Jumat, 13 September 2013

024 - Singo Lugas, Matahari Dua Bukit

Mengapa Mahesa Ageng palsu bisa terjatuh sampai kesakitan seperti itu? Padahal Jaka tidak menyerangnya. Memangnya Jaka punya ilmu sihir? Selain Jaka, bagi siapun yang melihatanya, tak akan mengerti alasan lain kenapa dia jatuh, kecuali dia terkena racun. Tapi bagi Jaka, tak ada penjelasan lain, kecuali bahwa; orang itu terkena ‘strees’ ringan. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa Jaka sangat menguasai semua pengetahuan anatomi tubuh manusia berserta syarafnya.

Mahesa Ageng yang berdiri lama dengan perasaan tegang dan tertekan, lalu akan segera menyerang Jaka, semua itu sudah diperhitungkan. Setelah Mahesa berdiri terlalu lama, Jaka segera memancingnya dengan kata-kata yang memanaskan telinga—memprovokasinya—untuk melancarkan semua perhitungannya.
Pada saat Mahesa berdiri lama dengan perasan tertekan, jalan darah di tubuhnya akan mengalir lebih cepat, dan kusus untuk jalan darah dikakinya akan mengalir lebih cepat lagi, andai saja saat itu Mahesa langsung menyerang Jaka maka dia tidak akan mengalami keadaan menyedihkan begitu rupa. Tapi Mahesa berdiri terlalu lama, sehingga aliran darah pada syaraf kakinya tidak sesuai dengan tarikan nafas—oksigen yang masuk—dan tak selaras dengan putaran hawa murninya.

023 - Perjumpaan Yang Tak Sesuai Rencana


Suasana perbatasan diwilayah timur, kelihatan lengang. Kalau dihari biasa, penduduk kota itu juga jarang kesitu, sebab yang namanya perbatasan tentu saja selalu dilalu orang-orang yang berniat keluar-masuk kota.
Tak jauh dari gapuran perbatasan, ada sebuah kuil cukup besar. Kuil itu sudah ditinggalkan penghuninya, disana sini banyak semak meranggas. Kuil itu disebut para penduduk kota sebagai Kuil Ireng atau kuil hitam. Disebut itu karena baik siang atau malam dinding kuil yang seharusnya abu-abu selalu terlihat hitam legam. Tentunya kalau malam orang tak perlu memikirkannya, sebab tiap benda berwarna selain putih pasti terlihat hitam. Tapi karena disiang hari kuil itu selalu dilindungi bayangan pohon besar sehingga sinar matahari tidak bisa menembus sedikitpun, karena itulah dinding yang kelabu terlihat hitam.
Kuil itu jarang disinggahi orang, kata penduduk setempat Kuil Ireng termasuk angker. Entah apa yang membuat orang menyebutnya begitu, yang jelas ada alasan tertentu.
Jaka sampai ditempat itu lebih lambat setengah kentongan dari waktu yang dijanjikan. Dia mengedarkan pandangannya, banyak pepohonan besar disekitar kuil. Karena saat itu Jaka berada ditempat terbuka, tentu saja bila ada orang bersembunyi disitu, akan melihat kedatangannya.

022 - Intai Mengintai


Sang guru dan tiga rekannya menatap pemuda itu, kelihatannya Jaka sama sekali tidak menampilkan perubahan pada raut wajahnya.
"Syukurlan Rubah Api masih hidup," gumam pemuda ini dengan suara lirih. Tapi empat orang sesepuh itu mendengarnya.
"Ya, sekarang giliranmu, kau bilang ingin menceritakan sesuatu yang menarik?!" tagih sang guru sambil tertawa.
Jaka tersenyum lalu ia mengeluarkan kertas dari balik pakaiannya, kertas itu ada lima lembar. Empat lembar berisi, sedangkan lembar lainnya kosong. Rupanya sebelum berangkat dari penginapan, Jaka sempatkan diri untuk menuliskan apa yang ia alami di Telaga Batu dan beberapa rencananya. Sementara tentang kejadian baru seperti; saat ia memergoki pelayan gadungan dan bertemu orang-orang Perguruan Sampar Angin, belum ia tambahkan, Jaka berniat memberitahu sang guru sekedarnya saja; bahwa dia berjumpa dengan orang-orang Perguruan Sampar Angin, cuma itu.

021 - Menjumpai Para Sesepuh

Jaka memutuskan menggunakan peringan tubuhnya, mengingat dia sudah terlalu banyak membuang waktu. “Bagaimana ya, apa aku harus menjadi murid Ki Lukita atau tidak?” pikirnya setengah melamun. “Tidak ada ruginya memang, tetapi sama saja aku mengikatkan diri pada sebuah peraturan.”

Jaka kembali menimbang, “Hh,” dihelanya nafas panjang. “Toh tidak ada salahnya aku menjadi murid beliau, banyak manfaat yang bisa kuperoleh darinya.”
Tak berapa lama kemudian, Jaka sudah sampai dijalan besar yang melewati kediaman Ki Lukita.
Tentu saja Jaka tidak begitu bodoh untuk masuk lewat depan, karena malam itu tidak sesepi yang ia kira. Banyaknya pengunjung dikota itu membuat malam dihari biasa yang seharusnya sepi, kini bagaikan waktu menjelang fajar.
Banyak orang yang berjalan-jalan disekitar jalan besar itu. Jaka tahu, kini gerakannya sudah tidak leluasa lagi, sebab ia masih harus berperan bahwa dirinya sudah dikuasai salah satu orang Naga Batu.

020 - Lima Pelindung Putih


Tapi tentu saja kedua orang itu tidak mudah untuk dibuat takut, apalagi dasarnya dua orang itu adalah orang licik yang pandai memanfaatkan situasi.
"He-he, mati hangus aku tak mau, tapi dapat tato petir enak juga. Sudah lama aku ingin menato tubuhku, hanya saja tidak pernah kudapatkan ahli yang terbaik. Kalau ada yang ingin menatoku dengan gratis, tentunya aku setuju saja..." kata Bergola dengan tertawa terkekeh-kekeh.
"Benar sekali perkataan saudaraku ini," sambung Momok Wajah Ramah sambil tersenyum girang, agaknya ia mendapatkan satu pemikiran bagus. "Terus terang saja kami sudah pernah mendengar kabar kehebatan empat kelompok kusus itu, dan aku ingin sekali berjumpa dengan mereka. Kini kami memiliki kesempatan untuk menjumpai salah satunya, ini kejadian yang menggembirakan…"
Mendengar ucapan Momok Wajah Ramah, mau tak mau Danu Tirta melegak. Sedikit banyaknya ia dapat meraba siapa sesungguhnya dua orang itu, karena itulah semua sedikit bualannya, adalah kenyataan bagi kedua orang itu. Tapi Danu Tirta tidak mengira kalau Momok Wajah Ramah sangat memperhatikan hal-hal kecil, dengan ucapannya tadi, dapat disimpulkan kalau orang itu ingin menyanderanya untuk memancing kedatangan kelompok Kilat.

019 - Tawanan dari Perguruan Sampar Angin



Untuk sesaat dua orang itu kelihatan tertegun. Mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat. Keduanya saling berpandangan, dari mata mereka terkandung satu maksud. Membunuh pemuda itu dan melenyapkan bukti, atau menyekap dan melepaskan sampai waktunya memungkinkan!
"Entah kami ini kurang ajar, atau memang terpaksa bertindak kurang ajar," kata Panah Tiga Belas. "Si kedok yang kau ceritakan tadi terpaksa kami kesampingkan, dan sekarang kami ingin tahu asal-usul dirimu yang sebenarnya. Kalau tidak, engkau sudah bisa membayangkan apa yang akan kami lakukan padamu." Kata orang tinggi kurus ini dengan ramah. Justru ucapan bernada ramah seperti itulah yang membuat orang bergidik, kalau orang bersuara dengan bengis, sedikit banyak keberanian akan tersentak, tapi suara ramah seperti itu justru menimbulkan perasaan ngeri.
Pemuda itu menyadari bahaya yang sedang dia hadapi, hatinya bergetar, wajahnya pias. Untung baginya kegelapan malam bisa menyembunyikan perubahan wajahnya—karena cemas.

018 - Geliat Perkumpulan Rahasia

Meski malam belum terlalu larut, tapi untuk menghindari kecurigaan orang, Jaka harus mengambil jalan yang lebih sunyi. Pemuda ini menyunggingkan senyum, agaknya memang sedang girang.
Ya, bagaimana Jaka tak merasa girang, sebab selama petualangannya, momen-momen menantang yang memaksa dia untuk berpikir, adu licik dan membakar keberanian, adalah kegemarannya. Siapa sangka malam ini diapun bisa ‘kembali beraksi’. Meski jika dibanding dengan kejadian lampau, belumlah memadai, [akan diceritakan dalam lain kisah] toh pemuda ini tetap beranggapan pantas untuk merasa puas, sebab dia berhasil membuat para penyatron tak dikenal—menurutnya mereka cukup cerdik—ketar-ketir.
Andai saja Jaka tidak melihat tindakan pelayan yang agak canggung saat berada dikamarnya, tentu tidak akan terbetik olehnya untuk bertindak ‘nakal’. Dia dapat memperhitungkan mereka yang datang adalah tiga orang, karena begitu si pelayan keluar, Jaka sempat melihat seutas benang tipis melintang dijendelanya. Dari benang itu, Jaka bisa menyimpulkan, si pelayan dan si pemasang benang, satu kelompok. Dua orang.