Jumat, 13 September 2013

020 - Lima Pelindung Putih


Tapi tentu saja kedua orang itu tidak mudah untuk dibuat takut, apalagi dasarnya dua orang itu adalah orang licik yang pandai memanfaatkan situasi.
"He-he, mati hangus aku tak mau, tapi dapat tato petir enak juga. Sudah lama aku ingin menato tubuhku, hanya saja tidak pernah kudapatkan ahli yang terbaik. Kalau ada yang ingin menatoku dengan gratis, tentunya aku setuju saja..." kata Bergola dengan tertawa terkekeh-kekeh.
"Benar sekali perkataan saudaraku ini," sambung Momok Wajah Ramah sambil tersenyum girang, agaknya ia mendapatkan satu pemikiran bagus. "Terus terang saja kami sudah pernah mendengar kabar kehebatan empat kelompok kusus itu, dan aku ingin sekali berjumpa dengan mereka. Kini kami memiliki kesempatan untuk menjumpai salah satunya, ini kejadian yang menggembirakan…"
Mendengar ucapan Momok Wajah Ramah, mau tak mau Danu Tirta melegak. Sedikit banyaknya ia dapat meraba siapa sesungguhnya dua orang itu, karena itulah semua sedikit bualannya, adalah kenyataan bagi kedua orang itu. Tapi Danu Tirta tidak mengira kalau Momok Wajah Ramah sangat memperhatikan hal-hal kecil, dengan ucapannya tadi, dapat disimpulkan kalau orang itu ingin menyanderanya untuk memancing kedatangan kelompok Kilat.

"Manusia ini susah dilayani!" umpat Danu Tirta dalam hati, namun wajahnya sama sekali tidak menampilkan perasaan apapun. Ia malah berkata dengan suara datar,
"Terserah kau mau berbuat apa terhadapku, tapi kuingatkan padamu, selama dua puluh tahun terakhir, kelompok Kilat belum pernah terjegal. Kalau kau ingin menggunakan diriku untuk memancing mereka, bersiap-siap menghitung mundur usia kalian saja. Sepengtahuanku mereka belum pernah terpedaya tipu muslihat!"
Ucapan yang tanpa emosi itu mau tak mau menggetarkan perasaan Momok Wajah Ramah, belum lagi ia sempat berkata, Danu Tirta sudah menyabung lagi.
"Aku berkata begini bukan karena kalian menawanku, seperti yang kalian pahami, bisa menawanku seperti ini karena kebruntungan atasan kalian. Cuma kusayangkan, umur kalian sejak malam ini tinggal satu hari lagi. Coab pikir, dalam sehari bisa menyiapkan taktik untuk menjebak orang? Kecuali kalian melebihi Datuk Mata Merah, bolehlah kunilai kalian lebih tinggi.." Danu Tirta menekankan perkataan terakhir.
Dan memang perasaan dua orang itu tergetar, mereka dapat mengartikannya, bahwa Datuk Mata Merah, mengalami nasib jelek di tangan kelompok Kilat.
Mereka tahu siapa Datuk Mata Merah, mereka kenal dengan orang yang paling keji yang pernah berkelana di Jawa Dwipa. Memang dibandingan dengan Datuk Mata Merah, Bergola dan Momok Wajah Ramah bukan apa-apanya. Ibarat kunang-kunang melawan matahari.
Mereka hanya tahu empat tahun lalu orang keji itu lenyap, konon sudah dibinaskan segerombolan orang. Dan tidak disangka yang membinasakan manusia keji itu, sama dengan yang menyingkirkan Angin Barat. Mereka mendengar kabar, bahwa ada orang yang menemukan jenazah Datuk Mata Merah, konon sekujur tubuhnya juga hangus dan melepuh, hebatnya lagi didahi sang datuk ada goresan melintang dan mirip dengan garis sebuah petir. Sama dengan kematian anggota perkumpulan Angin Barat. Kali ini, mereka benar-benar susah menghadapi pemuda itu.
"Hh.." Momok Wajah Ramah kelihatan serba susah, ia menghembuskan nafas panjang, agaknya orang itu juga sudah habis pikir bagaimana cara mengorek keterangan yang cukup berharga bagi perkumpulanya.
"Aih, kau ini sungguh susah dihadapi.." gerutu orang kurus itu sambil tertawa. "Karena kami juga tidak ingin kerepotan dalam mengurusmu, maka…" sampai disitu orang kurus itu menoleh kearah Bergola. "Lebih baik kami mempercepat kematianmu dengan cara yang paling gampang!" sambungnya dengan nada hambar.
Jaka mengeriyitkan kening, sampai sejauh itu Jaka tidak ingin turan tangan lebih dulu. Pemuda ini merasakan getaran pohon yang ia tumpangi makin terasa. "Rasanya emosi orang ini sebentar lagi meledak…" pikir Jaka, dia ingin tahu bagaimana orang yang bersembunyi akan bertindak.
"Silahkan…" sahut Danu Tirta dengan nada datar dan hambar pula, agaknya ia sama sekali tidak khawatir dengan keselamatan jiwanya. Malah bibirnya menyungingkan senyuman.
Momok Wajah Ramah tertegun, sebagai orang licik yang menimbang untung-ruginya, melihat ketenangan calon korbannya, dia jadi goyah. Dia merasa ada yang tidak beres.
Bergola yang tidak kalah liciknya juga merasa ada sesuatu yang jadi andalan pemuda itu. "Anak ini terlalu tenang, dia pasti menyembunyikan sesuatu. Kalau begini terus, persiapanku menghadapi si tua keparat bisa telat! Harus cepat bertindak."
Tanpa menoleh kepada rekannya, Bergola menghantamkan tinjunya tepat di kepala Danu Tirta. Orang tinggi besar ini ingin menghancurkan kepala pemuda itu dengan sekali pukul. Terdengar deruan angin dalam pukulan Bergola, agaknya tenaga dalam yang menyertai pukulan Panah Sebelas ini cukup untuk meremukan batu karang.
Bukan Danu Tirta saja yang terkesip, rekan Bergola juga tak kalah kagetnya. Danu Tirta sama sekali tidak menyangka kalau Bergola bertindak secepat itu. Menurut perhitungannya dengan sikap yang hambar dan acuh itu, dua orang itu akan mengurungkan niat untuk mencelakainya, tapi siapa tahu Bergola malah bertindak kelewat cepat.
Dilain pihak orang yang bersembunyi satu pohon dengan Jaka, kelihatan terperanjat, Jakapun terkejut, hanya saja pemuda ini tidak bergerak, sebab saat hendak bertindak, dalam waktu hampir bersamaan dia melihat kelebatan bayangan di kejauhan. Luncuran bayangan itu sangat cepat, dan lebih gelombang padat sarat hawa sakti menyertai mereka. Hanya tinggal seujung kuku pukulan Bergola hendak mengenai dahi Danu Tirta, sebuah deruan keras bagai naga mengamuk menggebu tepat dibelakang Bergola.
Wuush!
Oh, ternyata deruan angin kencang itu adalah serangan gelap yang luar biasa, sangat cepat, dan dalam jangka waktu yang sama pasti akan menghantam Bergola dan rekannya.
Bergola menyadari bahaya serangan itu, ia segera menghindar kesamping. Momok Wajah Ramah yang ada di samping Bergola-pun tidak berani bertindak ayal, ia juga melompat menghindar, berlawanan arah dengan Bergola.
Braak!
Deruan angin kencang itu menyerempet pohon besar yang ada didepan mereka. Pohon yang kena pukulan jarah jauh itu adalah pohon jati berusia puluhan tahun dan sangat keras, tapi kulit dan hampir setengah batangnya pecah terkena deruan angin tadi. Coba kalau batang pohon itu yang menjadi sasaran pukulan itu, tentu sadah hancur tak berbentuk.
Panah Sebelas dan Panah Tiga Belas mengucurkan keringat dingin, dari pukulan jarak jauh tadi mereka dapat menyimpulkan kalau orang yang datang kelihayanya tidak kalah dengan dua orang ketua yang mereka jumpai tadi, mereka sadar situasi kali ini sangat buruk. Tanpa banyak cakap, keduanya segera kabur.
Kejadian itu hanya terjadi beberapa detik saja, untuk sesaat Jaka terpana dengan semua itu. "Sungguh dahsyat!" Pemuda ini kagum dengan teknik menyembunyikan hawa serangan pendatang itu, dalam jarak sejauh itu (diperkirakan 70 tombak), menyembunyikan hawa tekanan, biasanya melemahkan serangan itu sendiri, tapi serangan itu bukan saja tak berbunyi (sebelum mendekati sasaran), bahkan kecepatannya tak berkurang.
Sementara itu beberapa kejap setelah kejadian tadi, terlihat lima sosok bayangan sampai di tempat itu. Jaka memperhatikan semuanya dengan seksama, dia tidak ingin ada kejadian yang lepas dari pengamatannya.
Lima sosok yang baru saja datang mengenakan pakaian putih-putih, rambut mereka juga putih berkilat seperti perak. Sungguh suatu keadaan yang amat ganjil! Jaka menilai usia mereka, paling banyak lima puluhan. Tapi anehnya rambut mereka semuanya putih. Dalam pikiran Jaka, putihnya rambut itu tidak sewajarnya, mungkin saja kelima orang itu menguasai suatu ilmu berhawa panas sehingga dapat mempengaruhi rambut.
"Kau tidak apa-apa?" tanya orang yang berada paling depan pada Danu Tirta.
"Terima kasih atas bantuan paman sekalian, saya tidak apa-apa. Aih, untung saja paman datang kalau tidak entah apa jadinya." Kata pemuda ini sambil menggeliat, tapi jalan darahnya belum lancar.
Orang kedua dari lima orang itu segera membantu melepaskan sisa pengaruh totokan.
"Terima kasih," kata Danu Tirta sambil berdiri. Ia menghimpun tenaganya dan segera dialirkan pada pembuluh darah yang sudah sekian lama tersumbat totokan.
"Adik…" terdengar suara dari atas pohon, lalu mendadak saja sosok bayangan meluncur turun.
Danu Tirta terkejut, ia segera berseru girang, "Kak Dd.."
"Huss!" Potong orang itu dengan cepat.
"Kau tidak apa-apa?" tanya orang itu sambil memegang tangan Danu Tirta.
"Ya, nyaris saja…" sahut Danu Tirta sambil tertawa ringan. Kiranya yang datang adalah pemuda yang bersembunyi satu pohon dengan Jaka.
Jaka yang melihat adegan itu, nyaris bersorak. "Rupanya mereka saling kenal, kalau begitu apa yang tadi diceritakan pemuda itu benar. Paling tidak sebagian… bagus, tidak sia-sia aku lewat sini."
"Maafkan aku karena tak keburu menolongmu, tadinya aku hendak turun tangan. Tapi aku menimbang kekuatan sendiri, kalau kita berdua jatuh di tangan dua orang jahanam itu bukankah ruyam? Saat terakhir tadi, hampir saja aku mengadu nyawa dengan mereka, untung saja para paman datang, kalau tidak, habislah…" kata pemuda yang baru datang ini penuh rasa syukur.
"Ah, tidak apa-apa. Meskipun berbahaya, kini kita lebih jelas mengetahui siapa orang-orang itu. Kuyakin tak lama lagi, setelah para sesepuh tahu berita ini, kita bisa segera menyingkap kedok-kedok mereka!" ujar Danu Tirta dengan gemas. Mendengar itu Jaka tersenyum girang, kini dia sudah mendapat kepastian bahwa cerita Danu Tirta benar.
”Oh, jadi cerita tentang si kedok yang memberimu surat adalah eyang sepuh?”
“Benar, memang aku tadi bertemu dengan eyang sepuh, tapi beliau tidak memberikan surat apa segala, itu kan cuma bualanku saja.”
“Dasar!”
"Apa yang terjadi sebelumnya tuan… muda?" sela orang ketiga yang menyelamatkan Danu Tirta.
"Ah, hanya kejadian biasa.. tapi yang luar biasa, mereka bergerak secara gelap, kukira semacam perkumpulan rahasia. Dugaanku mereka begundalnya Perkumpulan Kuda Api…" Lalu Danu Tirta menceritakan apa yang tadi terjadi.
Jaka tercengang mendengarnya. "Kuda Api? Apa bukannya anggota Perkumpulan Lidah Api, atau Dewa Darah?"
Jaka berpikir tanpa menghiraukan keadaannya lagi. Sebelumnya, saat Jaka mengintai pemuda ini menggunakan pernafasan kura-kura. Dalam dunia persilatan ilmu pernafasan kura-kura merupakan ilmu umum yang dikuasai setiap pesilat, bahkan bakul jamu-pun berlatih ilmu seperti itu. Kegunaan ilmu ini dapat membuat orang bernafas lebih lembut dan lebih lama menghembuskan udara, tentunya makin lama dapat menahan nafas tanpa sesak, berarti orang itu tergolong tokoh tingkat tinggi. Dan saat mengintai tadi, Jaka menggunakan pernafasan tersebut agar tidak terdeteksi kehadirannya. Dan tanpa sadar, kini Jaka menghembus nafas panjang.
"Hh… memangnya ada berapa perkumpulan rahasia? Persoalan ini tidaklah rumit seperti yang kukira, hanya saja banyak point penting yang belum banyak kuketahui"
Saat Jaka merenung, lima orang pelindung itu, tercengang kaget.
"Siapa disitu?!" bentak mereka hampir bersamaan.
Jaka menggeregap kaget, ia baru menyadari kecerobohannya. Sesaat dia berpikir untuk kabur, tapi dilain kejap, Jaka memutuskan untuk bertemu dengan mereka.
"Orang lewat…" sahut Jaka dari atas pohon, dan ia belum memutuskan untuk turun lebih dulu.
"Sedang apa kau disitu?" tanya rekan Danu Tirta dengan perasaan heran, sebab setahunya saat sedang sembunyi ia tidak merasakan kehadiran orang.
"Tentu saja bukan sedang iseng.” Sahut Jaka sembari tertawa. “Aku sedang menunggu seorang kawan, tapi dari tadi dia tak kunjung muncul. Malah kalian bertujuh dan empat orang brengsek sebelum kalian yang datang kemari, sebenarnya akulah yang harusnya bertanya demikian pada kalian, sedang apa kalian berada dikebun ini?" tanya Jaka dengan nada berat.
Tujuh orang itu saling pandang, agaknya mereka juga enggan mencari masalah pada saat seperti itu. Tapi sepertinya Danu Trita berpandangan lain.
"Sobat, maukah engkau turun? Agar kita bisa berbicara dengan lebih leluasa?" pinta Danu Tirta.
"Boleh juga," sahut Jaka.
Mendengar jawaban itu, ketujuhnya mendongkakkan kepala mengawasi pohon yang jarang daunnya. Tapi setelah beberapa lama diawasi, tiada satu bayanganpun terlihat. Diam-diam mereka tercengang kaget, "Apakah orang itu sudah pergi?" tanya hati mereka masing-masing.
Kalau iya, berarti mereka telah berjumpa dengan tokoh luar biasa. Sebab jelas-jelas dari pohon itulah suara Jaka berasal. Tapi sampai saat ini, jangankan sosok tubuh, gerak-geriknya juga tak terlihat sama sekali!
"Apa yang akan kita bicarakan?" tiba-tiba dari belakang mereka terdengar pertanyaan orang.
Serentak ketujuh orang itu membalikkan tubuh dengan kewaspadaan dan hawa murni untuk melindungi tubuh dari serangan gelap si pendatang. Hati mereka bergetar hebat, menyadari kalau kehadiran orang itu, tidak dapat dideteksi.
"Benar-benar, manusia pilih tanding." Seru mereka dalam hati.
Mereka melihat sosok berbaju gelap berdiri tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Bolehkah kutahu siapa sobat ini?" tanya orang pertama dari lima orang berambut putih.
Karena suasana malam itu diterangi cahaya bulan purnama, mereka bisa melihat bahwa orang yang berdiri disitu adalah seorang pemuda berbaju sederhana.
"Saya Bagas Arta, aih.. sungguh tidak terduga malam ini saya bisa berjumpa orang-orang hebat dari Perguruan Sampar Angin. Maaf, apakah tuan berlima ini adalah salah satu empat kelompok dari perguruan Sampar Angin, mungkin kelompok Kilat?" tanya Jaka tanpa basa-basi.
"Ah.. kami mana pantas disebut kelompok Kilat, kami disebut Lima Pelindung Putih." Kata orang pertama itu menjelaskan. "Aku dipanggil Putih Tunggal," sambungnya dengan suara ramah.
"Selamat berjumpa..." kata Jaka dengan menyoja hormat. Dalam hati ketujuh orang itu, terbetik perasaan aneh begitu menjumpai suasana seperti malam ini.
Penampilan Jaka yang bersahaja lamat-lamat menimbulkan perasaan hormat dihati mereka. Padahal mereka tahu usia pemuda itu paling banter sama dengan tuannya.
"Maaf kalau saya mengagetkan tuan sekalian, sebenarnya saya ada janji dengan seorang teman di tempat ini, tapi keadaan yang berlangsung diluar dugaan saya," kata Jaka memberi alasan. "Mungkin mengetahui kejadian tadi, teman saya sudah pergi dari sini." Sambungnya menambahi keterangan.
"Oh..” merekapun hanya bisa tercengang, orang pergi dari situ tanpa mereka ketahui, berarti teman orang didepan mereka adalah tokoh kosen. “Ah, tidak mengapa, kami hanya merasa heran. Mengapa begitu kebetulan kita bertemu disini?! Kami juga mengadakan perjanjian untuk bertemu di tempat ini…" akhirnya Putih Tunggal berkata sebisanya, agar lawan bicaranya tidak menyangka dia tadi sempat tertegun. Padahal Jaka cuma asal cakap.
"Kita sama-sama pendatang, dan sama–sama tidak tahu dimana tempat yang enak untuk berjumpa secara rahasia. Dan anehnya, tempat ini yang jadi tujuan. Bukan saja olehku tapi oleh kalian dan banyak orang lainnya. Tapi mungkin juga ini yang dinamakan jodoh," sahut Jaka sambil tertawa. Lalu setelah berkata seperti itu, ia membalikkan tubuhnya. Perbuatan pemuda itu membuat tujuh orang itu heran juga was-was.
"Tidak lekas pergi? Memang menunggu mereka menyergap kalian? Atau kalian meminta supaya orang-orang ini menggrebek sarang anjing kalian?" seru Jaka dengan suara keras, namun sama sekali tidak ada reaksi dari ucapannya, tapi rasa-rasanya ada suara semak-semak saling bergesek dikejauhan. Beberapa lama kemudian Jaka menggumam, "Bagus kalian sudah pergi, jadi kita masih bisa berurusan dengan tenang."
Sesaat kemudian, Jaka membalikan badannya dan menyoja. "Maaf, saya perkenalkan sekali lagi pada tuan sekalian. Nama saja Jaka Bayu.." kata pemuda ini membuat lima orang itu bingung. Dan membuat dua pemuda tadi kaget.
“Ah..” terdengar desahan dari Danu Tirta dan pemuda kawannya, mereka saling berpandangan sesaat.
"Ehm.. maaf, sebenarnya apa yang sedang terjadi?" tanya orang kedua yang dipanggil Dwi Putih.
"Orang yang tadi hendak mencelakai saudara Danu Tirta sebenarnya belum pergi dari sini, mereka hanya bersembunyi untuk melihat keadaan. Atau lebih tepat dikatakan untuk menyelidiki kekuatan Perguruan Sampar Angin." Tutur Jaka menjelaskan.
Danu Tirta terkejut, "Kenapa tidak saudara Jaka bilang dari tadi? Bukankah kami bisa menangkap mereka?"
"Tidak semudah itu, biarpun saya memberitahukan kepada tuan, belum tentu anda mempercayai keteranganku. Lagi pula, kalian belum mengenalku. Dan andai saya memberitahu pada tuan sekalian tentunya mereka berdua tahu apa yang sedang terjadi. Masa orang selicik mereka mau menerima nasib sial begitu saja? Tentu mereka sudah kabur entah kemana.”
Danu Tirta baru sadar kalau pertanyaannya tadi terlalu berlebihan. "Oh.. kiranya begitu." ujarnya merasa malu, baru ia sadari kebodohannya.
"Kenapa saudara Jaka harus memperkenalkan diri dengan nama palsu?" tanya Putih Tunggal.
"Saya hanya tidak ingin dikenali mereka. Mungkin suara saya bisa dikenali, tapi jarak sejauh ini saya yakin mereka tidak bisa melihat wajah saya." Tegas Jaka.
"Oh, sepertinya anda mengenal mereka?!" tanya pemuda yang tadi bersembunyi dengan nada agak sinis, dia bernama Damar Kemangi.
"Memang saya mengenal mereka. Tapi hanya sekedar kenal lihat, belum sempat bertegur sapa. Alasan saya tidak ingin berjumpa mereka, karena saya punya kejutan menarik untuk mereka!" tutur Jaka, dia tidak gusar biarpun disindir oleh orang tak dikenal. Pembawan Jaka kadang memang acuh tak acuh.
"Oh, kelihatannya saudara lebih percaya kami?" ujar Tetra Putih—orang ke empat.
"Nama baik yang kalian junjung sudah pasti merupakan jaminan bahwa kalian tidak sama dengan orang-orang tadi.”
“Oo..”
“Jadi kau sudah kenal dengan Perguruan Sampar Angin?” Tanya Damar Kemangi.
“Tidak sepenuhnya begitu, saya hanya mengenal nama saja, dan apa yang kudengar nama perguruan kalian, memang tidak salah menjadi salah satu dari enam belas tiang penopang dunia persilatan.”
“Ah, terlalu memuji…”
Suasana malam itu makin hening, meski sudah agak akrab mereka berdialog, tetap saja suasana kaku tak dapat dicairkan. Jaka menatap langit, dia baru sadar kalau harus bergegas menuju rumah Ki Lukita.
"Maaf, saya tidak bisa menemani saudara sekalian lebih lama. Bagaimanapun juga saya harus berjumpa dengan kawan saya yang seharusnya datang kemari." Kata Jaka memberi alasan sambil menghormat, lalu tanpa menanti jawaban pemuda ini membalikan tubuh dan berlalu. Tapi baru beberapa tindak..
"Tunggu!" Danu Tirta menahannya.
Jaka menoleh, "Apakah ada keperluan lain?" tanya Jaka ramah.
"Tidak.. tapi bisakah kami mengenalmu lebih lanjut?" tanya pemuda itu blak-blakan.
Jaka tertawa, "Pepatah bilang, empat penjuru adalah saudara, kalau tuan-tuan memang ingin mengenal orang sepertiku, tentu saja merupakan kehormatan besar bagiku, sayangnya… dalam satu dua hari ini, saya punya kesibukan. Kalau tuan-tuan tidak keberatan, tiga hari dimuka, tepat tengah hari kita bisa bertemu di Sungai Batu…"
"Baik, kami akan kesana!" ujar Danu Tirta lugas.
"Terima kasih." ucap Jaka. Saat hendak berlalu, ia melihat Damar Kemangi seperti ingin mengatakan sesuatu. "Apakah saudara ingin menyampaikan sesuatu?" tanya pemuda ini sambil tersenyum.
"Ehm, memang benar, saya ingin bertanya. Apakah kedatangmu tadi lebih dahulu dari pada kedatanganku?"
"Terus terang saja kedatanganku lebih lambat sesaat dari kedatanganmu. Waktu itu kau sudah bersembunyi didekat cekungan batang pohon. Sebelumnya aku tidak sadar kalau dipohon itu ada orang, tapi beberapa saat kemudian baru kusadari kalau aku tidak sendirian…"
"Bagaimana cara kau mengetahuinya?" tanya Limas Putih, si orang kelima tertarik. Heran, cara sepele seperti itupun ditanyakan, namun ia tetap menjawabnya. "Andai saja saudara ini tidak mencemaskan ketidak hadiran rekannya, mungkin aku tidak pernah mengetahui kalau di pohon itu ada orang lain."
Mereka terlihat mengangguk, tapi dalam hatinya tujuh orang itu sangat tercengang. "Orang yang bisa merasakan getaran tak wajar, paling banter tergolong dalam tingkatan tokoh tua, tapi dia.. bagaimana bisa?" pikir mereka heran.
"Em, lalu bagaimana bisa anda turun dipohon itu tanpa kami ketahui?" tanya Trigan Putih, si orang ketiga.
Jaka tertawa tanpa suara. "Sebenarnya sejak tuan sekalian memintaku turun, saya sudah turun. Mungkin anda tidak memperhatikan saat saya turun, saya kan tidak punya ilmu menghilang. Kalau kemunculan saya yang mengejutkan, mungkin karena sebelumnya tuan sekalian sedang terpaku pada dua begundal tadi, jadi tidak memperhatikan kedatangan saya."
Jawaban Jaka malah membuat hati mereka makin tercengang, mereka tahu kalau sesungguhnya Jaka sedang merendahkan dirinya. Tapi siapa yang tahu kalau ucapan Jaka itu adalah ucapan sebenarnya? Siapa yang dapat menduga kalau Jaka memang bertindak demikian?
"Maaf, saya harus segera pergi,"
Tanpa banyak basa-basi lagi Jaka melangkahkan kakinya. Setapak demi setapak dan akhirnya bayangan tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam.
"Kita berjumpa dengan orang yang luar biasa…" gumam Putih Tunggal sambil menghela nafas panjang, seolah tadi ia tak berani bernapas keras-keras.
"Paman, apakah orang itu benar-benar hebat?" tanya Danu Tirta.
"Aku tidak tahu, hanya saja dari bukti yang kita saksikan sendiri, siapa yang dapat menduga apa yang ia lakukan saat turun dari pohon? Tadinya aku mengira itu semacam tipuan, tetapi saat tadi aku menghormat, kukirimkan gelombang serangan kedadanya, tapi aneh.. rasanya tenagaku seperti amblas kedasar samudra."
“Mungkin meleset.” Sahut Danu Tirta.
“Kau meragukan hawa Menusuk Bangau Diawan-ku?”
“Bukan, bukan maksudku meragukan paman, kuyakin ilmu yang paman yakini puluhan tahun pasti tidak meleset, tapi kan siapa tahu?”
“Tidak mungkin, karena seranganku jelas-jelas kena didadanya, tetapi kejap berikutnya hilang, tersedot entah kemana.”
Suasana makin hening setelah Putih Tunggal mengemukakan alasannya, malam yang semakin larut itu makin sepi, namun tingkah jengkrik dan binatang malam tidak berhenti begitu saja.
"Aku semakin tertarik dengan pemuda bernama Jaka, ingin kutahu sebenarnya orang macam apa dia itu!" kata Trigan Putih.
Meskipun yang lain tidak menyahut, tapi dalam hati mereka juga timbul keinginan serupa. Biarpun mereka lamat-lamat melihat raut dan wujud Jaka, namun rimbunan pohon yang menghalangi sinar rembulan belum memberikan kejelasan wajah pemuda itu.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar