Jumat, 13 September 2013

008 - Bersiasat

Terlihat oleh mereka tanah yang dipijak pemuda ini sedikit amblas, dan makin amblas. Padahal jalan pegunungan itu terbuat dari batu cadas. Bagi seorang yang memiliki hawa sakti handal, membuat amblas kaki ke dalam batu cadas itu hal sepele, tapi yang membuatnya jadi rumit dan luar biasa, tak kala hawa murni itu bukan sekedar membuat amblas, namun dalam jarak belasan langkah kesamping kanan kiripun ikut amblas. Seolah-olah ada benda raksasa jatuh menghantam tanah cadas itu.
Detik berikutnya Jaka melecat tinggi kesisi kiri dinding tebing dan dengan gerakan aneh pula, dia memutar tubuh dan kakinya menjejak tebing. Hadirin terperangah manakala jejakan kaki Jaka menimbulkan efek yang serupa seperti pada jalanan cadas, cuma ini jauh lebih dalam.
Dengan pekikan lantang tindakan aneh pemuda ini ternyata belum berhenti, tubuhnya kembali melesat dan memutar diudara. Kejap kemudian, dia sudah berdiri di samping orang-orang Riyut Atirodra. Tak ada tanda-tanda kelelahan, nafasnya teratur seperti biasa. Sudah tentu mereka terkaget-kaget, dengan tergesa kembali menjauhi Jaka.
Akibat tindakan Jaka tadi debu berhamburan, dalam sorotan cahaya mentari sore, kepulan debu terlihat menipis, dan saat debu meluruh, hadirin terkesiap melihat adanya goresan tajam, dalam, panjang, pendek tak teratur dalam jumlah puluhan.
Pemuda ini menatap jauh kedepan dengan menghembuskan nafas panjang, mungkin terasa lega, seolah dia telah menyelesaikan persoalan besar.
Dalam banyak hal Kaum Riyut Atirodra nyaris tak memikirkan apapun, karena mereka sangat percaya diri dengan jumlah dan kekuatan mereka. Tapi kini ada sebuah fakta baru yang membuka mata Kanayana. Cukuplah melihat orang dibelakang pemuda ini—Arwah Pedang, dia yakin Jaka memiliki jumlah pengikut cukup besar, apalagi jika melihat pameran kekuatan tadi, pemuda ini benar-benar lawan yang menakutkan.
Sekalipun mereka orang yang tak pernah mengindahkan peraturan apapun, menghadapi orang semacam Jaka yang diliputi teka-teki, tak teraba apa maunya, mau tak mau Kanayana harus memikirkan langkah berikutnya. Kali ini dia tak bisa mengambil keputusan sendiri. Tentang pembalasan yang akan mereka timpakan pada Jaka-pun, dia belum yakin dengan keputusannya. Tanpa mengucapkan apapun mereka berlalu, debu akibat derap kaki kudapun membumbung.
Jalan disela tebing itu kembali lengang, hanya tersisa tiga orang.
Hastin sibuk melihat yang ditimbulkan Jaka tadi, dia terpesona dengan bekas-bekas itu.
“Seperti pertempuran.” Gumamnya.
“Satu lawan banyak.” Timpal Arwah Pedang.
Jaka mengangguk. “Aku membuat benteng, sebuah bendungan ilusi.” Alis kedua tokoh itu terangkat, mereka bingung dengan pernyataan Jaka.
“Maksudnya?” Tanya Arwah Pedang.
“Apa yang paman lihat itu?”
“Bekas pertarungan.”
“Menurut paman, pertarungan macam apa?”
Arwah Pedang bersama Hastin mendekati bekas-bekas ‘pertempuran’ itu. Arwah Pedang melesat dan menjejak sisi tebing yang ada disebelah timur—tepat menjejak relief yang dibuat Jaka, sedangkan Hastin berdiri menghadap selatan. Begitu Arwah Pedang bergerak datang menerjang, pahamlah dirinya, dia berperan sebagai orang yang sangat dominan, karena ‘serangan’ Arwah Pedang dari samping tak digubrisnya, dia cukup menjulurkan tangan kesamping, menangkis! Tiba-tiba ada kesiuran angin dari belakang dan depan, pahamlah dirinya, Jaka berperan sebagai.. tiga, empat, bukan… tujuh orang penyerang yang lain!
Sesaat dia bingung harus bertindak apa, tapi mendadak dia melihat bekas tapak kaki dibawahnya beringsut kedepan dua kali dan empat kali menyerong, dengan posisi seperti itulah dia bergerak dan ‘menghadapi’ serangan dari Jaka. Serangan Jaka lewat begitu saja, dan dengan mudah tangannya yang lain menepis bahkan hampir menjamah dada Jaka, dalam saat yang bersamaan, Hastin menghentak, Jaka dan Arwah Pedang ‘terpental’. Usai sudah rekonstruksi ’bekas pertempuran’, itu.
“Apa kesimpulan paman?” kali ini Jaka bertanya pada Hastin.
Hastin tercenung sesaat, “Aku adalah orang yang sangat percaya diri, tak memandang sebelah mata siapapun. Menguasai olah langkah aneh, tak takut dengan gempuran kombinasi Tujuh Satwa Satu Baginda! Bahkan mengalahkan mereka!”
Arwah Pedang manggut-manggut membenarkan, sebab dia yang bertindak menjadi pihak Satu Baginda.
“Sebentar-sebentar-sebentar… gila! Kenapa kau bermain-main dengan Tujuh Satwa Satu Baginda?!” seru Hastin dengan tegang.
Jaka tersenyum, “Mereka tak akan keberatan.” Jawaban Jaka yang singkat dibenarkan Arwah Pedang.
Hastin terkesiap, mendadak dia menyadari sosok pemuda didepannya ini jauh lebih misterius dari pada Riyut Atirodra. Jika Arwah Pedang pun mengiyakan, artinya Tujuh Satwa Satu Baginda adalah bagian dari perkumpulan anak muda ini? Padahal Tujuh Satwa Satu Baginda adalah delapan orang yang tak saling berhubungan, tapi julukan itu dipertautkan kaum persilatan karena kedelapan orang itu menduduki delapan penjuru mata angin dengan kemampuan yang lihay. Mereka selalu bertindak masing-masing, dan jadi raja di daerah masing-masing pula. Tujuh Satwa terdiri dari: Beruang, Singa, Ular, Elang, Kijang, Kera, dan Srigala. Sedangkan Satu Baginda adalah julukan tokoh bernama Watu Agni, dia adalah orang yang congkak, selalu menganggap remeh orang, mirip Arwah Pedang. Ilmu kedelapan orang itu setingkat dengan Arwah Pedang, dan dirinya. Dan dengan ringannya Jaka menyebut mereka tak keberatan? Artinya mereka rela bekerjasama dengan pemuda ini?! Mengesampingkan ego kebesaran namanya sendiri? Seperti halnya Arwah Pedang?
Terlepas benar tidaknya semua itu, cara Jaka membuat ‘tanda’ yang hanya di ketahui tokoh tingkat tinggi, jika dibandingkan dengan ‘bekas pertarungan’ biasa, tingkat kerumitan kreasi Jaka ini jauh lebih tinggi. Membuat Hastin mengambil kesimpulan, pemuda ini orang yang sangat rumit, dan penuh perhitungan, apalagi dari kombinasi serangan yang dimunculkan Jaka, serta gerak pemecahannya, dia bisa melihat sampai dimana kelihayan pemuda ini. Tapi jika dia mengamati cara Jaka menghadapi persoalan, pemuda ini penuh celah dan mudah diserang. Kombinasi aneh.
Memandang ‘bekas pertempuran’ itu lagi, Hastin menutup matanya sejenak, membayangkan apa yang harus dilakukan jika berada pada posisi yang diserang Tujuh Satwa Satu Baginda. Keringat dinginpun mengucur, dalam hitungan detik saja, dia hanya punya satu jawaban, tanpa berjibaku, dirinya tak akan lolos, diapun tak bisa menjamin dirinya tak terluka.
“Benar, ini sebuah benteng ilusi yang sempurna…” gumam Hastin.
“Tidak juga paman, utamanya aku hanya mengantisipasi pihak yang bergerak membuat onar ditubuh Riyut Atirodra.”
“Tapi orang Riyut Atirodra sudah melihatnya.” Tukas Arwah Pedang.
“Justru itu akan lebih membantu.”
“Kenapa?”
“Kanayana memiliki alibi atas kegagalan misinya, sedangkan atasannya akan mengurungkan niat keluar pulau.”
Hastin dan Arwah Pedang saling pandang, dalam hati mereka, tercetus satu kata yang sama, cerdik! Kegagalan Kanayana tentu akan diselidiki oleh atasannya, dengan sendirinya mereka akan kesini dan melihat ‘bekas pertempuran’ ini, sudah tentu Kanayana tak akan menyebutkan Jaka sebagai pelaku tunggal, selain sebagai alibi, dirinya juga belum ingin mati—karena harus membayar dendam atas perbuatan Hastin pada Jaka. Apalagi Kanayana sangat ingin tahu dengan cara apa Jaka bisa mengetahui namanya.
Jadi, tak kala ‘artefak’ ini ditemukan, pihak Riyut Atirodra akan mengurungkan niatnya keluar sarang, mengingat mereka harus memperhitungkan kebijakan perkumpulan, ‘apakah harus bermusuhan dengan tokoh hebat’, padahal pihak pengacau justru sangat berharap Riyut Atirodra keluar sarang.
Dengan sendiri mereka akan mengacau lagi, memanas-manasi Riyut Atirodra supaya bergerak. Pada saat itu mudah bagi Jaka untuk membekuknya. Bagi Jaka ‘melindungi Riyut Atirodra’ jauh lebih penting, sebab sudah menjadi rahasia umum, saat mereka keluar menuju dunia ramai, akan ada pergolakan hebat disetiap jalan yang dilalui, dan sudah tentu banyak korban berjatuhan, belum lagi tindakan itu sangat menguntungkan pihak pengacau, karena usaha mereka akan lebih mudah dengan menumpang atas nama Riyut Atirodra. Hal inilah yang diantisipasi Jaka.
Boleh dikatakan kunci peredam pergolakan dunia persilatan sementara ini adalah ‘bekas pertempuran’ karya Jaka.
“Kau tidak memperhitungkan siapa saja yang akan melihat ini?”
Jaka tersenyum mendengar pertanyaan Hastin, “Makin banyak makin bagus. Dan aku yakin dalam lima hari kedepan, makin banyak orang yang melihatnya.”
“Entah mereka paham atau tidak.” Gumam Arwah Pedang.
“Tidak perlu paham, cukuplah mereka tahu, itu saja.”
“Memangnya apa yang akan kau ambil dari semua ini?”
Jaka tersenyum, “Ada banyak hal yang aku sendiri tidak tahu paman, biarkan berjalan apa adanya saja. Toh nanti akan muncul juga pembawa keonaran ini.”
Ucapan Jaka yang berkesan pasrah tapi begitu yakin dengan kesimpulan akhir, membuat kedua tokoh senior ini geli.
“Lalu kau ingin memunculkan siapa disini?” tanya Hastin.
Jaka paham yang dimaksud memunculkan adalah siapa tokoh imajiner yang begitu hebat mengalahkan Tujuh Satwa Satu Baginda.
“Biarkan mereka mengambil kesimpulan masing-masing. Aku juga tak tahu tokoh seperti apa yang sangat disegani akhir-akhir ini. Aku yakin paman berdua punya nama yang berbeda.”
“Ini menarik, sebentar lagi akan ada isyu…” ujar Hastin seraya tertawa lebar.
“Kuharap isyu yang menenangkan.” Gumam Arwah Pedang merasa khawatir.
Jaka tersenyum kecut. “Usaha apapun harus kita lakukan untuk kehidupan yang lebih baik.”
“Ya, aku setuju!” sahut Hastin.
Hening melingkup sejenak, Arwah Pedang buka suara. “Aku masih penasaran dengan orang yang kau sebut Kanayana, kau tahu orang itu?” tanya Arwah Pedang.
Jaka tersenyum seraya memandang lepas kedepan. “Kanayana artinya terpandang. Dulu, dia orang yang terpandang, baik hati pula. Sayang dendam membakar kebaikanhatinya, kebencian meracuni jiwanya, tapi masih tersisa dalam dirinya kehormatan. Sedikit, hanya sedikit. Tapi bisa kita manfaatkan itu.”
“Bagaimana caranya?” tanya Arwah Pedang.
Jaka tak langsung menjawab, dia terpekur sejenak. “Orang-orang semacam mereka hanya bisa disentuh dengan satu hal…”
“Apa itu?” potong Hastin.
“Pengertian dan kasih sayangmu.”
“Huh! Untuk kaum Riyut Atirodra?! Mereka tak kenal bahasa itu!” dengus Hastin tak percaya.
Jaka tertawa kecil. “Engkau benar paman, tapi dari awal tak ada satupun manusia yang dilahirkan dengan otak licik, bercita-cita jadi kaum terbuang, apa lagi menjadi orang yang diremehkan. Semua ingin menjadi apa yang mereka inginkan, sayangnya tak seperti bayangan mereka.”
“Penghayal itu tak berbahaya, tapi penghayal macam mereka tak perlu dikasihani.” Gumam Arwah Pedang, tak setuju dengan pandangan Jaka.
“Lalu, dari mana datangnya informasi mereka?” ucapan Jaka yang ini membuat keduanya terdiam, mereka tak membantah kebenaran itu.
Loyalitas anggota terhadap perkumpulan Riyut Atirodra, tak pernah disangsikan. Seperti yang telah disinggung tadi, mereka lebih rela mati dari pada harus membocorkan rahasia. Jadi dengan apa Jaka memperoleh sekelumit informasi anggota perkumpulan itu? Ancaman, siksaan, atau apapun niat burukmu tak akan meluluhkan tekad mereka. Anggota Riyut Atirodra pada saat terdesak, lebih memilih bunuh diri, dari pada tertangkap. Adalah masuk akal Jaka menyatakan, menyentuh mereka dengan pengertian dan kasih sayang. Tapi pengertian model apa, kasih sayang seperti apa, yang bisa diterapkan pada kaum-kaum ‘sampah’ masyarakat itu?
“Ada kalanya, sebuah persolan tak bisa kita lihat hanya dari depan.” Hastin merasa ucapan barusan itu, seperti yang biasa dia dengar dari anggota tertua keluarganya. Terlalu bijak untuk orang seusianya. Kembali dia mengkaji ulang bobot kelayakan tokoh ‘beliau’ yang ternyata pemuda ini orangnya.
“Lagipula kupikir orang-orang Riyut Atirodra bukannya kumpulan otak kosong saja, jika tiba-tiba mereka kecurian, tentu merekapun berpikir ada tokoh hebat yang berani mendalangi ini.” Tukas Hastin kembali mengulas persoalan tadi.
Jaka mengangguk.
“Lalu, apa hubungannya dengan kita?” Tanya Arwah Pedang pada pemuda ini.
“Erat sekali paman, ini berkaitan dengan isyu yang sedang beredar akhir-akhir ini.”
“Barang diantarkan ke biro pengiriman?”
“Salah satunya.”
“Salah satu?! Memang ada berapa persoalan yang terjadi akibat barang titipan?” tanya Hastin heran.
“Aku belum bisa menyimpulkan sejauh itu paman, yang jelas kita sudah bisa memegang ekor salah satu pelaku. Tinggal mencari tahu tujuan si pengirim barang saja.”
“Lalu. apa rencanamu sekarang Jaka?” tanya Arwah Pedang.
“Tentu saja menyusul anggota biro pengiriman.”
“Bukankah mereka sudah tak berguna lagi?” tanya Hastin.
“Memang benar, tapi Semburan Bisa Naganya sangat berguna.”
“Kau tak berpikir, alat itu akan menarik kaum persilatan kelas tinggi kan?” ujar Arwah Pedang tak yakin.
“Tentu tidak, tapi ada sementara orang yang sangat paham rahasianya. Bukan sebagai senjata, tapi sebagai petunjuk.”
“Sebentar-sebentar…” Hastin kembali menyela. “Aku jadi bingung. Belum lagi beres urusan yang ini kau menimbulkan wacana aneh pula, kita ulangi sebentar; Semburan Bisa Naga bagiku hanyalah alat rahasia yang dulu pernah tenar, lain tidak. Mungkin masih menggiurkan bagi sebagian orang, tapi tidak bagi para tokoh tinggi. Dan tadi kau menganggap sebagai petunjuk? Aku baru mendengarnya, petunjuk apa?”
“Barang yang pernah menjadi legenda, selalu memiliki daya tarik, meski seusang apapun itu. Ini juga sama. Sayangnya petunjuknya bukan pada benda itu, tapi yang menyertainya.”
Hastin dan Arwah Pedang berpandangan heran. Makin lama pemuda ini bicara makin tak jelas kemana arahnya.
“Kau dapat keterangan itu dari mana?”
“Tentu saja bertanya…” ujar Jaka sembari mengerjapkan matanya berulang kali. Arwah Pedang tahu, pemuda ini tak serius menanggapi pertanyaannya.
“Maaf paman, bukan aku tak mau menjawab, tapi ada satu hal yang ingin kubuktikan sendiri.”
Arwah Pedang memahami itu, meski sudah cukup lama dia bergaul dengan Jaka, tapi begitu banyak kemisteriusan meliputi pemuda ini. Dia tak ingin tahu lebih lanjut, baginya rahasia seseorang, biarlah tetap menjadi rahasia. Jadi, bila Jaka sudah memutusakan demikian, biasanya tak berapa lama kemudian Arwah Pedang akan dikenalkan dengan anggota-anggota baru. Memikirkan hal itu, diam-diam dia tersenyum geli. Entah cara apa yang anak ini kerjakan, kalau begini terus, makin banyak saja orang bergabung dengannya. Pikirnya.
“Terserah kau saja. Tapi kau harus dengarkan nasehat dari orang tua ini, jangan pernah meremehkan Riyut Atirodra, apalagi orang-orang Lembah Halimun.”Ungkapnya serius.
“Tentu saja. Terimakasih atas peringatan paman. Sekarang ijinkan aku pergi lebih dulu…”
Arwah Pedang mengangguk, Jaka juga berpamitan pada Hastin. Jaka menghela kudanya perlahan. Seolah dia ingin menikmati pemandangan di bibir tebing sore itu. Tak berapa lama pemuda ini menghilang ditikungan. Arwah Pedang menghela nafas panjang melepas berlalunya pemuda ini.
“Kini aku tahu…” gumam Hastin. Arwah Pedang tak menyahutinya. “aku tahu ternyata anak itu memang layak di sebut ‘beliau’, dia orang yang tepat untuk menyelesaikan persoalan berat.”
“Sejak awal aku bertemu dengannya juga memahami itu.”
“Kau pernah bertarung dengannya?” tanya Hastin ingin tahu, Arwah Pedang mengangguk.
“Ilmu yang dipakai kau tahu dari aliran apa?” Hastin tak menanyakan hasilnya sebab dia khawatir akan menyinggung perasaan.
Arwah Pedang tertawa geli mendengar pertanyaan itu. “Aku tahu di otak keparatmu bukan itu yang ingin kau tanyakan.” Hastin nyengir serba salah.
“Terus terang aku tak tahu dia mempelajari ilmu jenis apa, hakikatnya saat bertarung kau tak akan pernah berkesempatan menyentuh, bahkan mendekat barang sesaat. Sampai saat ini akupun belum jelas cara bagaimana dia mengalahkanku.”
Alis mata Hastin terangkat, mengalahkan Arwah Pedang? Bahkan dirinya jika harus bertarung dengan sobatnya itu, lebih baik menghindar saja, sebab kemampuan utama Arwah Pedang justru ada pada ilmu jarinya—bukan ilmu Pedangnya. Saat dia tak punya jalan keluar, ada semacam jurus yang memaksa penyerang kabur atau mati bersama, ini keistimewaan Arwah Pedang.
“Kau tahu, jika musuh mengalahkan aku, apa yang akan aku lakukan?”
Hastin tercenung, “Waktu kau dikalahkan Santanu Aji kau tetap membuntuti dirinya sampai delapan bulan, niatmu satu; hanya sekedar menyarangkan satu pukulan saja.”
Arwah Pedang tertawa getir, “Ya, meski akhirnya dia meninggal karena sakit, aku tetap tak bisa mengalahkan dia, tapi kau tahu sendiri semangatku untuk menghapus kata kalah dari diriku itu seperti apa.” Hastin mengangguk. “Dan semangatku hilang saat menghadapi anak itu, aku tak memiliki keinginan untuk membalaskan kekalahanku.”
Hastin tersenyum. “Sejauh ini kau belum memiliki anak, aku yakin salah satu alasan semangatmu dilemahkan karena kau menganggap Jaka sebagai putramu sendiri.”
Arwah Pedang terdiam beberapa saat. “Ya mungkin saja, diluar semua itu aku merasa sia-sia jika berusaha mengejarnya. Sejauh ini aku belum bisa menjajaki kedalaman ilmunya.”
Hastin terperangah. “Masa? Bagaimana dengan ciri ilmunya?”
Arwah Pedang menggeleng.
“Kau bahkan sama sekali tak tahu ciri ilmunya?”
“Ada beberapa yang aku paham, tapi aku yakin rasanya tak mungkin itu ilmu utamanya, sebab yang dikeluarkannya hanya jurus-jurus umum.”
“Lalu metode pengobatannya itu?”
“Katanya dipelajari sendiri.”
“Dan olah langkah yang ajaib tadi?” ternyata sampai saat ini Hastin masih terpesona dengan gerakan olah langkah yang tercipta oleh bekas tapak kaki Jaka.
“Justru itu… sejauh ini olah langkah menjadi andalannya. Akupun kalah karena oleh langkahnya, siapapun yang bergabung dengannya selalu kalah karena olah langkahnya.”
Hastin manggut-manggut sambil tertawa diapun berkata, “Kalau kau berkata begitu, akupun tak malu aku takluk dengan olah langkahnya.”
Arwah Pedang ikut tertawa. “Jadi, kau bergabung dengan kami?”
“Kau pikir aku punya muka untuk mengatakan tidak, setelah dia mengambil tanggung jawabku?” dengus Hastin ketus. Keduanya berpandangan sejenak, lalu terbahak.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar