Tanpa sadar keduanya saling berpegangan tangan. Sungguh sial
ketemu hantu, pikirnya. Sekalipun mereka tahu, si pocong itu hanya hantu
bohongan, tapi dimalam hari sunyi senyap, melihat orang yang sejak tadi
tak bisa mereka lihat, sekalipun bukan hantu, si pocong sudah mereka
anggap sama dengan hantu.
“Dasar anjing goblok!” ujar orang itu menirukan makian Sora sambil
tertawa panjang—ngikik, mendirikan bulu roma. “Mana?” ucapnya sambil
menjulurkan tangan. Maksudnya jelas, meminta apa yang dia pinta tadi.
Sora dan Sena saling pandang, cukup dari saling memandang, maka apa
yang selanjutnya akan mereka lakukan sudah dipahami masing-masing.
“Hiat!”
Serentak keduanya memukul pocong jadi jadian itu. Tapi dengan gerakan
wajar saja, si pocong bisa menghindarinya. Setiap pukulan, tendangan dan
serangan demi serangan yang tercurah, sama sekali tidak bisa menyentuh
si pocong.
“Kalian pikir bisa memukul hantu?” kata si pocong sambil tertawa mengikik panjang, membuat keduanya makin tidak tentram.
Enam puluh jurus sudah lewat, tapi setiap serangan tidak pernah
sekalipun menyentuhnya, jangankan memukul orangnya, untuk menyerempet
kain pocongnya saja tidak bisa. Padahal kerja sama serangan keduanya
sangat solid dan terkenal sulit dikalahkan. Kondisi Sena Wulung makin
payah, sebelumnya dia sudah luka, kini dipaksa untuk menghamburkan
tenaga, tubuhnya benar-benar lemas. Nafasnya terengah hebat.
“Bagaimana? Apakah kalian menunggu hingga seratus jurus lagi? Aku
tidak menjamin dalam waktu sepanjang itu aku tidak menghajar kalian,
jadi cukup kalian turuti permintaanku. Aku akan menghitung sampai lima,
jika belum juga kalian melucuti barang bawaan dan pakaianmu, tolong
ucapkan selamat tinggal pada dunia… hitung-hitung kalian punya
solideritas pada tiga orang itu.”
“SATU! Jangan gugup, masih satu, serang saja sekuat kalian. Tak perlu malu untuk berciat-ciat segala.”
“Bangsat! Makhluk apa kau ini… kenapa kau mengganggu pekerjaan kami?”
“Kalau aku ingin mengganggu kalian, sudah kulakukan sejak dulu. DUA…
lagi pula hantu kan tahu segala rahasia kebusukan kalian, perlu apa aku
menguntit kalian kesana kemari. Ketua cabang satu dan ketua utama
wilayah kalianpun tak akan sekurang ajar ini padaku, kujamin dia yang
kalian sebut beliau, akan… TIGA! Jangan lupa hitungan tetap berjalan…
sampai mana aku bicara tadi? Oh ya, orang yang di beliaupun akan
menyembah-nyembah padaku, apalagi sarang anjing perkumpulan kalian sudah
kuketahui.”
“Keparat!” teriak Sora saking gemasnya. Biarpun ia memaki tetapi
hatinya terasa kecut, istilah ketua cabang satu, ketua utama wilayah
memang terdengar wajar. Tetapi tidak bagi kedua orang ini, sebab
organisasi yang mereka masuki itu termasuk organisasi rahasia, kalau
bukan anggota, tak mungkin ada yang tahu… jadi siapa si pocong ini?
“Benar, kau masih berani memaki aku karena aku tak menyerang, EMPAT… satu kali lagi aku akan menghajar kalian.”
Seruan si pocong membuat keringat mereka makin deras mengucur,
bayangkan… semua upaya, jurus, tipu silat terlihay sudah mereka
lancarkan, tapi tak satupun berhasil.
“LI..”
“Baik-baik… kami menyerah!” teriak Sena dan Sora putus asa.
“Hi-hihi, sekali-kali jadilah anak baik, tak perlu banyak membantah. Nah, lepaskan barang-barang yang menempel pada kalian.”
“Dasar bangsat!” gerutu Sena dengan napas tersenggal-senggal. Di
dasar hatinya terbit rasa ngeri yang bukan kepalang. Sudah seratus jurus
lebih mereka bertarung—lebih tepat jika disebut mereka bergerak, tetapi
kondisinya tetap saja seperti itu, si pocong tidak tersentuh.
Ketua cabang satu saja, hanya bisa menghadapi mereka berdua tanpa
balas tak lebih dari sepuluh jurus, konon lagi puluhan jurus, tapi si
pocong ini… membayangkan kembali, membuat Sora merinding.
“Eit-eit-eit, tunggu dulu, aku harus mendikte apa yang perlu kalian
lepas.” Kata si pocong melihat Sena dan Sora hendak melucuti pakaiannya.
“Pertama lemparkan kemari barang-barang yang kalian peroleh dari mantan
anak buahmu.”
Keduanya mengeluarkan Kitab Lintang Pitu dan tiga lencana pengenal
dari Perguruan Lengan Tunggal.
“Bagus, tapi jangan kira aku buta, mana
dua buah yang terakhir?”
Dengan perasaan mendongkol dan juga malu, mereka melemparkan sisanya.
“Anak baik, sekarang lepas topeng jelekmu itu Sora… eit, tak perlu
menggerutu, aku tahu apa kata hatimu.
Memang aku sejak tadi bisa melepas
topeng jelek itu, tapi tanganku enggan menyentuh topeng bau itu. Nah
pintar,” puji si pocong begitu Sora Barung melepas topengnya.
“Sekarang lepas baju dan celana kalian, juga celana dalam. Tidak
perlu malu untuk telanjang, toh kita sama-sama lelaki, biarpun ada hantu
yang suka sesama lelaki, tapi aku ini termasuk hantu suci lho.” Ujar Si
Pocong seraya terkikik geli sendiri.
Keduanya tidak bisa memaki atau membangkang lagi, karena dari segi
apapun mereka kalah jauh, ibarat anak-anak melawan orang dewasa. Dengan
gerakan lambat keduanya melepas baju dan celana… juga celana dalam!
“Bangsat! Keparat!” maki Sena dengan wajah kelam… tangannya bergegas menutupi bagian bawahnya.
“Ehm, bagus-bagus, benar-benar orang yang patuh. Kurasa cara kalian
menjiliat atasan, sudah tidak perlu kuajari lagi.” Sindir si pocong
tertawa geli. “Aku ini termasuk hantu baik, jadi kuberi kalian sepotong
kain untuk menutupi aurat.” Lalu si pocong melemparkan secabik kain
untuk keduanya.
“Bukankah cukup menutupinya?” ujarnya kembali terkikik, kali ini tawa si pocong bukannya tawa mengejek, tapi benar-benar geli.
Tanpa basa-basi keduanya mengenakan kain itu dengan cepat… dan dalam
empat detik saja kain itu sudah menjadi celana pendek yang cukup
inovatif.
“Nah, sekarang aku ingin minta pendapatmu berdua, apakah kalian lebih
suka menggunduli rambut sendiri atau aku yang menggunduli kalian? Tapi
aku tidak jamin bukan hanya rambutmu yang terpotong…”
“Anjing!” maki keduanya bersamaan.
Si Pocong terkekeh. “Meski ucapan kalian tidak bisa mencerminkan
jabatan yang diemban, kurasa tata krama kalian cukup bagus, dari tadi
tiada makian yang lain.”
Mereka tidak menanggapi, sekalipun bisa, hanya membuat mereka makin
dongkol dan tambah stress.
Dengan tenaga dalam mereka yang tinggi, cukup
dengan mengusap-usapkan tangan ke kepala… beberapa saat saja rambut
bertebaran, meski tidak cukup rata, bolehlah di bilang botak.
Si pocong bersiul menggoda, “Botak yang menggiurkan, tanganku jadi gatal ingin menjitak.”
Karuan keduanya segera menekap melindungi kepala. Si pocong tertawa
melihat kelakuan dua orang itu.
“Ah, aku hanya bercanda. Urusanku dengan
kalian sudah selesai, kalian boleh pergi…”
“Pergi, ya pergi!!” geram keduanya dengan muka kelam. Sakit hati
keduanya lebih besar dari rasa malu akibat penghinaan
‘si-pocong-entah-siapa’. Tapi apa mau dikata, membalas tak berani,
terpaksa hanya bisa memaki dalam hati.
“Eh, kalian tidak minta namaku? Dimana kuburku? Siapa tahu kalian ingin balas dendam?”
“Perduli setan!”
“Ehm, makian bagus! Memang aku sekarang sedang jadi setan, jadi aku harus perduli dengan keselamatan kalian.”
Keduanya tersurut mundur dengan perasaan ngeri. “Apa maksudmu?”
“Apa kalian punya muka pulang dengan keadaan begitu? Bisa kubayangkan
kalian mengatakan pada pimpinan, kalau ditengah jalan ketemu hantu lalu
diperas habis-habisan. Lelucon yang tak lucu. Karena itu aku berniat
membantu kalian!”
Keduanya saling pandang tak mengerti. “Apa maksudmu?” tanyanya mengulangi.
Si pocong tertawa panjang, mendadak. “Terima ini!” desisnya dengan
suara dingin. Tubuhnya melejit cepat, benar-benar bergerak bagai setan,
tangannya menampar bahu mereka.
‘Tamparan’ tak berapa keras itu semula mereka tanggapi dengan
seringaian mengejek. Tapi sedetik kemudian, bahu mereka seperti terkena
palu godam ratusan kati. ‘Tamparan’ yang mereka terima memang cuma
sekali, tetapi rasanya seperti kena hantaman keras berkali-kali.
“Mana ucapan terima kasih kalian? Bukankah dengan demikian, atasan kalian bisa memaklumi kekalahan ini?”
Kedua orang itu tak menanggapi, mereka hanya menyeringai kesakitan.
“Untuk sementara, dia pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Pergilah!”
Jangankan untuk melangkah, untuk bergerakpun merasa sulit, rupanya
‘tamparan’ tadi sudah meremukkan bahu kiri keduanya, apalagi akibat
pukulan itu hawa panas menerpa mereka, bagai debur ombak yang kain lama
kian deras.
Keduanya mengerang kesakitan, kadang kepanasan, saking panasnya
timbul semacam rasa dingin menusuk tulang lebih menyiksa. Sekalipun
kalah tragis, merekapun tidak malu disebut jagoan, dengan memaksakan
gerakan, keduanya saling menotok—maklum saja jika mereka menotok bagian
tubuhnya sendiri, tentu tidak terjangkau, makanya dua orang itu
bergantian menotok saraf utama untuk mengurangi rasa sakit.
Tadinya mereka pikir, pukulan si pocong akan menimbulkan bekas,
begitu diraba lebih seksama, ternyata tidak! Keheranan mereka sedikit
mengalahkan rasa nyeri.
“Pergi!” bentak si pocong sambil mengibas tangannya. Seperti dihempas
badai, Sora dan Sena terguling-guling belasan tombak. Dalam waktu yang
amat singkat, mereka bisa memahami seberapa sakit yang dialami anak
buahnya. Tapi rasa sakit itu hanya sesaat, sekejap saja sudah digantikan
dengan kengerian tak terhingga.
“Setan…” bisik mereka, tanpa mengindahkan rasa sakit, keduanya lari…
terkencing-kencing! Percuma saja si pocong memberikan kain penutup.
“Aih, dasar tak berguna. Gara-gara mereka, aku terlambat
menyelamatkan tiga orang ini.” Kata si pocong. Ia mendekati Kaliagni,
dipegangnya nadi orang itu.
Dia terluka parah, tapi kurasa tuan masih bisa menyelamatkan, pikirnya.
Lalu ia memeriksa luka Ludra dan Mintaraga. Dia menggeleng prihatin
menyadari luka keduanya sangat parah. Hm, apakah mereka masih bisa
tertolong, atau tidak, kuserahkan saja pada takdir-Nya. Sekarang aku
harus bergegas, mudah-mudahan masih sempat…
Si pocong memunguti barang Sora dan Sena yang berserakan, dan
dimasukkan kedalam kantongnya. Lalu dia bersuit panjang, tidak lama
kemudian, muncul dua sosok tubuh berkelebat cepat dari kegelapan.
“Tolong, bawa mereka.” Katanya dengan suara prihatin.
Keduanya mengiyakan dengan hikmat. Si pocong mengangkat Mintaraga
yang paling parah, sisanya dia serahkan pada dua orang tadi. Bagai
mencangking karung kosong, tiga tubuh yang tak berdaya itu di bawa
melesat jauh. Sekejap saja padang rumput yang tadi gaduh, kini senyap.
Dan binatang malam kembali bersuara.
Bersambung.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar