SERULING SAKTI BAGIAN – 1:
ELEGI PERGURUAN NAGA BATU

Menjelang tengah malam, ditempat lain mungkin sudah sunyi senyap. Tapi kota Pagaruyung harus di kecualikan. Memasuki dini hari pun, suasana baik dipusat kota atau pinggiran, terlihat masih ramai. Banyak orang berjualan macam-macam, ada juga yang asyik bergadang di rumah makan sambil ngobrol.

Tapi keramaian itu tidak membuat tiga sosok bayangan yang berkelebat menyelinap kesana-kemari, terganggu, mereka terlihat ‘berjalan’ begitu enak dan santai di jalan sempit berjubel, lantaran banyak orang berjualan disitu.


Disuatu tempat yang agak longgar, tanpa perduli ada tidaknya orang yang mengawasi, ketiganya melesat cepat, beberapa saat saja lenyap ditelan gelapnya malam. Memasuki pinggiran kota, mereka berhenti. Meski pinggir kota tak seramai tempat yang sebelumnya dilalui, mereka bertindak hati-hati dan sebisa mungkin tak terlihat menyolok.

“Disinikah tempatnya?” Tanya orang pertama pada temannya.

“Benar.” Sahut keduanya. “Waspadalah, bukan tidak mungkin ada celah fatal pada rencana ini.” Jelas orang yang bertubuh paling pendek diantara dua orang lainnya—dia adalah orang kedua.

“Tidak akan terjadi!” seru orang ketiga, “Rencana kita hanya diketahui oleh si keparat itu! sejauh ini sempurna.”

“Bagus kalau begitu! Sekarang waktunya menunggu, dan membuat perhitungan…” Desis orang pertama.

“Jika ada kesempatan.“ Desah rekannya.

Mereka mencari tempat yang enak untuk menunggu. ketiganya duduk berpencar tanpa gerak. Satu jam sudah berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda yang mereka harapkan.

“Sial!” gerutu mereka kesal. “Sampai kapan dia harus kutunggu?” Satu pertanyaan itulah yang terus berputar dibenak.

Baru saja berpikir demikian, muncul dua sosok bayangan bagai hantu, tak bersuara, tak terditeksi, dan tiba-tiba muncul di antara ketiga orang itu.

“Kalian sudah lama menunggu?” tanya suara orang yang baru datang itu dengan nada datar.

“Cukup lama, tapi tidak masalah Ketua Sembilan.”

“Bagus!” Ujarnya tetap dengan suara datar. “Sudah kalian lakukan tugas itu?”

“Sudah, dan pasti beres.” Jawab orang pertama dengan kepala tertunduk.
Kedua saling berpandangan sesaat. Wajah mereka tidak bisa dikenali karena menggunakan kedok topeng perak, yang hanya menyisakan lubang hidung dan mata. Terdengar keduanya mendengus pendek.

“Ikuti kami!” Baru saja berkata begitu keduanya sudah hilang bagai asap digurun pasir.

“Cepat…” desis orang kedua mengingatkan. Dengan gerakan cepat pula, ketiganya berkelebat kearah timur.

Suasana kembali sepi, hanya tingkah binatang malam saja yang menyemarakkan suasana… tapi tunggu, mendadak terlihat sosok bayangan keluar dari balik pohon cemara.
Dia pun segera melesat kearah yang sama dengan kelima orang tadi.
Siapa pula orang terakhir itu? Kalau lima orang pertama sudah cukup misterius, dia lebih misterius lagi, sebab dengan gerakan secepat yang dimiliki lima orang tadi, mustahil tidak bisa mendeteksi keberadaan orang disekitar mereka, apalagi jarak persembunyian antara orang yang disebut Ketua Sembilan dengan si orang misterius tadi cuma tiga meter saja, kelihatannya mustahil jika mereka yang memiliki kemampuan lihay tak bisa mengetahuinya; berarti si misterius ini memiliki kemampuan jauh diatas kelima orang tadi, atau karena dia lebih dulu ada di tempat itu?

Kira-kira beberapa belas pal kemudian, sampailah mereka disebuah tanah terbuka, nampak seperti lapangan rumput, nampaknya tempat khusus untuk menggembala.

“Kalian sudah siap memberi laporan?”

“Siap.”

“Orang yang kalian butuhkan ada disekitar sini, sekarang ceritakan pada kami keberhasilan kalian.”

“Baik,” sahut orang pertama, lalu dia menoleh ke samping. “Adi Ludra sebaiknya kau yang menyampaikan laporan.”

“Baiklah, mohon dibantu kalau ada yang kurang.” Bisik lelaki paling pendek yang dipanggil Ludra.

“Tugas kami yang pertama sudah diselesaikan tanpa hambatan. Beliau meminta kami untuk menyusup di 
Perguruan Lengan Tunggal. Tidak ada masalah yang berarti, namun kami tetap kawatir, sebab saat diterima menjadi murid perguruan tersebut, banyak sekali ujian yang harus kami tempuh. Tapi saya yakin kami tidak akan kepergok.”

“Bagus, apa yang sudah kau lakukan disana?”

“Saya sudah mencatat tiap posisi strategis dan tempat yang mungkin akan kita gunakan. Mengenai kekuatannya—tidak bisa diragukan lagi—mereka sangat tangguh. Kami sudah merekrut tiga anggota dari dalam yang bisa dibeli, merekalah informan kami. Sampai saat itu tidak ada kendala berarti. Tapi kami selalu gagal saat menyelidiki Pendopo Inggil, Krah Wuwung dan kekuatan para murid utama…”

“Kalian tidak bisa disalahkan, untuk mengetahui hal itu bukan pekerjaan mudah.” Potong Ketua Sepuluh.

“Terima kasih atas pengertian Ketua,” ucap Ludra sambil membungkuk. “Harus kami sampaikan kalau kami memiliki kekawatiran besar… yakni apa yang mereka sebut sebagai Tujuh Ruas, Empat Srigala, Sembilan Belantara dan Dua Bakat.”

“Apa itu?”

“Entahlah, kami tidak yakin, bahkan murid tingkat delapan yang sudah dipercaya untuk menangani murid tingkat sepuluhpun, tidak tahu seluk beluk dalam perguruan. Kelihatannya mereka menjaga rahasia, tapi menurut kami, itu semacam kelompok pengawas internal yang membaur dengan murid-murid. Karena itu kami terpaksa bergerak lamban, sungguh tidak leluasa kami bekerja tanpa tahu apa yang akan kami hadapi.”

“Baik! Itu sudah berlalu, tinggal kalian jalankan saja, bagaimana dengan tugas kedua?”

“Terus terang kami belum berhasil sepenuhnya…”

“Apa maksudmu!” Bentak Ketua Sembilan.

“Perintah untuk mengambil Kitab Naga Wisa benar-benar sulit, pertama letak perpustakaan atau tempat penyimpanan pusaka, kami tidak tahu, kedua tidak satupun orang dalam perguruan yang tahu perpustakaan mereka sendiri. Mengherankan!”

“Sebegitu sulitkah mendekati perkumpulan gurem seperti Perguruan Kali Ageng itu?”

“Maaf ketua, mereka tidak selemah dugaan ketua, saya pikir kekuatan mereka tidak jauh beda dengan Enam Belas Partai Utama.”

“Siapa suruh kau berpikir? Tugasmu hanya mengambil kitab itu, titik!”

“Maaf, tapi memang begitu kenyataannya, dan sebagai penebus kegagalan kami yang satu itu, kami mendapatkan Kitab Lintang Pitu dari salah seorang murid utamanya…”

“Apa maksudmu Kitab Lintang Pitu? Bukankah itu salah satu pusaka Perguruan Teratai Merah?”

“Benar ketua, kamipun tidak tahu sebabnya. Kami mendapatkan kitab itu, mungkin lantaran mujur. Saat hendak pergi dari situ, kami mendengar percakapan dua orang, singkatnya mereka sepakat untuk saling menukar ilmu simpanan, dan keduanya bertukan kitab.”

“Bodoh!”

“Kenapa ketua?”

“Otakmu kemana? Bukankah bisa jadi kitab yang ditukar itu adalah Kitab Naga Wisa yang kita perlukan?”

“Mulanya saya berpi…, menduga demikian, tapi dugaan saya meleset begitu murid Kali Ageng membunuhnya.”

“Jadi dia membunuh pada saat mereka saling bertukar kitab?” tanya Ketua Sepuluh dengan suara tidak segarang tadi.

“Benar, dan kitab itupun segera kami rampas.”

“Identitas kalian terungkap?”

“Tidak ketua.”

“Lalu setelah itu apa yang kalian lakukan?”

“Kami membunuh orang itu.”

“Sial!” bentak Ketua Sembilan, “Seharusnya otak udang kalian ini bisa jalan, apa kalian tidak berpikir untuk memanfaatkan orang itu? Bukankah sangat bagus kalau kita memiliki mata-mata dalam perguruan Kali Ageng? Apa lagi kalian memegang kelemahannya!”

“Maaf…” ucap Ludra dengan kepala tertunduk, namun dalam hatinya dia meruntuk habis-habisan. 

“Keparat, tadi kau bilang kami cuma lakukan tugas tanpa berpikir, sekarang suruh berpikir, dasar bangsat!”

“Maaf ketua, perbuatan kami memang salah, tapi kami mohon ketua bisa mengerti, sebab kejadian itu diluar dugaan kami. Karena tak bisa berpikir panjang, kami hanya bisa membunuhnya untuk menyelesaikan masalah.” Kata orang pertama membela temannya.

“Baik, aku bisa mengerti. Mana kitab itu?”

“Ini…” si orang pertama menyerahkan bungkusan dari balik bajunya. “Dan ini bukti bahwa kami sudah menjadi anggota Perguruan Lengan Tunggal.” Tambahnya sambil menyerahkan lencana perunggu sebesar jempol.

Dua ketua itu menerima kitab dan lencana, mereka memeriksa kedua barang itu dengan seksama, samar-samar mereka mengangguk.

“Lalu kalian apakan mayat orang yang kalian bunuh?”

“Kami tusuk keduanya, seolah habis saling membunuh, dan jika ada orang dari salah satu perguruan yang tahu, pasti akan ada konflik diantara mereka.”

“Bibit kerusuhan cukup bagus… tapi tidak banyak keuntungan buat kita.” Kata orang itu sambil bersedekap.
Ketiganya menunduk, orang pertama yang bernama Mintaraga menoleh sesaat pada orang ketiga—dia bernama Kaliagni—orang ini mengangguk begitu sang kakak mengedipinya.

“Ketua…”

“Ada apa lagi!”

“Untuk tugas ketiga, kami gagal sama sekali…”

“Oh, benar-benar nyata kebodohan kalian kali ini! Bukankah itu tugas paling gampang?”

“Gampang ketua, tetapi menculik Prawita Sari menjadi lebih sulit ketika Raja Kepalan menghajar kami hingga tunggang langgang.”

“Keparat…” desis Ketua Sepuluh. “Sakta Glagah, sudah cukup banyak kau merugikan perkumpulan kami, nantikan pembalasan kami!” geramnya marah.

“Ma-maaf ketua, lalu bagaimana dengan mereka?”

“Jangan kawatir, sepanjang kalian tidak macam-macam mereka selamat, tapi ingat! Melenceng sedikit dari jalur, habis riwayat keluarga kalian.”

“Ta-tapi… ketua janji hendak menyerahkan salah seorang dari mereka.”

“Benar, tapi sayang… kalian terlalu goblok untuk tugas-tugas tadi, jadi kubatalkan!”

“Ap-apa, maksud ketua?” tanya Kaliagni tergagap-gagap.

“Perjanjian kita batal!”

“Tapi bukankah kami sudah menyerahkan kitab lain sebagai tebusan dan juga kami sudah memberikan bukti bahwa kami sudah menjadi anggota Perguruan Lengan Tunggal?”

“He-he… kalian bodoh, biarpun seluruh tugas sudah selesai, mana bisa kuserahkan keluargamu, bisa-bisa bocor semua rahasia perkumpulan.”

Tiga orang itu saling pandang, raut wajah mereka berubah kelam, dalam sesaat ketiganya sudah sudah membuat keputusan nekat.

“Jadi…” terkilas dalam benak Kaliagni kemungkinan buruk.

“Sejak semula, kalian memang tidak berniat membebaskan keluarga kami?” sambung Mintatraga.

“Ha-ha, kau pintar menebak! Sangat kusesalkan kalian terlalu bodoh untuk menyadarinya, dan mau tak mau kami harus berterima kasih atas otak dogol kalian itu.”

Ludra menggertak gigi, “Keparat! Kalian sudah menjadikan kami manusia hina! Sekarang kalian menjilat ludah sendiri! Di mana kehormatan kalian Sora Barung, Sena Wulung!” bentak Ludra.

Dua orang ketua itu terkejut mendengarnya, selama ini mereka selalu menyembunyikan identitas dari siapapun, kecuali atasan-atasan mereka, tak dinyana tiga orang suruhan mereka mengetahui rahasianya. 

Sungguh tak disangka, dari mana mereka tahu? Jika demikian, bukankah ada kebocoran informasi?
Sora Barung tertawa kerkekeh menyeramkan. “Kali ini, menangis darahpun sudah terlambat untuk minta ampun. Akan kubunuh kalian saat ini juga!”

Habis berkata demikian, dua orang itu saling berpencar dan segera menyerang Mintaraga dari kiri dan kanan. Gerakan itu begitu cepat dan tak terduga, Mintaraga yang sudah bersiap-siap pun tidak bisa mengelak, namun sebisa mungkin Mintaraga mengerahkan seluruh tenaganya dan menyerang sebisa mungkin.
Buuk-buuk!

Dua pukulan bersarang didada dan punggung Mintaraga. Gerakan dua orang bertopeng itu sangat cepat, bahkan serangan Mintaraga yang dipusatkan sampai puncaknya juga cuma menyerempet saja.
Ludra dan Kaliagni juga tidak tinggal diam, tapi mereka tertinggal sedetik untuk membantu.

“Kakang…” teriak keduanya kaget sambil menghampiri.

Mintaraga tergeletak bersimbah darah, wajahnya dipenuhi darah, kondisinya mengenaskan. Tulang punggung nyaris remuk, jatungnya tergetar keras, tapi beberapa rusuk lebih parah, patah sampai menghunjam lambung.

“Bba-las-kaaa…” pesannya belum selesai, tapi tiada tenaga lagi untuk meneruskan ucapannya, hawa kehidupan miliknya sudah mulai mengabur, sebentar lagi nyawanya melayang jika tidak menerima pertolongan secepat mungkin.

Bersambung.........