Sang guru dan tiga rekannya menatap pemuda itu, kelihatannya Jaka sama sekali tidak menampilkan perubahan pada raut wajahnya.
"Syukurlan Rubah Api masih hidup," gumam
pemuda ini dengan suara lirih. Tapi empat orang sesepuh itu mendengarnya.
"Ya, sekarang giliranmu, kau bilang ingin
menceritakan sesuatu yang menarik?!" tagih sang guru sambil tertawa.
Jaka tersenyum lalu ia mengeluarkan kertas dari balik
pakaiannya, kertas itu ada lima lembar. Empat lembar berisi, sedangkan lembar
lainnya kosong. Rupanya sebelum berangkat dari penginapan, Jaka sempatkan diri
untuk menuliskan apa yang ia alami di Telaga Batu dan beberapa rencananya.
Sementara tentang kejadian baru seperti; saat ia memergoki pelayan gadungan dan
bertemu orang-orang Perguruan Sampar Angin, belum ia tambahkan, Jaka berniat
memberitahu sang guru sekedarnya saja; bahwa dia berjumpa dengan orang-orang
Perguruan Sampar Angin, cuma itu.
Sejak awal, Jaka memang berniat menguraikan rencana dan
beberapa hal yang perlu diketahui Ki Lukita, secara tertulis. Pemuda ini juga
sengaja menuliskannya hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada kejadian diluar
dugaan, dan kelihatannya tulisan Jaka dibutuhkan pada saat ini.
Jaka mengambil pena arangnya, lalu ia menulis.
Ada orang menyusup kemari! Tentu saja empat
orang itu kaget—atau setidaknya seperti itulah keadaannya, mereka saling
pandangan untuk sesaat, lalu serentak memandang Jaka.
Jaka tahu keheranan empat sesepuh itu. Ia sodorkan pena
dan kertas pada Aki Glagah.
Darimana kau bisa tahu? Aki Glagah menulis
dengan perasaan heran juga tak percaya.
Orang itu lihay, mungkin dia seangkatan dengan Aki
sekalian atau bahkan kenalan lama, saya tidak dapat mendeteksi keberadaanannya,
namun saya bisa membaui keberadaan orang lain—orang yang bukan berasal dari
dalam rumah ini. Kemungkinan besar orang itu berada di tembok halaman belakang!
Empat orang yang membaca tulisan Jaka tercengang,
antara percaya juga tidak percaya, bukan kaget dengan adanya kejadian itu, tapi
mereka kaget melihat penjelasan Jaka. Tapi kemudian Aki Lukita teringat, Jaka
menguasai Kitab Pertabiban yang pernah bikin heboh, tentu saja ada pelajaran
mengenai perbedaan aroma dan bau-bauan. Keempat orang itu saling pandang, dan
Ki Lukita kelihatan mengangguk.
Kenapa dia tidak mendekat kemari? Tulis
Benggala, ia percaya dengan anggukan Aki Lukita.
Dia tidak berani melewati barisan yang berada di
halaman belakang. Kemungkinan besar orang itu sekarang sedang mengamati kita di
pepohonan belakang rumah. Sebab bau yang saya cium sedikit membunyar.
Tulis Jaka.
Menurutmu percakapan kita disadapnya?
Gunadarma turut menggoreskan kata tanya pula.
Kalau tokoh itu selihay aki sekalian, kemungkinan
besar dia mendengarkan percakapan kita, tapi aki jangan kawatir, dia datang
setelah setengah penjelasan guru. Biarpun dia tahu permasalahannya, hal itu
tidak akan membuat rencana kita berantakan biarkan saja ia mengintai.
Tulisan Jaka membuat mereka heran, namun sekejap saja mereka paham apa artinya.
Rupanya Jaka ingin menjebak orang yang mengintai itu dengan percakapan palsu,
agar orang itu terjebak.
Jaka kelihatan menulis lagi, Guru, semua yang
hendak saya ceritakan ada pada lembar ini, aki sekalian juga boleh membaca.
Dan saya harap guru tidak bertindak tergesa-gesa setelah membaca rencana saya,
bahkan guru bisa santai. Aki Lukita dan yang lainnya membaca keterangan Jaka
agak tak mengerti, tapi segera mereka salah satu dari mereka membaca tulisan
dalam empat lembar kertas itu.
"Jadi sekarang bagaimana guru?" tanya Jaka
dengan suara seperti biasa, setelah mereka cukup lama terdiam.
Aki Lukita dapat membaca apa yang dimaksudkan Jaka,
"Hh.." orang tua itu menghela nafas panjang. "Peta yang dibuat
Rubah Api juga merupakan sesuatu hal yang amat penting!"
"Benar!" sambung Gunadarma. "Sebab Rubah
Api mengatakan kalau dipenyimpanan bukti itu terdapat sebuah peta lain, katanya
peta itu merupakan peta harta karun.."
"Ah.." Jaka pura-pura terhenyak kaget.
"Pantas saja Rubah Api di buru seperti binatang, rupanya mereka sudah tahu
semuanya. Kita harus hati-hati bertindak!"
"Benar apa katamu Jaka," sahut Benggala.
"Bukan mustahil saat kita mencari tempat yang dilukiskan peta, ada orang
yang menguntit semua gerak-gerik kita!"
"Kalau begitu, lebih baik guru serahkan peta itu
pada murid saja, biar urusan ini murid selesaikan." Setelah berkata
begitu, Jaka menulis dengan cepat. Jika tidak keberatan, guru berita tahu
saja dimana letak peta itu, biar murid yang mengurus segalanya.
Ki Lukita mengangguk, iapun segera menulis. Menurut
Rubah Api, tempat penyimpanan peta itu ada di Sungai Batu, aku tidak jelas
dimana letaknya, yang jelas ia sempat mengatakan sanjak begini, kemilau
emas membentang pertama, kemilau suasa membentang akhir, tertuju pada sebilah
pedang, kilatan tembaga selalu ikut serta. Hal itulah yang
sempat ia katakan sebelum pingsan. Aku sudah memeras otak, tapi belum juga
dapat kusimpulkan artinya. Setelah menulis begitu, Aki Lukita berkata,
"Baiklah, peta itu akan kuserahkan padamu, tapi
ingat jangan sampai hilang, sebab peta itu sangat berharga!"
Setelah berkata begitu, terdengar suara 'kriit' rupanya
Ki Lukita menggeser tempat duduknya dan ia berjalan untuk mengambil sesuatu.
"Jaga peta ini baik-baik!" pesan gurunya
dengan muka antara tertawa dan tidak, kelihatannya dia suka dengan sandiwara
yang diatur Jaka.
"Murid akan jaga sebisa mungkin!" jawab Jaka
sambil menerima lipatan kertas dari gurunya.
"Memang seharusnya begitu," sahut Ki Glagah,
ia sudah selesai membaca apa yang ditulis Jaka. Orang tua itu kelihatannya
tersenyum terus, ia mengacungkan jempol pada Ki Lukita. "Kau harus selalu
bertindak hati-hati, siapa tahu orang yang membayangi tindakanmu adalah
kenalanmu sendiri atau bahkan orang yang sama sekali tidak
diperhitungkan!" kata Ki Glagah sambil menyerahkan kertas Jaka pada Aki
Lukita.
"Jadi baiknya sekarang bagaimana? Malam seperti
ini saya sama sekali tidak leluasa bergerak."
"Itu tidak mengapa, lebih baik kau kembali
kepenginapan. Kan masih banyak waktu untuk mencarinya."
"Benar juga."
Masih satu setengah kentongan dari tengah malam, Jaka
teringat dia harus menemui orang lain di dekat kuil dekat perbatasan timur.
"Kalau begitu, sekarang juga murid pamit."
Ucap pemuda ini, tapi sebelumnya ia menghabiskan air teh.
Setelah berbasa-basi sejenak akhirnya Jaka keluar lewat
pintu belakang, pemuda ini agak berkerut kening saat keluar. Bau lain yang ia
cium masih terasa, tapi sosoknya tidak terlihat sama sekali. Karena malam bulan
purnama, dengan gerakan sadar tak sadar, Jaka mendongkak keatas, tiba-tiba
sekelebatan ingatan membuatnya lega.
"Saya berangkat..." begitu selesai berucap,
tubuh Jaka bagaikan asap yang tertiup angin. Hilang begitu saja dari depan
keempat sesepuh itu, sungguh sebuah ilmu peringan tubuh langka.
Begitu Jaka keluar, empat orang itu juga masuk kembali,
dan suasana dalam rumah Aki Lukita kembali hening bagai kuburan, biarpun
lentera di tiap sudut rumah menyala terang, tapi melihat kelengangan rumah itu,
mau tak mau orang akan bergidik ngeri juga.
Satu sosok bayangan kelihatan berindap dari kerimbunan
pohon di belakang halaman rumah. Orang ini mengenakan pakaian biru pekat, dari
wajahnya orang akan menduga kalau usianya sekitar empat puluhan tapi siapa yang
menduga kalau sesungguhnya sudah berusia enam puluh tujuh tahun?
Kiranya ia bersembunyi di pepohonan yang dahannya
menjulur ke dalam halaman belakang. Karena dahannya amat besar dan menjulur
sampai atas atap rumah dengan daunnya sangat rimbun, maka orang itu dengan
mudah bersembunyi tanpa ketahuan, untung saja sebelumnya Jaka tanpa sengaja
mengetahui tempat persembunyiannya. Orang itu kelihatannya akan terus
mengintai, tapi sudah sekian lama ia sama sekali tidak melihat gerak gerik di
dalam rumah. Karena itu dengan peringan tubuh piawai, ia melesat dari dahan
itu. Melenting tinggi dan turun tepat didepan pintu.
“Masuklah.” Seru suara dari dalam.
Pengintai ini tanpa ragu membuka pintu, dan dia segera
duduk berendeng dengan empat orang sesepuh.
“Bagaimana?” tanyanya pada empat sesepuh itu.
“Hh…” Ki Glagah menghela nafas panjang. “Lebih dari
yang diharapkan.”
“Maksudmu?”
“Kau gagal.”
“Tidak mungkin!” serunya berjingkrak kaget.
“Tapi ternyata dia tahu.” Sahut Ki Lukita sambil
menyerahkan kertas berisi percakapan tadi.
Orang ini membacanya sepintas. “Mustahil...” desisnya
tak percaya.
“Kami juga tidak menyangka.”
Terdengar gigi saling beradu, agaknya orang ini agak
kesal. “Aku akan membuktikannya sekali lagi.” Tanpa bicara lagi dia bangkit dan
berkelebat lenyap. Agaknya orang tersebut ingin membuntuti Jaka.
Angin berdesir lembut, dahan rimbun yang menjulur
diatas atap rumah terlihat sedikit bergoyang karena angin atau mungkin
bergoyang karena pijakan orang tadi? Sebenarnya apa yag terjadi, ternyata
pengintai tadi adalah kenalan empat sesepuh. Apa yang sedang mereka
direncanakan?
Beberapa saat setelah orang itu pergi, nampak Ki Lukita
dan tiga rekannya keluar.
Ki Lukita memandang dahan pohon yang tadi mendesir.
“Aku tidak tahu, sebenarnya anak itu yang hebat atau kita terlalu tua
untuknya?”
Ki Glagah tertawa. “Seharusnya kau bersyukur punya penerus
seperti dia. Aku iri.”
“Ya, aku memang bersyukur.”
"Apa yang diperhitungkan anak itu benar-benar
jitu.. sangat cermat!" puji Ki Gundarama lebih lajut.
"Aku bahkan tidak menduga sama sekali," sahut
Ki Lukita. "Dugaanku, dia baru saja terjun kekancah rumit, tapi siapa yang
menyangka kalau beberapa bagian rahasia yang dulu kita peroleh bertahun-tahun
dapat ia berolah dalam waktu satu hari saja?"
"Aku sudah bilang, anak itu memiliki peruntungan
sangat bagus. Mungkin apa yang disebut penemuan tak terduga adalah beberapa
persoalan yang kini ia hadapi," timpal Benggala.
Ki Glagah dan Ki Lukita menggumam saja, sementara
Gunadarma tidak berkomentar lagi, karena dia masih membaca tulisan Jaka.
"Bahaya… ini mungkin terlalu berbahaya, kuharap
ini bukan rencana gegabah." Gumam Gunadarma setelah selesai membaca empat
lembar kertas itu, ia segera menyerahkan pada Benggala.
"Kupikir tidak demikian," sahut Ki Glagah.
"Kau tidak perlu cemas, orang secerdik dan sepintar dia jarang ditemui.
Aku ingin melihat bagaimana dia menyelesaikan urusan ini, andaikata ia
memperoleh kesulitan, masa tidak dapat memecahkannya? Bekalnya lebih dari
cukup."
“Mudah-mudahan demikian." Ujar Ki Gunadarma dan
Aki Lukita hampir bersamaan. Sebab menurut mereka, Jaka masih terlalu muda,
sedangkan perkumpulan yang dihadapinya sangat misterius dan sudah terorganisir
hampir setengah abad.
Rasanya hampir mustahil kalau seorang diri bisa
menyusup tanpa ketahuan, apalagi sampai merongrongnya dari dalam.
Andai saja mereka tahu siapa-siapa yang mendukung Jaka,
barang kali Ki Lukita akan berpikir seratus kali untuk mengangkatnya sebagai
murid.
==o0o==
Bayangan gelap berkelebat cepat bagai setan
gentayangan, sejauh itu kelihatannya ia seperti orang bingung. Sebab
sebentar-sebentar berhenti dan menoleh kekanan kiri.
"Kemana dia?" gumamnya.
Bayangan itu adalah orang yang mengintai di tempat Ki
Lukita. Ia membayangi Jaka untuk melihat sejauh mana pemuda itu mengetahui
rahasianya.
Tapi setelah sekian lama mencari, ia sama sekali tidak
melihat bayangan orang yang dimaksud.
"Begitu lihaykah peringan tubuh anak muda
itu?" gumam orang itu dengan terheran-heran. Karena tidak menjumpai
bayangan Jaka, akhirnya orang itu berlalu, begitu bayangannya hilang, dari
kegelapan melesat kembali sosok bayangan hitam yang berkelebat tak kalah cepat.
Arah yang diambil bayangan itu sama dengan lelaki tadi.
"Apa memang disini dia tinggal?" gumam sosok
itu yang ternyata Jaka adanya. Memang tidak malu pemuda itu dikatakan manusia
cerdik, sebelum ia berlalu dari rumah Aki Lukita, sebetulnya ia hanya mengambil
jalan memutar dan kembali kerumah Aki Lukita. Dengan sabar Jaka menunggu
munculnya orang yang mengintai tadi, Jaka ingin melihat macam apa si pengintai
itu, dan ternyata perkiraannya sangat tepat, sebab begitu ia pergi tak berapa lama
kemudian orang yang mengintai membuntutinya. Tapi sampai sejauh itu lelaki
pengintai tadi sama sekali tidak sadar bahwa sesungguhnya dirinyalah yang
dikuntit Jaka.
Sayangnya Jaka tidak tahu kalau pengintai itu sempat
bercakap-cakap dengan empat tetua.
Hingga akhirnya Jaka menemukan lelaki tadi masuk
kesebuah rumah penduduk. Rumah yang dimasuki tadi bukan rumah yang terpencil
atau rumah kecil yang mencurigakan, tapi justru rumah yang umum ditinggali
penduduk, lagi pula letaknya dengan rumah penduduk lainnya berdekatan, bahkan
satu komplek dengan rumah lainnya.
Tentu saja Jaka memperhatikannya dari jarak jauh saja,
biarpun Jaka yakin perhitungannya benar, tapi pemuda ini tidak mau bertindak
ceroboh dengan mengabaikan kemungkinan lain. Misalnya saja lelaki itu sudah
tahu kalau dirinya dikuntit, dan ia sengaja memancing Jaka mendekati tempat
yang sama sekali tidak di sangka.
Persembunyian seorang pesilat kawakan paling ideal
memang berada ditempat yang ramai, musuh-musuhnya sama sekali tidak pernah
menyangka kalau tempat tetirahnya tidak di pegunungan sunyi atau terpencil.
Bisa juga orang itu.. tapi bagaimanapun juga kemungkinan lainnya tidak dapat
kulepaskan, pikir Jaka.
Dengan tindakan mendekati kecerobohan, Jaka merosot
turun dari pohon. Biasanya orang yang mengintai, dia akan selalu bertindak
hati-hati, tapi dalil itu tidak berlaku bagi pemuda ini. Jaka memiliki
berpendapat aneh, 'tindakan orang bodoh bisa mengacaukan perhitungan orang
cerdik,' tentu saja bukan karena kebetulan dia bisa berpikir demikian, semua
itu memang di dapat dari pahit getir pengalaman hidupnya.
Jaka berjalan kearah timur, tujuannya sudah pasti,
yakni kuil yang ada di perbatasan timur kota. Waktu yang dijanjikan antara
Bergola dengan gurunya masih dua kentongan lagi, tapi Jaka mempunyai janji
dengan orang lain, dan waktunya tinggal seperempat jam lagi. Dengan berjalan
santai seperti itu tentu saja memerlukan waktu lebih dari satu jam untuk sampai
diperbatasan, tapi Jaka seolah tidak memperdulikan hal itu.
Malam itu sinar bulan begitu terang, jalan itu
benar-benar diterangi sinar rembulan. Jaka sangat menikmati suasana terang
bulan itu. Matanya tidak habis-habisnya melirik kekiri kanan dan keangkasa.
Jaka melihat di kiri kanan jalan yang ia lalui penuh ditumbuhi rerumput liar
setinggi lutut, ia juga melihat rumput-tumput itu digoyang angin malam. Lalu
Jaka melihat beberapa pohon jambu air yang sudah berusia belasan tahun, pohon
itu begitu besar dan kokoh, bayangan pohon itu terlihat membulat ditanah karena
tersorot sinar bulan.
Kemudian didekat pepohonan itu banyak terdapat
pohon-pohon bambu. Bambu yang doyong dengan lemah kekiri dan kekanan karena
tertiup angin. Semuanya begitu alami dan 'terlalu alami' hal itu membuat Jaka
tersadar bahwa ada sesuatu yang membuatnya harus memberikan perhatian lebih.
Setelah berjalan jauh, Jaka membalikan tubuhnya.
"Tuan, apakah anda ada keperluan denganku?" tanya Jaka dengan lirih,
pandangan matanya mengawasi rumput dan rumpun bambu. Padahal jalan yang
dilewati Jaka saat itu sunyi senyap, tanpa rumah penduduk dan seorangpun tidak
terlihat.
Tidak ada tanda-tanda adanya manusia, tapi wajah Jaka
sangat tenang, dia yakin sekali kalau ada orang yang mendengarnya, juga
membuntutinya. Setelah beberapa saat tiada tanda adanya orang lain, Jaka
membalikan tubuhnya, tapi sebelumnya ia berkata.
"Jika tuan tidak ada keperluan, saya harap tuan
silahkan meninggalkan jalan ini atau memperlihatkan diri. Tapi kalau tuan
memang kebetulan satu perjalanan dengan saya, silahkan meneruskan tujuan anda,
dan satu hal yang perlu saya ingatkan kepada anda, tepatnya pada anda semua,
jika anda ingin menyelidiki apa, bagaimana dan siapa saya, maka langkah yang
paling baik tidak perlu mengganggu segala tindakan yang akan saya kerjakan,
sebab saya kira itu hanya akan menyulitkan langkah anda sendiri. Ini permintaan
dari saya.. tapi, jika kalian menganggap ini peringatan-pun, malah lebih
baik."
Jaka kembali meneruskan langkahnya, kali ini langkah
pemuda itu agak sedikit lambat dari yang tadi.
Apakah pemuda ini sekedar paranoid? Tidak. Jauh-jauh
hari, sebelum dirinya terlibat dalam gegap gempita dunia persilatan, dia merasa
selalu ada yang membuntuti, tak perduli bagaimanapun caranya mencari, pembuntut
itu tak pernah dia temukan. Dengan sendirinya insting Jaka terasah untuk
mencium keadaan yang tidak membuatnya nyaman itu.
Lalu, darimana kali ini Jaka mengetahui ada orang yang
menguntitnya? Tentu saja kalau orang lain yang menghadapi hal semacam itu,
tidak akan pernah sadar kalau dirinya dikuntit.
Alasan pertama; adalah rumpunan rumput yang tidak ikut
tertiup semilir angin, memang Jaka melihatnya hanya sekilas saja, tapi pemuda
ini segera tahu itu tidak wajar. Rerumput setinggi betis yang terkena angin,
pada umumnya bergoyang sampai pertengahan—atau bahkan lebih—badan rumput itu,
tapi ada beberapa bagian dari, katakanlah lahan rumput, yang tidak bergoyang
karena tertiup angin. Bergoyang memang, tapi hanya satu atau setengah jengkal
dari ujungnya, tentu saja mudah menyimpulkan keadaan seperti itu, yakni ada
sesuatu atau tepatnya orang yang bersembunyi disitu sehingga menahan desiran
angin.
Kemudian Jaka juga menyadari orang yang mengamati
dirinya itu lebih dari satu, karena gerakan rumpun bambu terlalu alami!
Seharusnya pohon bambu yang terkena angin, yang bergerak itu hanya ujung pohon
yang diatas dan daun-daunnya saja, tapi kenapa pada bagian batang bambu yang
besar juga bergerak lemah?
Ada dua penyebab kenapa ‘dia’ menggerakkan batang itu,
pertama; sebelumnya angin terlalu keras, sehingga batang bambu juga ikut
bergerak, karena ia berada ditengah rumpun bambu, perubahan angin diluar tidak
bisa ia rasakan, maka dengan menggerak-gerakan batang bambu, membuat ia yakin
kalau persembunyiannya tidak akan diketahui. Alasan kedua; situasi yang ia
ciptakan adalah kamuflase sebuah penguntitan dan persembunyian ketiga, artinya
ia memancing perhatian siapapun yang lewat disitu—seandainya dia orang cerdik,
agar berpikir bahwa memang disitu ada yang bersembunyi.
Dan memang benar! Disitu ada yang bersembunyi. Tetapi
setelah itu, sadarkah kalau orang ketiga akan menguntit si pelewat jalan?
Mereka—orang secerdik Jaka, pasti beranggapan kalau persembunyiannya sudah
ketahuan, jalan yang diambil adalah berdiam diri, atau menampakkan diri. Jarang
ada yang berani menguntit. Namun teori seperti itu sudah berada digenggaman
Jaka.
Untuk orang biasa tidak akan sampai terpikir keadan itu
janggal, tapi untuk Jaka keadaan itu justru sangat memperlihatkan kelemahan
sebuah persembunyian, iapun tahu alasannya kenapa. Orang yang bersembunyi itu,
terlalu takut kalau tempatnya ditemukan, sehingga ia ikut menggerakkan batang
bambu saat angin keras datang. Dan tentu saja dengan mudah Jaka menyimpulkan
kalau pengintainya lebih dari satu orang.
Hanya saja sesungguhnya dalam hati Jaka, saat melihat
kejanggalan pada lahan rumput, Jaka tidak terlalu yakin kalau ada orang yang
bersembunyi dengan bertiarap disana, sebab bisa jadi itu bukan orang lagi, tapi
batu, atau... mayat?! Memang masa itu pembunuhan banyak terjadi dimana-mana,
apalagi kaum kelana dan pesilat yang terbiasa dengan kekerasan, membunuh bagi
mereka serupa dengan berburu.
Tapi pikiran jelek seperti itu segera dihilangkan Jaka,
sebab tidak mungkin ada orang yang berani nekat melakukan pembunuhan disaat
banyak jago sakti berkumpul di kota itu. Dengan demikian Jaka segera
menyimpulkan kalau yang berada di rumput itu sesungguhnya pengintai!
Hanya saja, Jaka dipusingkan dengan satu hal, yakni
apakah orang-orang itu datang lebih dulu dari dirinya atau sebelum dirinya
sampai disitu? Kalau memang orang-orang itu mengintai dengan jalan menguntitnya,
Jaka tidak akan ambil pusing. Tapi persoalannya, ia menemukan kenyataan, bahwa
mereka datang lebih dulu dari dirinya! Karena ia menemukan kejanggalan pada
rumput dan bambu saat ia melewatinya, dengan demikian ia dapat memastikan kalau
orang yang bersembunyi disitu pasti lebih dulu darinya.
Kadang, terlalu banyak ingin tahu memang tidak baik.
Mungkin saja mereka bersembunyi disitu karena menanti kedatangan orang lain,
kenapa aku membongkar keberadaan mereka? Bisa-bisa dengan kejadian tadi aku
dianggap musuh.. pikirnya sembari nyengir.
Jaka tidak memikirkan persoalan tadi ia kembali
mempercepat langkahnya, dan akhirnya peringan tubuhnyapun ia terapkan. Bagaikan
burung garuda, sosok pemuda itu melesat cepat di keremangan sinar rembulan.
"Tak sangka bertemu manusia cerdik!" gumam
sebuah bayangan yang berada di rerumputan.
"Kurasa apa yang diperintahkan tuan muda, cukup
sampai disini. Berurusan dengan orang cerdik seperti dia, mungkin saja cuma
sial yang kita dapatkan." sahut satu sosok lagi.
"Mungkin…" sahut sebuah suara. "Ada
pepatah mengatakan, jika ingin melihat naga, jangan mengusik tidurnya, kurasa
apa yang dikatakan pemuda itu sangat beralasan, kita bisa membuntutinya untuk
mengetahui siapa dia sebenarnya, tapi dengan syarat jangan mengusiknya. Kita
juga tidak ingin semuanya berantakan, apalagi sampai menyeret tuan muda kedalam
masalah pemuda itu!"
"Baiklah kalau itu memang keputusan kita! Jadi
saat ini, kira-kira kemana ia pergi?"
"Tidak perlu kita repot mencarinya, kalau
sebelumnya tuan muda sudah memperhitungkan bahwa dia memang akan lewat dijalan
sini, berarti tujuan berikutnya tuan muda sudah mengetahuinya, lebih baik kita
tanyakan saja."
"Baiklah..." tiga suara terdengar menyahut.
Lalu suasana kembali hening mencekam. Dalam rumpun bambu dan gerombolan rumput
semak terlihat sedikit goyangan tak wajar, empat orang itu sudah meninggalkan
tempat persembunyian mereka dan entah kemana.
Malam kian menua, sosok bayangan kembali muncul dari
balik rumpun bambu. "Perlukah aku menguntit mereka?" gumamnya. Ternyata
bayangan itu Jaka adanya, tentu saja kalau empat orang itu tahu bahwa Jaka
masih ada disitu mereka akan mengutuki kebodohan masing-masing.
Setelah pergi, Jaka memang kembali lagi ketempat itu
untuk menyelidiki kembali, ia ingin membuang rasa gundah yang melanda otaknya,
tapi siapa sangka malah mendapatkan hasil diluar dugaan. Ternyata
gerak-geriknya sudah diperhitungkan orang lain! Apakah mereka penguntit yang
sama? Orang-orang yang selalu mengikuti dirinya sejak dulu? Jika tidak, tuan
empat orang itu mungkin merupakan manusia yang memiliki kewibawaan besar dan
amat cerdik.
Rasanya, tak berapa lama aku akan kembali bertemu
dengan mereka, tidak perlu kuikuti.
Jaka memandang arah bulan, Wah.. agaknya waktu
perjanjian dengan mereka yang menunggu dikuil terpaksa terlambat setengah
kentungan. Hitung-hitung sebagai pelajaran. Menunggu itu melatih kesabaran, dan
kesabaran itu menjadi dasar tiap orang yang masih berjiwa manusia. Aku ingin
tahu apa mereka orang yang perlu diajar atau orang yang cukup di beri peringatan?"
Kali
ini Jaka benar-benar meninggalkan tempat itu. Gerakan yang ia gunakan biasa
saja, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat, yang jelas dengan gerakan
tubuh seperti itu, Jaka bisa sampai di tempat tujuan setengah kentungan atau
lebih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar