PETUALANG BENGAL
Suasana dipuncak gunung Halimun nampak tenang dan tentram. Setiap
orang yang memandang puncak itu, sudah pasti akan berdecak kagum, karena
memang puncak halimun yang kebanyakan dikenal orang berada di gunung
Kabut, sangat indah. Hutan di sekitar gunung kabut rimbun dan hijau,
penduduk yang tinggal jauh dari kaki gunung itu juga ramah. Singkatnya
kehidupan di sekitar Gunung Kabut begitu mengesankan dan menyenangkan.
Namun tak ada yang tahu kalau di puncak halimun, setiap pendaki hampir
dipastikan tersesat dan tak pernah kembali.
Karena dari dulu amat banyak orang yang bermaksud mendaki puncak itu,
maka sudah tak terhitung banyaknya orang yang hilang disitu, dari
pendekar kenamaan sampai maling atau penjahat paling hina sekalipun, tak
tentu rimbanya. Berita menghilangnya orang-orang gagah di puncak gunung
itu, membuat orang penasaran. Mereka juga mencoba untuk mendaki kesana.
Tetapi tetap tak satupun yang kembali.
Hingga puluhan tahun berikutnya,
tidak ada orang yang berani menapakkan kakinya untuk menuju puncak
Halimun. Paling banyak orang hanya mau berjalan sampai lambung gunung
kabut yang diberi nama Pusara Keramat. Mereka hanya ingin mendapat
petuah dari Pusara Keramat, karena menurut kabar angin, orang yang
dimakamkan disana merupakan sosok setengah dewa yang belum pernah
dikalahkan oleh siapapun.
Dan tempat itu diberi nama demikian karena adanya tiga makam yang
saling berjejeran dengan hiasan sederhana. Disebut Pusara Keramat karena
setiap orang usil yang mencoba membongkar atau bermaksud bertindak
buruk didaerah situ, pasti kedapatan dalam keadaan gila atau bahkan mati
dengan seluruh tubuh memucat biru.
Tiga makam yang ada disitu bukan sembarang makam yang berada
dipekuburan umum. Tapi tempat itu merupakan bersemayamnya tiga jagoan
yang sudah amat terkenal sejak dua abad yang lalu. Makam yang mempunyai
batu nisan berwarna kelabu, merupakan makam Ki Tapa Ageng, seorang tokoh
kosen yang berjuluk Malaikat Tanpa Ilmu. Julukannya yang amat aneh itu
diperolehnya karena kesabaran dan kerendahan hatinya. Ki Tapa Ageng tak
pernah menyombongkan ilmunya pada orang lain, bahkan konon Raja Utara
yang memiliki ilmu pedang amat hebat takluk tanpa bertanding. Karena
memang Ki Tapa Ageng belum pernah bertempur dengan siapa pun. Setiap
orang yang bermaksud menantangnya selalu menyatakan takluk dan kalah,
entah karena apa! Mungkin karena perbawanya.
Makam kedua yang berada di tengah dengan batu nisan berwarna putih
kusam, berukirkan nama Ki Tapa Ardi. Semasa hidupnya dia mendapat
julukan Dewa Pedang Tunggal, keahliannya memang bermain pedang, dan
selama perjalanan hidupnya tak seorangpun yang dapat mengalahkan
dirinya. Karena kehebatan pedangnya yang luar biasa, Ki Tapa Ardi hanya
memiliki satu jurus ilmu pedang, yang hingga kini masih merupkan jurus
legenda tak tertandingi, jurus tersebut yaitu Menunjuk Jalan Terang
Kepada Ilahi. Menurut orang yang sudah pernah melihatnya bertempur, Dewa
Pedang Tunggal ini hanya membutuhkan waktu lima puluh hitungan untuk
mengalahkan lawan yang bagaimanapun hebat dan tangguh ilmunya.
Lalu makam yang paling pinggir dengan batu nisan berwama hijau,
berukirkan tulisan dengan nama Ki Tapa Guntur, julukannya adalah Pawang
Gledek. Kehebatannya tidak pernah disangsikan oleh golongan manapun.
Julukan itu merupakan pertanda dia orang yang amat mahir dengan petir,
bahkan menurut cerita pendekar sekarang; Ki Tapa Guntur dapat
menghancurkan satu bukit dengan kekuatan petir yang dia serap dari alam.
Ketiga orang itu merupakan kakak beradik dan mendapat julukan Tiga
Pelindung Kaum. Karena memang saking baiknya ketiga orang itu pada kaum
yang tertindas, hingga mereka melindungi tanpa pamrih dan juga tidak
pernah tanggung.
Hingga kini julukan Tiga Pelindung Kaum itu masih bergaung santar,
karena mereka menurunkan murid-murid dengan kemampuan yang selalu
disegani kaum persilatan. Ki Tapa Ageng memiliki tiga murid lelaki,
masing-masing mempunyai keandalan tersendiri. Murid pertamanya berjuluk
Manusia Tanpa Amarah, murid kedua dikenal sebagai Penolong Budiman
sedangkan murid ketiga berjuluk Kepalan Sakti Tanpa Daya. Ki Tapa Ageng
tak pernah berkelahi dengan siapapun, kepandaian silatnya merupakan yang
terlihai diantara kedua saudaranya, biarpun ia orang termuda. Meski
demikian, kedua kakangnya tidak pernah menaruh iri padanya, sebab mereka
sadar, kemampuan yang hebat itu diperoleh adik mereka dengan
pengendalian diri sepenuhnya dan penyerahan diri sepenuhnya pula pada
Tuhan.
Ki Tapa Ardi sendiri mempunyai dua murid, laki-laki dan perempuan
yang kemudian menjadi suami istri. Mereka memperoleh julukan Sepasang
Pedang Dewa, karena memang jurus pedang mereka luar biasa. Sementara itu
Ki Tapa Guntur hanya memiliki seorang murid yang bernama Santana,
julukan sang murid adalah Pendekar Darah Petir. Kelihayan orang itu
bukan sembarangan, berkat kecerdikannya, Santana dapat merubah berbagai
gaya ilmu sang guru, biarpun pada hakikatnya ilmunya itu sama. Jika
gurunya sudah mencapai tahap penguasaan terhadap kekuatan alam, dia
hanya bisa dalam tahap dibawahnya yaitu penguasaan tubuh sepenuhnya.
Dengan menggunakan Tenaga Sakti Puncak Petir ia dapat membuat setiap
gerakan tubuhnya selalu di lindungi oleh berbagai macam kekuatan dahsyat
dari tenaga petir.
Keenam murid tiga orang sakti itulah yang mengangkat dan menjunjung
tinggi nama guru mereka. Dalam perjalanan untuk mendarma baktikan ilmu,
tindakan merekapun tidak mengecewakan. Keenam murid guru-guru sakti itu
selalu berpijak pada kebenaran, biarpun mereka mengambil jalan yang
tidak lazim bagi pendekar pada umumnya. Tetapi dengan prinsip kebenaran
dan keadilan diatas segalanya, keenam murid tokoh-tokoh sakti itu
menjadi orang-orang yang amat disegani baik oleh lawan maupun kawan.
Karena banyaknya orang yang ingin berkunjung di Pusara Keramat, ke
enam tokoh murid Tiga Pelindung Kaum mengutus murid-murid mereka untuk
mengawasi dan selalu menjaga keamanan makam dan daerah sekitar gunung
Kabut, seperti yang telah dipesankan tiga guru sakti kepada keenam
muridnya.
***
Sementara itu jauh dari puncak halimun, yaitu di sebuah Perguruan
Silat Kipas Sakti, tampak seorang berusia tiga puluh lima tahunan itu,
berjalan mondar-mandir di balai utama ruang berlatih. Orang yang masih
tergolong muda itu, nampak sedang berpikir keras. Wajahnya yang tampan
kelihatan berkerut kedalam, pertanda persoalan yang dipikirkannya
merupakan masalah pelik.
“Tak kusangka kabar yang kukira hanya bualan belaka sudah tersabar
sampai sejauh itu… bahkan guru sendiri menaruh perhatian pada berita
itu. Benar-benar membuat penasaran!” lelaki itu berdiri mondar-mandir
dengan tangan terkepal gemas.
Kelakuan lelaki itu diperhatikan oleh beberapa orang yang usianya
lebih tua darinya. “Sudahlah Adi Gagas, engkau tidak boleh membantah
perintah eyang guru, Memang kau yang menjadi ketua disini, tetapi
bagaimana-pun juga semuanya harus dikendalikan oleh eyang guru sendiri.”
“Aku sangat menyadari itu kakang Gegana, tetapi… aku benar-benar
penasaran dengan tugas yang diberikan eyang guru padaku ini! Apakan kau
tidak merasa aneh kakang?”
Suasana tampak lenggang sesaat. “Hhh…” orang tertua yang berada
disitu tampak menghela nafas panjang.
“Ya… memang kalau kita tidak tahu
pangkal dan ujung masalah, kita bisa penasaran seperti saat ini. Untung
eyang guru sudah menceritakan sedikit tentang berita yang amat santar
diluaran sana. Tapi sebelumnya, aku ingin bertanya, tugas apa sajakah
yang eyang guru limpahkan padamu adi Gagas?”
Orang yang dipanggil Gagas tampak diam. “Eyang guru menyuruhku untuk
selalu membuntuti seorang tokoh kosen berjuluk Setan Tangan Seribu,
kakang tahu sendiri tugas seperti itu sungguh memalukan sekali.
Bayangkan saja, kalau ada orang yang tahu, tentu akan mengira Ketua
Kipas Sakti mengharapkan hasil benda pusaka curian dari tokoh itu.
Sedangkan mengenai kabar munculnya sebuah Peta Keramat, benar-benar
membuatku lebih pusing. Kabar diluaran sana mengatakan kalau peta itu
didapat di sekitar perguruan kita. Apakah itu bukan suatu fitnah yang
luar biasa? Lalu apa hubungan berita itu dengan tugasku mengejar si
Setan Tangan Seribu? Bukankah aku lebih baik menangani isu tak sedap
diluar sana? Seharusnya itu jadi prioritas utama kita!”
Kakak seperguruannya menggeleng kepala berulang kali. “Nah…
belum-belum kau sudah mencela tugas dan apa yang disiratkan oleh guru
dari tugas yang kau emban itu.. ketahuilah adi Gagas, berita mengenai
munculnya peta itu memang benar adanya. Tetapi tentang munculnya peta
itu disekitar perguruan kita ini, jelas merupakan kabar bohong belaka.
Mungkin ada pihak yang tidak menyukai perguruan kita dan sengaja
memanfaatkan situasi dengan kemunculan berita peta keramat. Lalu tahukah
engkau mengapa kau diutus untuk membuntuti tokoh yang suka mencuri
itu?”
Ketua perguruan Kipas Sakti menggeleng pelan, bahkan tiga orang
lainnya yang merupakan kakang seperguruan Gagas juga menggeleng tidak
tahu saat pandangan orang tertua dari perguruan itu menyapu mereka.
Dengan senyum sabar, lelaki tertua dari kesemua murid Kipas Sakti itu
menjelaskan. “Pertama, guru ingin agar dua pusaka kita yang dulu pernah
dicuri oleh tokoh itu bisa kau dapatkan kembali, yang kedua, engkau
dapat mencari kabar kebenaran tentang peta keramat dari orang itu, dan
yang ketiga, sesungguhnya peta keramat itu belum didapatkan oleh
sipapun, karena menurut guru peta itu dulu disimpan oleh tokoh kosen
berjuluk Raja Penghayal. Dan kau tentu tak bakal menyangka si Raja
Penghayal yang bertubuh gemuk dan cenderung malas itu, merupakan tokoh
yang terkenal amat pandai, cerdik juga sangat licik. Hampir empat puluh
tahun yang lalu, ia dapatkan peta itu dari tokoh besar partai pengemis
yaitu Pengemis Tangan Sakti yang merupakan keturunan langsung dari ketua
partai Tangan Darah.
Entah bagaimana cara ia mendapatkan peta keramat
itu, yang jelas… dan harus kalian ketahui, Setan Tangan Seribu adalah
adik seperguruan dari Raja Penghayal, Karena itu kalau bertemu dengannya
kau tidak boleh sungkan dan tidak perlu bersikap menghormat. Karena
Setan Tangan Seribu lebih menyukai orang yang angkuh dan penuh percaya
diri, orang yang bersikap seperti itulah, dengan mudah dapat menjadi
sahabatnya… dan mungkin dalam hal ini pandangan guru memang tepat
dengan melimpahkan tugas ini padamu. Sebab kau memang pandai sekali
berganti sifat adi Gagas..”
Mereka menyimak penjelasan lelaki berusia empat puluh lima tahunan
itu sambil tersenyum maklum, Gagas sendiri tertawa kecil dengan muka
kemerahan mendengar ucapan kakangnya.
“Kakang Gandring, rasanya baru kali ini aku mendengar kalau ada dua
kitab pusaka kita jatuh ketangan Setan Tangan Seribu. Sejak kecil kita
diasuh eyang guru dan baru kali ini kita tahu ada benda Pusaka yang
dicuri.. kitab apakah itu?” tanya orang bernama Gegana yang merupakan
adik seperguruan tertua kedua.
“Dua kitab itu merupakan puncak tertinggi dari ilmu perguruan kita.
Kalian tentu sudah pernah mendapatkan penjelasan dari guru mengenai ilmu
Merubah Tulang Menjadi Urat dan silat sakti kipas Pengacau Angin. Dan
tahukah kenapa sampai saat ini kita tidak pernah mendapatkan ilmu itu?
Tak lain dan tak bukan karena dua kitab ilmu itu terjatuh ketangan Setan
Tangan Seribu…”
“Tapi setidaknya eyang guru dapat memberikan dasar dari ilmu-ilmu
itu..” gumam Gagas merasa kurang puas bahwa gurunya tidak menurunkan
semua ilmu yang dimilikinya.
“Hm… engkau masih terlalu muda dan kurang pertimbangan, sering
terbawa emosi pula, tentu saja tidak dapat berpikiran jauh kedepan adi
Gagas. Eyang guru tidak mengajari kita karena beliau sendiri hanya
mempunyai tiga bagian dari dua ilmu itu. Menurut guru sendiri kalau ilmu
itu dapat dipelajari sampai tingkat ke enam barulah bisa digunakan
dalam pertarungan…”
“Tapi kenapa eyang guru tidak memberikan teorinya sebagai pengetahuan
saja, ada apa gerangan?” tanya Gurda orang ketiga terkuat dari
perguruan itu.
“Guru dan aku sendiri tidak mau kalian menjadi korban..” kata Gandring dengan nada prihatin.
“Korban?!” hampir serempak empat adik seperguruan Gandirng tetegun dengan ucapannya.
Melihat raut muka adik-adik seperguruannya yang menyiratkan rasa
ingin tahu, Gandring membuka baju atasnyanya, tetapi pakaian dalamnya
belum ia buka. “Kalian tahu kapankah kita berlatih sungguh-sungguh
sehingga pakaian kita terkoyak karena pengaruh pengerahan tenaga sakti
tinggi?” tanya Gandring pada adik-adiknya.
“Hm.. kalau tidak salah tiga tahun lalu…” jawab Gesang, orang keempat.
“Dan apakah kalian melihat keanehan pada tubuhku?” tanya Gandring.
“Tidak…” keempatnya serempak menjawab.
“Nah, sekarang lihatlah keanehan ini…” Gandring membuka pakaiannya,
dan empat adik seperguruannya terkejut setengah mati. Sebab dada dan
perut kecil Gandring terdapat lekukan kedalam sebanyak tujuh belas buah.
Dan pada setiap lekukan itu terdapat tanda kebiruan, dan
berdenyut-denyut perlahan.
“Inilah akibat dari pengerahan ilmu Merubah Tulang Menjadi Urat,
andai saja aku tidak melatih silat sakti Kipas Pengacau Angin lebih
dulu, dapat dipastikan kalian tidak akan melihat aku sekarang ini.. guru
pernah memberikan teori dua ilmu itu padaku, dan aku.. seperti juga
perasaan kalian saat ini, sudah pasti akan merasa penasaran karena cuma
diberi teori tanpa boleh melatihnya.. maka secara diam-diam aku melatih
segala petunjuk dari guru biapun itu dilarang, kejadian itu hampir tiga
tahun yang laiu, yaitu dua atau tiga bulan setelah kita berlatih
tanding, dan yang dikatakan oleh eyang guru memang benar, temyata
melatih dua ilmu pamungkas itu sama dengan mencari jalan kematian
sendiri. Menurut penilaianku, kedua ilmu pamungkas perguruan kita cukup
mengerikan—jika kita tak mau menyebutnya sebagai ganas. Aku hampir mati
saat mempeiajari ilmu Merubah Tulang Menjadi Urat. Beruntung eyang guru
sering memantau latihanku, sehingga aku tertolong…” tutur Gandring
dengan nada datar.
“Dan aku berharap kalian tidak mengiri ataupun ingin mempelajari ilmu
ini sebelum dua kitab kita ditemukan. Sebab hasilnya seperti halnya aku
sendiri. Aku tak mau perguruan kita kehilangan orang-orang terkuatnya!”
Keempatnya mengangguk-angguk mengerti. Dalam hati masing-masing,
mereka merasa bersyukur guru atau kakang seperguruan mereka tidak
memberikan teori dua ilmu itu. Sebab rasa penasaran bisa dipastikan
mengusik keinginan untuk melatih dua ilmu itu, dan bencana dapat
dipastikan datang menimpa seperti yang dialami kakang seperguruan
mereka.
“Kalau kalian masih penasaran juga, kalian dapat memegang urat
nadiku..” kata Gandring dengan nada tegas. Karena kebanyakan dari mereka
masih penasaran betul dengan penjelasan kakang mereka, dengan cepat
memegang urat nadi Gandring. Wajah mereka terlihat sedikit pias dan
terkejut sekali.
“Kakang.. ini..ini..” gumam Gagas terkejut.
“Ya, aku kehilangan tenaga dalam dan hawa sakti yang kuhimpun hampir
tiga puluh lima tahun, semua itu dikarenakan aku melatih dua ilmu hebat
itu. Maka itulah selama ini aku tidak banyak membimbing kalian bahkan
selalu menolak untuk berlatihan dengan kalian. Tapi jangan kawatir, kata
eyang guru., aku kehilangan tenaga dalam hanya dalam seribu hari atau
tiga tahun kurang.. kalau dihitung sejak saat ini.. berarti tinggal
satu-dua bulan lagi tenaga dalamku pulih.. tetapi yang jelas aku sudah
tertinggal jauh dengan tingkatan kalian…”
Dalam hati keempat orang itu, mereka juga turut merasakan penderitaan
kakang seperguruan mereka. Mereka sadar, tingkatan ilmu dan tenaga
sakti mereka dengan kakang seperguruan mereka hanya berselisih satu
tingkat saja. Kalau selama ini Gandring tidak bisa berlatih bahkan
tenaga saktinya lenyap, berarti tingkatan tenaga dalam Gandring bisa
berada lima atau enam tingkat dibawah keempat adik seperguruannya
sendiri!
“Sudahlah tidak perlu dipikirkan lagi, yang jelas adi Gagas harus
segera jalankan tugas eyang guru, lebih cepat lebih baik!” Kata Gandring
dengan nada menegur.
“Baik kakang..!” kata Gagas dengan nada mantap, dikarenakan ia
memikirkan dua ilmu pusaka perguruan Kipas Sakti bakalan bisa ia
peiajari tanpa resiko. Keinginan itulah yang memicu semangat dan
membulatkan niatnya. Dan siang itu juga ia mempersiapkan kebutuhan yang
diperlukan diperjalanan nanti. Lalu saat matahari menjelang tenggelam,
Gagas berangkat dengan pakaian biasa, seperti ciri khas para perantau
pada layaknya.
***
Sementara itu tak jauh dari perguruan Kipas Sakti, terdapat desa Jati
Ngaleh. Desa itu cukup besar dan ramai, bisa dikatakan desa itu
merupakan pusat bertemunya pedagang dari daerah lain. Lagi pula hanya
dengan menempuh jalan sejauh seratus pal, sudah sampai di kota praja.
“Anak setan! Mau kemana kau hah…!” bentak seorang pelayan restoran di
tempat itu. Pelayan dengan tubuh gemuk dan wajah berminyak tampak marah
sekali. Rupanya pada saat dia mengambil serbet untuk mengelap meja,
ayam panggang yang disiapkan untuk pelanggannya, hilang! Dan ia melihat
seorang anak tinggi kurus berlari cepat dengan membawa beberapa daging
panggang dan makanan lainnya. Dengan lari tergopoh-gopoh, pelayan gemuk
itu mengejar anak tinggi kurus itu. Tetapi tenyata anak itu sudah
menghilang entah kemana, larinya sungguh lincah.
Orang yang melihat kejadian itu hanya tersenyum geli. Kebanyakan
dari orang desa Jati Ngaleh sudah kenal dengan anak tinggi kurus yang
mendapat julukan Setan Tengik. Entah kenapa anak itu tersebut mendapat
poyokan seperti itu. Para penduduk desa juga tahu bahwa anak tinggi
kurus itu tidak berlaku curang dan jahat, karena hasil curiannya selalu
dibagi-bagikan pada orang yang membutuhkan. Lagi pula anak itu mencuri
dari restoran yang terkenal paling pelit dan dibenci kebanyakan
penduduk, tentu saja para penduduk mendukung tindakan anak itu, mereka
menganggap tindakan anak tinggi kurus itu sebagai pelampiasan kekesalan
mereka. Karena pemilik rumah makan besar itu umumnya pelit dan sombong,
tidak mau berderma walau satu sen.
“Apa kau lihat kemana anak setan itu lari?!” tanya pelayan gemuk itu
pada penduduk desa yang kebetulan sedang berjalan di depan rumah makan
itu.
“Tidak tahu!” jawabnya ketus.
Dan setiap penduduk yang ditanya selalu menjawab demikian, sebabnya
jelas, rasa benci mereka pada tingkah laku pemilik rumah makan, tanpa
sadar menjadikan mereka melindungi anak tinggi kurus itu. Baru jadi
pelayan saja sudah sombong apalagi majikannya.. begitulah dalam hati
mereka selalu mengumpat kalau melihat pelayan gemuk bermuka minyak.
Akhirnya setelah mencari-cari, si pelaya gemas sendiri “Eh, kau
melihat anak tinggi kurus tadi?” tanyanya pada saat hendak kembali ke
rumah makan, kepada lelaki berpakaian sederhana. Kelihatannnya lelaki
itu bukan orang situ.
“Tidak tahu..” jawabnya singkat.
Dengan memaki dan menyumpah serapah sekian kaliannya, akhirnya
pelayan restoran itu kembali ketempatnya bekerja. “Dasar Anak setan!
awas kalau kedapatan, kutampar kau dari pantat sampai jidat..!”
gerutunya sambil kembali melayani tamu dengan senyum dipaksakan.
Sementara itu lelaki berpakaian sederhana tampak tersenyum tipis,
karena saat menoleh dia sempat melihat bayangan disudut jalan, ternyata
memang anak tinggi kurus yang mengambil makanan tadi. Karena rasaan
keingintahuannya terusik, dia bergerak cepat memburu Anak pencopet tadi.
Gerakannya gesit sekali, bagaikan elang menyambar mangsanya, tiba-tiba
saja dia sudah berada diujung jalan.
Tampak olehnya anak tinggi kurus itu sedang berjalan santai sambil
bersiui-siul riang melewati jalan-jalan kecil yang diapit deretan
rumah-rumah penduduk.
“Hatiku senang, hari ini dapat makan siang, lalu perutku kenyang dan
guruku tak bakalan meriang… perut bernyanyi, lima hari tak makan kari
ayam!” terdengar oleh orang berpakaian sederhana itu nyanyian si anak
dengan nada yang bersemangat dan terdengar jenaka. “He-he-he… lagu yang
di ajarkan guru memang konyol, tapi aku suka.. lapar tak lapar, tetap
saja membanyol, dasar orang tua malas..” Anak itu terdengar menggerutu
disela nyanyian dan siulannya.
Tak berapa lama kemudian, sampailah ia ke tempat paling ujung dari
jalan sempit itu. “Guru, lihat… aku sudah dapat masakan yang kau pesan…”
teriak si Anak sambil berlari cepat.
Orang berpakaian sederhana yang membuntuti si Anak, tampak terkejut
melihat gerakan anak itu. “Hm… rasanya jarang sekali ada anak yang sudah
memiliki ringan tubuh selincah itu, kecuali ia murid tokoh kosen..”
“He-he-he.. Anak tengik rupanya kau memang cukup berguna ya.. tapi
apa orang yang lebih butuh sudah kau bagi lauk selezat ini?” tanya suara
tua dari balik gubuk yang berdiri cukup kokoh.
“Jangan kuatir guru, sebelum aku mencari pesananmu, aku sudah
membagikan rejekiku pada teman-teman senasib. Selagi masih ada Gluduk
Alit mereka tidak akan mendapat caci maki dan kelaparan lagi.” Ujar si
Anak sambil membusungkan dada, wajahnya keiihatan kemerahan pertanda
saat dia berbicara sangat bersemangat dan bersungguh-sungguh.
“Bagus-bagus.. kadang-kadang kau tahu aturan juga!” ujar suara dari
balik gubuk. Dan si anak yang bernama Gluduk Alit masuk kedalam gubuk
itu, dan tak berapa lama kemudian ia keluar.
“Hm.. siapa gerangan orang yang ada di balik gubuk? Dari suaranya,
aku yakin orang itu bukan seorang tokoh silat, rasanya dia hanya orang
biasa saja. Tetapi Anak ini.. ha, Anak ini benar-benar membuatku
penasaran, ada suatu daya tarik tersendiri saat memandangnya…” gumam
orang berpakaian sederhana itu merenung.
Angin sore berhembus kencang, gubuk itu terdengar berderak-dersk.
Atap rumbianya sedikit terangkat keatas. “Guru, angin sudah begini
kencang.. kau masih berada didalam.. cepatlah keluar.. sekarang sudah
saatnya berlatih.” seru Gluduk Alit dengan suara lantang.
“Dasar Anak tengik! Tidak bisa mengerti kesukaan orang tua! Kau
memang persis tukang tagih!” gerutu suara tua dari dalam gubuk. Lalu
terdengarlah langkah-langkah tertatih. Dan astaga.. orang berpakaian
sederhana yang sedari tadi menguntit Gluduk Alit menjadi tertegun kaget.
Bagai melihat hantu di siang bolong. Sebab orang yang baru keluar dari
gubuk, temyata berpawakan tinggi, mungkin ada dua meter lebih tinggi
tubuhnya. Dan yang lebih membuatnya tertegun adalah pakaian orang tua
itu yang penuh dengan tambal, tetapi bukan sembarang tambal, melainkan
tambaian kain berwarna coklat dan merah, lagi pula baju yang di kenakan
kakek itu termasuk baru. Kelihatannya biarpun orang tua itu kurus,
tetapi urat tangan dan kakinya terlihat kokoh dan terbayang kekuatan
dabhsyat disitu. Wajah si kakek juga terlihat murah senyum,
“Astaga.. kalau tidak salah bukankah orang itu Tinju Sakti Penggetar
Bumi? Salah satu tokoh Enam Dewa dari barat?! Tapi seingatku beliau
sudah dikabarkan lenyap empat-lima puluh tahun lalu?! Tetapi aneh..
siapakah yang berdiri dihadapanku ini? Apakah benar itu orangnya?
Rasanya tidak mungkin meleset dugaanku ini! Biarlah kulihat sampai
dimana perkembangan keadaan ini…” pikir orang itu sambil bergerak
waspada, dan ia segera mencari tempat persembunyian yang lebih aman dan
tak mudah ketahuan.
“Aha, kau memang benar, angin sudah begini kencang. Sekarang apa yang
mau kau latih?” tanya orang tua itu dengan nada panuh kasih.
“Jurus kemarin guru!” ujar anak itu dengan cepat.
“Hai.. bukankah kau sudah menguasainya dengan mahir?” tanya orang tua tinggi kurus dengan heran.
“Dasar guru yang sudah mulai pikun.. dulu guru pernah menyanyikan syair seperti ini..
Berjalan tak ada ujung
Mengais harta tak ada tujuan
Belajar keras tak kepalang tanggung
Biasanya satu yang diperlukan
…apa guru lupa dengan lagu itu? Bahkan guru mengatakan kalau belajar
banyak dan terlalu beragam biasanya, tak banyak gunanya!” ujar si Anak
dengan pandangan mata berbinar.
”Hi..hi., kau memang benar, mungkin syair itu kunyanyikan tiga atau
empat tahun silam. Tapi otak tengikmu memang cerdas bisa mengingat
sampai sekarang.. kau seperti kawanku yang sangat malas itu, ha-ha-ha..
lagi pula seingatku saat kunyanyikan syair itu pada waktu aku merasa
kesal, sehingga terucap begitu saja syair tadi. Tapi apa hubungannya
syair tadi dengan latihanmu?” sang guru bertanya serupa menguji
“Ha… guru ini bagaimana?! Begini, kalau satu jurus yang kita latih
terus menerus bukankah akan lebih baik dari pada harus melatih beragam
jurus tetapi yang hanya kita dapatkan cuma sebagian atau bahkan kurang…
bukankah lebih baik mengulang yang sudah ada dari pada meminta yang baru
tetapi yang sebelumnya dapat terlupa atau bahkan jauh dari sempurna?“
Orang tua itu tampak terkejut mendengar uraian muridnya. “Ha-ha-ha…
otak tengikmu ternyata bisa jalan juga!” seru sang guru memuji ala
kadarnya. Padahal dihatinya dia sangat girang dan bangga, ‘lihatiah
dunia..Anak yang kudapatkan ini pasti sanggup mengaduk dunia
persilatan.’ Pikirnya sambil mengusap kepala anak itu. “Baiklah sekarang
aku ingin bertanya padamu, dari lima puluh jurus yang kuberikan padamu,
apakah sudah kau kuasai semuanya?”
“Belum guru..” jawab anak itu jujur.
“Hah! Jadi selama ini apa saja kerjamu?!” si kakek berlagak terkejut mendengar jawaban si Anak.
“Huu.. guru cuma bisa mencela. Biarpun lima puluh jurus sudah kuhafal
semua teori dan gerakannya, tetapi hingga saat ini hanya tigapuluh
jurus yang dapat kulatih secara sempurna, dan aku jamin guru tidak akan
kecewa melihat hasil kerja kerasku selama ini.” Kata anak itu dengan
yakin.
“Tiga puluh jurus kau latih sempurna? Ah! Dasar Anak tengik! kalau
bicara selalu ngaco, coba kulihat sampai dimana kesempurnaan jurus yang
kau latih..” ujar kakek itu sambil duduk di bangku depan gubuk.
“Baik!” Lalu anak jangkung itu berdiri menjauh dari tempat gurunya
duduk. Baju Kuning yang sudah pudar warnanya dia lepas. Dan tampaklah
tubuh yang padat berisi, dengan otot terbentuk sempurna dan mulai
menampilkan lekuk kokoh.
“Hm, tak kusangka anak baru berumur sepuluhan tahun seperti dia sudah
bertubuh demikan baik dan lentur… agaknya dia memang anak yang tekun
berlatih.” Pikir lelaki berpakaian sederhana itu dari persembunyiannya.
Gluduk Alit bergerak perlahan, kaki kirinya maju kedepan satu tapak.
Lalu dengan gerakan cepat, tangan kirinya membuat gerakan mematuk dan
mencakar, sedangkan tangan kanannya bergerak menotok kesana kemari, pada
jurus pertama Anak itu sudah bergerak sedemikian hebat. Tetapi dua
kakinya tak bergerak sama sekali, begitu memasuki jurus kelima, kakinya
mulai bergeser membentuk lingkaran dan segi lima yang teratur.
Pada saat memasuki jurus ke sepuluh, anak itu perdengarkan
lengkingan tinggi, lalu ia bersilat dengan gerakan melompat seperti
belalang, dua tangannya memainkan gerakan yang berbeda, matanya tampak
seperti mata orang juling, Sebab mata kirinya memperhatikan gerakan
tangan kiri dan mata kanannya memperhatikan gerakan tangan kanan.
Memasuki jurus keenambelas, sontak gerakan anak itu berubah hebat, dari
pukulan cakaran dan totokan, kini berubah menjadi penuh tendangan.
Kakinya yang panjang berkelebatan kesana kemari. Sampai jurus keduapuluh
gerakan kaki itu berhenti sesaat, lalu ia diam saja.
Tiba-tiba Anak itu berteriak keras, tangannya berkeiebat mendorong
kedepan sedangkan tubuhnya direndahkan—nyaris jongkok. Saat ia
mendorong, kuda-kuda Anak itu tergempur kedepan, tetapi yang amat
mengagumkan, Anak itu bersalto kebelakang dengan lentingan tinggi, lalu
berdiri masih dalam keadaan kuda-kuda setengah jongkok.
Mendadak gerakan kakinya berubah drastis, dari kuda-kuda setengah
jongkok, kini menjadi berjingkat dengan satu kaki, sementara tangan
kanan dan kirinya melakukan serangan meiingkar-lingkar dengan ujung jari
menguncup seperti membuat paruh. Kalau tangan kiri menyerang kedepan,
tangan kanannya melakukan pertahanan dengan gerakan melingkar dan
melakukan serangan beruntun di belakang tangan kiri, sementara kaki kiri
yang menggantung melakukan tendangan kedepan dan kebelakang, langsung
disusul dengan tendangan memutar.
“Hiaaat…”
Tiba-tiba gerakan Anak itu seperti tak bertenaga lagi, tubuhnya
menggelosoh seperti ular melata, dan bergerak dengan tendangan sapuan
kaki dan cabikan tangan. Begitu gerakan serangan yang amat aneh itu
berhenti, tubuh si Anak melenting dan bersalto, jari tangannya terkepal
keras sehingga buku-buku tangannya berderak-derak saking kencangnya dia
mengepal. Dua tangannya dia silangkan di depan dada, lalu disentakan
kesamping kanan dan kiri. Kemudian kepalan tangan si Anak membuka dan
tersemburlah sinar hitam yang bergerak cepat menyambar pohon.
Crep-crep-crep! Sinar hitam itu menancap di pohon, dan gerakan anak
itu pun berhenti. Anak itu mengatur nafasnya yang sedikit memburu, ialu
ia bersila didepan gurunya.
“Astaga.. Anak sekecil itu bisa bersilat demikian mengagumkan, aku
yakin benar kalau sudah dewasa, anak itu bisa menguasai para jawara yang
ada. Kalau tidak saiah ilmu silat yang dimainkan tadi memiliki unsur
Lima Dolanan Satwa… Kijang, Bangau, Macan, Beruang dan Kera.. meski baru
ia mainkan tiga dolanan satwa, tapi gabungan jurus yang dia mainkan
sangat luar biasa! Andai jurus itu dimainkan tokoh kosen, kiranya sangat
susah untuk memecahkan kelemahannya… benar-benar punya bakat!” gumam
orang berpakaian sederhana dari persembunyiannya.
“Bagaimana guru? Apakah latihanku sudah termasuk sempurna?” tanya
Anak itu setelah selesai mengatur nafas, mata si Anak kelihatan berbinar
cerah.
Kakek itu memejamkan matanya sambil tersenyum tipis. Dalam hatinya ia
berkata. “Anak tengik ini bakatnya sangat luar biasa… padahal jurus
yang kuajarkan ada tujuh bagian saja dan tiap bagian dipecah menjadi
sepuluh bagian, tak disangka pada gerakan sepuluh jurus pertama dia
sanggup menggabungkan dengan gerakan berlawanan, hm.. sesungguhnya
sampai dimana keuletan otak dan ototnya bila latihannya kukatakan belum
sempurna?”
“Latihanmu sudah cukup anak tengik! Tetapi masih jauh dari sempurna!“
si kakek penggai perkataannya sendiri, ia ingin melihat rekasi Anak
itu, tetapi tak disangkanya mata Gluduk Alit rampak makin berbinar.
“Lagipula kenapa tadi pada gerakan terakhir kau gunakan jurus Kera
Menyambit Gunung dengan batu krikil? Bukankah itu gerak jurus
kelimapuluh?”
“Memang benar guru, tetapi jika aku tidak melakukan gerakan itu,
rasanya permainan silatku lebih kacau, sebab pada jurus tiga puluh
seharusnya aku melakukan jurus pertahanan, dan kalau ada orang
menyerang, bukankah mudah sekali aku terkena serangan? Jadi kupikir
memasukkan jurus limapuluh sebagai serangan kejutan, lebih baik…”
“Anak ini benar-benar cerdik… rasanya jika di kutitipkan pada kakang
mbarep pun bakal kewalahan menghadapi otak setannya nanti..” pikir si
kakek dalam hati. “Baik! Aku terima alasanmu, tetapi sebagai hukuman
keburukan latihanmu, aku akan menambah duapuluh jurus lagi untuk hari
ini.. jadi ilmu silat Lima Satwa Sakti kuanggap selesai kuturunkan
padamu! Ingat satu bulan yang akan datang aku akan menurunkan silat
Delapan Tangan Pemecah Awan, dalam satu bulan ini kau harus sudah bisa
kuasai tujuh puluh jurus dengan sempurna, kalau tidak… hm, aku akan
turunkan ilmu-ilmu yang lebih rumit lagi!”
“Baik guru!” kata si Anak dengan suara mantap sekali. Sementara
orang yang dari tadi mengintip guru dan murid tadi makin terkejut
mendengar ucapan si kakek.
“Aneh.. kakek ini benar-benar aneh, kulihat latihan si anak sudah
begitu bagus bahkan terlalu bagus, tetapi kenapa dibilang jauh dari
sempurna? Apakah kakek itu sendiri memiliki jurus yang lebih hebat?
Lagipula alangkah janggalnya, sebagai hukuman ketidakbecusan saat
latihan, bukannya peiajarannya diulang lagi, tapi malah di tambah
dengan ilmu yang lebih rumit? Hm… benar-benar guru dan murid yang aneh,
apakah aku harus menunda perjalananku?” pikir orang itu dalam hati. Tapi
dia tak dapat melanjutkan angannya, sebab kedua orang yang sedang dia
intai itu sedang melakukan sebuah kegiatan lagi. Mereka benar-benar
menarik untuk diikuti.
“Nah, kau perhatikan jurus kelima puluh satu sampai jurus ketujuh
puluh.” Sehabis berkata, si kakek bersilat dengan gerakan amat lambat
seolah-olah ia baru sembuh dari sakit, tapi yang amat mengherankan hati,
Gluduk Alit malah memandanganya dengan mata berbinar gembira. Setelah
jurus yang dipergaakan habis, kakek itu berhenti sesaat, lalu tubuhnya
berkelebatan cepat sekali sehingga hanya bayangannya saja yang tampak
oleh mata.
Wuut-wuut! Tak lama kemudian usailah duapuluh jurus terakhir.
“Bagaimana, apakah kau sudah bisa memperagakannya?” tanya si kakek dengan suara berat, tapi nafasnya biasa saja.
“Apakah dari awal, atau jurus yang tadi guru mainkan?” tanya si Anak.
“Lebih baik kau mulai dan jurus ketiga puluh satu hingga akhir.” ujar si kakek.
“Baik!” Anak itu lalu bergerak dengan amat cekatan, gerakannya tampak
lentur tapi agak sedikit kaku, tak lama kemudian anak ini menyelesaikan
jurusnya. “Bagaimana guru?”
“Lumayan, inti sudah mulai kau pahami, tetapi satu bulan lagi, kau
harus bisa sempurnakan ketujupuluh gerakan itu. Sekarang, coba kulihat
latihan tenaga sakti dan peringan tubuhmu, sudah sampai sejauh mana..”
kata si kakek.
Tanpa banyak cakap lagi, Gluduk Alit segera bergerak-gerak ringan,
dia meloncat-loncat di tempat, Lalu dengan sentakan keras, tubuh anak
itu melesat keatas hanpir tujuh tombak dan ia turun dengan lambat. Dan
saat itu si kakek menghembuskan nafasnya dengan kuat dengan kibasan
tangan kedepan, dari tangannya terdengar gemuruh angin, Gluduk Alit ikut
tersapu kebelakang.
“Kurang bagus! seharusnya kau terlontar seperti bulu terkena angin,
tapi itu sudah cukup untuk saat ini. Coba perlihatkan tenaga sakti yang
kau latih…” kata si kakek begitu kaki Gluduk Alit sudah menjejak tanah
kembali.
Dengan patuh anak itu segera berjalan dan dihampirinya batu sebesar
kepala kerbau. Lalu diangkat dengan serta merta… orang berpakaian
sederhana yang mengikuti latihan Gluduk Alit, mengira batu itu hendak
dipindahkan dekat dengan sang guru, tetapi tak diduga sama sekali,
ternyata Gluduk Alit malah melontarkan batu itu keatas.
Wuuut! “Lihatlah guru..” teriak anak itu sambil melompat keatas pada
saat batu besar itu meluncur turun. Hampir saja orang berpakaian
sederhana itu keluarkan teriakan kaget dan ngeri karena dia membayangkan
kepala anak itu pecah.
Praaak! Tampak debu tipis mengepul begitu kepala si anak dan batu itu
berbenturan. Gluduk Alit tampak turun dengan selamat dan batu yang
dilontarkannya pecah menjadi tiga bagian.
“Bagaimana guru?!” tanya Anak itu.
“Hm.. seharusnya batu itu menjadi serpihan kecil.. tetapi untuk tahap
pemula sepertimu, sudah cukup lumayan.” Ujar si kakek, dan ia
menyambung dalam hati. “kau benar-benar anak tengik yang luar biasa!
Kalau saja empat saudaraku melihat ini, pasti mereka akan menggembleng
habis-habisan anak ini.”
“Nah.. sekarang kau latihlah semua jurus dan tenaga saktimu, ingat
satu tahun lagi kita bakal menghadapi masa yang boleh dikatakan sulit,
kau harus dapat menampilkan kebolehanmu. Jangan membuat aku malu!”
“Baik guru…” Setelah menghormat pada kakek jangkung itu, Gluduk Alit
tidak kelihatan lagi, nampaknya dia sengaja memperlihatkan ilmu peringan
tubuhnya, agar sang guru percaya kalau latihannya kali ini benar-benar
akan membuatnya dapat menguasai ajaran sang guru dengan sempurna.
Bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar