekedar untuk mengoperasi seperti yang dilakukan sang guru pada murid keempatnya. Akupun bisa melakukan hal itu, hanya banyak hal rumit yang aku tak sempat mencobanya, tapi aku yakin bisa. Pikir pemuda ini sambil menerawang, membayangkan kegetiran masa lalunya—yang menurutnya dari situlah dia dilahirkan jadi manusia baru...
Apapun juga, dia merasa berterima kasih pada Ki Lukita. Meski cerdas, tapi pada saat mempelajari ilmu pertabiban, bisa dikatakan hanya belajar secara membuta, keterangan Ki Lukita bisa membuka suatu kazanah baru bagi dirinya.
“Selanjutnya bagaimana Ki?”
Ki Lukita segera meneruskan ceritanya. "Memang, kalau kita tahu caranya segala sesuatu yang dianggap mustahil juga bisa dibuat… kemudian setelah satu tahun itu, akhirnya murid keempat yang masih berusia sebaya denganmu, turun gunung untuk mencari tiga orang murid murtad sang tabib. Dalam waktu dua tahun berikutnya tiga orang murid murtad itu dapat diringkus, sampai disini tidak ada cerita lagi.
“Sebab tiada seorangpun yang tahu bagaimana kisah sebenarnya, bahkan saat murid keempat meringkus tiga orang kakak seperguruannya, tiada orangpun yang tahu dimana tempat dan bagaimana kejadiannya… hanya saja setelah tiga empat tahun nama Tabib Malaikat, Tabib Dewa dan Maha Racun hilang, muncul seorang yang amat aneh sekali tabiatnya. Orang itu tabiatnya persis dengan sang tabib, guru dari tiga orang manusia laknat itu. Kau tahu julukan orang itu?" tiba-tiba saja Aki ini bertanya pada Jaka.
Pemuda ini tertegun sesaat, "Mungkin orang itu murid ke empat? Kalau benar begitu julukannya pasti Tabib Hidup Mati."
"Pintar! Memang orang itu adalah murid terakhir sang tabib, selain tabiatnya sangat aneh, orang itu benar-benar ringan tangan. Siapa saja yang kebentur dirinya, kalau tidak minta pengobatan tentu ia beri sejurus ilmu silat sakti. Tindakannya memang sangat aneh, tapi hanya beberapa tokoh saja yang tahu kenapa ia bertindak seperti itu, ia ingin menebus kesalahan tiga kakak seperguruannya. Sebab waktu itu hampir semua tokoh sakti yang masih aktif gugur semua, tindakan Tabib Hidup-Mati yang sangat royal mengajarkan ilmu-ilmu sakti pada tiap orang yang dijumpai menjadi buah bibir. Tapi sayangnya dia hanya muncul selama tiga tahun saja, namun hasil kerjanya benar-benar luar biasa. Dalam tiga tahun itu banyak bermunculan jago-jago lihay yang berkepandaian amat tinggi, dan tentunya itu semua adalah karya dari Tabib Hidup-Mati,"
"Ki, apakah tindakan Tabib Hidup Mati tidak terlalu ceroboh?" tanya pemuda ini.
"Memang sepintas kelihatan sangat ceroboh, orang yang tidak tahu akan mengira dia mungkin saja ingin menimbulkan badai dalam dunia persilatan. Tapi dia memberikan ajaran ilmu-ilmu sakti hanya pada ketutunan yang menjadi korban, saudara seperguruannya. Meski dia juga memberi satu-dua jurus pada orang lain, dia selalu meminta mereka dengan tiga syarat berat—bisa disebut tiga syarat mulia, tiga syarat itulah yang menjadi panji dari kebenaran saat itu."
"Apa itu?"
"Pertama, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, kedua tidak mendurhakai orang tua dan guru, sedangkan syarat ketiga, adalah membunuh jika patut dibunuh, mengampuni jika patut diampuni. Itulah tiga syarat Tabib Hidup-Mati,"
"Memang bagus, tapi bisa saja orang-orang itu memang mau bersumpah hanya karena kepingin ilmu sakti."
"Semula aku juga berpikir begitu," sahut Aki Lukita. "Tapi ternyata setelah orang-orang itu mengucapkan janji, Tabib Hidup-Mati memberi sebuah obat untuk ditelan setiap orang yang akan dia ajari ilmu. Menurut cerita, Pil itu bernama Pil Kebenaran, siapa saja yang meminum pil itu, konon selalu bertindak membela kebenaran, kalau ada pikiran untuk menyimpang, maka dalam jangka waktu satu bulan kematian akan segera menghampirinya."
Omong kosong macam apa itu? Batinnya tak percaya. Tapi demi menghargai cerita Ki Lukita, diluarnya di berkata. "Ah, aneh…”
“Apa anehnya?”
“Tingkahnya tak beda dengan saudara perguruannya, cuma mengatasnamakan keadilan. Menarik, dan perlu dicurigai…”
Ki Lukita manggut-manggut sambil tertawa, dalam hatinya dia tahu, Jaka memang tak mau mengakui kebesaran Tabib Hidup Mati. “Benar memang ada yang aneh. Sekalipun kau ingin melacaknya juga tak mungkin, karena kejadian itu sudah lama. Apapun yang terjadi dulu, sudah tidak ada kaitannya dengan sekarang.”
“Cuma lucu juga ada obat yang seperti itu, apa tadi, pil kebenaran?" ujar Jaka setengah tertawa.
Kakek ini menggeleng getun mendengar antipati Jaka pada tokoh yang dia kisahkan. "Kalau ada pil yang menguasai kesadaran orang, kenapa tidak ada pil semacam itu? Lagi pula Tabib Hidup-Mati memang jenius, untuk menciptakan pil semacam itu mudah baginya," Aki ini menarik nafas panjang, lalu ia melanjutkan lagi. "Setelah Tabib Hidup-Mati lenyap setengah abad, dunia persilatan dikejutkan dengan munculnya sebuah kitab,"
"Apakah itu kitab yang saya pelajari?" tanya pemuda ini tak sabar.
"Benar, itulah kitab Selaksa Racun-Selaksa Malaikat-Selaksa Dewa-Selaksa Hidup-Mati. Tapi orang lebih suka menyebutnya sebagai Kitab Racun Selaksa Malaikat-Dewa Hidup Mati, kenapa dinamakan begitu tentu kau sudah tahu bukan?" tanpa menunggu jawaban pemuda ini, Aki Lukita menyambung lagi.
"Sebab sejak kemunculan tiga orang murid sang tabib dan kemunculan Tabib Hidup-Mati, dunia persilatan bagaikan di hancur leburkan lalu dibangkitkan kembali. Arti dari Dewa Mati berarti para tokoh persilatan yang gugur di tangan tiga manusia sesat itu, sedangkan Malaikat Hidup Teracuni adalah kemunculan Tabib Hidup-Mati yang memberikan berbagai ilmu silat, namun di dasari dengan syarat dan harus menelan sebuah obat."
“…atau racun!” sambung Jaka.
“Terserah kau…” gumam Ki Lukita sembari tertawa geli.
Mendengar penjelasan tadi, Jaka terpikir sesuatu, yang dulu pernah ia curigai, tapi dia simpan rapat-rapat kembali pemikiran itu, "Lalu bagaimana dengan nasib kitab itu?"
Ki Lukita tertawa geli. "Kalau kau bertanya padaku, aku harus bertanya pada siapa? Bukankah kitab itu sudah kau pelajari?"
"Eh, maksudnya nasib kitab pada waktu itu…" kata pemuda ini buru-buru, menyadari pertanyaan bodohnya.
"Entah bagaimana nasibnya, kemunculannya bagai angin berhembus, dalam tempo setahun saja kitab itu lenyap entah kemana. Konon, kitab itu diperebutkan tiap insan persilatan—bisa kau bayangkan bagaimana kacaunya suasana. Bahkan orang-orang dari lain negara juga turut serta. Mereka tak sayang mengorbankan apa saja untuk merebutnya. Tapi bagaimana akhir perebutan itu, tiada satu kabar beritapun yang bisa dipercaya. Kitab itu lenyap entah kemana. Orang tidak tahu dari mana kitab itu datang, dan lenyapnya pun tiada yang tahu, apakah kitab itu didapatkan seseorang atau bahkan sengaja dihancurkan, siapa yang tahu?" sampai disini Aki itu menghebus nafas panjang. "Sekarang ini aku hanya punya perasaan heran yang menggelitik hatiku,”
“Apa itu Ki?”
“Aku ingin tahu, dari mana kau dapatkan kitab-kitab pusaka itu?"
Pemuda ini kelihatan serba susah mendengar pertanyaan Aki itu, ia sendiri tidak tahu kenapa kisah yang biasanya dikategorikan rahasia, malah diceritakan pada Aki yang baru dikenalnya. Kenapa dia bisa langsung percaya padanya?
"Kitab ilmu itu saya temukan tanpa sengaja…" akhirnya pemuda ini memutuskan untuk bercerita, tentu saja hanya bagian yang tak perlu—yang tak terhitung sebagai rahasia.
"Waktu itu saya baru saja berlatih ilmu Badai Gurun Salju, karena ilmu itu memusatkan latihan hawa dingin keras dan lunak, maka saya membuat sebuah lubang yang dalamnya mencapai leher. Lubang itu saya maksudkan untuk menyerap hawa dingin keras dari dalam tanah, tapi siapa sangka saat kedalamnya mencapai leher, muncul sebuah lubang di dasarnya.
“Karena terkejut, saya terjeblos masuk kesitu. Rupanya lubang itu merupakan lorong yang berhubungan dengan gua, saya terus menelusuri gua itu dan akhirnya setelah menjumpai jalan buntu, tak disangka saya menemukan sebuah peti yang terpendam di tanah. Peti itu hanya terlihat tutup bagian atasnya saja, mungkin sudah terpendam berpuluh tahun disitu, maka saya mengangkatnya dengan hati-hati. Ternyata didalamnya terdapat sebuah kitab tebal," tuturnya—tentu saja Jaka tidak menuturkan kejadian sesungguhnya.
“Eh, tunggu kalau tak salah kau menemukan kitab itu diperpustakan keluargamu?”
Jaka tertawa. “Tentu saja tidak, saya tidak bertutur demikian saat bercerita, yang ada diperpustakaan keluarga, hanya kitab ilmu mustika.” Lalu Jaka meneruskan penuturannya.
"Karena penasaran, saya mengambil kitab itu, dan ternyata merupakan sebuah kitab pengobatan yang memuat berbagai macam pelajaran membuat obat, racun dan segala macam pengetahuan syaraf. Pada saat itu, saya merasa seperti kejatuha durian runtuh. Karena menurut saya, sayalah satu-satunya yang bias membaca kitab itu.”
“Ho, kenapa kau berkesimpulan seperti itu?”
“Sebab aksara yang tertulis adalah aksara kuno, anehnya lagi, dari aksara itu bukan seperti yang kita kenal dulu atau sekarang.”
“Oh, berarti bukan dari Nuswantara Dwipa?”
“Ya, itu bahasa Farisi, Hindi dan Tiongkok kuno.”
“Wah, beruntung sekali kau sebelumnya meguasai kesuastraan.”
Jaka tersenyum. “Kenyataan itulah yang membuat saya senang dan lega.”
“Kenapa bisa begitu?” Ki Lukita sudah tahu alasannya, toh dia tetap bertanya.
“Karena saya tak perlu mengkhawatirkannya, jika kitab itu terjatuh ketangan orang lain. Sebab dia harus memenuhi tiga syarat utama untuk membacanya.”
“Oh, ada kejadian semacam itu?” Tanya Ki Lukita tertarik.
“Ya, selain dia harus bisa tiga bahasa kuno, dia juga harus cukup pintar untuk memecahkan rumus sastra, yang terakhir, coba tebak…”
Ki Lukita tersenyum sambil menggeleng. “Aku tak dapat mengiranya.”
“Dia harus paham ilmu pasti. Itu semacam perhitungan dalam mempelajari formasi barisan.”
“Ah…” rupanya memang sudah jodohnya, pikir Ki Lukita ikut bergembira—perasaan yang menurutnya aneh, dapat timbul spontan. “Lalu kau apakan kitab itu?”
“Takut ada semacam jebakan, tidak menunggu lama, saya ambil kitab itu, segera keluar, lalu menimbun lubang itu rapat-rapat. Sebelumnya saya juga menyumbat pintu gua,"
"Kenapa kau melakukan itu?" tanya Aki Lukita heran.
"Sebab dinding dekat peti itu terlihat tulisan yang memerintahkan, jika sudah menemukan pusaka dimaksud, harus segera menutup gua dan jalan yang menuju gua itu, bahkan kalau bisa gua itu diruntuhkan. Mungkin dibalik perintah ini ada satu isyarat lain, dan benar juga dugaan saya… sebab setelah membaca tulisan itu beberapa saat kemudian muncul banyak binatang aneh dari dalam dasar peti yang berlubang. Terburu-buru saya segera keluar dari tempat itu. Untung saja segala sesuatunya memang sudah dipersiapkan oleh orang yang dulunya menyimpan kitab itu, dalam tulisan di dinding menyebutkan kalau setelah mendapatkan kitab itu harus segera menghancurkan kotak batu di pojok gua. Begitu saya hancurkan kotak itu, seluruh langit-langit gua runtuh, dengan begitu pekerjaan saya hanya menimbun lubang yang saya buat."
"Wah, untuk ukuran usiamu. Pengalamanmu sangat hebat. Lalu tiga kitab mustika ilmu silat itu berasal dari mana?"
"Seperti yang saya ceritakan tadi, ketiga kitab itu memang asalnya ada di perpustakaan keluarga saya. Seperti yang tadi saya ceritakan pada Aki, selain kitab Hawa Bola sakti, dua kitab lainnya malah terpencar tiga-empat bagian. Setelah mencarinya hampir setengah bulan akhirnya saya temukan secara lengkap…"
Aki itu termenung sesaat, seperti ada yang ia pikirkan. "Bagaimana dengan pelajaran tiga ilmu itu?"
“Maksudnya?”
“Apa kau sudah menyelesaikan semuanya dengan sempurna?
"Semuanya sudah saya pelajari, hanya latihan dan pengalaman yang diperlukan untuk menambal latihan saya." Tutur pemuda ini menjelaskan.
"Berapa lama kau pelajari tiga kitab itu?"
Jaka mengangkat bahunya. "Mungkin, jika tanpa latihan, total seluruhnya ada dua bulan. Saat itu saya terlalu malas, seharusnya tiga kitab itu bisa saya selasaikan dalam satu bulan, tapi karena saya juga harus mempelajari kitab sastra lain, maka banyak hal yang terhambat."
"Oo…" Aki ini hanya bisa mengatakan begitu saja. "Apakah sudah kau hafal seluruhnya?"
"Tentu saja sudah, kalau belum bagaimana mungkin saya berani memusnahkan tiga kitab itu?"
“Tapi apa kau sendiri juga paham dengan apa yang dimaksudkan kitab-kitab itu?”
Jaka diam sesaat, akhirnya dia memutuskan menjawab secara samar. “Pengetahuan manusia itu berawal dari nol, yakni ketidaktahuan, dan kelak juga akan kembali ke titik nol, saat dia mati. Masalah paham tidaknya, itu tergantung bagaimana dia mengerti atau tidak, akan kebodohan dirinya.”
Ki Lukita menatap Jaka agak lama, dia membatin, sungguh anak yang menarik. Dia bisa memahami maksud Jaka, karena hanya orang yang tahu akan sesuatu, yang tidak mau mengutarakan- nya terang-terangan. Tapi jika dilihat dari persoalan yang mereka bicarakan tadi, seharusnya yang mengatakan seperti itu adalah orang yang sudah uzur, artinya dia sudah paham dengan makna kehidupan yang dijalani. Dia selalu mengintrospeksi keadaan dirinya. Tapi ‘anak kecil’ berusia 20-an itu kenapa bisa bicara se-uzur itu? Ki Lukita menemukan banyak hal kontradiktif pada Jaka.
"Memang seharusnya begitu," ujarnya kemudian sambil menghela nafas panjang. Ombak belakang memang selalu mendorong ombak yang ada didepan, gumamnya perlahan sekali.
Memang Aki ini sepantasnya mengatakan demikian, sebab untuk menghafal satu kitab dari sembilan mustika ilmu silat, orang pintarpun harus membutuhkan waktu minimal tiga-empat tahun, belum lagi ditambah waktu untuk memahaminya. Tapi pemuda ini sanggup menghafal dan memahaminya—Ki Lukita mengambil kesimpulan bahwa Jaka juga paham—dalam jangka waktu dua bulan? Bukan satu yang dipahami tapi tiga kitab mustika sekaligus! Jika itu memang benar terjadi, hati siapa tak akan bergetar mengetahui hal itu?
"Ki, boleh saya bertanya?"
"Tentu saja,"
"Sebenarnya aturan Dewan Pelindung Sembilan Mustika siapa yang menetapkan? Dan bagaimana pula asal usul sembilan ilmu itu sehingga bisa menjadi mustika dunia persilatan?"
"Panjang sekali kalau mau diceritakan, untuk jelasnya lebih baik kau baca kitab yang kuberikan padamu."
"Bukankah kitab ini merupakan catatan tentang Perkumpulan Dewa Darah?"
"Itu hanya salah satu diantaranya, bukankah aku tadi mengatakan kalau kitab itu merupakan catatan apa yang kuketahui? Berarti semua pengalaman dan perjalanan hidupku-pun tertuang dalam kitab itu."
"Kalau begitu kitab ini benar-benar berharga… saya merasa tidak sanggup menerimanya," ujar pemuda ini gugup.
"Kau tak perlu merasa sungkan. Sebab menurutku kau pantas menerimanya. Catatan itu terbagi dalam tiga buku, buku yang berada padamu adalah buku kedua. Kalau kau memang berminat bisa kuberikan dua buku lainnya,"
"Eh, Aki tidak perlu berbuat begitu, bagi saya menerima satu buku ini saja sudah merupakan kehormatan tak terhingga, konon lagi tiga buku sekaligus? Saya tidak berani menerimanya." Kata pemuda ini terburu-buru.
"Em, terserah kau saja. Tapi aku memang berniat untuk menyerahkan sisa buku lainnya," ujar Aki ini sambil tertawa, ia diam sebentar, lalu menyambung lagi perkataannya.
"Kalau kau tidak keberatan maukah kau menjadi muridku?" tanya Aki ini dengan mendadak.
Suasana yang hangat, tiba-tiba saja seperti berubah menjadi sedingin salju, agaknya ketegangan mencekam situasi saat itu. Pemuda ini kawatir telinganya salah dengar.
"Ehm, ini, ini…" Jaka terkejut, ia sama sekali tidak menyangka kalau Aki Lukita bakal mengajukan permintaan yang begitu menarik juga sangat mendadak. Dalam hatinya, Jaka merasa senang.
Senang? Jika orang lain berada pada posisi Jaka, mungkin malah merasa curiga. Bayangkan, jika dia menguasai apa yang menjadi impian kaum persilatan, tiba-tiba ada seseorang menawarkan diri menjadi guru, bukankah sama artinya dia menghendaki apa yang dikuasai si calon murid? Apa itu tak terlalu aneh? Apakah Jaka tidak berpikir kearah itu? Apa lantaran pemuda ini memang punya kebiasaan mencari tantangan, atau katakanlah semacam pertaruhan, bahwa; apakah dirinya akan dimanfaatkan atau tidak… Di lain pihak, jika orang lain berada pada posisi Ki Lukita, apakah dia akan menarik keuntungan seandainya semua yang diceritakan Jaka hanya bualan? Apa orang tua ini memang tulus meminta Jaka menjadi muridnya atau karena ada maksud lain? Tiada yang tahu kecuali hati dua orang ini sendiri.
Pemuda ini menghala nafas dalam. "Ini… entahlah, rasanya terlalu mendadak, tapi seandainya saja saya mau, apakah Aki tidak salah memilih? Apa Aki tidak memperhitungkan, mungkin kelak saya bakal membuat Aki menyesal?"
Ki Lukita tertawa lepas. "Kau seharusnya menyadari keadaan dirimu, dari ucapanmu saja aku yakin kalau apa yang akan kau lakukan nantinya tidak akan demikian, lagi pula aku dapat meraba tingkah-lakumu dari gerak gerik… dari perbawamu. Tapi permintaanku ini memang buru-buru, ada baiknya kalau kau pikirkan masak-masak.”
"Baik. Tapi saya harap Aki tidak menyesal apapun jawaban saya nanti. Sebagai rasa terima kasih karena permintaan Aki dan juga kepercayaan Aki, terimalah hormat saya.” Setelah berkata begitu, Jaka hendak membungkuk memberi penghormatan. Namun belum sampai Jaka menghormat kedua kalinya segulung tenaga kuat sudah menahannya, karuan Jaka tidak bisa membungkuk lagi, sebenarnya bisa saja ia mengerahkan tenaganya, tapi dia sadar kenapa pula dia harus ngotot?
"Ha-ha…" Aki Lukita tertawa terbahak-bahak, air matanya sampai menitik keluar. "Mendapatkan calon murid seperti kau ini siapa yang tidak bangga? Sudahlah tidak perlu berbasa-basi, mulai besok atau kapan kau bisa, datang saja kerumahku, kita bisa membicarakan banyak hal."
"Baik Ki," sahut pemuda ini dengan hikmat. "Kalau begitu rasanya saya tidak perlu membawa kitab catatan Aki, toh nanti juga akan kembali."
"Tidak usah, tiga kitab catatanku memang sudah seharusnya diserahkan pada generasi muda, agar bisa belajar dari pengalaman genarsi tua. Bawa saja kitab itu, siapa tahu saat berpesiar nanti kau merasa bosan, tidak ada salahnya kau baca kitab itu. Apalagi kau juga seorang kutu buku, apakah kau bisa tahan tidak mempunyai bacaan dikala senggang?" mendengar ucapan Aki Lukita itu Jaka Bayu tersipu. "Karena itu lebih baik lagi kalau kitab itu ada padamu, dari pada disini hanya menjadi setumpuk lembaran kertas tak berguna."
"Kalau begitu, saya hanya bisa menurut," sahut Jaka dengan hormat. Mendengar jawaban pemuda ini Aki Lukita tertawa lepas.
"Sesungguhnya kejadian ini perlu kita rayakan, tapi berhubung kau baru satu hari dikota ini, tidak ada salahnya setelah puas berkeliling, baru kita adakan pembicaran lebih dalam. Perlu kau ketahui, jika kau sudah menjadi muridku, kita akan lakukan perayaan dan upacara pengangkatan murid."
"Ah, apakah itu tidak terlalu berlebihan Ki?” sahut Jaka menimpali perkataan Ki Lukita, seakan dia sudah menjadi murid Aki itu. “Menurut hemat saya, rasanya tidak perlu mengadakan perayaan segala, kalau upacara mungkin bisa juga, tentu saja tidak berlebihan."
Ki Lukita tersenyum girang, dari perkataan Jaka ia jadi tahu kalau kemungkinan besar pemuda itu mau menjadi muridnya. "Baik, aku setuju pendapatmu. Sejak dulu, secara turun temurun dalam keluargaku, harus diadakan upacara apabila mau mengangkat seorang murid."
"Apakah sebelumnya Aki juga mempunyai murid?"
"Ya, aku mempunyai dua murid. Tiap tahun mereka pulang dari perantauan untuk menjengukku. Kukira tahun ini usia mereka sudah masuk kepala empat, lagi pula mereka sudah berkeluarga, jadi aku maklum kalau suatu saat mereka tak datang."
"Menurut kebiasan, kalau hendak mengadakan penerimaan guru-murid bukankah murid tertua atau angkatan atas harus datang? Kalau angkatan atas tidak datang, paling tidak harus lebih dari satu murid yang diresmikan oleh sang guru."
"Memang benar, jika kau jadi muridku, kau memiliki calon adik seperguruan..."
"Adik seperguruan?" pemuda ini terpelongok heran.
"Dia cucu perempuanku, sudah banyak tahun ia menerima pelajaranku, tapi hubungan kami hanya sebagai Aki dan cucu saja, belum resmi sebagai guru murid. Karena itu, upacara pengangkatan guru murid nanti sekalian saja,"
”Oh, kiranya begitu…" ujar pemuda ini paham, namun hatinya agak risau, karena bagaimanapun dia belum menyatakan mau menjadi murid Ki Lukita, tapi pembicaraan ini rasanya sudah seperti guru dan murid saja, ini sudah melampaui batas, pikirnya.
Jaka tidak bertanya lagi, karena ia sudah merasa cukup lama berada disitu, sekalipun mereka berada diberanda samping rumah, gerak-geriknya juga terbatas. Bagaimanapun juga, orang asing yang berbicara terlalu lama dengan seorang sesepuh kota, mudah menjadi sasaran kecurigaan sekelompok orang.
"Ki, bisakah saya ikut serta nanti malam?" Jaka bertanya tanpa canggung.
"Boleh, tapi tidak bisa terang-terangan."
"Kalau begitu sekarang saya harus pergi." Pinta Jaka dengan hormat.
"Baiklah, kapan kau kemari lagi?"
"Mungkin dua atau tiga hari kemudian, bisa juga malam nanti..."
Setelah memberi hormat, Jaka segera pamitan. Di iringi pandangan mata penuh harap Ki Lukita, akhirnya bayangan pemuda bersahaja itu menghilang di belokan jalan.
Tiba-tiba saja pintu rumah terbuka, muncul gadis berbaju biru muda, wajahnya cantik sekali, kalau tersenyum atau tertawa, muncul lesung pipi. Tapi kali ini wajahnya tampak cemberut.
"Kek, kenapa engkau tidak menahan calon kakak seperguruan lebih lama? Kenapa tidak di kenalkan pada keluarga kita?" tanya gadis itu bertubi.
"Ha-ha-ha, budak cerewet. Keluarga kita, kau bilang? Ah alasan yang kau buat memang bagus, kalau sudah kembali kesini tentu saja segera kuperkenalkan kepadamu, kau tidak usah kawatir. Hari ini, dia baru datang kekota, mungkin butuh istirahat. Bukankah dua tiga hari lagi kau bakal kenal dengannya?" ujar Aki ini dengan tertawa menggoda.
"Ih…" seru gadis baju biru ini sambil cemberut, wajahnya yang jelita terlihat merona merah. Dengan terburu-buru ia masuk kembali.
Sambil tertawa riang dan geleng-geleng kepala, Aki Lukita kembali menghisap rokok kawungnya. "Dasar budak binal." Gerutu Aki itu melihat tingkah cucu perempuannya.
Kakek tua yang dihormati penduduk kota itu, kembali meneruskan pekerjaan sehari-harinya, dia merawat bunga yang kelihatannya begitu indah. Padahal, kalau saja orang tahu rumpunan bunga yang terdapat di seluruh halaman rumah Aki ini adalah formasi barisan lihay, belum tentu mereka dapat memuji seperti saat melihat bunga indah bermekaran, sebab siapapun tidak bisa melihat nilai keindahan dan kemisteriusannya.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar