Jumat, 13 September 2013

017 - Penjebak Terjebak


"Tentu saja saya tidak mungkin bertindak ceroboh. Tapi kalau dia tahu apa yang kulakukan, dia bisa apa?”
“Bodoh. Sekalipun hanya sekelebatan, aku sempat melihat gerakannya. Dia bukan lawan yang bisa diremehkan. Dan kalau kau pikir bisa menghadapinya, hm… rasanya tak mungkin! Coba pikir baik-baik, apakah orang yang menguasai ilmu itu, bisa kau kalahkan?”
Lelaki itu tertegun sejenak, kemudian dia mengangguk. “Tuan benar. Toh, dia tetap jatuh ke tangan kita.”
“Benar, sehebat apapun dia, jika kalah siasat, tetap saja kalah.” Sahut satunya mendukung ucapan rekannya.
“Hh…” orang yang mereka sebut tuan muda, tidak menjawab, dia hanya menghela nafas saja. Rupanya ada yang dirisaukan.

Mereka menunggu sekian lama, setelah tidak ada tanda-tanda mencurigakan, tiga orang itu melesat kejendela kamar Jaka.
Klik...
Jendela terbuka, dua orang yang ikut mengiringi meloncat lebih dulu kedalam. Orang terakhir segera masuk kedalam, mengamati keadaan dalam kamar sejenak, lalu dia menutup jendelanya.
Suasana dalam kamar gelap gulita, salah seorang dari mereka menyalakan geretan api. Sinar lentera segera menyala terang, sungguh mereka bertindak tidak kepalang tanggung. Biasanya seorang penyusup atau maling, paling kawatir menarik perhatian, dan menyalakan sinar, tentu saja perbuatan ceroboh.
"Tuan muda, anda begitu yakin dia tidak membawa barangnya. Saya pikir kemungkinan itu kecil?" tanya orang kedua pada orang ketiga—yang ternyata sang majikan.
Si tuan muda tertawa. “Kau kurang memikirkan alasannya mengapa aku berkeyakinan begitu.”
“Saya rasa, tak perlu dibuat pertimbangan lagi. Siapapun yang memiliki barang berharga, jika bukan berada ditempatnya sendiri, pasti akan dibawa kemana-mana.”
"Alasanmu cukup bagus. Tapi tak cukup baik untuk situasi kali ini."
"Oh, jadi bagaimana menurut anda tuan muda?"
"Begini, saat Durba masuk terakhir kalinya, bukankah ia melihat pemuda itu sudah mengenakan pakaian gelap? Bisa disimpulkan dengan pakaian seperti itu dia tidak akan bertamu—aku yakin dia pergi untuk mengintai seseorang atau sesuatu.” Kedua abdinya mengangguk.
“Bukankah menurutmu dia baru satu hari disini?" orang pertama itu balik bertanya.
"Benar." Sahut Durba—samaran si pelayan.
"Nah, dengan begitu mudah kuambil kesimpulan, bahwa pemuda itu memiliki kepentingan disini. Sekalipun dia cukup lihay, kalau dia pergi untuk kepentingan sesaat—mengintai misalnya, sudah tentu, dia tidak akan bertindak ceroboh dengan membawa barang berharga, sebab setiap waktu apapun yang dia intai, bisa membahayakan. Dia sudah memperhitungkan kemungkinan pada saat tertangkap, tidak ada barang berharga atau barang yang bisa merujuk pada identitasnya."
"Betul juga analisamu tuan," kata orang ketiga. “Tapi bagaimana dengan kata-katanya tadi? Berhasil? Saya rasa, dia tidak mengigau, jika kita anggap dia menguasai ilmu dalam kitab, saya rasa sulit baginya tertangkap.”
“Benar,” ujar si tuan muda. “Tapi seperti yang kukatakan tadi, apapun alasannya dia tidak akan membawa barang berharga.”
Kedua abdi itu bisa menerima alasan tuannya.
"Nah, sekarang yang menjadi masalah, dimana dia menyimpannya?"
"Ah, mudah saja tuan, kita tinggal sembarang mencari saja. Hanya kamar sekecil ini, pasti kita bisa menemukannya." Kata Durga—abdi kedua.
Si tuan muda hanya menanggapi dengan gumam. Dia memberi isyarat agar keduanya segera mencari.
"Waktu kita terbatas, cepat kalian geledah seluruh sudut." Perintahnya.
Keduanya segera menggeledah tiap susut kamar, tempat yang diduga dapat menjadi tempat penyimpanan. Tapi setelah sekian lama mencari tiap penjuru kamar, tak satupun barang yang ditemukan. Dari langit-langit kamar, kolong tempat tidur, lantai—yang terbuat dari kayu, bahkan sampai tempat ditidur dan sarung bantal-pun diperiksa, tapi mereka tidak menemukan sesuatu.
"Jangan-jangan dia tidak menyimpan disini?" ujar Durga.
"Tidak!" seru si tuan muda tegas. "Dia pasti menyimpan disini! Justru setelah sekian lama mencari tanpa hasil, akan terpikir oleh kita, bahwa dia menyimpan ditempat lain. Kalau sudah demikian, rencana orang itu—bahwa kita tidak akan meneruskan mencari disini—akan terwujud. Hm, orang yang cerdik."
"Tapi, dimana kira-kira dia menyembunyikan kitab itu?" ujar Durba kesal.
"Apa tiap sudut sudah kalian cari?”
“Sudah!”
“Kalau begitu cari pada tempat yang tak pernah kau duga." Kata si tuan muda dengan tenang.
Dua orang itu segera berpikir seksama. "Apakah kolong meja sudah kau periksa?" tanya orang Durba pada rekannya.
"Sudah," katanya dengan menggumam.
"Apakah langit-langit meja sudah kau periksa?" tanya sang tuan muda.
Kedua orang itu saling pandang. "Belum," desah Durba girang. "Ya, mungkin disitu!" serunya semangat, tanpa banyak bicara, ia memeriksa langit-langit meja.
Karena meja di kamar itu berada dipojok dan merupakan meja permanen—artinya sudah tidak bisa dipindah lagi, Durba terpaksa merangkak saat memeriksa meja, dia mendongkakkan kepala untuk memeriksa langit-langit meja..
"Uuh…" serunya kaget.
"Ada apa?" tanya Durga.
"Tak apa-apa…" sahutnya. "Aku kaget, mataku kemasukan sesuatu." Katanya sambil mencari-cari. Dan dipojok langit-langit meja, ia melihat benda berbentuk persegi dibungkus kain hitam yang terjepit diantara sela-sela kayu meja.
"Dapat..." serunya girang. Segera diambilnya bungkusan itu. Buru-buru ia keluar dan menyerahkan bungkusan itu pada tuannya.
Si tuan muda melihat bungkusan itu dengan mata berbinar gembira. "Terima kasih," sahutnya dengan suara menggeletar. Dia bahkan merasa gemetar saking girangnya. Bisa dimaklumi, siapa sih yang tidak gembira mendapatkan kitab mustika yang sejak dulu menjadi perebutan para tokoh sakti?
"Sungguh tidak disangka kita menemukan kitab mustika disebuah penginapan murahan," dia mendesah disela rasa girangnya.
"Apakah tuan hendak memeriksa sekarang?" tanya Durga.
"Lebih baik begitu," sahutnya.
Dengan tangan masih gemetar, ia mulai membuka kain hitam yang membungkus kitab. Tampak kain itu agak berdebu, karena debu itu terlihat sedikit mengganggu, maka ia menepuknya hingga bersih. Agak tergesa, ia buka ikatan pada kain hitam. Begitu dibuka, ternyata masih ada bungkusan lain, kain lapis kedua itu tidak kasar bahkan sangat halus, sepertinya terbuat dari kain sutra.
Buru-buru, kain itupun disingkap, dan terlihatlah sebentuk kitab yang mereka cari. Sampul kitab itu sudah sangat usang, kalau melihat bentuknya, mereka menduga kitab itu berusia paling delapan dasawarsa. Sayangnya mereka tidak menyadari, bahwa usia tulisan cina itu tak setua sampulnya...
"Akhirnya..." seru si tuan muda dengan suara gemetar. Dilihatnya sampul depan kitab itu tertulis huruf Cina, ia raba penuh perasaan, dibawah huruf cina itu ia melihat terjemahannya, yakni; Tujuh Rembulan Penakluk Mentari! Tulisan itu tergores rapi, tapi aneh... goresan itu terlihat baru.
Sekalipun merasa heran, orang ini tidak perduli. Akhirnya dia membuka sampul kitab… tapi pada halaman pertama tidak terlihat tulisan setitikpun! Hanya kertas polos!
"Ah…" ketiga orang itu tersentak kaget. "Kosong?!" hampir bersamaan ketiganya terpekik.
"Kita tidak tahu seluk-beluk kitab ini tuan, mungkin melihat tulisan dari kitab ini dengan cara merendamnya di air atau,”
"Betul juga," si tuan muda memotong ucapan Durba.
Lalu ia membuka lembar berikutnya, tapi apa yang didapatinya? Mata mereka tambah terbeliak saat melihat lembar kedua. Menyusul terlihatnya lembar kedua, ada sesuatu yang terjatuh dari dalam kitab… ternyata sebuah papan! Kini dengan jelas mereka bisa melihatnya! Sebuah kenyataan pahit menghempas perasaan ketiga orang itu.
Pada halaman kedua tidak kosong, tapi ada sederet tulisan dengan goresan indah.
Selamat, anda mendapatkan sampul buku tua. Kedatangan anda sekalian sudah saya tunggu dari tadi... sayangnya, kalian terlalu lama bergerak dan terpaksa saya harus meninggalkan kamar untuk memancing kedatangan anda berdua? Atau bertiga? Atau berempat?
Saya tidak tahu, tapi menurut perhitungan, anda akan datang bertiga. Apa tebakan saya betul? Sesungguhnya anda tidak perlu bertindak seperti ini, kalau mau berpikir ’bagaimana mungkin sebuah kitab pusaka bisa berada pada orang yang kurang layak?’ yah, katakan saja saya kurang layak…
Jika anda bertanya bagaimana bisa ‘kitab pusaka’ saya ini bisa semirip ciri kitab mustika, mungkin jawaban yang tepat hanya kebetulan saja. Mengenai tulisan asing (cina) ini, memang saya sendiri yang membuatnya.
Sebenarnya saya tidak ingin berbuat seperti ini, tapi pelayan yang anda ‘titipkan’ disini, membuat saya kurang leluasa. Rasanya tidak perlu saya utarakan panjang lebar apa yang membuat saya merasa kurang nyaman. Sebab hanya ada satu kesimpulan saja, dia tidak cocok jadi pelayan!
Mungkin anda harus melatihnya lebih keras lagi. Jika diperhatikan lebih seksama banyak kelemahan yang harus dibenahi. Ini sebuah saran gratis dari saya.
Sampai disitu wajah ketiga orang ini kelihatan masam—terutama Durba ‘si pelayan’, keringat dingin mengalir tanpa dapat dicegah.
"Tak kukira, dia memperhatikan gerak-gerikku dengan cermat. Aku tidak menyadarinya..." ujarnya gemetar, sambil bersusah payah menelan ludah.
"Hm…" si tuan muda mendengus dingin. "Dia memiliki daya analisa lumayan, sedikit jejak bisa ditelusuri… kesimpulannya tepat pula.”
Durba membenarkan ucapan tuannya. “Saya tak habis pikir, kenapa dia tahu, kita datang bertiga?”
“Tebakan, hanya tebakan kebetulan!” Timpal Durga merasa getun. Si tuan muda mengumam lirih, mungkin dia membenarkan dugaan itu, mungkin tidak. Mereka kembali membaca tulisan berikutnya.
Anda harus paham, saya kurang suka dengan orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Saya paham, anda bertindak demikian mungkin ada alasan yang menurut anda bisa dibenarkan, bagi saya tidak masalah.
Cuma yang menjadi ganjalan saya, jika anda mengirim mata-mata, hendaknya dia bisa bekerja dengan baik, tanpa orang menyadari bahwa dia mengamati gerak-geriknya.
Dengan kata lain, anda harus mempekerjakan orang yang bisa bertindak praktis dan taktis. Dengan demikian apapun rencana anda, bisa dijalankan dengan baik. Sayangnya sekarang, anda harus merencana ulang apapun ‘agenda kerja’ anda disini. Bukankah dengan kejadian seperti ini, langkah anda sudah diketahui lawan? Dalam hal ini sayalah lawan anda.
Ada kenyataan yang harus anda ketahui… setiap orang yang berurusan dengan saya, mereka akan selalu memikirkan tindakan selanjutnya untuk membalas, sayangnya selalu gagal.
Oh, mungkin anda juga ingin tahu fakta yang saya ketahui tentang kecurigaan saya. Yah, terus terang saja, kamar anda yang terbuka sedikit saat pelayan berbicara dengan saya, membuat saya mau tak mau harus menaruh perhatian. Tapi, peran si pelayan tidak seluruhnya jelek. Harus saya puji, keluwesan dia melayani orang. Saya rasa, dari gerak-geriknya, pelayan anda sudah beradaptasi disini kurang lebih satu bulan. Apa tebakan saya benar?
Wajah mereka terlihat pias saat membaca tulisan terakhir. Dalam hati, timbul suatu perasan takut dan ngeri, saat membayangkan perjumpaan yang berikutnya. Mereka juga kagum karena dugaan Jaka tepat. Padahal Jaka cuma sekedar menduga saja, sebab tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa si pelayan sudah satu bulan disitu.
Saya rasa kedatangan anda kekota ini berhubungan dengan Perguruan Naga Batu, atau karena hal lain? Saya tidak bisa menduga apa hubungan anda dengan Perguruan Naga Batu, atau cerita dari Telaga Batu. Kalau kesimpulan saya tidak salah, kemungkinan besar anda ada maksud tertentu dengan dua hal yang saya sebutkan tadi.
Perlu dijelaskan bahwa Jaka menulis ‘atau cerita Telaga Batu' hanya kata-kata tambahan belaka, tidak ada maksud lain. Maksud Jaka, supaya mereka menilai dirinya sebagai orang yang sok tahu, tak mengenal masalah. Jika sudah demikian, mereka akan memandang rendah dirinya, kalau sudah begitu, Jaka mudah membalikkan situasi—saat berhadapan. Diluar dugaan, apa yang dituliskan Jaka benar-benar membuat wajah tiga orang itu pucat pasi.
"Orang ini siluman," gumam si tuan muda dengan perasaan tak tenteram, tertekan… dengan menggertak gigi, mereka kembali membaca.
Tapi dengan kejadian ini, saya sungguh-sungguh merasa berterima kasih. Baiklah saya perkenalkan diri saja, nama saya Jaka. Bagaimana dengan nama anda bertiga? Apakah… sepertinya saya tidak perlu menebaknya. Kalau nama yang saya sebutkan benar, bukankah anda bertiga mengira saya ini dukun? Gawat kalau begitu.
Oh-iya, ada hal penting yang harus anda bertiga perhatikan. Setelah memasuki kamar ini dan mendapatkan benda yang dicari, maka anda bertiga sudah keracunan. Keracunan? Bagaimana bisa? Tentu itu pertanyaan anda… dan saya yakin anda tidak percaya. Baiklah, untuk jelasnya saya terangkan saja satu persatu.
Pertama, bila anda sudah mencari kitab ini di semua tempat, sampai di langit-langit kamar, apakah anda merasa sedikit rasa nyeri pada jari, saat meraba langit-langit? Jika demikian, anda tidak beruntung, karena ditempat itulah saya memasang racun.
Untuk lebih meyakinkan anda, saya kira jika anda merasakan nyeri pada jari, pinggang anda juga terasa sedikit geli, begitu rasa nyeri hilang. Itulah tanda, bahwa anda terkena Racun Bunga Kuning. Anda kenal racun itu? Saya kira anda kenal…
"Ah!" seru Durga kaget.
"Kau terkena racun itu?" tanya si tuan muda dan Durba bersamaan.
"Kelihatannya memang benar, sungguh sial nasib kita malam ini." Keluh Durga dengan muka kuyu. "Semua ini karena kecerobohanku," sesalnya kembali.
Dia tahu apa itu Racun Bunga Kuning, racun itu dapat membuat isi perut melepuh dan akhirnya rapuh, biarpun korban terkena sedikit saja, memang prosesnya lambat, tetapi cukup mematikan.
Tapi keduanya tidak mengacuhkan ucapan Durga, sebab mereka juga ingin tahu penjelasan berikut.
Kedua, bagi anda yang menemukannya, tentu terpaksa merangkak dikolong meja, saat mencari pada langit-langit meja apakah mata anda kemasukan sesuatu? Tahukan anda, bahwa saat itu juga mata anda telah kemasukan Racun Kayu Harum? Sebagai orang berpengalaman anda pasti tahu Racun Kayu Harum… hm, bagaimana?
Wajah Durba terlihat mengelam, "Orang ini iblis!" desisnya bergetar marah, tapi lebih banyak perasaan jeri menguasainya.
Dia tahu betul bagaimana Racun Kayu Harum bekerja, racun ini hanya kusus menyerang bagian paling lemah tubuh manusia, misalnya liang telinga, mata atau… tertelan. Jika tiga hal itu salah satunya terjadi, jangan berharap satu hari dimuka si korban masih hidup.
Racun itu bersifat seperti borok, makin lama makin banyak pembusukkan di setiap daging atau tempat yang ia singgahi. Tapi bila racun itu hanya tersentuh kulit, atau bila ada orang yang berendam, mereka tidak akan apa-apa. Dengan catatan, racun tidak masuk ke hidung, telinga, mata dan mulut—juga kulit yang terluka. Si tuan muda makin tertekan perasaannya. Dia tidak menggubris keluhan dua orang pengikutnya. Dengan hati berdebar tegang, ia membacanya lagi.
Ketiga… Oh, saya hampir lupa menjelaskannya, anda yang terkena racun ketiga ini adalah pimpinan rekan-rekan anda? Terus terang, anda sudah kena Racun Peluluh Mayat. Saya rasa anda dapat menduga bagaimana anda terkena. Tapi biarlah saya jelaskan.
Saat anda membuka bungkus, apakah terlihat banyak debu? Dan adakah tercium sedikit bau harum? Nah, debu yang ada pada kitab, adalah Bubuk Pelumpuh Syaraf, sedangkan bau harum yang anda bertiga hisap setelah membuka bungkusan terakhir adalah Racun Tujuh Bunga, saya yakin anda tahu kedua racun, sebab kaum kelana biasapun mengenal namanya.
Pada lembaran itu tulisan Jaka habis, tidak ada tulisan lain lagi. Sampai disitu tiga orang itu membaca tulisan Jaka dengan perasaan takjub, ngeri, juga dongkol.
"Kurang ajar! Setan ini benar-benar cerdik! Dia bisa menebak tindakan kita dengan tepat." Geram si tuan muda gusar.
"Tuan, rasanya kita tidak perlu disini lagi. Aku sungguh menyesal dengan kejadian ini. Semuanya adalah tanggung jawabku, kalau aku tidak terpancing kitab tulisan pemuda itu, tentu kita tidak akan menjadi maling seperti ini…" kata Durba dengan suara lirih.
"Sudahlah… jika orang lain yang menemukan kejadian serupa denganmu, dia juga akan bertindak seperti kita." Kata si tuan muda dengan nada datar. Wajahnya memang agak kaku, tapi orang ini cukup bijak. Lagipula dari suaranya, kelihatannya dia tidak begitu kawatir.
“Sebelum kau mengambil semua makannya, apakah sudah kau tebarkan Racun Sembilan Kuntum Kamboja milik-ku?" tanya si tuan muda.
"Sudah tuan," sahut Durba, kembali semangat, dia sadar mereka punya harapan untuk bernegoisasi obat pemunah. "Sebelum saya mengambilnya, saya sudah menyebarkan racun itu dalam gelas air minum, lalu di sisi tempat tidurnya juga saya sebarkan. Ya-ya… dengan demikian keadaan kita saat ini satu sama."
Durga dan majikannya mengangguk. "meski demikian, kita tidak boleh mengabaikan kecerdikan orang itu. Kalau dalam satu hari ini kita tidak memperoleh penawarnya, tentu riwayat kita habis untuk satu hari mendatang."
"Tapi bagaimana cara kita bertransaksi dengan orang itu? Dia tidak memberikan petunjuk apa-apa." Durga merasa khawatir harapannya sia-sia.
Belum sempat si tuan muda menjawab, terdengar seruan kaget Durba.
"Eh…"
"Ada apa?" hampir serempak mereka menjawab.
"Masih ada lembar berikut!" seru Durba memberi tahu, dan memang lembaran yang ditulis Jaka masih sisa dua lembar. Tanpa banyak komentar, mereka segera membacanya.
Saya tahu anda orang yang cerdik. Jangan bertindak bodoh kalau masih ingin hidup sampai besok, tapi jika anda sudah bosan hidup, terserah anda. Ada beberapa hal yang mengganjal hati saya, tapi mau tak mau harus saya sampaikan. Yakni, apa yang nanti saya sampaikan pada anda bertiga, tidak boleh dibantah, tidak ada tawar menawar, kecuali anda ingin mengakhiri hidup anda sendiri.
“Huh! Tulisan macam apa ini?!” seru Durga gemas. Maklum saja, gaya tulisan Jaka yang ‘sok malu-malu’ membuat mereka punya harapan untuk mengakalinya, tapi di akhir tulisan yang ‘agak sungkan’ itu, ternyata mengandung perintah.
Sang majikan juga merasakan hal serupa, tapi dia tak ambil pusing, dia membaca kembali.
Sebelumnya, saya ingin anda tahu, bahwa saya adalah… ya, boleh dikatakan ahli racun, racun yang anda kirim pada saya, masih terlalu ringan. Saya menyadarinya, begitu ‘si pelayan’ datang, dia menaburkan sesuatu, bagi orang lain mungkin racunnya, cukup mematikan, tapi bagi saya racun seperti itu, tidak lebih makanan sehari-hari. Sebenarnya saya juga malas bermain racun, tapi anda mendahului saya bermain racun. Ya, sebagai rasa hormat, saya perkenankan anda mengenal racun yang lebih baik dari bubuk anda.
“Sialan!” seru si majikan. Bisa dimaklum kekesalannya, jika racun yang diandalkan diberi perdikat bubuk, artinya sama dengan bedak, sama sekali tak membahayakan. Hati siapa yang tak panas?
Saya pikir dengan penjelasan ini, anda sadar bahwa untuk menawar apapun perintah saya, adalah mustahil. Bisakah di mengerti?
Membaca tulisan itu, hembusan nafas tertahan hampir terdengar bersamaan. Dan kali ini si tuan muda tidak berhasil menahankan ketenangannya.
"Habis sudah!" desisnya. "Entah apa kemauan orang itu… jika dia menginginkan kita melakukan perbuatan aneh-aneh…" sang majikan tampak putus asa.
Seolah tahu apa yang akan dipikirkan para penyatron kamarnya, Jaka menulis begini,
Jika anda adalah orang baik, tentu tidak pernah bertindak keji dan curang, bukan? Yah, meski tindakan kali ini bisa dikatakan curang. Tapi saya yakin anda berasal dari keturunan baik-baik.
Dan beberapa perintah saya, sesuai dengan tindakan yang anda lakukan, boleh dibilang semacam hukuman. Saya harap anda memakluminya. Dan jangan kawatir, saya tidak akan memerintah anda, untuk melakukan perbuatan tercela.
Saya hanya ingin anda bertiga datang ke kuil sebelah timur perbatasan kota, satu kentongan sebelum tengah malam. Pada saat itu, anda bersembunyi disebuah tempat diluar kuil, tapi jangan terlalu dekat dengan kuil. Jika anda mendengar suara burung malam, anda boleh keluar dari tempat persembunyian.
Itu perintah pertama, selanjutnya anda bertiga akan menerima perintah berikut, setelah bertemu dengan saya. Dengan ini, cukuplah perkenalan kita. Semoga anda masih ingin hidup.
Oh, hampir saya lupa… tolong kemasi barang-barang saya yang ada di kamar ini, yakni; tempat penyimpanan pakaian, lalu sampul buku yang anda pegang beserta kertas yang anda baca ini, dan terakhir, tolong katakan pada pengurus penginapan kalau saya sudah tidak menginap dikamar ini lagi.
Anda tidak perlu kawatir ditagih membayar kamar ini, saya sudah membayar lunas. Satu hal lagi yang harus anda lakukan, tolong bersihkan sisa racun yang anda tebarkan dikamar ini, saya kawatir penginap berikutnya bisa celaka. Saya rasa itu permintaan layak…
Semoga untuk kesempatan berikutnya kita bisa bersahabat. Kalau boleh saya memberi nasehat, jika anda ingin memiliki barang milik orang lain, lebih baik bertindak secara jantan dan terbuka. Jangan main sergap seperti ini, toh anda sendiri yang rugi.
Satu lagi nasehat saya; jika anda mendapatkan sesuatu yang dipandang berharga, jangan keburu senang, selalu waspada, kadang rasa girang menutup rasio. Pikirkan dulu sebab-akibatnya, dan telitilah. Siapa tahu kejadian seperti saat ini, kembali terjadi pada anda. Itu sekedar nasehat saja, semuanya tergantung anda. Semoga menjadi pertimbangan anda sekaliam (bertigakah anda?)
Hormat saya, Jaka
Mereka bertiga menghela nafas panjang-panjang. "Malam ini kita berjumpa tokoh hebat." Kata sang majikan. "Apakah kau melihat dengan jelas bagaimana cirinya?" tanyanya pada Durba.
"Tentu." Sahutnya.
"Seperti apa orangnya?"
"Dia masih muda, saya rasa umurnya baru dua puluh tahunan. Sekalipun dia orang yang menarik, saya menilai sikapnya terlalu acuh tak acuh. Dan dengan wajah dan gerak-gerik seperti itu, dia lebih cocok jadi orang terpandang, tapi anehnya ia seperti orang kebanyakan. Warna bajunya juga sudah pada luntur, rasanya terlalu bersahaja untuk potongan orang seperti dia."
"Hm…" sang majikan mengumam penuh arti, mungkin dia punya perhitungan baru. "Masih ada empat jam sebelum waktu yang ditentukan, lebih baik kita bersiap-siap." Katanya dengan nada datar.
Lalu mereka segera keluar—lewat jendela, tentunya mereka sudah membereskan kamar, menghilangkan sisa racun, dan memadamkan lentera. Dan kini, jendelapun kembali tertutup rapat.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar