Terlihat oleh mereka tanah
yang dipijak pemuda ini sedikit amblas, dan makin amblas. Padahal jalan
pegunungan itu terbuat dari batu cadas. Bagi seorang yang memiliki hawa sakti
handal, membuat amblas kaki ke dalam batu cadas itu hal sepele, tapi yang
membuatnya jadi rumit dan luar biasa, tak kala hawa murni itu bukan sekedar
membuat amblas, namun dalam jarak belasan langkah kesamping kanan kiripun ikut
amblas. Seolah-olah ada benda raksasa jatuh menghantam tanah cadas itu.
Detik berikutnya Jaka melecat
tinggi kesisi kiri dinding tebing dan dengan gerakan aneh pula, dia memutar
tubuh dan kakinya menjejak tebing. Hadirin terperangah manakala jejakan kaki
Jaka menimbulkan efek yang serupa seperti pada jalanan cadas, cuma ini jauh
lebih dalam.
Dengan pekikan lantang
tindakan aneh pemuda ini ternyata belum berhenti, tubuhnya kembali melesat dan
memutar diudara. Kejap kemudian, dia sudah berdiri di samping orang-orang Riyut
Atirodra. Tak ada tanda-tanda kelelahan, nafasnya teratur seperti biasa. Sudah
tentu mereka terkaget-kaget, dengan tergesa kembali menjauhi Jaka.
Akibat tindakan Jaka tadi
debu berhamburan, dalam sorotan cahaya mentari sore, kepulan debu terlihat
menipis, dan saat debu meluruh, hadirin terkesiap melihat adanya goresan tajam,
dalam, panjang, pendek tak teratur dalam jumlah puluhan.
Pemuda ini menatap jauh
kedepan dengan menghembuskan nafas panjang, mungkin terasa lega, seolah dia
telah menyelesaikan persoalan besar.
Dalam banyak hal Kaum Riyut
Atirodra nyaris tak memikirkan apapun, karena mereka sangat percaya diri dengan
jumlah dan kekuatan mereka. Tapi kini ada sebuah fakta baru yang membuka mata
Kanayana. Cukuplah melihat orang dibelakang pemuda ini—Arwah Pedang, dia yakin
Jaka memiliki jumlah pengikut cukup besar, apalagi jika melihat pameran
kekuatan tadi, pemuda ini benar-benar lawan yang menakutkan.
Sekalipun mereka orang yang
tak pernah mengindahkan peraturan apapun, menghadapi orang semacam Jaka yang
diliputi teka-teki, tak teraba apa maunya, mau tak mau Kanayana harus
memikirkan langkah berikutnya. Kali ini dia tak bisa mengambil keputusan
sendiri. Tentang pembalasan yang akan mereka timpakan pada Jaka-pun, dia belum
yakin dengan keputusannya. Tanpa mengucapkan apapun mereka berlalu, debu akibat
derap kaki kudapun membumbung.
Jalan disela tebing itu
kembali lengang, hanya tersisa tiga orang.
Hastin sibuk melihat yang
ditimbulkan Jaka tadi, dia terpesona dengan bekas-bekas itu.
“Seperti pertempuran.”
Gumamnya.
“Satu lawan banyak.” Timpal
Arwah Pedang.
Jaka mengangguk. “Aku membuat
benteng, sebuah bendungan ilusi.” Alis kedua tokoh itu terangkat, mereka
bingung dengan pernyataan Jaka.
“Maksudnya?” Tanya Arwah
Pedang.
“Apa yang paman lihat itu?”
“Bekas pertarungan.”
“Menurut paman, pertarungan
macam apa?”
Arwah Pedang bersama Hastin
mendekati bekas-bekas ‘pertempuran’ itu. Arwah Pedang melesat dan menjejak sisi
tebing yang ada disebelah timur—tepat menjejak relief yang dibuat Jaka,
sedangkan Hastin berdiri menghadap selatan. Begitu Arwah Pedang bergerak datang
menerjang, pahamlah dirinya, dia berperan sebagai orang yang sangat dominan,
karena ‘serangan’ Arwah Pedang dari samping tak digubrisnya, dia cukup
menjulurkan tangan kesamping, menangkis! Tiba-tiba ada kesiuran angin dari
belakang dan depan, pahamlah dirinya, Jaka berperan sebagai.. tiga, empat,
bukan… tujuh orang penyerang yang lain!
Sesaat dia bingung harus
bertindak apa, tapi mendadak dia melihat bekas tapak kaki dibawahnya beringsut
kedepan dua kali dan empat kali menyerong, dengan posisi seperti itulah dia
bergerak dan ‘menghadapi’ serangan dari Jaka. Serangan Jaka lewat begitu saja,
dan dengan mudah tangannya yang lain menepis bahkan hampir menjamah dada Jaka,
dalam saat yang bersamaan, Hastin menghentak, Jaka dan Arwah Pedang
‘terpental’. Usai sudah rekonstruksi ’bekas pertempuran’, itu.
“Apa kesimpulan paman?” kali
ini Jaka bertanya pada Hastin.
Hastin tercenung sesaat, “Aku
adalah orang yang sangat percaya diri, tak memandang sebelah mata siapapun.
Menguasai olah langkah aneh, tak takut dengan gempuran kombinasi Tujuh
Satwa Satu Baginda! Bahkan mengalahkan mereka!”
Arwah Pedang manggut-manggut
membenarkan, sebab dia yang bertindak menjadi pihak Satu Baginda.
“Sebentar-sebentar-sebentar…
gila! Kenapa kau bermain-main dengan Tujuh Satwa Satu Baginda?!” seru Hastin
dengan tegang.
Jaka tersenyum, “Mereka tak
akan keberatan.” Jawaban Jaka yang singkat dibenarkan Arwah Pedang.
Hastin terkesiap, mendadak
dia menyadari sosok pemuda didepannya ini jauh lebih misterius dari pada Riyut
Atirodra. Jika Arwah Pedang pun mengiyakan, artinya Tujuh Satwa Satu Baginda
adalah bagian dari perkumpulan anak muda ini? Padahal Tujuh Satwa Satu Baginda
adalah delapan orang yang tak saling berhubungan, tapi julukan itu dipertautkan
kaum persilatan karena kedelapan orang itu menduduki delapan penjuru mata angin
dengan kemampuan yang lihay. Mereka selalu bertindak masing-masing, dan jadi
raja di daerah masing-masing pula. Tujuh Satwa terdiri dari: Beruang, Singa,
Ular, Elang, Kijang, Kera, dan Srigala. Sedangkan Satu Baginda adalah julukan
tokoh bernama Watu Agni, dia adalah orang yang congkak, selalu menganggap remeh
orang, mirip Arwah Pedang. Ilmu kedelapan orang itu setingkat dengan Arwah
Pedang, dan dirinya. Dan dengan ringannya Jaka menyebut mereka tak keberatan?
Artinya mereka rela bekerjasama dengan pemuda ini?! Mengesampingkan ego
kebesaran namanya sendiri? Seperti halnya Arwah Pedang?
Terlepas benar tidaknya semua
itu, cara Jaka membuat ‘tanda’ yang hanya di ketahui tokoh tingkat tinggi, jika
dibandingkan dengan ‘bekas pertarungan’ biasa, tingkat kerumitan kreasi Jaka
ini jauh lebih tinggi. Membuat Hastin mengambil kesimpulan, pemuda ini orang
yang sangat rumit, dan penuh perhitungan, apalagi dari kombinasi serangan yang
dimunculkan Jaka, serta gerak pemecahannya, dia bisa melihat sampai dimana
kelihayan pemuda ini. Tapi jika dia mengamati cara Jaka menghadapi persoalan,
pemuda ini penuh celah dan mudah diserang. Kombinasi aneh.
Memandang ‘bekas pertempuran’
itu lagi, Hastin menutup matanya sejenak, membayangkan apa yang harus dilakukan
jika berada pada posisi yang diserang Tujuh Satwa Satu Baginda. Keringat
dinginpun mengucur, dalam hitungan detik saja, dia hanya punya satu jawaban,
tanpa berjibaku, dirinya tak akan lolos, diapun tak bisa menjamin dirinya tak
terluka.
“Benar, ini sebuah benteng
ilusi yang sempurna…” gumam Hastin.
“Tidak juga paman, utamanya
aku hanya mengantisipasi pihak yang bergerak membuat onar ditubuh Riyut
Atirodra.”
“Tapi orang Riyut Atirodra
sudah melihatnya.” Tukas Arwah Pedang.
“Justru itu akan lebih
membantu.”
“Kenapa?”
“Kanayana memiliki alibi atas
kegagalan misinya, sedangkan atasannya akan mengurungkan niat keluar pulau.”
Hastin dan Arwah Pedang
saling pandang, dalam hati mereka, tercetus satu kata yang sama, cerdik!
Kegagalan Kanayana tentu akan diselidiki oleh atasannya, dengan sendirinya
mereka akan kesini dan melihat ‘bekas pertempuran’ ini, sudah tentu Kanayana
tak akan menyebutkan Jaka sebagai pelaku tunggal, selain sebagai alibi, dirinya
juga belum ingin mati—karena harus membayar dendam atas perbuatan Hastin pada
Jaka. Apalagi Kanayana sangat ingin tahu dengan cara apa Jaka bisa mengetahui
namanya.
Jadi, tak kala ‘artefak’ ini
ditemukan, pihak Riyut Atirodra akan mengurungkan niatnya keluar sarang,
mengingat mereka harus memperhitungkan kebijakan perkumpulan, ‘apakah harus
bermusuhan dengan tokoh hebat’, padahal pihak pengacau justru sangat berharap
Riyut Atirodra keluar sarang.
Dengan sendiri mereka akan
mengacau lagi, memanas-manasi Riyut Atirodra supaya bergerak. Pada saat itu
mudah bagi Jaka untuk membekuknya. Bagi Jaka ‘melindungi Riyut Atirodra’ jauh
lebih penting, sebab sudah menjadi rahasia umum, saat mereka keluar menuju
dunia ramai, akan ada pergolakan hebat disetiap jalan yang dilalui, dan sudah
tentu banyak korban berjatuhan, belum lagi tindakan itu sangat menguntungkan
pihak pengacau, karena usaha mereka akan lebih mudah dengan menumpang atas nama
Riyut Atirodra. Hal inilah yang diantisipasi Jaka.
Boleh dikatakan kunci peredam
pergolakan dunia persilatan sementara ini adalah ‘bekas pertempuran’ karya
Jaka.
“Kau tidak memperhitungkan
siapa saja yang akan melihat ini?”
Jaka tersenyum mendengar
pertanyaan Hastin, “Makin banyak makin bagus. Dan aku yakin dalam lima hari
kedepan, makin banyak orang yang melihatnya.”
“Entah mereka paham atau
tidak.” Gumam Arwah Pedang.
“Tidak perlu paham, cukuplah
mereka tahu, itu saja.”
“Memangnya apa yang akan kau
ambil dari semua ini?”
Jaka tersenyum, “Ada banyak
hal yang aku sendiri tidak tahu paman, biarkan berjalan apa adanya saja. Toh
nanti akan muncul juga pembawa keonaran ini.”
Ucapan Jaka yang berkesan
pasrah tapi begitu yakin dengan kesimpulan akhir, membuat kedua tokoh senior
ini geli.
“Lalu kau ingin memunculkan
siapa disini?” tanya Hastin.
Jaka paham yang dimaksud
memunculkan adalah siapa tokoh imajiner yang begitu hebat mengalahkan Tujuh
Satwa Satu Baginda.
“Biarkan mereka mengambil
kesimpulan masing-masing. Aku juga tak tahu tokoh seperti apa yang sangat
disegani akhir-akhir ini. Aku yakin paman berdua punya nama yang berbeda.”
“Ini menarik, sebentar lagi
akan ada isyu…” ujar Hastin seraya tertawa lebar.
“Kuharap isyu yang
menenangkan.” Gumam Arwah Pedang merasa khawatir.
Jaka tersenyum kecut. “Usaha
apapun harus kita lakukan untuk kehidupan yang lebih baik.”
“Ya, aku setuju!” sahut
Hastin.
Hening melingkup sejenak,
Arwah Pedang buka suara. “Aku masih penasaran dengan orang yang kau sebut
Kanayana, kau tahu orang itu?” tanya Arwah Pedang.
Jaka tersenyum seraya
memandang lepas kedepan. “Kanayana artinya terpandang. Dulu, dia orang yang
terpandang, baik hati pula. Sayang dendam membakar kebaikanhatinya, kebencian
meracuni jiwanya, tapi masih tersisa dalam dirinya kehormatan. Sedikit, hanya
sedikit. Tapi bisa kita manfaatkan itu.”
“Bagaimana caranya?” tanya
Arwah Pedang.
Jaka tak langsung menjawab,
dia terpekur sejenak. “Orang-orang semacam mereka hanya bisa disentuh dengan
satu hal…”
“Apa itu?” potong Hastin.
“Pengertian dan kasih
sayangmu.”
“Huh! Untuk kaum Riyut
Atirodra?! Mereka tak kenal bahasa itu!” dengus Hastin tak percaya.
Jaka tertawa kecil. “Engkau
benar paman, tapi dari awal tak ada satupun manusia yang dilahirkan dengan otak
licik, bercita-cita jadi kaum terbuang, apa lagi menjadi orang yang diremehkan.
Semua ingin menjadi apa yang mereka inginkan, sayangnya tak seperti bayangan mereka.”
“Penghayal itu tak berbahaya,
tapi penghayal macam mereka tak perlu dikasihani.” Gumam Arwah Pedang, tak
setuju dengan pandangan Jaka.
“Lalu, dari mana datangnya
informasi mereka?” ucapan Jaka yang ini membuat keduanya terdiam, mereka tak
membantah kebenaran itu.
Loyalitas anggota terhadap
perkumpulan Riyut Atirodra, tak pernah disangsikan. Seperti yang telah
disinggung tadi, mereka lebih rela mati dari pada harus membocorkan rahasia.
Jadi dengan apa Jaka memperoleh sekelumit informasi anggota perkumpulan itu?
Ancaman, siksaan, atau apapun niat burukmu tak akan meluluhkan tekad mereka.
Anggota Riyut Atirodra pada saat terdesak, lebih memilih bunuh diri, dari pada
tertangkap. Adalah masuk akal Jaka menyatakan, menyentuh mereka dengan
pengertian dan kasih sayang. Tapi pengertian model apa, kasih sayang seperti
apa, yang bisa diterapkan pada kaum-kaum ‘sampah’ masyarakat itu?
“Ada kalanya, sebuah persolan
tak bisa kita lihat hanya dari depan.” Hastin merasa ucapan barusan itu,
seperti yang biasa dia dengar dari anggota tertua keluarganya. Terlalu bijak
untuk orang seusianya. Kembali dia mengkaji ulang bobot kelayakan tokoh
‘beliau’ yang ternyata pemuda ini orangnya.
“Lagipula kupikir orang-orang
Riyut Atirodra bukannya kumpulan otak kosong saja, jika tiba-tiba mereka
kecurian, tentu merekapun berpikir ada tokoh hebat yang berani mendalangi ini.”
Tukas Hastin kembali mengulas persoalan tadi.
Jaka mengangguk.
“Lalu, apa hubungannya dengan
kita?” Tanya Arwah Pedang pada pemuda ini.
“Erat sekali paman, ini berkaitan
dengan isyu yang sedang beredar akhir-akhir ini.”
“Barang diantarkan ke biro
pengiriman?”
“Salah satunya.”
“Salah satu?! Memang ada
berapa persoalan yang terjadi akibat barang titipan?” tanya Hastin heran.
“Aku belum bisa menyimpulkan
sejauh itu paman, yang jelas kita sudah bisa memegang ekor salah satu pelaku.
Tinggal mencari tahu tujuan si pengirim barang saja.”
“Lalu. apa rencanamu sekarang
Jaka?” tanya Arwah Pedang.
“Tentu saja menyusul anggota
biro pengiriman.”
“Bukankah mereka sudah tak
berguna lagi?” tanya Hastin.
“Memang benar, tapi Semburan
Bisa Naganya sangat berguna.”
“Kau tak berpikir, alat itu
akan menarik kaum persilatan kelas tinggi kan?” ujar Arwah Pedang tak yakin.
“Tentu tidak, tapi ada
sementara orang yang sangat paham rahasianya. Bukan sebagai senjata, tapi
sebagai petunjuk.”
“Sebentar-sebentar…” Hastin
kembali menyela. “Aku jadi bingung. Belum lagi beres urusan yang ini kau
menimbulkan wacana aneh pula, kita ulangi sebentar; Semburan Bisa Naga bagiku
hanyalah alat rahasia yang dulu pernah tenar, lain tidak. Mungkin masih
menggiurkan bagi sebagian orang, tapi tidak bagi para tokoh tinggi. Dan tadi
kau menganggap sebagai petunjuk? Aku baru mendengarnya, petunjuk apa?”
“Barang yang pernah menjadi
legenda, selalu memiliki daya tarik, meski seusang apapun itu. Ini juga sama.
Sayangnya petunjuknya bukan pada benda itu, tapi yang menyertainya.”
Hastin dan Arwah Pedang
berpandangan heran. Makin lama pemuda ini bicara makin tak jelas kemana
arahnya.
“Kau dapat keterangan itu
dari mana?”
“Tentu saja bertanya…” ujar
Jaka sembari mengerjapkan matanya berulang kali. Arwah Pedang tahu, pemuda ini
tak serius menanggapi pertanyaannya.
“Maaf paman, bukan aku tak
mau menjawab, tapi ada satu hal yang ingin kubuktikan sendiri.”
Arwah Pedang memahami itu, meski
sudah cukup lama dia bergaul dengan Jaka, tapi begitu banyak kemisteriusan
meliputi pemuda ini. Dia tak ingin tahu lebih lanjut, baginya rahasia
seseorang, biarlah tetap menjadi rahasia. Jadi, bila Jaka sudah memutusakan
demikian, biasanya tak berapa lama kemudian Arwah Pedang akan dikenalkan dengan
anggota-anggota baru. Memikirkan hal itu, diam-diam dia tersenyum geli. Entah
cara apa yang anak ini kerjakan, kalau begini terus, makin banyak saja orang
bergabung dengannya. Pikirnya.
“Terserah kau saja. Tapi kau
harus dengarkan nasehat dari orang tua ini, jangan pernah meremehkan Riyut
Atirodra, apalagi orang-orang Lembah Halimun.”Ungkapnya serius.
“Tentu saja. Terimakasih atas
peringatan paman. Sekarang ijinkan aku pergi lebih dulu…”
Arwah Pedang mengangguk, Jaka
juga berpamitan pada Hastin. Jaka menghela kudanya perlahan. Seolah dia ingin
menikmati pemandangan di bibir tebing sore itu. Tak berapa lama pemuda ini
menghilang ditikungan. Arwah Pedang menghela nafas panjang melepas berlalunya
pemuda ini.
“Kini aku tahu…” gumam
Hastin. Arwah Pedang tak menyahutinya. “aku tahu ternyata anak itu memang layak
di sebut ‘beliau’, dia orang yang tepat untuk menyelesaikan persoalan berat.”
“Sejak awal aku bertemu
dengannya juga memahami itu.”
“Kau pernah bertarung dengannya?”
tanya Hastin ingin tahu, Arwah Pedang mengangguk.
“Ilmu yang dipakai kau tahu
dari aliran apa?” Hastin tak menanyakan hasilnya sebab dia khawatir akan
menyinggung perasaan.
Arwah Pedang tertawa geli
mendengar pertanyaan itu. “Aku tahu di otak keparatmu bukan itu yang ingin kau
tanyakan.” Hastin nyengir serba salah.
“Terus terang aku tak tahu
dia mempelajari ilmu jenis apa, hakikatnya saat bertarung kau tak akan pernah
berkesempatan menyentuh, bahkan mendekat barang sesaat. Sampai saat ini akupun
belum jelas cara bagaimana dia mengalahkanku.”
Alis mata Hastin terangkat,
mengalahkan Arwah Pedang? Bahkan dirinya jika harus bertarung dengan sobatnya
itu, lebih baik menghindar saja, sebab kemampuan utama Arwah Pedang justru ada
pada ilmu jarinya—bukan ilmu Pedangnya. Saat dia tak punya jalan keluar, ada
semacam jurus yang memaksa penyerang kabur atau mati bersama, ini keistimewaan
Arwah Pedang.
“Kau tahu, jika musuh
mengalahkan aku, apa yang akan aku lakukan?”
Hastin tercenung, “Waktu kau
dikalahkan Santanu Aji kau tetap membuntuti dirinya sampai delapan bulan,
niatmu satu; hanya sekedar menyarangkan satu pukulan saja.”
Arwah Pedang tertawa getir,
“Ya, meski akhirnya dia meninggal karena sakit, aku tetap tak bisa mengalahkan
dia, tapi kau tahu sendiri semangatku untuk menghapus kata kalah dari diriku
itu seperti apa.” Hastin mengangguk. “Dan semangatku hilang saat menghadapi
anak itu, aku tak memiliki keinginan untuk membalaskan kekalahanku.”
Hastin tersenyum. “Sejauh ini
kau belum memiliki anak, aku yakin salah satu alasan semangatmu dilemahkan
karena kau menganggap Jaka sebagai putramu sendiri.”
Arwah Pedang terdiam beberapa
saat. “Ya mungkin saja, diluar semua itu aku merasa sia-sia jika berusaha
mengejarnya. Sejauh ini aku belum bisa menjajaki kedalaman ilmunya.”
Hastin terperangah. “Masa?
Bagaimana dengan ciri ilmunya?”
Arwah Pedang menggeleng.
“Kau bahkan sama sekali tak
tahu ciri ilmunya?”
“Ada beberapa yang aku paham,
tapi aku yakin rasanya tak mungkin itu ilmu utamanya, sebab yang dikeluarkannya
hanya jurus-jurus umum.”
“Lalu metode pengobatannya
itu?”
“Katanya dipelajari sendiri.”
“Dan olah langkah yang ajaib
tadi?” ternyata sampai saat ini Hastin masih terpesona dengan gerakan olah
langkah yang tercipta oleh bekas tapak kaki Jaka.
“Justru itu… sejauh ini olah
langkah menjadi andalannya. Akupun kalah karena oleh langkahnya, siapapun yang
bergabung dengannya selalu kalah karena olah langkahnya.”
Hastin manggut-manggut sambil
tertawa diapun berkata, “Kalau kau berkata begitu, akupun tak malu aku takluk
dengan olah langkahnya.”
Arwah Pedang ikut tertawa.
“Jadi, kau bergabung dengan kami?”
“Kau
pikir aku punya muka untuk mengatakan tidak, setelah dia mengambil tanggung
jawabku?” dengus Hastin ketus. Keduanya berpandangan sejenak, lalu terbahak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar