Meski malam belum terlalu
larut, tapi untuk menghindari kecurigaan orang, Jaka harus mengambil jalan yang
lebih sunyi. Pemuda ini menyunggingkan senyum, agaknya memang sedang girang.
Ya, bagaimana Jaka tak merasa
girang, sebab selama petualangannya, momen-momen menantang yang memaksa dia
untuk berpikir, adu licik dan membakar keberanian, adalah kegemarannya. Siapa
sangka malam ini diapun bisa ‘kembali beraksi’. Meski jika dibanding dengan
kejadian lampau, belumlah memadai, [akan diceritakan dalam lain kisah]
toh pemuda ini tetap beranggapan pantas untuk merasa puas, sebab dia berhasil
membuat para penyatron tak dikenal—menurutnya mereka cukup cerdik—ketar-ketir.
Andai saja Jaka tidak melihat
tindakan pelayan yang agak canggung saat berada dikamarnya, tentu tidak akan
terbetik olehnya untuk bertindak ‘nakal’. Dia dapat memperhitungkan mereka yang
datang adalah tiga orang, karena begitu si pelayan keluar, Jaka sempat melihat
seutas benang tipis melintang dijendelanya. Dari benang itu, Jaka bisa
menyimpulkan, si pelayan dan si pemasang benang, satu kelompok. Dua orang.
Jika ada yang bekerja tentu
ada yang mempekerjakan—tuannya. Menyadari hal itu, Jaka bisa menduga mereka ada
tiga orang. Sebenarnya kesimpulan itupun hanya spekulasi.
Melihat kualitas si pelayan,
Jaka bisa menilai, bahwa ‘sang tuan’ pastilah seorang cendekia cerdik. Apalagi
‘sang tuan’ bisa mempersiapkan segala sesuatu dalam jangka pendek—maklum saja,
bahwa dirinya membawa ‘barang mustika’, tidak ada dalam rencana mereka.
Sebab itulah, Jaka membuat
ide perangkap dalam perangkap, jika lawannya menilai dia orang cerdik, dengan
sendirinya dia akan menduga tempat penyimpanan bukunya tak mungkin ditemukan.
Dan sesuai perkiraan Jaka, jika orang lain mencarinya tentu tidak bisa
menemukannya, tapi bagi ‘sang tuan’, pasti bisa! Memang orang itu berhasil
menemukannya! Sayangnya, saat itulah dia baru sadar dirinya terjebak…
Perhitungan pemuda ini memang
jitu, jebakan kecil pada langit-langit kamar, ‘diperoleh’ Durga. Dia terkena
kayu lancip yang sengaja dipasang pada asbes langit-langit. Jaka sedikit
mengeser langit-langit supaya kesan habis dibuka, terlihat jelas. Dan ‘jarum
kayunya’ dipasang sedemikian rupa. Dengan sendirinya, tiap orang yang membuka
langit-langit mau-tak-mau menyentuh asbes, dan kenalah dia.
Tapi untuk apa itu semua?
Hakikatnya pemuida ini tidak punya racun, konon lagi racun ganas seperti Racun
Bunga Kuning. Jaka boleh dibilang seorang ahli ilmu syaraf, karena itu dia bisa
menuliskan kemungkinan yang terjadi, setelah terkena tusukan kecil. Dalam ilmu
syaraf yang Jaka pelajari, terdapat beberapa pelajaran yang menyebutkan bahwa,
pada bagian tubuh yang terkena atau tersentuh sesuatu, akan ada syaraf lain
yang ikut merespon, dengan kata lain, setiap syaraf dalam tubuh manusia selalu
berpasangan dan ada hubungan timbal balik. Biasanya jika ujung-ujung jari
tangan tertusuk, orang akan merasakan rasa nyeri sekejap pada betis, atau
telapak kaki lalu merambat kepinggang—tentu saja tidak setiap orang tahu hal
itu, dan juga tidak semua manusia bisa merasakan, karena rekasinya itu hanya
seperatussekian detik saja—sangat singat.
Lalu hal yang terjadi pada
Durba, sudah tentu dalam perhitungan Jaka. Sudah lazim bagi seseorang jika akan
mencari sesuatu di kolong meja, tentu ia akan melongok keatas—setelah ia tak
menemukan apa yang ia cari di kolong. Dan Jaka menaruh debu-debu pada
langit-langit meja yang ditempel sedemikian rupa, sehingga begitu Durba masuk
ke kolong, debu itu akan segera jatuh. Jika dia melongok keatas, tentu saja
matanya jadi korban—kelilipan.
