"Tentu saja saya tidak mungkin bertindak ceroboh. Tapi kalau dia tahu apa yang kulakukan, dia bisa apa?”
“Bodoh. Sekalipun hanya
sekelebatan, aku sempat melihat gerakannya. Dia bukan lawan yang bisa
diremehkan. Dan kalau kau pikir bisa menghadapinya, hm… rasanya tak mungkin!
Coba pikir baik-baik, apakah orang yang menguasai ilmu itu, bisa kau kalahkan?”
Lelaki itu tertegun sejenak,
kemudian dia mengangguk. “Tuan benar. Toh, dia tetap jatuh ke tangan kita.”
“Benar, sehebat apapun dia,
jika kalah siasat, tetap saja kalah.” Sahut satunya mendukung ucapan rekannya.
“Hh…” orang yang mereka sebut
tuan muda, tidak menjawab, dia hanya menghela nafas saja. Rupanya ada yang
dirisaukan.
Mereka menunggu sekian lama,
setelah tidak ada tanda-tanda mencurigakan, tiga orang itu melesat kejendela
kamar Jaka.
Klik...
Jendela terbuka, dua orang
yang ikut mengiringi meloncat lebih dulu kedalam. Orang terakhir segera masuk
kedalam, mengamati keadaan dalam kamar sejenak, lalu dia menutup jendelanya.
Suasana dalam kamar gelap
gulita, salah seorang dari mereka menyalakan geretan api. Sinar lentera segera
menyala terang, sungguh mereka bertindak tidak kepalang tanggung. Biasanya
seorang penyusup atau maling, paling kawatir menarik perhatian, dan menyalakan
sinar, tentu saja perbuatan ceroboh.
"Tuan muda, anda begitu
yakin dia tidak membawa barangnya. Saya pikir kemungkinan itu kecil?"
tanya orang kedua pada orang ketiga—yang ternyata sang majikan.
Si tuan muda tertawa. “Kau
kurang memikirkan alasannya mengapa aku berkeyakinan begitu.”
“Saya rasa, tak perlu dibuat
pertimbangan lagi. Siapapun yang memiliki barang berharga, jika bukan berada
ditempatnya sendiri, pasti akan dibawa kemana-mana.”
"Alasanmu cukup bagus.
Tapi tak cukup baik untuk situasi kali ini."
"Oh, jadi bagaimana
menurut anda tuan muda?"
"Begini, saat Durba
masuk terakhir kalinya, bukankah ia melihat pemuda itu sudah mengenakan pakaian
gelap? Bisa disimpulkan dengan pakaian seperti itu dia tidak akan bertamu—aku
yakin dia pergi untuk mengintai seseorang atau sesuatu.” Kedua abdinya mengangguk.
“Bukankah menurutmu dia baru
satu hari disini?" orang pertama itu balik bertanya.
"Benar." Sahut
Durba—samaran si pelayan.
"Nah, dengan begitu
mudah kuambil kesimpulan, bahwa pemuda itu memiliki kepentingan disini.
Sekalipun dia cukup lihay, kalau dia pergi untuk kepentingan sesaat—mengintai
misalnya, sudah tentu, dia tidak akan bertindak ceroboh dengan membawa barang
berharga, sebab setiap waktu apapun yang dia intai, bisa membahayakan. Dia
sudah memperhitungkan kemungkinan pada saat tertangkap, tidak ada barang
berharga atau barang yang bisa merujuk pada identitasnya."
"Betul juga analisamu
tuan," kata orang ketiga. “Tapi bagaimana dengan kata-katanya tadi?
Berhasil? Saya rasa, dia tidak mengigau, jika kita anggap dia menguasai ilmu
dalam kitab, saya rasa sulit baginya tertangkap.”
“Benar,” ujar si tuan muda.
“Tapi seperti yang kukatakan tadi, apapun alasannya dia tidak akan membawa
barang berharga.”
Kedua abdi itu bisa menerima
alasan tuannya.
"Nah, sekarang yang
menjadi masalah, dimana dia menyimpannya?"
"Ah, mudah saja tuan,
kita tinggal sembarang mencari saja. Hanya kamar sekecil ini, pasti kita bisa
menemukannya." Kata Durga—abdi kedua.
Si tuan muda hanya menanggapi
dengan gumam. Dia memberi isyarat agar keduanya segera mencari.
"Waktu kita terbatas,
cepat kalian geledah seluruh sudut." Perintahnya.
Keduanya segera menggeledah
tiap susut kamar, tempat yang diduga dapat menjadi tempat penyimpanan. Tapi
setelah sekian lama mencari tiap penjuru kamar, tak satupun barang yang
ditemukan. Dari langit-langit kamar, kolong tempat tidur, lantai—yang terbuat
dari kayu, bahkan sampai tempat ditidur dan sarung bantal-pun diperiksa, tapi
mereka tidak menemukan sesuatu.
"Jangan-jangan dia tidak
menyimpan disini?" ujar Durga.
"Tidak!" seru si
tuan muda tegas. "Dia pasti menyimpan disini! Justru setelah sekian lama
mencari tanpa hasil, akan terpikir oleh kita, bahwa dia menyimpan ditempat
lain. Kalau sudah demikian, rencana orang itu—bahwa kita tidak akan meneruskan
mencari disini—akan terwujud. Hm, orang yang cerdik."
"Tapi, dimana kira-kira
dia menyembunyikan kitab itu?" ujar Durba kesal.
"Apa tiap sudut sudah
kalian cari?”
“Sudah!”
“Kalau begitu cari pada
tempat yang tak pernah kau duga." Kata si tuan muda dengan tenang.
Dua orang itu segera berpikir
seksama. "Apakah kolong meja sudah kau periksa?" tanya orang Durba
pada rekannya.
"Sudah," katanya
dengan menggumam.
"Apakah langit-langit
meja sudah kau periksa?" tanya sang tuan muda.
Kedua orang itu saling
pandang. "Belum," desah Durba girang. "Ya, mungkin disitu!"
serunya semangat, tanpa banyak bicara, ia memeriksa langit-langit meja.
Karena meja di kamar itu
berada dipojok dan merupakan meja permanen—artinya sudah tidak bisa dipindah
lagi, Durba terpaksa merangkak saat memeriksa meja, dia mendongkakkan kepala
untuk memeriksa langit-langit meja..
"Uuh…" serunya
kaget.
"Ada apa?" tanya
Durga.
"Tak apa-apa…"
sahutnya. "Aku kaget, mataku kemasukan sesuatu." Katanya sambil
mencari-cari. Dan dipojok langit-langit meja, ia melihat benda berbentuk
persegi dibungkus kain hitam yang terjepit diantara sela-sela kayu meja.
"Dapat..." serunya
girang. Segera diambilnya bungkusan itu. Buru-buru ia keluar dan menyerahkan
bungkusan itu pada tuannya.
Si tuan muda melihat
bungkusan itu dengan mata berbinar gembira. "Terima kasih," sahutnya
dengan suara menggeletar. Dia bahkan merasa gemetar saking girangnya. Bisa
dimaklumi, siapa sih yang tidak gembira mendapatkan kitab mustika yang sejak
dulu menjadi perebutan para tokoh sakti?
"Sungguh tidak disangka
kita menemukan kitab mustika disebuah penginapan murahan," dia mendesah
disela rasa girangnya.
"Apakah tuan hendak
memeriksa sekarang?" tanya Durga.
"Lebih baik
begitu," sahutnya.
Dengan tangan masih gemetar,
ia mulai membuka kain hitam yang membungkus kitab. Tampak kain itu agak
berdebu, karena debu itu terlihat sedikit mengganggu, maka ia menepuknya hingga
bersih. Agak tergesa, ia buka ikatan pada kain hitam. Begitu dibuka, ternyata
masih ada bungkusan lain, kain lapis kedua itu tidak kasar bahkan sangat halus,
sepertinya terbuat dari kain sutra.
Buru-buru, kain itupun
disingkap, dan terlihatlah sebentuk kitab yang mereka cari. Sampul kitab itu
sudah sangat usang, kalau melihat bentuknya, mereka menduga kitab itu berusia
paling delapan dasawarsa. Sayangnya mereka tidak menyadari, bahwa usia tulisan
cina itu tak setua sampulnya...
"Akhirnya..." seru
si tuan muda dengan suara gemetar. Dilihatnya sampul depan kitab itu tertulis
huruf Cina, ia raba penuh perasaan, dibawah huruf cina itu ia melihat
terjemahannya, yakni; Tujuh Rembulan Penakluk Mentari! Tulisan itu tergores
rapi, tapi aneh... goresan itu terlihat baru.
Sekalipun merasa heran, orang
ini tidak perduli. Akhirnya dia membuka sampul kitab… tapi pada halaman pertama
tidak terlihat tulisan setitikpun! Hanya kertas polos!
"Ah…" ketiga orang
itu tersentak kaget. "Kosong?!" hampir bersamaan ketiganya terpekik.
"Kita tidak tahu
seluk-beluk kitab ini tuan, mungkin melihat tulisan dari kitab ini dengan cara
merendamnya di air atau,”
"Betul juga," si
tuan muda memotong ucapan Durba.
Lalu ia membuka lembar
berikutnya, tapi apa yang didapatinya? Mata mereka tambah terbeliak saat
melihat lembar kedua. Menyusul terlihatnya lembar kedua, ada sesuatu yang
terjatuh dari dalam kitab… ternyata sebuah papan! Kini dengan jelas mereka bisa
melihatnya! Sebuah kenyataan pahit menghempas perasaan ketiga orang itu.
Pada halaman kedua tidak
kosong, tapi ada sederet tulisan dengan goresan indah.
Selamat, anda mendapatkan
sampul buku tua. Kedatangan anda sekalian sudah saya tunggu dari tadi...
sayangnya, kalian terlalu lama bergerak dan terpaksa saya harus meninggalkan
kamar untuk memancing kedatangan anda berdua? Atau bertiga? Atau berempat?
Saya tidak tahu, tapi
menurut perhitungan, anda akan datang bertiga. Apa tebakan saya betul?
Sesungguhnya anda tidak perlu bertindak seperti ini, kalau mau berpikir
’bagaimana mungkin sebuah kitab pusaka bisa berada pada orang yang kurang
layak?’ yah, katakan saja saya kurang layak…
Jika anda bertanya
bagaimana bisa ‘kitab pusaka’ saya ini bisa semirip ciri kitab mustika, mungkin
jawaban yang tepat hanya kebetulan saja. Mengenai tulisan asing (cina) ini,
memang saya sendiri yang membuatnya.
Sebenarnya saya tidak
ingin berbuat seperti ini, tapi pelayan yang anda ‘titipkan’ disini, membuat
saya kurang leluasa. Rasanya tidak perlu saya utarakan panjang lebar apa yang
membuat saya merasa kurang nyaman. Sebab hanya ada satu kesimpulan saja, dia
tidak cocok jadi pelayan!
Mungkin anda harus
melatihnya lebih keras lagi. Jika diperhatikan lebih seksama banyak kelemahan
yang harus dibenahi. Ini sebuah saran gratis dari saya.
Sampai disitu wajah ketiga
orang ini kelihatan masam—terutama Durba ‘si pelayan’, keringat dingin mengalir
tanpa dapat dicegah.
"Tak kukira, dia
memperhatikan gerak-gerikku dengan cermat. Aku tidak menyadarinya..."
ujarnya gemetar, sambil bersusah payah menelan ludah.
"Hm…" si tuan muda
mendengus dingin. "Dia memiliki daya analisa lumayan, sedikit jejak bisa
ditelusuri… kesimpulannya tepat pula.”
Durba membenarkan ucapan
tuannya. “Saya tak habis pikir, kenapa dia tahu, kita datang bertiga?”
“Tebakan, hanya tebakan
kebetulan!” Timpal Durga merasa getun. Si tuan muda mengumam lirih, mungkin dia
membenarkan dugaan itu, mungkin tidak. Mereka kembali membaca tulisan
berikutnya.
Anda harus paham, saya
kurang suka dengan orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Saya paham,
anda bertindak demikian mungkin ada alasan yang menurut anda bisa dibenarkan,
bagi saya tidak masalah.
Cuma yang menjadi ganjalan
saya, jika anda mengirim mata-mata, hendaknya dia bisa bekerja dengan baik, tanpa
orang menyadari bahwa dia mengamati gerak-geriknya.
Dengan kata lain, anda
harus mempekerjakan orang yang bisa bertindak praktis dan taktis. Dengan
demikian apapun rencana anda, bisa dijalankan dengan baik. Sayangnya sekarang,
anda harus merencana ulang apapun ‘agenda kerja’ anda disini. Bukankah dengan
kejadian seperti ini, langkah anda sudah diketahui lawan? Dalam hal ini sayalah
lawan anda.
Ada kenyataan yang harus
anda ketahui… setiap orang yang berurusan dengan saya, mereka akan selalu
memikirkan tindakan selanjutnya untuk membalas, sayangnya selalu gagal.
Oh, mungkin anda juga
ingin tahu fakta yang saya ketahui tentang kecurigaan saya. Yah, terus terang
saja, kamar anda yang terbuka sedikit saat pelayan berbicara dengan saya,
membuat saya mau tak mau harus menaruh perhatian. Tapi, peran si pelayan tidak
seluruhnya jelek. Harus saya puji, keluwesan dia melayani orang. Saya rasa,
dari gerak-geriknya, pelayan anda sudah beradaptasi disini kurang lebih satu
bulan. Apa tebakan saya benar?
Wajah mereka terlihat pias
saat membaca tulisan terakhir. Dalam hati, timbul suatu perasan takut dan
ngeri, saat membayangkan perjumpaan yang berikutnya. Mereka juga kagum karena
dugaan Jaka tepat. Padahal Jaka cuma sekedar menduga saja, sebab tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa si pelayan sudah satu bulan disitu.
Saya rasa kedatangan anda
kekota ini berhubungan dengan Perguruan Naga Batu, atau karena hal lain? Saya
tidak bisa menduga apa hubungan anda dengan Perguruan Naga Batu, atau cerita
dari Telaga Batu. Kalau kesimpulan saya tidak salah, kemungkinan besar anda ada
maksud tertentu dengan dua hal yang saya sebutkan tadi.
Perlu dijelaskan bahwa Jaka
menulis ‘atau cerita Telaga Batu' hanya kata-kata tambahan belaka, tidak ada
maksud lain. Maksud Jaka, supaya mereka menilai dirinya sebagai orang yang sok
tahu, tak mengenal masalah. Jika sudah demikian, mereka akan memandang rendah
dirinya, kalau sudah begitu, Jaka mudah membalikkan situasi—saat berhadapan.
Diluar dugaan, apa yang dituliskan Jaka benar-benar membuat wajah tiga orang
itu pucat pasi.
"Orang ini
siluman," gumam si tuan muda dengan perasaan tak tenteram, tertekan…
dengan menggertak gigi, mereka kembali membaca.
Tapi dengan kejadian ini,
saya sungguh-sungguh merasa berterima kasih. Baiklah saya perkenalkan diri
saja, nama saya Jaka. Bagaimana dengan nama anda bertiga? Apakah… sepertinya
saya tidak perlu menebaknya. Kalau nama yang saya sebutkan benar, bukankah anda
bertiga mengira saya ini dukun? Gawat kalau begitu.
Oh-iya, ada hal penting
yang harus anda bertiga perhatikan. Setelah memasuki kamar ini dan mendapatkan
benda yang dicari, maka anda bertiga sudah keracunan. Keracunan? Bagaimana
bisa? Tentu itu pertanyaan anda… dan saya yakin anda tidak percaya. Baiklah,
untuk jelasnya saya terangkan saja satu persatu.
Pertama, bila anda sudah
mencari kitab ini di semua tempat, sampai di langit-langit kamar, apakah anda
merasa sedikit rasa nyeri pada jari, saat meraba langit-langit? Jika demikian,
anda tidak beruntung, karena ditempat itulah saya memasang racun.
Untuk lebih meyakinkan
anda, saya kira jika anda merasakan nyeri pada jari, pinggang anda juga terasa
sedikit geli, begitu rasa nyeri hilang. Itulah tanda, bahwa anda terkena Racun
Bunga Kuning. Anda kenal racun itu? Saya kira anda kenal…
"Ah!" seru Durga
kaget.
"Kau terkena racun
itu?" tanya si tuan muda dan Durba bersamaan.
"Kelihatannya memang
benar, sungguh sial nasib kita malam ini." Keluh Durga dengan muka kuyu.
"Semua ini karena kecerobohanku," sesalnya kembali.
Dia tahu apa itu Racun Bunga
Kuning, racun itu dapat membuat isi perut melepuh dan akhirnya rapuh, biarpun
korban terkena sedikit saja, memang prosesnya lambat, tetapi cukup mematikan.
Tapi keduanya tidak
mengacuhkan ucapan Durga, sebab mereka juga ingin tahu penjelasan berikut.
Kedua, bagi anda yang
menemukannya, tentu terpaksa merangkak dikolong meja, saat mencari pada
langit-langit meja apakah mata anda kemasukan sesuatu? Tahukan anda, bahwa saat
itu juga mata anda telah kemasukan Racun Kayu Harum? Sebagai orang
berpengalaman anda pasti tahu Racun Kayu Harum… hm, bagaimana?
Wajah Durba terlihat
mengelam, "Orang ini iblis!" desisnya bergetar marah, tapi lebih
banyak perasaan jeri menguasainya.
Dia tahu betul bagaimana
Racun Kayu Harum bekerja, racun ini hanya kusus menyerang bagian paling lemah tubuh
manusia, misalnya liang telinga, mata atau… tertelan. Jika tiga hal itu salah
satunya terjadi, jangan berharap satu hari dimuka si korban masih hidup.
Racun itu bersifat seperti
borok, makin lama makin banyak pembusukkan di setiap daging atau tempat yang ia
singgahi. Tapi bila racun itu hanya tersentuh kulit, atau bila ada orang yang
berendam, mereka tidak akan apa-apa. Dengan catatan, racun tidak masuk ke
hidung, telinga, mata dan mulut—juga kulit yang terluka. Si tuan muda makin
tertekan perasaannya. Dia tidak menggubris keluhan dua orang pengikutnya.
Dengan hati berdebar tegang, ia membacanya lagi.
Ketiga… Oh, saya hampir
lupa menjelaskannya, anda yang terkena racun ketiga ini adalah pimpinan
rekan-rekan anda? Terus terang, anda sudah kena Racun Peluluh Mayat. Saya rasa
anda dapat menduga bagaimana anda terkena. Tapi biarlah saya jelaskan.
Saat anda membuka bungkus,
apakah terlihat banyak debu? Dan adakah tercium sedikit bau harum? Nah, debu
yang ada pada kitab, adalah Bubuk Pelumpuh Syaraf, sedangkan bau harum yang
anda bertiga hisap setelah membuka bungkusan terakhir adalah Racun Tujuh Bunga,
saya yakin anda tahu kedua racun, sebab kaum kelana biasapun mengenal namanya.
Pada lembaran itu tulisan
Jaka habis, tidak ada tulisan lain lagi. Sampai disitu tiga orang itu membaca
tulisan Jaka dengan perasaan takjub, ngeri, juga dongkol.
"Kurang ajar! Setan ini
benar-benar cerdik! Dia bisa menebak tindakan kita dengan tepat." Geram si
tuan muda gusar.
"Tuan, rasanya kita
tidak perlu disini lagi. Aku sungguh menyesal dengan kejadian ini. Semuanya
adalah tanggung jawabku, kalau aku tidak terpancing kitab tulisan pemuda itu,
tentu kita tidak akan menjadi maling seperti ini…" kata Durba dengan suara
lirih.
"Sudahlah… jika orang
lain yang menemukan kejadian serupa denganmu, dia juga akan bertindak seperti
kita." Kata si tuan muda dengan nada datar. Wajahnya memang agak kaku,
tapi orang ini cukup bijak. Lagipula dari suaranya, kelihatannya dia tidak
begitu kawatir.
“Sebelum kau mengambil semua
makannya, apakah sudah kau tebarkan Racun Sembilan Kuntum Kamboja
milik-ku?" tanya si tuan muda.
"Sudah tuan," sahut
Durba, kembali semangat, dia sadar mereka punya harapan untuk bernegoisasi obat
pemunah. "Sebelum saya mengambilnya, saya sudah menyebarkan racun itu
dalam gelas air minum, lalu di sisi tempat tidurnya juga saya sebarkan. Ya-ya…
dengan demikian keadaan kita saat ini satu sama."
Durga dan majikannya
mengangguk. "meski demikian, kita tidak boleh mengabaikan kecerdikan orang
itu. Kalau dalam satu hari ini kita tidak memperoleh penawarnya, tentu riwayat
kita habis untuk satu hari mendatang."
"Tapi bagaimana cara
kita bertransaksi dengan orang itu? Dia tidak memberikan petunjuk
apa-apa." Durga merasa khawatir harapannya sia-sia.
Belum sempat si tuan muda
menjawab, terdengar seruan kaget Durba.
"Eh…"
"Ada apa?" hampir
serempak mereka menjawab.
"Masih ada lembar
berikut!" seru Durba memberi tahu, dan memang lembaran yang ditulis Jaka
masih sisa dua lembar. Tanpa banyak komentar, mereka segera membacanya.
Saya tahu anda orang yang
cerdik. Jangan bertindak bodoh kalau masih ingin hidup sampai besok, tapi jika
anda sudah bosan hidup, terserah anda. Ada beberapa hal yang mengganjal hati
saya, tapi mau tak mau harus saya sampaikan. Yakni, apa yang nanti saya
sampaikan pada anda bertiga, tidak boleh dibantah, tidak ada tawar menawar,
kecuali anda ingin mengakhiri hidup anda sendiri.
“Huh! Tulisan macam apa
ini?!” seru Durga gemas. Maklum saja, gaya tulisan Jaka yang ‘sok malu-malu’
membuat mereka punya harapan untuk mengakalinya, tapi di akhir tulisan yang
‘agak sungkan’ itu, ternyata mengandung perintah.
Sang majikan juga merasakan
hal serupa, tapi dia tak ambil pusing, dia membaca kembali.
Sebelumnya, saya ingin
anda tahu, bahwa saya adalah… ya, boleh dikatakan ahli racun, racun yang anda
kirim pada saya, masih terlalu ringan. Saya menyadarinya, begitu ‘si pelayan’
datang, dia menaburkan sesuatu, bagi orang lain mungkin racunnya, cukup
mematikan, tapi bagi saya racun seperti itu, tidak lebih makanan sehari-hari.
Sebenarnya saya juga malas bermain racun, tapi anda mendahului saya bermain
racun. Ya, sebagai rasa hormat, saya perkenankan anda mengenal racun yang lebih
baik dari bubuk anda.
“Sialan!” seru si majikan.
Bisa dimaklum kekesalannya, jika racun yang diandalkan diberi perdikat bubuk,
artinya sama dengan bedak, sama sekali tak membahayakan. Hati siapa yang tak
panas?
Saya pikir dengan
penjelasan ini, anda sadar bahwa untuk menawar apapun perintah saya, adalah
mustahil. Bisakah di mengerti?
Membaca tulisan itu, hembusan
nafas tertahan hampir terdengar bersamaan. Dan kali ini si tuan muda tidak
berhasil menahankan ketenangannya.
"Habis sudah!"
desisnya. "Entah apa kemauan orang itu… jika dia menginginkan kita
melakukan perbuatan aneh-aneh…" sang majikan tampak putus asa.
Seolah tahu apa yang akan
dipikirkan para penyatron kamarnya, Jaka menulis begini,
Jika anda adalah orang
baik, tentu tidak pernah bertindak keji dan curang, bukan? Yah, meski tindakan
kali ini bisa dikatakan curang. Tapi saya yakin anda berasal dari keturunan
baik-baik.
Dan beberapa perintah
saya, sesuai dengan tindakan yang anda lakukan, boleh dibilang semacam hukuman.
Saya harap anda memakluminya. Dan jangan kawatir, saya tidak akan memerintah
anda, untuk melakukan perbuatan tercela.
Saya hanya ingin anda
bertiga datang ke kuil sebelah timur perbatasan kota, satu kentongan sebelum
tengah malam. Pada saat itu, anda bersembunyi disebuah tempat diluar kuil, tapi
jangan terlalu dekat dengan kuil. Jika anda mendengar suara burung malam, anda
boleh keluar dari tempat persembunyian.
Itu perintah pertama,
selanjutnya anda bertiga akan menerima perintah berikut, setelah bertemu dengan
saya. Dengan ini, cukuplah perkenalan kita. Semoga anda masih ingin hidup.
Oh, hampir saya lupa…
tolong kemasi barang-barang saya yang ada di kamar ini, yakni; tempat
penyimpanan pakaian, lalu sampul buku yang anda pegang beserta kertas yang anda
baca ini, dan terakhir, tolong katakan pada pengurus penginapan kalau saya
sudah tidak menginap dikamar ini lagi.
Anda tidak perlu kawatir
ditagih membayar kamar ini, saya sudah membayar lunas. Satu hal lagi yang harus
anda lakukan, tolong bersihkan sisa racun yang anda tebarkan dikamar ini, saya
kawatir penginap berikutnya bisa celaka. Saya rasa itu permintaan layak…
Semoga untuk kesempatan
berikutnya kita bisa bersahabat. Kalau boleh saya memberi nasehat, jika anda
ingin memiliki barang milik orang lain, lebih baik bertindak secara jantan dan
terbuka. Jangan main sergap seperti ini, toh anda sendiri yang rugi.
Satu lagi nasehat saya;
jika anda mendapatkan sesuatu yang dipandang berharga, jangan keburu senang,
selalu waspada, kadang rasa girang menutup rasio. Pikirkan dulu
sebab-akibatnya, dan telitilah. Siapa tahu kejadian seperti saat ini, kembali
terjadi pada anda. Itu sekedar nasehat saja, semuanya tergantung anda. Semoga
menjadi pertimbangan anda sekaliam (bertigakah anda?)
Hormat saya, Jaka
Mereka bertiga menghela nafas
panjang-panjang. "Malam ini kita berjumpa tokoh hebat." Kata sang
majikan. "Apakah kau melihat dengan jelas bagaimana cirinya?" tanyanya
pada Durba.
"Tentu." Sahutnya.
"Seperti apa
orangnya?"
"Dia masih muda, saya
rasa umurnya baru dua puluh tahunan. Sekalipun dia orang yang menarik, saya
menilai sikapnya terlalu acuh tak acuh. Dan dengan wajah dan gerak-gerik
seperti itu, dia lebih cocok jadi orang terpandang, tapi anehnya ia seperti
orang kebanyakan. Warna bajunya juga sudah pada luntur, rasanya terlalu
bersahaja untuk potongan orang seperti dia."
"Hm…" sang majikan
mengumam penuh arti, mungkin dia punya perhitungan baru. "Masih ada empat
jam sebelum waktu yang ditentukan, lebih baik kita bersiap-siap." Katanya
dengan nada datar.
Lalu
mereka segera keluar—lewat jendela, tentunya mereka sudah membereskan kamar,
menghilangkan sisa racun, dan memadamkan lentera. Dan kini, jendelapun kembali
tertutup rapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar