Jumat, 13 September 2013

022 - Intai Mengintai


Sang guru dan tiga rekannya menatap pemuda itu, kelihatannya Jaka sama sekali tidak menampilkan perubahan pada raut wajahnya.
"Syukurlan Rubah Api masih hidup," gumam pemuda ini dengan suara lirih. Tapi empat orang sesepuh itu mendengarnya.
"Ya, sekarang giliranmu, kau bilang ingin menceritakan sesuatu yang menarik?!" tagih sang guru sambil tertawa.
Jaka tersenyum lalu ia mengeluarkan kertas dari balik pakaiannya, kertas itu ada lima lembar. Empat lembar berisi, sedangkan lembar lainnya kosong. Rupanya sebelum berangkat dari penginapan, Jaka sempatkan diri untuk menuliskan apa yang ia alami di Telaga Batu dan beberapa rencananya. Sementara tentang kejadian baru seperti; saat ia memergoki pelayan gadungan dan bertemu orang-orang Perguruan Sampar Angin, belum ia tambahkan, Jaka berniat memberitahu sang guru sekedarnya saja; bahwa dia berjumpa dengan orang-orang Perguruan Sampar Angin, cuma itu.

Sejak awal, Jaka memang berniat menguraikan rencana dan beberapa hal yang perlu diketahui Ki Lukita, secara tertulis. Pemuda ini juga sengaja menuliskannya hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada kejadian diluar dugaan, dan kelihatannya tulisan Jaka dibutuhkan pada saat ini.
Jaka mengambil pena arangnya, lalu ia menulis.
Ada orang menyusup kemari! Tentu saja empat orang itu kaget—atau setidaknya seperti itulah keadaannya, mereka saling pandangan untuk sesaat, lalu serentak memandang Jaka.
Jaka tahu keheranan empat sesepuh itu. Ia sodorkan pena dan kertas pada Aki Glagah.
Darimana kau bisa tahu? Aki Glagah menulis dengan perasaan heran juga tak percaya.
Orang itu lihay, mungkin dia seangkatan dengan Aki sekalian atau bahkan kenalan lama, saya tidak dapat mendeteksi keberadaanannya, namun saya bisa membaui keberadaan orang lain—orang yang bukan berasal dari dalam rumah ini. Kemungkinan besar orang itu berada di tembok halaman belakang!
Empat orang yang membaca tulisan Jaka tercengang, antara percaya juga tidak percaya, bukan kaget dengan adanya kejadian itu, tapi mereka kaget melihat penjelasan Jaka. Tapi kemudian Aki Lukita teringat, Jaka menguasai Kitab Pertabiban yang pernah bikin heboh, tentu saja ada pelajaran mengenai perbedaan aroma dan bau-bauan. Keempat orang itu saling pandang, dan Ki Lukita kelihatan mengangguk.
Kenapa dia tidak mendekat kemari? Tulis Benggala, ia percaya dengan anggukan Aki Lukita.
Dia tidak berani melewati barisan yang berada di halaman belakang. Kemungkinan besar orang itu sekarang sedang mengamati kita di pepohonan belakang rumah. Sebab bau yang saya cium sedikit membunyar. Tulis Jaka.
Menurutmu percakapan kita disadapnya? Gunadarma turut menggoreskan kata tanya pula.
Kalau tokoh itu selihay aki sekalian, kemungkinan besar dia mendengarkan percakapan kita, tapi aki jangan kawatir, dia datang setelah setengah penjelasan guru. Biarpun dia tahu permasalahannya, hal itu tidak akan membuat rencana kita berantakan biarkan saja ia mengintai. Tulisan Jaka membuat mereka heran, namun sekejap saja mereka paham apa artinya. Rupanya Jaka ingin menjebak orang yang mengintai itu dengan percakapan palsu, agar orang itu terjebak.
Jaka kelihatan menulis lagi, Guru, semua yang hendak saya ceritakan ada pada lembar ini, aki sekalian juga boleh membaca. Dan saya harap guru tidak bertindak tergesa-gesa setelah membaca rencana saya, bahkan guru bisa santai. Aki Lukita dan yang lainnya membaca keterangan Jaka agak tak mengerti, tapi segera mereka salah satu dari mereka membaca tulisan dalam empat lembar kertas itu.
"Jadi sekarang bagaimana guru?" tanya Jaka dengan suara seperti biasa, setelah mereka cukup lama terdiam.
Aki Lukita dapat membaca apa yang dimaksudkan Jaka, "Hh.." orang tua itu menghela nafas panjang. "Peta yang dibuat Rubah Api juga merupakan sesuatu hal yang amat penting!"
"Benar!" sambung Gunadarma. "Sebab Rubah Api mengatakan kalau dipenyimpanan bukti itu terdapat sebuah peta lain, katanya peta itu merupakan peta harta karun.."
"Ah.." Jaka pura-pura terhenyak kaget. "Pantas saja Rubah Api di buru seperti binatang, rupanya mereka sudah tahu semuanya. Kita harus hati-hati bertindak!"
"Benar apa katamu Jaka," sahut Benggala. "Bukan mustahil saat kita mencari tempat yang dilukiskan peta, ada orang yang menguntit semua gerak-gerik kita!"
"Kalau begitu, lebih baik guru serahkan peta itu pada murid saja, biar urusan ini murid selesaikan." Setelah berkata begitu, Jaka menulis dengan cepat. Jika tidak keberatan, guru berita tahu saja dimana letak peta itu, biar murid yang mengurus segalanya.
Ki Lukita mengangguk, iapun segera menulis. Menurut Rubah Api, tempat penyimpanan peta itu ada di Sungai Batu, aku tidak jelas dimana letaknya, yang jelas ia sempat mengatakan sanjak begini, kemilau emas membentang pertama, kemilau suasa membentang akhir, tertuju pada sebilah pedang, kilatan tembaga selalu ikut serta. Hal itulah yang sempat ia katakan sebelum pingsan. Aku sudah memeras otak, tapi belum juga dapat kusimpulkan artinya. Setelah menulis begitu, Aki Lukita berkata,
"Baiklah, peta itu akan kuserahkan padamu, tapi ingat jangan sampai hilang, sebab peta itu sangat berharga!"
Setelah berkata begitu, terdengar suara 'kriit' rupanya Ki Lukita menggeser tempat duduknya dan ia berjalan untuk mengambil sesuatu.
"Jaga peta ini baik-baik!" pesan gurunya dengan muka antara tertawa dan tidak, kelihatannya dia suka dengan sandiwara yang diatur Jaka.
"Murid akan jaga sebisa mungkin!" jawab Jaka sambil menerima lipatan kertas dari gurunya.
"Memang seharusnya begitu," sahut Ki Glagah, ia sudah selesai membaca apa yang ditulis Jaka. Orang tua itu kelihatannya tersenyum terus, ia mengacungkan jempol pada Ki Lukita. "Kau harus selalu bertindak hati-hati, siapa tahu orang yang membayangi tindakanmu adalah kenalanmu sendiri atau bahkan orang yang sama sekali tidak diperhitungkan!" kata Ki Glagah sambil menyerahkan kertas Jaka pada Aki Lukita.
"Jadi baiknya sekarang bagaimana? Malam seperti ini saya sama sekali tidak leluasa bergerak."
"Itu tidak mengapa, lebih baik kau kembali kepenginapan. Kan masih banyak waktu untuk mencarinya."
"Benar juga."
Masih satu setengah kentongan dari tengah malam, Jaka teringat dia harus menemui orang lain di dekat kuil dekat perbatasan timur.
"Kalau begitu, sekarang juga murid pamit." Ucap pemuda ini, tapi sebelumnya ia menghabiskan air teh.
Setelah berbasa-basi sejenak akhirnya Jaka keluar lewat pintu belakang, pemuda ini agak berkerut kening saat keluar. Bau lain yang ia cium masih terasa, tapi sosoknya tidak terlihat sama sekali. Karena malam bulan purnama, dengan gerakan sadar tak sadar, Jaka mendongkak keatas, tiba-tiba sekelebatan ingatan membuatnya lega.
"Saya berangkat..." begitu selesai berucap, tubuh Jaka bagaikan asap yang tertiup angin. Hilang begitu saja dari depan keempat sesepuh itu, sungguh sebuah ilmu peringan tubuh langka.
Begitu Jaka keluar, empat orang itu juga masuk kembali, dan suasana dalam rumah Aki Lukita kembali hening bagai kuburan, biarpun lentera di tiap sudut rumah menyala terang, tapi melihat kelengangan rumah itu, mau tak mau orang akan bergidik ngeri juga.
Satu sosok bayangan kelihatan berindap dari kerimbunan pohon di belakang halaman rumah. Orang ini mengenakan pakaian biru pekat, dari wajahnya orang akan menduga kalau usianya sekitar empat puluhan tapi siapa yang menduga kalau sesungguhnya sudah berusia enam puluh tujuh tahun?
Kiranya ia bersembunyi di pepohonan yang dahannya menjulur ke dalam halaman belakang. Karena dahannya amat besar dan menjulur sampai atas atap rumah dengan daunnya sangat rimbun, maka orang itu dengan mudah bersembunyi tanpa ketahuan, untung saja sebelumnya Jaka tanpa sengaja mengetahui tempat persembunyiannya. Orang itu kelihatannya akan terus mengintai, tapi sudah sekian lama ia sama sekali tidak melihat gerak gerik di dalam rumah. Karena itu dengan peringan tubuh piawai, ia melesat dari dahan itu. Melenting tinggi dan turun tepat didepan pintu.
“Masuklah.” Seru suara dari dalam.
Pengintai ini tanpa ragu membuka pintu, dan dia segera duduk berendeng dengan empat orang sesepuh.
“Bagaimana?” tanyanya pada empat sesepuh itu.
“Hh…” Ki Glagah menghela nafas panjang. “Lebih dari yang diharapkan.”
“Maksudmu?”
“Kau gagal.”
“Tidak mungkin!” serunya berjingkrak kaget.
“Tapi ternyata dia tahu.” Sahut Ki Lukita sambil menyerahkan kertas berisi percakapan tadi.
Orang ini membacanya sepintas. “Mustahil...” desisnya tak percaya.
“Kami juga tidak menyangka.”
Terdengar gigi saling beradu, agaknya orang ini agak kesal. “Aku akan membuktikannya sekali lagi.” Tanpa bicara lagi dia bangkit dan berkelebat lenyap. Agaknya orang tersebut ingin membuntuti Jaka.
Angin berdesir lembut, dahan rimbun yang menjulur diatas atap rumah terlihat sedikit bergoyang karena angin atau mungkin bergoyang karena pijakan orang tadi? Sebenarnya apa yag terjadi, ternyata pengintai tadi adalah kenalan empat sesepuh. Apa yang sedang mereka direncanakan?
Beberapa saat setelah orang itu pergi, nampak Ki Lukita dan tiga rekannya keluar.
Ki Lukita memandang dahan pohon yang tadi mendesir. “Aku tidak tahu, sebenarnya anak itu yang hebat atau kita terlalu tua untuknya?”
Ki Glagah tertawa. “Seharusnya kau bersyukur punya penerus seperti dia. Aku iri.”
“Ya, aku memang bersyukur.”
"Apa yang diperhitungkan anak itu benar-benar jitu.. sangat cermat!" puji Ki Gundarama lebih lajut.
"Aku bahkan tidak menduga sama sekali," sahut Ki Lukita. "Dugaanku, dia baru saja terjun kekancah rumit, tapi siapa yang menyangka kalau beberapa bagian rahasia yang dulu kita peroleh bertahun-tahun dapat ia berolah dalam waktu satu hari saja?"
"Aku sudah bilang, anak itu memiliki peruntungan sangat bagus. Mungkin apa yang disebut penemuan tak terduga adalah beberapa persoalan yang kini ia hadapi," timpal Benggala.
Ki Glagah dan Ki Lukita menggumam saja, sementara Gunadarma tidak berkomentar lagi, karena dia masih membaca tulisan Jaka.
"Bahaya… ini mungkin terlalu berbahaya, kuharap ini bukan rencana gegabah." Gumam Gunadarma setelah selesai membaca empat lembar kertas itu, ia segera menyerahkan pada Benggala.
"Kupikir tidak demikian," sahut Ki Glagah. "Kau tidak perlu cemas, orang secerdik dan sepintar dia jarang ditemui. Aku ingin melihat bagaimana dia menyelesaikan urusan ini, andaikata ia memperoleh kesulitan, masa tidak dapat memecahkannya? Bekalnya lebih dari cukup."
“Mudah-mudahan demikian." Ujar Ki Gunadarma dan Aki Lukita hampir bersamaan. Sebab menurut mereka, Jaka masih terlalu muda, sedangkan perkumpulan yang dihadapinya sangat misterius dan sudah terorganisir hampir setengah abad.
Rasanya hampir mustahil kalau seorang diri bisa menyusup tanpa ketahuan, apalagi sampai merongrongnya dari dalam.
Andai saja mereka tahu siapa-siapa yang mendukung Jaka, barang kali Ki Lukita akan berpikir seratus kali untuk mengangkatnya sebagai murid.
==o0o==
Bayangan gelap berkelebat cepat bagai setan gentayangan, sejauh itu kelihatannya ia seperti orang bingung. Sebab sebentar-sebentar berhenti dan menoleh kekanan kiri.
"Kemana dia?" gumamnya.
Bayangan itu adalah orang yang mengintai di tempat Ki Lukita. Ia membayangi Jaka untuk melihat sejauh mana pemuda itu mengetahui rahasianya.
Tapi setelah sekian lama mencari, ia sama sekali tidak melihat bayangan orang yang dimaksud.
"Begitu lihaykah peringan tubuh anak muda itu?" gumam orang itu dengan terheran-heran. Karena tidak menjumpai bayangan Jaka, akhirnya orang itu berlalu, begitu bayangannya hilang, dari kegelapan melesat kembali sosok bayangan hitam yang berkelebat tak kalah cepat. Arah yang diambil bayangan itu sama dengan lelaki tadi.
"Apa memang disini dia tinggal?" gumam sosok itu yang ternyata Jaka adanya. Memang tidak malu pemuda itu dikatakan manusia cerdik, sebelum ia berlalu dari rumah Aki Lukita, sebetulnya ia hanya mengambil jalan memutar dan kembali kerumah Aki Lukita. Dengan sabar Jaka menunggu munculnya orang yang mengintai tadi, Jaka ingin melihat macam apa si pengintai itu, dan ternyata perkiraannya sangat tepat, sebab begitu ia pergi tak berapa lama kemudian orang yang mengintai membuntutinya. Tapi sampai sejauh itu lelaki pengintai tadi sama sekali tidak sadar bahwa sesungguhnya dirinyalah yang dikuntit Jaka.
Sayangnya Jaka tidak tahu kalau pengintai itu sempat bercakap-cakap dengan empat tetua.
Hingga akhirnya Jaka menemukan lelaki tadi masuk kesebuah rumah penduduk. Rumah yang dimasuki tadi bukan rumah yang terpencil atau rumah kecil yang mencurigakan, tapi justru rumah yang umum ditinggali penduduk, lagi pula letaknya dengan rumah penduduk lainnya berdekatan, bahkan satu komplek dengan rumah lainnya.
Tentu saja Jaka memperhatikannya dari jarak jauh saja, biarpun Jaka yakin perhitungannya benar, tapi pemuda ini tidak mau bertindak ceroboh dengan mengabaikan kemungkinan lain. Misalnya saja lelaki itu sudah tahu kalau dirinya dikuntit, dan ia sengaja memancing Jaka mendekati tempat yang sama sekali tidak di sangka.
Persembunyian seorang pesilat kawakan paling ideal memang berada ditempat yang ramai, musuh-musuhnya sama sekali tidak pernah menyangka kalau tempat tetirahnya tidak di pegunungan sunyi atau terpencil. Bisa juga orang itu.. tapi bagaimanapun juga kemungkinan lainnya tidak dapat kulepaskan, pikir Jaka.
Dengan tindakan mendekati kecerobohan, Jaka merosot turun dari pohon. Biasanya orang yang mengintai, dia akan selalu bertindak hati-hati, tapi dalil itu tidak berlaku bagi pemuda ini. Jaka memiliki berpendapat aneh, 'tindakan orang bodoh bisa mengacaukan perhitungan orang cerdik,' tentu saja bukan karena kebetulan dia bisa berpikir demikian, semua itu memang di dapat dari pahit getir pengalaman hidupnya.
Jaka berjalan kearah timur, tujuannya sudah pasti, yakni kuil yang ada di perbatasan timur kota. Waktu yang dijanjikan antara Bergola dengan gurunya masih dua kentongan lagi, tapi Jaka mempunyai janji dengan orang lain, dan waktunya tinggal seperempat jam lagi. Dengan berjalan santai seperti itu tentu saja memerlukan waktu lebih dari satu jam untuk sampai diperbatasan, tapi Jaka seolah tidak memperdulikan hal itu.
Malam itu sinar bulan begitu terang, jalan itu benar-benar diterangi sinar rembulan. Jaka sangat menikmati suasana terang bulan itu. Matanya tidak habis-habisnya melirik kekiri kanan dan keangkasa. Jaka melihat di kiri kanan jalan yang ia lalui penuh ditumbuhi rerumput liar setinggi lutut, ia juga melihat rumput-tumput itu digoyang angin malam. Lalu Jaka melihat beberapa pohon jambu air yang sudah berusia belasan tahun, pohon itu begitu besar dan kokoh, bayangan pohon itu terlihat membulat ditanah karena tersorot sinar bulan.
Kemudian didekat pepohonan itu banyak terdapat pohon-pohon bambu. Bambu yang doyong dengan lemah kekiri dan kekanan karena tertiup angin. Semuanya begitu alami dan 'terlalu alami' hal itu membuat Jaka tersadar bahwa ada sesuatu yang membuatnya harus memberikan perhatian lebih.
Setelah berjalan jauh, Jaka membalikan tubuhnya. "Tuan, apakah anda ada keperluan denganku?" tanya Jaka dengan lirih, pandangan matanya mengawasi rumput dan rumpun bambu. Padahal jalan yang dilewati Jaka saat itu sunyi senyap, tanpa rumah penduduk dan seorangpun tidak terlihat.
Tidak ada tanda-tanda adanya manusia, tapi wajah Jaka sangat tenang, dia yakin sekali kalau ada orang yang mendengarnya, juga membuntutinya. Setelah beberapa saat tiada tanda adanya orang lain, Jaka membalikan tubuhnya, tapi sebelumnya ia berkata.
"Jika tuan tidak ada keperluan, saya harap tuan silahkan meninggalkan jalan ini atau memperlihatkan diri. Tapi kalau tuan memang kebetulan satu perjalanan dengan saya, silahkan meneruskan tujuan anda, dan satu hal yang perlu saya ingatkan kepada anda, tepatnya pada anda semua, jika anda ingin menyelidiki apa, bagaimana dan siapa saya, maka langkah yang paling baik tidak perlu mengganggu segala tindakan yang akan saya kerjakan, sebab saya kira itu hanya akan menyulitkan langkah anda sendiri. Ini permintaan dari saya.. tapi, jika kalian menganggap ini peringatan-pun, malah lebih baik."
Jaka kembali meneruskan langkahnya, kali ini langkah pemuda itu agak sedikit lambat dari yang tadi.
Apakah pemuda ini sekedar paranoid? Tidak. Jauh-jauh hari, sebelum dirinya terlibat dalam gegap gempita dunia persilatan, dia merasa selalu ada yang membuntuti, tak perduli bagaimanapun caranya mencari, pembuntut itu tak pernah dia temukan. Dengan sendirinya insting Jaka terasah untuk mencium keadaan yang tidak membuatnya nyaman itu.
Lalu, darimana kali ini Jaka mengetahui ada orang yang menguntitnya? Tentu saja kalau orang lain yang menghadapi hal semacam itu, tidak akan pernah sadar kalau dirinya dikuntit.
Alasan pertama; adalah rumpunan rumput yang tidak ikut tertiup semilir angin, memang Jaka melihatnya hanya sekilas saja, tapi pemuda ini segera tahu itu tidak wajar. Rerumput setinggi betis yang terkena angin, pada umumnya bergoyang sampai pertengahan—atau bahkan lebih—badan rumput itu, tapi ada beberapa bagian dari, katakanlah lahan rumput, yang tidak bergoyang karena tertiup angin. Bergoyang memang, tapi hanya satu atau setengah jengkal dari ujungnya, tentu saja mudah menyimpulkan keadaan seperti itu, yakni ada sesuatu atau tepatnya orang yang bersembunyi disitu sehingga menahan desiran angin.
Kemudian Jaka juga menyadari orang yang mengamati dirinya itu lebih dari satu, karena gerakan rumpun bambu terlalu alami! Seharusnya pohon bambu yang terkena angin, yang bergerak itu hanya ujung pohon yang diatas dan daun-daunnya saja, tapi kenapa pada bagian batang bambu yang besar juga bergerak lemah?
Ada dua penyebab kenapa ‘dia’ menggerakkan batang itu, pertama; sebelumnya angin terlalu keras, sehingga batang bambu juga ikut bergerak, karena ia berada ditengah rumpun bambu, perubahan angin diluar tidak bisa ia rasakan, maka dengan menggerak-gerakan batang bambu, membuat ia yakin kalau persembunyiannya tidak akan diketahui. Alasan kedua; situasi yang ia ciptakan adalah kamuflase sebuah penguntitan dan persembunyian ketiga, artinya ia memancing perhatian siapapun yang lewat disitu—seandainya dia orang cerdik, agar berpikir bahwa memang disitu ada yang bersembunyi.
Dan memang benar! Disitu ada yang bersembunyi. Tetapi setelah itu, sadarkah kalau orang ketiga akan menguntit si pelewat jalan? Mereka—orang secerdik Jaka, pasti beranggapan kalau persembunyiannya sudah ketahuan, jalan yang diambil adalah berdiam diri, atau menampakkan diri. Jarang ada yang berani menguntit. Namun teori seperti itu sudah berada digenggaman Jaka.
Untuk orang biasa tidak akan sampai terpikir keadan itu janggal, tapi untuk Jaka keadaan itu justru sangat memperlihatkan kelemahan sebuah persembunyian, iapun tahu alasannya kenapa. Orang yang bersembunyi itu, terlalu takut kalau tempatnya ditemukan, sehingga ia ikut menggerakkan batang bambu saat angin keras datang. Dan tentu saja dengan mudah Jaka menyimpulkan kalau pengintainya lebih dari satu orang.
Hanya saja sesungguhnya dalam hati Jaka, saat melihat kejanggalan pada lahan rumput, Jaka tidak terlalu yakin kalau ada orang yang bersembunyi dengan bertiarap disana, sebab bisa jadi itu bukan orang lagi, tapi batu, atau... mayat?! Memang masa itu pembunuhan banyak terjadi dimana-mana, apalagi kaum kelana dan pesilat yang terbiasa dengan kekerasan, membunuh bagi mereka serupa dengan berburu.
Tapi pikiran jelek seperti itu segera dihilangkan Jaka, sebab tidak mungkin ada orang yang berani nekat melakukan pembunuhan disaat banyak jago sakti berkumpul di kota itu. Dengan demikian Jaka segera menyimpulkan kalau yang berada di rumput itu sesungguhnya pengintai!
Hanya saja, Jaka dipusingkan dengan satu hal, yakni apakah orang-orang itu datang lebih dulu dari dirinya atau sebelum dirinya sampai disitu? Kalau memang orang-orang itu mengintai dengan jalan menguntitnya, Jaka tidak akan ambil pusing. Tapi persoalannya, ia menemukan kenyataan, bahwa mereka datang lebih dulu dari dirinya! Karena ia menemukan kejanggalan pada rumput dan bambu saat ia melewatinya, dengan demikian ia dapat memastikan kalau orang yang bersembunyi disitu pasti lebih dulu darinya.
Kadang, terlalu banyak ingin tahu memang tidak baik. Mungkin saja mereka bersembunyi disitu karena menanti kedatangan orang lain, kenapa aku membongkar keberadaan mereka? Bisa-bisa dengan kejadian tadi aku dianggap musuh.. pikirnya sembari nyengir.
Jaka tidak memikirkan persoalan tadi ia kembali mempercepat langkahnya, dan akhirnya peringan tubuhnyapun ia terapkan. Bagaikan burung garuda, sosok pemuda itu melesat cepat di keremangan sinar rembulan.
"Tak sangka bertemu manusia cerdik!" gumam sebuah bayangan yang berada di rerumputan.
"Kurasa apa yang diperintahkan tuan muda, cukup sampai disini. Berurusan dengan orang cerdik seperti dia, mungkin saja cuma sial yang kita dapatkan." sahut satu sosok lagi.
"Mungkin…" sahut sebuah suara. "Ada pepatah mengatakan, jika ingin melihat naga, jangan mengusik tidurnya, kurasa apa yang dikatakan pemuda itu sangat beralasan, kita bisa membuntutinya untuk mengetahui siapa dia sebenarnya, tapi dengan syarat jangan mengusiknya. Kita juga tidak ingin semuanya berantakan, apalagi sampai menyeret tuan muda kedalam masalah pemuda itu!"
"Baiklah kalau itu memang keputusan kita! Jadi saat ini, kira-kira kemana ia pergi?"
"Tidak perlu kita repot mencarinya, kalau sebelumnya tuan muda sudah memperhitungkan bahwa dia memang akan lewat dijalan sini, berarti tujuan berikutnya tuan muda sudah mengetahuinya, lebih baik kita tanyakan saja."
"Baiklah..." tiga suara terdengar menyahut. Lalu suasana kembali hening mencekam. Dalam rumpun bambu dan gerombolan rumput semak terlihat sedikit goyangan tak wajar, empat orang itu sudah meninggalkan tempat persembunyian mereka dan entah kemana.
Malam kian menua, sosok bayangan kembali muncul dari balik rumpun bambu. "Perlukah aku menguntit mereka?" gumamnya. Ternyata bayangan itu Jaka adanya, tentu saja kalau empat orang itu tahu bahwa Jaka masih ada disitu mereka akan mengutuki kebodohan masing-masing.
Setelah pergi, Jaka memang kembali lagi ketempat itu untuk menyelidiki kembali, ia ingin membuang rasa gundah yang melanda otaknya, tapi siapa sangka malah mendapatkan hasil diluar dugaan. Ternyata gerak-geriknya sudah diperhitungkan orang lain! Apakah mereka penguntit yang sama? Orang-orang yang selalu mengikuti dirinya sejak dulu? Jika tidak, tuan empat orang itu mungkin merupakan manusia yang memiliki kewibawaan besar dan amat cerdik.
Rasanya, tak berapa lama aku akan kembali bertemu dengan mereka, tidak perlu kuikuti.
Jaka memandang arah bulan, Wah.. agaknya waktu perjanjian dengan mereka yang menunggu dikuil terpaksa terlambat setengah kentungan. Hitung-hitung sebagai pelajaran. Menunggu itu melatih kesabaran, dan kesabaran itu menjadi dasar tiap orang yang masih berjiwa manusia. Aku ingin tahu apa mereka orang yang perlu diajar atau orang yang cukup di beri peringatan?"
Kali ini Jaka benar-benar meninggalkan tempat itu. Gerakan yang ia gunakan biasa saja, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat, yang jelas dengan gerakan tubuh seperti itu, Jaka bisa sampai di tempat tujuan setengah kentungan atau lebih!

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar