“Kalian binatang!” raung Kaliagni sambil menerjang. Serangan yang dikerahkan Kaliagni merupakan serangan putus asa, dia sudah tidak ingin hidup lagi melihat kesempatan sudah tertutup baginya—bagi keluarganya, karena itu tenaga yang dikeluarkan Kaliagni begitu besar, mungkin setara dengan tujuh puluh tahun hasil latihan

Dua orang itu tampak terperanjat, namun dengan sigap, mereka menghindar kesamping seraya menghamburkan hawa murni, pukulan jarak jauh menyambar! Dengan enteng, Kaliagni menghindarinya, dia melejit cepat menyergap Ketua Sembilan.

Kali ini Ludra tidak ingin terlambat lagi, begitu Kaliagni bergerak, diapun segera ikut menyerang. Agaknya dua ketua itu mendapatkan lawan setimpal. Lawan yang putus asa, terkadang lebih merepotkan, sebab mereka bisa mengembangkan seluruh potensi, karena terpikir bahwa, situasi, asa, dan kondisi, tidak berpihak lagi.



Ludra dikenal dengan julukan Macan Terbang, dan memang bukan sekedar omong kosong belaka.

Gerakannya tangkas, cepat seperti macan kumbang. Gerakan Ketua Sepuluh dapat dia imbangi!

“Sora Bangsat! Kelihatannya kita bisa pergi ke Neraka bersama-sama!” teriak Ludra kalap.

“Kau duluan!” dengus Ketua Sepuluh—Si Sora Barung.

“Baik! Dan kau segera menyusul!” seru Ludra sambil mengelakkan tendangan Sora.

“Tendangan anjing!” ejek Ludra sambil meludah. Namun saat hendak mengejek lagi, Ludra terpaksa menelan ucapannya, sebab tendangan yang mengarah perut, mendadak mencuat keatas, memanjang satu ruas, dan kini kepalanya jadi sasaran! Karuan Ludra tercekat kaget bukan kepalang.


“Tendangan Anjing, heh?!” ejek Sora Barung sambil tertawa.

“Memang anjing!” makinya gusar, sambil membuang tubuhnya kebelakang. Agar dirinya tidak dijadikan bulan-bulanan, begitu membuang tubuh, kakinya menjejak ketanah sekuat tenaga dan tubuhnya melambung lima tombak lebih. Ludra bermaksud hendak menyerang Sora dari atas… tapi, kenapa Sora tidak ada di bawah sana? Ia sudah merasa yakin kalau gerakan menghindar dan melompatnya adalah gerakan tercepat yang pernah dilakukannya seumur hidup.

“Dimana dia?” bisiknya dalam hati.

“Kau mencariku kutu busuk?” terdengar suara dari atas kepalanya.

Berdesir hati Ludra, tanpa mendongkak lagi, segera ia mengerahkan Tenaga Seratus Batu untuk memberatkan tubuhnya agar cepat mendarat ditanah, tapi desir angin serangan diatas kepalanya sudah makin mendekat. Tanpa pilihan lagi, dia segera menangkis, dipukulkan keatas dua tangannya sekuat mungkin. Dia pikir dua kepalan tangan lebih menang dibanding tumit lawan.

Wut!!

“Hah…” hatinya berdesir ngeri, tak kala pukulannya tidak menangkis sesuatupun. Detik itu juga dia sadar bagian depannya terbuka, Ludra mengerutkan tubuh—menyembunyikan dada dalam lipatan lutut—tapi sayang, terlambat…

“Selamat tinggal!” desis Sora Barung didepan Ludra persis.

Buk!

Satu pukulan tepat menghajar ulu hatinya. Ludra tak bisa berteriak lagi, sebab suaranya tersekat oleh rasa sakit yang amat sangat, mendera dada dan perutnya, kepalanya terasa berat, pandangan matanya gelap seketika, ia hanya bisa mengucapkan sepatah doa… semoga keluarganya bisa lolos dari semua ini.

Blam!

Tubuhnya terjatuh dari atas, agaknya selain tulang dadanya remuk, tulang pinggulnyapun retak. Tiada gerakan lagi yang bisa di buat Ludra, karena untuk bernafaspun sudah menghabiskan seluruh tenaganya.

Lari… lari, ia ingin mengucapkan kata itu pada Kaliagni, tapi hanya bisa diteriakkan dalam hati. Ia ingin sobatnya itu lari dan membalaskan semua ini, tapi tiada daya yang bisa dia ucapkan untuk menyampaikannya.

Rubuhnya Mintaraga dan Ludra terhitung cepat. Sora Barung hanya perlu empat puluh hitungan—40 detik—untuk mengalahkan Mintaraga dan Ludra. Kejadian itu membuat perasaan Kaliagni makin berat.

“Huh! Cecunguk tak tahu diuntung!” dengusnya sambil menendang tubuh Ludra sehingga bertumpukan dengan sang kakang. Ia menoleh kearah Sena Wulung, ternyata Kaliagni, si orang ketiga, lebih alot ketimbang dua orang lainnya. Tubuhnya yang tinggi besar, bergerak sama cepatnya dengan Seta Wulung.

“Lumayan juga dia…” puji Sora sinis.

“Perlu kubantu?” tanya Sora pada Sena.

“Tidak perlu! Aku belum lagi mengeluarkan seluruh kemampuanku, aku hanya melayani dia supaya senang.

Kurasa sekarang dia menganggap bisa berimbang denganku!”

Kuduk Kaliagni berdiri, mendengar ucapan Sena Wulung. Terasa olehnya selama dia menyerang lawan selalu bisa menangkisnya, mendikte kemana arah serangannya, tak dinyana semua itu hanya untuk menghina dirinya. Merasa seluruh usahanya sia-sia, Kaliagni menghentikan serangannya.

“Kenapa? Kau lelah?” tanya Sena Wulung sinis.

“Tidak,” jawabnya dengan gigi terkatup, sekalipun hatinya dongkol, namun dia sadar kalau kemarahan tidak bermanfaat buatnya. “Aku hanya ingin menantang adu pukulan denganmu, tentu saja kalau kau berani!”

“Heh! Macan ompong ini benar-benar tak tahu diuntung! Tapi baiklah, hitung-hitung sebagai rasa terima kasihku, karena engkau dan dua orang saudara goblokmu itu bisa memberikan cendramata berharga.”

“Kau akan menyesal meremehkan aku!” desis Kaliagni melirik kearah dua orang saudaranya, air matanya bercucuran. “Aku balaskan penderitaanmu kakang…” bisiknya dalam hati.

Mata Kaliagni mencorong tajam, kuda-kuda kakinya terlihat kokoh, mendadak dari sela-sela bibirnya keluar darah, rupanya dia menggigit bibirnya sendiri. Tangannya yang terkepal di pinggang diturunkan, jari-jemarinya membentuk cakar.

Mendadak, cakar itu menghunjam dadanya sendiri. Kaliagni menggertakkan giginya menahan sakit. “Kau akan tahu bagaimana rasanya mati, topeng kaleng!” teriaknya.
Begitu berteriak, cakarnya tercabut dari dadanya sendiri dan saat itu juga tekanan udara disekitar mereka mendadak berubah drastis. Pukulan berbentuk cakar milik Kaliagni melesat cepat mengarah dada Sena Wulung.

“Cakar Darah Mayat?” seru Sena Wulung terkejut, diapun tak mau ayal, tangannya disorongkan memapaki cakar Kaliagni. Kali ini tidak mau tanggung lagi, sepuluh bagian tenaganya di empos untuk menangkis serangan dahsyat itu.

Blaar!

Tubuh keduanya terpental, kalau Kaliagni menyemburkan darah dari mulutnya, Sena Wulung hanya terhuyung, tapi topengnya terlepas, ditambah lagi dari bibirnya menetes darah, oh.. ternyata dia juga terluka.

“Bangsat!” makinya geram. “Kau…” tak sempat lagi ia memaki, Kaliagni tidak memberi kesempatan, seluruh tenaga ia kerahkan sampai darah yang keluar dari lidah dan dadanya menyembur keluar.

“Mati kau!” pekikan Kaliagni lebih mirip pekik kemenangan orang yang putus asa, karena seluruh tenaganya sudah dikeluarkan dua belas bagian—overload (berlebihan).

Sena Wulung terlihat pucat, ia belum sempat menghindar, maka sebisa mungkin tenaganya dikeluarkan… tapi macet! Rupanya hawa darah yang dikeluarkan Kaliagni menghambat sirkulasi tenaga murninya.

“Keparat!” desisnya lemah. Walau hanya enam bagian yang bisa ia keluarkan, namun sudah cukup untuk melindungi isi dadanya.

Blar! Benturan keras terjadi lagi, kali ini nasib Sena Wulung benar-benar apes. Ia yang masih berlutut ditanah tersuruk sampai tiga tombak dengan wajah makin pucat pasi.

“Ka-kau lihat, kau pasti mati!” desis Kaliagni, namun saat hendak melangkah mendekati Sena Wulung, ia jatuh terjerembab dan tak bergerak lagi.

Dibelakangnya, nampak Sora Barung masih berdiri dengan tangan terkepal kedepan… ternyata dia membokong Kaliagni.

“Kau harus berterima kasih kepadaku Sena, tanpa kubokong, kau pasti mati ditangannya!”
“Omong kosong!” bentak Sena seraya bangkit.

“Tidak perlu membela diri, memang harus diakui seandainya kekuatan pukulan tadi tidak kukurangi dengan bokongan pukulanku, kau sudah terkapar jadi mayat—kalian sampyuh, sama-sama mati!”

Kali ini Sena tidak membantah. “Aku heran, dari mana dia dapat ilmu terkutuk itu?” gumamnya sambil menatap Kaliagni.

“Akupun heran, menurut berita pukulan itu sudah lama punah, tidak ada lagi pewarisnya, tak dinyana kita bisa menghadapinya. Beruntung dia belum sempurna, jika sudah… kurasa beliau-pun tak sanggup menghadapinya.”

Perlu diketahui, ilmu Cakar Darah Mayat adalah ilmu sesat, yang menggunakan darah dan jiwa sendiri untuk melipatgandakan tenaga murni, orang yang memiliki ilmu ini bisa membuat tenaga dalamnya meningkat lima sampai sepuluh kali lipat, tergantung kesempurnaan ilmu itu. Tapi makin sempurna ilmu tersebut, makin parah akibatnya. Orang yang menggunakan ilmu itupun akan terluka parah, bahkan mati jika menggunakan secara berlebihan. Setelah itu, seluruh syaraf dalam tubuhnya akan sulit merespon aksi dari luar tubuh, pendek kata orang tersebut bisa seperti mayat hidup, tinggal menunggu kematian.

“Bangsat, gara-gara ilmu setan si keparat Kaliagni, lukaku cukup parah!” gerutu Sena. “Ayo kita pulang!”

“Terserah kau.” Sahut Sora.

Baru saja tiga langkah mereka bergerak, dari belakang terdengar suara langkah berat. Reflek, keduanya segera berbalik. Tapi tak dijumpai siapapun disitu, tiga lawannya yang sudah terkapar sekarat, tak mungkin bergerak lagi.

“Mungkin hanya perasaanku saja…” gumam Sora Barung, tapi mana kala rekannya juga mengumam serupa, mereka saling pandang, dan menduga ada yang tidak beres.

Tapi setelah sekian lama mereka amati, ternyata tidak ada apa-apa. Dengan perasaan masih diselimuti penasaran, keduanya berbalik dan pergi. Tapi, mendadak…

“Mau pergi kemana?”

Suara itu benar-benar mengejutkan mereka. Selain keduanya tidak merasakan kehadiran orang, merekapun menganggap bunyi langkah tadi hanya suara angin. Ternyata …

“Siapa?” seru keduanya sambil membalikkan tubuhnya, tapi mereka tidak melihat bayangan atau orang.

“Masa kalian tidak tahu? Aku sudah datang dari tadi, tepatnya saat kalian sampai disini, aku menguntit dari tempat kalian bertemu dengan tiga orang malang ini.”

“Tunjukkan dirimu!” teriak Sena Wulung sampai terbatuk-batuk.

“Kasihan, kalau mau marah kan tidak perlu berteriak-teriak, kasihan jantungmu. Toh aku sudah ada dibelakang kalian.”

Begitu mendengar ucapan orang misterius itu, keduanya langsung berbalik, tapi tidak ada orang.

“Hi-hi, masa percaya begitu saja? Jangan kelewat bodoh begitu, jika ingin melihatku, kenapa tak saling memunggungi saja? Aih, untuk menjadi ketua berwujud manusia macam kalian ini, kelihatannya terlalu banyak sogokan yang dikeluarkan, benar tidak? Tak usah dijawab kalau malu.”

Bulu kuduk kedua orang sombong itu berdiri, biarpun—tanpa sadar mengikuti saran orang misterius—sudah berdiri saling memunggungi, tapi tak satupun bayangan mereka lihat, padahal tempat mereka berdiri itu adalah padang rumput yang cukup luas, jadi tidak mungkin kalau ada orang yang bersembunyi disitu. Apalagi malam ini diterangi sinar bulan, jadi untuk memandang lima tombak lebih pun masih jelas.

“Kasihan, sudah bekerja sama seperti itu, masih tidak tahu dimana aku.” Kata si orang misterius seraya tertawa mengejek.

Makin deras keringat dingin yang mengalir ditubuh kedua orang itu. Kalau cuma orangnya yang tidak kelihatan, tapi hanya terdengar suaranya, itu belum cukup menakutkan, tapi justru kondisi saat ini sangat menakutkan karena suara orang misterius itu berpindah-pindah, kadang kala tepat seperti di telinga mereka, kadang seperti dibelakang mereka, kadang menjauh seperti hendak pergi. Entah dimana orang itu bersembunyi…

Padahal kalau mereka mau berpikir tenang, bisalah mereka menduganya, sebab di tempat selapang itu hanya ada dua cara untuk bersembunyi, yakni; tiarap dan menghindari sudur pandang orang, semudah itu. Dalam kondisi tegang dan cemas, kebanyakan orang tak bisa bertindak tenang. Dan pendatang itu tahu memanfaatkan kondisi tertekan psikis lawan.

“Bagaimana kalau aku keluar sekarang?”

Tekanan batin yang dialami kedua ketua itu tidak kecil, baru suaranya saja sudah membuat mereka yang ditakuti jadi panas-dingin, apa lagi kalau orangnya keluar, kekuatan macam apa yang dimiliki orang itu? Pikir mereka makin kalut.

“Ap-apan yang kau inginkan?”

“Aku tidak menginginkan apa-apa, cuma semua benda yang menempel ditubuh kalian.”

“Bangsat!” maki Sora kalap. “Kau pikir dirimu siapa?!”

“Kenapa aku harus berpikir? Kalian ini lucu, aku tak perlu berpikir sebab aku tahu siapa diriku. Perlu kalian ketahui… aku adalah orang yang akan membuat posisi kalian, sama seperti bekas bawahanmu tadi.”

“Keluar kalau berani!” teriak Sena sambil toleh kanan-kiri.

“Baik-baik, jangan marah-marah begitu,” sahut suara misterius itu. “Sesuai keinginan kalian …”

“Aaaa…” mendadak mereka berjingkrak kaget, sampai-sampai terlompat kebelakang. Orang yang mereka cari ternyata sudah ada didepan mereka! Keringat dingin makin deras mengucur, sebab orang yang ada didepan mereka berpakaian model pocong, wajahnya tidak terlihat, pakaian putih-putih yang digunakan cukup membuat siapapun terkencing-kencing.

“Bagaimana?” seru si pocong sambil tertawa mengikik.

Bersambung........