Kemudian kejadian terakhir
yang diperhitungan Jaka adalah; jika seseorang telah mendapatkan sesuatu yang
amat di inginkannya, maka dia akan kehilangan kewaspadaan. Begitu pula dengan
si tuan muda, seharusnya ia curiga kenapa pada kain pelapis kitab ditemukan
debu? Semestinya kain pelapis itu bersih, karena pelayan juga menyaksikan Jaka
sudah membuka dan membaca kitabnya.
Secara nalar, jika Jaka ingin
membacanya, bukankah pelapis kitabnya harus di lepas—dengan sendirinya di
bersihkan? Seharusnya si tuan muda dapat berpikir sampai kesitu. Tapi Jaka
tahu, rasa girang berlebih akan menghilangkan kewaspadaan seseorang, itulah
kelemahan physikologis manusia pada umumnya. Lalu bagaimana cara Jaka tahu,
jika si tuan muda yang membuka kitab pertama kalinya—sehingga dia menuliskan
kata-kata itu pada kertasnya? Itu kesimpulan gampang, pelayan tidak mungkin
mendahului tuannya, jadi mana mungkin pelayan bertindak lancang mendahului
membuka ‘kitab mustika’ tersebut?
Pengalaman mengajarkan Jaka,
agar selalu bersahabat dengan situasi apapun, dengan demikian kemahiran dan
analisisnya semakin terasah. Dan, apa yang ia tuliskan benar-benar mengejutkan
mereka. Sungguh tak di sangka, Jaka dapat memperhitungkan sampai hal sekecil itu.
Tapi, tidak seluruhnya benar,
ada satu dugaan yang salah. Bahwa pada mulanya dia mengira orang ketiga—selain
si pelayan dan tuannya—adalah pelayan di rumah makan yang pernah Jaka singgahi,
yakni Sugiri. Nyatanya orang ketiga bukan Sugiri, siapapun namanya orang
ketiga—si Durga—masih dimungkinkan punya hubungan dengan organisasi lain.
Pemuda ini berjalan sambil
membayangkan apa yang terjadi dikamarnya. Baju gelap ini sudah memastikan
keyakinan mereka, bahwa aku akan keluar. Memang benar… dan sayangnya aku juga
bermaksud mengecoh mereka.
Sesaat Jaka berkerut kening
membayangkan keadaan kamarnya sebelum ia pergi. Racun yang mereka tebarkan
cukup berbahaya, jika orang lain kena, mereka bisa sengsara! Benar-benar
ceroboh!
Pemuda ini berjalan melalui
jalan yang jarang dilewati orang. Dari tempat dia menginap ke rumah Aki Lukita,
hanya berjarak satu pal saja. Tapi lantaran Jaka mengambil jalan memutar, jarak
yang dia tempuh sampai tiga pal lebih. Dan karena itulah Jaka mendapat penemuan
tak terduga. Jalan yang di laluinya adalah kebun yang banyak ditumbuhi pohon
berusia puluhan tahun.
Krak! Disuasana sehening ini,
sekalipun orang awam juga bisa mendengar suara itu. Demikian pula dengan Jaka,
sejak semula dia selalu waspada dengan kemungkinan terburuk. Tak disangka ada
sesuatu yang membuatnya menaruh perhatian. Pemuda ini tidak merasa kuatir
perjalanannya dikuntit orang, sebab bunyi tadi ada didepannya.
Aneh, bukan binatang yang
menginjaknya, pasti ada seseorang disitu. Pikir pemuda ini, lalu ia segera
menuju kepusat bunyi. Gerakan Jaka cekatan dan ringan, tidak menimbulkan suara.
Dalam sekejap Jaka sudah
sampai ditempat asal bunyi, dan memanjat pohon. Dia tidak langsung memeriksa
ketempat itu, untuk sesaat lamanya, Jaka mengamati dari dahan pohon, ia
memeriksa segala sesuatu yang ada dibawahnya.
Aneh, terlalu lengang…
pikirnya heran. Andai ada orang, pasti ada disekitar sini. Terkilas satu
dugaan, membuat Jaka bertindak. Dengan gerakan cepat, pemuda ini melejit lebih
tinggi, nyaris berada di puncak pohon.
Kurasa dia berada satu pohon
denganku. Apa maksudnya dia bersembunyi? Suasana gelap, ada tempat tersembunyi,
benar-benar sempurna! Gelap memang membantu, tapi juga membuat apa yang
seharusnya terlihat jadi tak terlihat. Jaka menghela nafas getun.
Seperti akan ada pertemuan
rahasia saja. Apakah dia salah satu dari orang yang menghadiri pertemuan? Atau
hanya sekedar mengintip saja? Berbagai pikiran bertaburan dalam benaknya.
Orang ini cerdik dia
bersembunyi ditempat yang tepat. Jaka diam-diam memuji. Tak terpikirkan oleh
orang, bahwa pada pohon yang hampir tidak ada daunnya dapat dijadikan tempat
persembunyian.
Jaka sempat merasa sangsi,
apakah orang itu melihatnya, atau tidak? Jika dia melihatnya, kenapa tidak
segera pindah persembunyian? Dan yang lebih mengherankan lagi, kenapa dia
menginjak ranting—yang menimbulkan suara nyaring? Apakah untuk memancing
kedatangan seseorang, atau dia terlalu gugup untuk mengetahui persoalan orang
lain?
Jaka memikirkan kemungkinan
yang terjadi, bahkan terbetik dalam benaknya, jika orang itu sudah tahu dirinya
akan lewat, dan ingin ‘berkenalan’. Sayangnya tiap dugaan tidak menemukan
jawaban, Jaka belum mempunyai titik terang—itulah kelemahan orang cerdas pada
umumnya. Dia selalu berpikir bahwa keadaan disekitarnya apabila mencurigakan,
pasti berkaitan dengan dirinya.
Tak jauh dari
persembunyiannya ada dua sosok berkelebat tiba. Jaka merasa kagum dengan
peringan tubuh mereka. Dengan ini dia makin yakin masalahnya tentu tak sesepele
yang ia kira.
Dua sosok itu mengenakan
pakaian gelap, di wajahnya terlilit kedok, sehingga yang terlihat hanya
matanya.
"Heran, memangnya semua
orang dikota ini senang pakai kedok?” gerutu Jaka. Maklum saja sudah dua kali
ini, Jaka memergoki orang berkedok. Jaka merasakan batang tempat nangkringnya
bergetar sedikit, Jaka waspada, dengan menegaskan pandangannya, pemuda ini
melongok kebawah. Hampir saja ia bersorak girang, sebab terlihat satu bayangan
pada ranting besar yang memiliki lekukan cukup besar sehingga dapat untuk
sembunyi.
"Ini dia! Rupanya kau
bersembunyi disitu…” pikir Jaka lega. Sebab dia yakin kedatangannya tidak
diketahui.
Orang itu bergerak dari
tempat sembunyinya, pasti dua pendatang tadi bukan temannya. Mana mungkin dia
gelisah kalau yang datang adalah temannya? Kurasa dia kawatir lantaran temannya
tak datang juga, mungkin karena kepergok dua orang itu? Pikir Jaka menebak
Setelah melihat kejadian itu
Jaka bisa merasa sedikit santai, tentu saja ia tak mengendurkan kewaspadaan.
Untung Jaka bersembunyi di pucak pohon, kalau tidak, tentu gerak-geriknya bisa
diketahui dua pendatang itu.
Suasana malam makin lengang,
sepeminuman teh sudah berlalu. Diam-diam Jaka mengeluh dalam hati. Kalau begini
terus, aku bisa terlambat ketempat Ki Lukita, belum lagi nanti menjumpai si
pelayan gadungan. Sial, kenapa aku bisa ikut dalam pertunjukan ini? Masih
untung jika bagus, kalau cuma begini-begini saja, terpaksa pergi dari sini.
Baru saja Jaka hendak
memutuskan untuk kabur, dari kejauhan saja terdengar lengkingan sempritan.
Pemuda ini tertegun sesaat, lengkingan itu biasa digunakan sebagai kode
rahasia.
Sedetik lengkingan itu
berhenti, dua orang itu juga membunyikan lengkingan yang sama, tapi nada yang
digunakan jauh lebih tinggi dan lebih nyaring.
Kode mereka berbeda. Jika
mereka anggota suatu perkumpulan, pasti tak jauh beda dengan perkumpulan
rahasia. Pemuda ini menduga dua orang itu punya sangkut paut dengan perkumpulan
rahasia yang sedang berkembang pesat.
Jaka tahu, salah satu
peraturan dalam organisasi rahasia mereka adalah, sesama anggota sendiri tidak
boleh memperlihatkan wajah, ini supaya menjaga efesiensi kerja. Pimpinan
organisasi itu tak mau jika perasaan berperan dalam menentukan keputusan.
Aneh, apakah dua orang itu
sama seperti orang-orang yang pernah ditemui Paman Alih? Jaka terbayang
kejadian dua bulan silam, mana kala Paman Alih—Sang Kusir Misterius yang
menyusup ke dalam Perkumpulan Pratyantara, membawa tiga orang terluka parah
padanya.
Sementara itu dibawah sana,
dua sosok bayangan mendatangi tempat itu. Sosok pertama berbadan tinggi besar,
dan satu lagi tinggi kurus seperti lidi. Jaka yang melihat orang itu hampir
saja berteriak girang juga geli. Orang tinggi besar itu ternyata Bergola
adanya, sedangkan sosok tinggi kurus itu pasti rekannya.
"Hamba menjumpai ketua
tujuh belas." Ucap Bergola dan lelaki tinggi kurus itu bersamaan, satu
lutut mereka menempel tanah, badan mereka membungkuk rendah. Ketua tujuh belas?
Pasti Berhubungan dengan Sora Barung dan kerabatnya, pikir Jaka sambil
mengamati kedua orang yang baru saja datang.
"Hm…" orang yang
dituju Bergola hanya mengumam saja.
Bergola dan rekannya bangkit.
"Bagaimana persiapanmu
Panah Sebelas?" tanya orang itu pada Bergola.
Mendengar pertanyaan orang
bercadar itu pada Bergola, Jaka menyeringai, rupanya Bergola dipanggil Panah
Sebelas. Wah, perkembangan situasi ini diluar dugaanku.
"Hamba sudah
mempersiapkan dengan cermat, tapi terus terang saja hamba merasa agak kawatir
dengan orang yang datang kerumah tua bangka itu."
"Kau tidak usah kawatir,
dia tidak berbahaya!" sahut lelaki bercadar yang satu lagi.
Tidak berbahaya? Dari mana
dia tahu aku tidak berbahaya? Hm, kecuali dia tahu aku kena racun… tapi yang
tahu hanya tiga orang dari Perguruan Naga Batu, tapi kenapa dia tahu? Apa dua
orang ini punya hubungan dengan Sadewa? Kalau tidak ada hubungan, kenapa dia
bisa berkesimpulan ngawur begitu? Jangan-jangan keduanya adalah Sadewa dan
Kundalini, atau Kunta Reksi… tapi masa iya sih? gerutu Jaka sambil tetap
menyimak pembicaraan empat orang itu.
"Kalau begitu, hamba
rasa memang tidak ada masalah lagi." Kata Bergola dengan nada rendah,
kelihatannya dia jerih menghadapi kedua orang itu. "Hanya saja.."
perkataan itu tidak ia teruskan.
"Kenapa?" sahut dua
orang itu dengan kening berkerut.
"Terus terang saja,
hamba curiga dengan tingkah tua bangka itu ketua. Dia begitu tenang, yang lebih
mengkawatirkan, mungkin dia mahir silat, paling gawat lagi kalau dia adalah
anggota perguruan enam belas besar!"
"Hm, alasan apa yang kau
pegang sampai bisa mengambil kesimpulan seperti itu?" tanya orang bercadar
itu dengan nada dalam.
"Saat si tua bangka itu
menolong Rubah Api, ada tiga orang anak buah hamba yang
menyaksikannya. Saat itu hamba yakin sekali Rubah Api tidak bakal hidup lebih
lama lagi, tapi anehnya begitu tua bangka itu menolongnya, nyawanya seakan-akan
disambung kembali. Menurut hamba, saat itu si tua sedang mengerahkan hawa
murninya.."
"Lalu kenapa anak buahmu
hanya diam melongo saja? Kenapa mereka tidak membinasakan si tua itu atau si
Rubah Api?!" tanya orang itu dengan nada gusar. "Benar-benar tak
becus!"
"Ampun ketua, tadinya
hambapun beranggapan demikian, tapi mereka mengatakan ada tiga alasan penting
mengapa tidak menyerang si tua. Pertama; bahwa si tua itu sesungguhnya sudah
mengenali siapa mereka, dikawatirkan andaikata si tua lolos dari penyerangan,
dia akan terus mencari titik terang atas kejadian penyerangan dan terlukanya
Rubah Api. Kedua; mereka tidak tahu seberapa hebatnya kekuatan si tua, dan yang
terakhir, mereka mengatakan sesungguhnya si tua itu tidak datang sendirian, ada
beberapa orang yang sering bekerja dirumahnya turut serta menolong Rubah Api.
Kalau pada saat itu mereka bertiga menyerang si tua, bukankah salah satu dari
pekerja itu bisa meminta bantuan orang? Dan apa yang telah direncanakan oleh
ketua akan berantakan?"
"Hm.. benar juga."
Gumam orang itu merasa apa boleh buat.
"Berapa lama dia didekat
Rubah Api?" tanya orang itu dengan tiba-tiba.
"Kira-kira setengah
kentungan, setelah itu nampaknya Rubah Api tidak bisa mempertahankan hidupnya.
Hamba rasa pandangan anak buah hamba tidak salah. Siapa sih yang bisa hidup
lebih lama setelah terkena Panah Bunga Batu?!" ujar Bergola dengan nada
menjilat.
"Lalu persiapan
bagaimana yang kau rencanakan malam nanti?" tanya lelaki bercadar yang
satu lagi.
"Hamba akan membinaskan
si tua dan seluruh keluarganya. Setelah dia berangkat ke kuil, beberapa
pembunuh gelap akan hamba kirim kerumahnya. Tentu saja mereka akan membunuh
tanpa sisa dan setelah itu membakar rumahnya, atau mungkin akan kami buat
seolah-olah terjadi perampokan. Dengan sendirinya, hamba akan membinasakan si
tua di kuil tua." Tutur Bergola dengan semangat.
Dasar tolol! Sungut Jaka
geli, juga merasa sebal melihat tingkah Bergola.
"Rencanamu cukup
bagus," puji orang bercadar itu. "Cuma sayang, terlalu banyak
kelemahan!"
"Ma..makk-maksud ketua
bagaimana?" tanya Bergola dengan gugup.
"Kau tidak
memperhitungkan banyak pendekar yang sudah sampai dikota ini? Apakah kau tidak
memperhitungkan bahwa di kuil tua itu bisa jadi merupakan tempat menginap kaum
kelana?! Dan apakah kalian sudah memikirkan kalau kemungkinan besar di rumah si
tua juga ada beberapa jago yang menginap?!"
"Eh.. ini.. ini,"
sahut Bergola tergagap.
"Lebih baik kau tinjau
rencanamu. Kegagalan kecil bisa mengakibatkan kekacauan pada rencana besar.
Kita belum saatnya memunculkan diri, kalau ada sesuatu yang kurang beres. Marga
Syiwa segera memburumu, kau dihukum atas kecerobohanmu!"
"Ampun ketua, hamba akan
berupaya sebaik mungkin. Kalau perlu rencana pembunuhan akan hamba
tangguhkan.."
"Seharusnya memang
begitu, lebih lama lebih baik! Menurut pandanganku, belum tentu tua bangka itu
memiliki ilmu silat. Sebab kemungkinan besar saat si Rubah Api berada didekat
orang itu, ia sedang mengerahkan kekuatan terakhir untuk mengatakan hal-hal
yang penting, sebelum akhirnya mati."
"Hamba rasa pendangan
ketua benar, hamba yakin itu benar." Sahut Bergola kembali mengupak.
"Hmk.." orang
bercadar itu hanya menjengek sinis. "Yang perlu bagi kita sekarang adalah
mendapatkan apa yang sudah di peroleh Rubah Api, aku yakin si tua tahu akan hal
itu. Dan kau tidak perlu tergesa-gesa bertindak. Biarkan si tua hanya mengira
dirimu sebagai seorang begundal tengik! Dan yang paling penting, hati-hati saat
bertemu dengannya di kuil. Kemungkinan besar ada jago lihay yang berkeliaran
ditempat itu. Bertindakanlah secermat mungkin! Untuk sementara, paling baik
jika kau berlagak bodoh"
"Baik ketua!" sahut
Bergola dengan suara tegas.
Jaka geli mendengar ucapan
orang bercadar itu, berlagak bodoh? Tanpa berlagak bodohpun, Bergola sudah
bertindak bodoh. Dengan caranya yang kasar meminta Rubah Api pada Ki Lukita
bukankah usaha paling bodoh? Selain menimbulkan kecurigaan, juga membuat orang
jadi waspada. Mau berlagak bodoh seperti apa lagi?
"Lalu bagaimana denganmu
Panah Tiga Belas?!" tanya orang bercadar yang satu lagi.
"Hamba telah mengerjakan
apa yang ketua perintahkan, hasilnya hamba rasa cukup memuaskan," setelah
berkata begitu, ia segera menyerahkan sebuah bungkusan cukup besar. "Apa
yang kita perlukan nanti, semuanya sudah hamba siapkan disitu, tapi menurut
perasaan hamba, itu belum semuanya. Hamba rasa setiap tindakan harus dengan
perencanaan matang. Untuk sementara hamba merencanakan tidak bergerak lebih
dulu, apalagi banyak para jago yang datang kesini. Dalam waktu satu minggu ini
hamba akan bekerja seperti biasa, dan kegiatan wajib, akan hamba lakukan
setelah usai keramaian."
"Bagus!" puji orang
kedua bercadar itu. "Tindakanmu lebih terarah dari pada si Panah
Sebelas."
"Ah, ketua terlalu
menyanjung. Sebenarnya tindakan hamba ini hanya melihat keadaan saja."
kata orang tinggi kurus itu dengan merendah. Namun sesungguhnya dalam hati
orang itu ia merasa sangat senang, sebab dengan tindakannya itu, kemungkinan
besar ia bisa mengganti posisinya menjadi Panah Sebelas!
Sementara diam-diam Bergola
mendengus dingin, dia tidak puas dengan sanjungan sang ketua. Dan tentunya dia
tidak akan bertindak bodoh—lagi—dengan memperlihatkan ketidakpuasannya.
"Dalam satu minggu ini,
kalian jangan bertindak ceroboh. Banyak tokoh sakti yang berkunjung kekota ini,
salah-salah pergerakan kita akan terhambat. Walau kekuatan mereka tak cukup
besar untuk menandingi kita, tapi kelihayan mereka harus diperhitungkan!"
"Baik ketua, segera
hamba laksanakan!" Sahut dua orang itu dengan serempak.
"Bagus! Kami akan pergi,
dan kalian urus orang itu." Kata orang bercadar sambil menunjuk bawah
pohon. "Aku menjumpai dia didekat perkebunan ini, kami tidak sempat
menanyakan apapun. Apa tujuannya, kalian harus mengoreknya dengan jelas, kalau
kira-kira masih mencurigakan, kalian tahu tindakan apa yang mesti
diambil!" Usai berkata begitu, dua orang itu bergerak dan bayangan mereka
lenyap ditelan kegelapan malam.
Sementara Bergola dan lelaki
tinggi kurus itu saling berpandangan. Mereka melihat satu sosok tubuh
tergeletak tak jauh di bawah pohon waru.
"Hm, tikus seperti ini
kenapa kita perlu mengurusnya?!" gumam Bergola dengan nada kesal.
"Kalau memang kau enggan
mengurusnya, biarlah kuurus tikus ini." Sahut lelaki tinggi kurus itu.
"Hm.. kau ingin berebut
jasa? Lalu ingin menggeser kedudukanku? Jangan harap impianmu bisa terlaksana,
bajingan!" geram Bergola dalam hati. Tapi diluarnya ia tampak tersenyum.
"Ah.. aku hanya merasa
kesal saja, tentunya perintah atasan tak boleh dibantah!" tegas Bergola
dengan nada serius.
"Hal itu memang
benar," sahut lelaki tinggi kurus sambil tersenyum. Kembali Bergola
mendengus dalam, ia tahu betul watak orang tinggi kurus itu. Selain licik,
orang itu juga keji, karena itulah diluaran anak buahnya menyebut padanya Momok
Wajah Ramah. Sebab selain si tinggi kurus itu kelihatan seperti orang yang
ramah, tutur katanyapun sanggup membuat orang percaya.
Jaka yang melihat dari atas,
tertawa ringan. Ia tahu apa yang berkecamuk dibenak dua orang itu, tapi dia
tidak akan memperdulikan hal-hal remeh yang sedang diperebutkan dua orang itu,
yang jelas ada orang yang memerlukan pertolongan. Sebelumnya Jaka menduga,
orang yang bersembunyi itu gelisah karena kemunculan dua manusia berkedok,
ternyata bukan!
Kelihatannya dia mencemaskan
orang yang baru ditawan, mungkin itu temannya. Mulanya Jaka hendak turun tangan
langsung, namun dia urungkan, Jaka ingin melihat reaksi orang yang bersembunyi
itu.
Bergola dan orang tinggi
kurus itu menyeret si tawanan. Batang tempat Jaka bersembunyi terasa bergetar.
Hal ini membuat Jaka yakin, kalau orang yang tertawan ada hubungan dengannya.
"Puih! benar-benar
seekor tikus kecil!" gerutu Bergola, sekalipun gelap dia melihat tawan
ketuanya adalah seorang pemuda tanggung berbadan kecil.
Pemuda itu masih pingsan
karena jalan darahnya tertotok. Momok Wajah Ramah mengurut punggungnya, tak
berapa lama kemudian dia siuman. Biasanya jika seseorang pingsan, begitu dia
menjumpai orang asing didekatnya, tentu akan terkejut. Tapi pemuda itu lain, ia
membuka matanya dengan mimik tenang, ia menoleh kearah Bergola dan Momok Wajah
Ramah. Pemuda itu sama sekali tidak terkejut melihat kehadiran dua orang itu.
"Hei, siapa kau?"
tanya Momok Wajah Ramah dengan suara terdengar ramah.
Jaka yang ada diatas pohon,
geleng-geleng kepala menyadari betapa berbisanya Panah Tiga Belas.
"Kau menanya asal-usulku
atau cuma namaku?" tanya pemuda itu dengan kalem, tiada perasaan gentar.
"Kalau kau bersedia,
terangkan nama dan asal-usulmu." Sahut Momok Wajah Ramah sambil tersenyum.
Pemuda itu bergerak,
beringsut duduk dan menyandarkan tubuhnya di pohon waru. Untuk sesaat lamanya,
dia tidak menjawab, tapi malah menengadahkan wajahnya melihat kelangit. Karena
malam itu terang bulan, secara samar Jaka dapat melihat raut wajahnya.
Aneh, kenapa semua orang yang
kujumpai malam ini seperti sudah kukenal semua? Si manusia bercadar, pemuda ini…
atau mungkin juga temannya yang bersembunyi di pohon, mungkin aku juga pernah
kenal dengannya?
"Baiklah, jika kalian
ingin mengetahuinya.." sahut pemuda ini dengan datar. "Aku bernama
Danu Tirta, asalku dari Perguruan Sampar Angin. Sebenarnya malam ini
aku enggan kemana-mana, tapi ada seseorang berkedok yang menyerahkan surat
padaku agar bertemu ditempat ini. Tapi sialnya baru saja berada dimulut
perkebunan, aku diringkus oleh orang berkedok juga."
Dua orang itu terlihat saling
berpandangan, mereka tidak menyangka pemuda yang mereka tangkap adalah anak
murid perguruan besar. Wah bisa jadi masalah besar, pikir mereka.
"Apakah dia juga yang
memberimu surat?" tanya Bergola tertarik.
"Entahlah, menurutku
bukan, yang memberiku surat dan yang menangkapku, adalah dua orang berbeda.
Sebab dalam surat yang kuterima di sebutkan akan membicarakan masalah
perguruan."
Keterangan
pemuda itu membuat mereka berdua sungkan untuk bertindak lebih jauh. Kalau
mereka menganiaya pemuda itu, dan si pemuda diketemukan oleh si kedok—yang
memberi surat, bukankah urusannya bakal runyam? Kalau mereka bunuh, kegemparan
malah akan lebih besar lagi, sebab pemilik kebun itu adalah salah satu sesepuh
kota, yakni Ki Glagah! Jika mereka membunuh dan membuang pemuda ini diluar
kota, malah lebih kacau, sebab banyak tokoh sakti yang berkeliaran di kota ini.
Bisa-bisa mereka malah bentrok dengan mereka, repot!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar