Jumat, 23 Agustus 2013

004 - Biro Pengiriman Golok Sembilan

Jika diukur dari lereng Gunung Kumbhira, letak pusat pemerintahan Kerajaan Rakahayu hanya berjarak 190 pal (285 km) ke arah barat. Jarak Gunung Khumbira ke Kota Pagaruyung adalah 250 pal (375 km)—kearah timur. Tentu saja jika sedang menempuh perjalanan dari kota Pagaruyung menuju Kerajaan Rakahayu, akan menempuh jarak 440 pal (660 km), itu sama halnya berkuda tanpa henti selama 16½ jam. Sekalipun itu kuda terbaik—paling tangguh, tapi tak mungkin dipacu terus menerus seperti itu.

Sayangnya teori tersebut tak berlaku bagi beberapa orang berkuda yang melintas jalan dengan kecepatan tinggi. Mereka—lima orang, memacu kudanya seolah hanya itulah hal terakhir yang dapat dilakukan.
Kuda, tentu saja punya keterbatasan. Beberapa saat kemudian, kuda terdepan meringkik keras dan tersungkur, detik berikutnya kuda yang lain juga. Dari mulut kelima bintang itu keluar buih, binatang itu mati kelelahan.

Kelima orang itu saling pandang, wajah mereka tampak memucat. Tanpa bicara, pimpinan mereka memberi tanda agar perjalanan tetap dilanjutkan. Dengan patuh mereka segera berlari.

Menilik gerakannya, kelima orang itu paling hanya tokoh kelas empat. Bisa juga disejajarkan dengan murid lapis bawah, sebuah perguruan silat terkemuka.

Tapi apa yang membuat mereka begitu panik? Sebab sesekali mereka menengok kebelakang. Tapi tidak ada apa-apa yang mengejarnya.

“Cepat, jangan mengendur!” teriak sang pimpinan yang berlari dibelakang keempat rekannya.
Untuk ukuran orang awam, lari mereka tergolong sangat cepat, katakanlah 100 meter 9 detik. Dan tentu saja masih kalah cepat dari kuda.

Kuda? Ya, pada saat itu sayup-sayup terdengar derap kuda. Mungkin bila ada yang mengukur kecepatan lari mereka saat ini—begitu mendengar derap kuda, boleh jadi catatan waktu akan berubah, menjadi 100 meter 8 detik. Tapi kecepatan itu tetap tak berarti. Sebab derap itu makin dekat.

Menyadari tak ada gunanya menghamburkan tenaga dengan berlari, kelimanya berhenti dengan bersiap-siap.
Kecemasan, rasa takut, bercampur dalam engahan nafas letih mereka. Wajah kelimanya tampak pucat-pasi menantikan derap itu mendekat.

Debu mengepul dari kejauhan, dan mereka sudah bisa melihat apa yang datang mendekat. Sebuah kereta kuda, bahkan bentuknya sangat mewah, untuk ukuran kereta kuda yang disewakan terasa sangat berlebihan… atau mungkin saja kereta itu milik seorang pejabat kerajaan, atau seorang hartawan.
Helaan nafas panjang terlepas dari kelima orang itu. Mereka saling bertatapan dengan pandangan putus asa.

“Sekalipun nyawa melayang, barang ini harus sampai ditempat tujuan.” Ujar pimpinan mereka dengan nada tegas.

Anak buahnya menatapnya dengan mengangguk perlahan.

“Baik!” seru keempatnya. Mereka paham bahwa sang pimpinan akan berusaha sebisa mungkin menghambat laju kereta mewah itu.

Dengan tekad membara keempatnya kembali berlari pesat. Beberapa saat kemudian, empat orang itu terlihat hanya berupa titik yang kian mengecil. Tapi sungguh patut disayangkan, jalan yang mereka lalui bukannya sebuah hutan atau bukit, tapi jalan gunung yang lurus… sebelah kanan tebing, kiri jurang. Bukan pilihan yang baik untuk mencari jalan meloloskan diri! Satu-satunya jalan aman—juga merupakan tempat tujuan, hanya lurus! Mereka sadar, lambat laun jika tak ada percabangan jalan, sekeras apapun usaha mereka meloloskan diri, tetap terkejar.
Tidak ada pilihan, mereka lari! Karena larilah pilihan terakhir.

“Ada jalan simpang!” seru salah satu diantaranya. Harapan segera membumbung, hati mereka merasa lega.

Dari kejauhan, mereka bisa melihat pertigaan jalan itu. Tanpa sadar lari mereka melambat, wajah yang semula berseri, kembali putus asa. Sebab mereka melihat ada dua kereta serupa, yang dipacu begitu pesat menuju kearah mereka.

Habislah! Batin keempat orang itu.

Mereka saling pandang, agaknya pikiran mereka serupa, dari pada mati terpencar begini, lebih baik mati bersama. Rasa lelah, tak dihiraukan. Sekuat tenaga mereka berlari kembali, menghampiri sang pimpinan yang tadi ditinggalkan. Padahal jarak yang mereka tempuh sudah ada 4 pal, sungguh tidak sedikit tenaga yang dikeluarkan!

Andaikata saat itu juga terjadi pertempuran, jangankan lawan bertaraf sejajar, lawan yang tiga tingkat dibawahnya-pun, sanggup mengalahkan mereka.

Tapi semangat kebersamaan seolah menjadi tenaga tambahan. Tak berapa lama kemudian, sampailah mereka ditempat semula.

Dan kenyataan tidak sebaik apa yang dipikirkan. Sang pimpinan rebah dengan tubuh penuh sayatan, darah masih mengalir. Sekalipun dia belum mati, keadaannya tak jauh dari mati.

Kereta kuda yang mengejarnya berhenti sepuluh langkah dari tubuh bersimbah darah itu. Sais kereta tidak kelihatan sama sekali. Tapi dua kuda penarik kereta sedang asyik makan dari keranjang rumput. Terang saja ada seseorang yang menyiapkannya.

Tak perlu dikomando, mereka segera memburu sang pimpinan untuk menolong. Salah satu dari mereka meraba nadi, masih ada denyutnya, tapi terlalu lemah.

Kalau tidak cepat ditolong, nasibnya sudah jelas. Lagi pula di tempat seperti ini, mau cari pengobatan kemana? Belum lagi musuh menghadang didepan mata.

Menyadari tidak ada hal lain yang dapat mereka perbuat, keempat orang itu bergegas menghentikan pendarahan yang ada. Dan mereka segera duduk mengelilingi sang ketua.

Alam terasa kian senyap, derap suara kuda sudah mendekat. Dan dua kereta yang sempat mereka lihat, mendekat… dan kini mereka terkepung.

Siapa kelima orang itu? Jika ada orang yang melihat kejadian itu, tentu ada yang mencibir. Maklum saja, tampang kelima orang itu terlalu biasa, dan sudah pasti bukan siapa-siapa. Kenapa harus dikejar-kejar dengan tiga kereta mewah, yang justru harganya lebih dari lima orang itu?
Tentu ada sebabnya!

Asal usul mereka tidak misterius, tapi menurut pandangan kalangan kaum kelana, cukup berharga untuk diperhatikan. Mereka dari Perguruan Golok Sembilan. Sebuah perguruan silat yang membuka biro pengiriman barang. Jika dibanding dengan 16 perguruan besar, ilmu silat mereka ibarat kunang-kunang, tapi loyalitas mereka dalam bekerja, sudah diakui oleh banyak pihak. Dan sejauh ini belum pernah mengecewakan pelanggan. Jadi, jika ada kejadian semacam ini, sudah pasti berkaitan dengan barang yang akan dikirim. Pertanyaannya adalah, seberapa berharga barang itu, sampai-sampai ada yang mengincar?

------

Jika ditanya pada orang-orang ini, sudah tentu mereka tak tahu. Tugas mereka hanya mengantar saja, mengenai isi kiriman, mereka tak tahu menahu.

Beberapa waktu yang lalu, ada sekelompok orang datang ke perguruan itu. Mereka sekelompok orang aneh. Dibilang aneh, karena dandanan mereka tidak lazim. Baju mereka lebih mirip sehelai kain panjang yang dibalutkan keseluruh tubuh. Warnanya pun seragam, kuning.

Potongan tubuh orang-orang itu, sama mungkin dapat dibilang mirip. Tinggi mereka sama, umpama seperti seikat lidi yang di potong ujungnya, tidak ada yang lebih pendek atau panjang! Mereka membawa peti kecil, paling banter beratnya cuma satu kilo.

Saat itu yang menerima barang yang akan dihantarkan adalah wakil ketua ekspedisi. Orang itu dijuluki Kucing Ekor Sembilan. Sudah pasti ada sebabnya dia dijuluki begitu, selain cerdik, konon orang inilah yang menjadi otak biro pengiriman barang itu.

Sejak dia menerima tamu-tamu aneh itu, perasaannya sudah mengatakan, apapun yang mereka bawa padanya, harus ditolak.

Tapi orang-orang aneh itu tak mengatakan hendak mengirimkan barang. Mereka juga membawa peti cukup besar, jika ditimbang mungkin beratnya mencapai 20 kilo lebih, belum jika ditimbang berikut isinya.

“Silahkan!” Cuma itu yang mereka katakan, dan peti besar itu diserahkan pada Kucing Ekor Sembilan.
Sekalipun Kucing Ekor Sembilan terkenal cerdik, menghadapi situasi seperti ini diapun agak panik. Menyadari sementara ini tak ada yang bisa dilakukannya, diapun menerima peti itu.

Dengan perasaan serba salah, dia membuka peti itu, dan matanya terbalalak saat itu juga. Dilihatnya isi peti itu penuh dengan batangan emas. Batangan emas itu berbentuk memanjang dengan ujung tumpul, pada tiap badan batangan emas itu ada ukiran semacam stempel. Orang ini tahu batangan emas itu resmi dikeluarkan dari sebuah kerajaan dan bisa menjadi alat pembayaranan sah dimanapun.

Dengan agak gemetar, Kucing Ekor Embilan mengambil satu batang. Dia cukup berpengalaman, sekali pegang juga tahu kalau itu emas murni, dan satu batang saja sudah cukup untuk membayar sebuah ekspedisi pengiriman untuk lima kadipaten, artinya sebatang emas bisa untuk biaya perjalanan selama dua bulan, sekaligus menggaji anggota biro. Apalagi dalam peti itu terdapat delapan deret batang, tiap deret ada enam batang. Itupun ada empat tumpukan, artinya ada 144 batang emas murni.

Dalam kilasan detik Kucing Ekor Sembilan bisa berpikir, emas sebanyak itu dapat untuk membuka delapan cabang biro pengiriman. Tapi akal sehatnya segera bekerja, jika ada orang memberi begitu besar bayaran, sepuluh nyawapun belum cukup untuk menebus kembali jika kiriman gagal.

Maklum saja, selama ini biro ekspedisi pengiriman Golok Sembilan selalu berpegang teguh pada mottonya, jika hantaran rusak atau hilang akan diganti dua kali lipat senilai barang tersebut, atau sepuluh kali ongkos pengirimanan. Kucing Ekor Sembilan tak berani membayangkan jika kiriman kali ini gagal…

“Maaf, saya tidak bisa menerima ini.”

“Harus!” dengus salah satu tamu aneh itu.

Dengan gerakan perlahan, mereka meletakan peti kecil yang dibawanya dengan hati-hati. Saat peti itu diletakan, empat kaki meja jati itu amblas kelantai, kemudian patah!

Kucing Ekor Sembilan tertegun, dia bukan orang bodoh, tak mungkin peti kecil itu berbobot begitu berat, dugaan paling mungkin, tamu-tamu aneh inilah yang berulah.

Sebagai wakil biro, sekalipun dia merasa gentar, wibawa perusaahan juga harus ditegakkan. Dengan perasaan dikuatkan Kucing Ekor Sembilan, mengambil peti kecil itu dan menyerahkan kembali.

“Kami tidak berani menerima pengiriman seberat ini.”

Tapi orang-orang itu tak menerima peti kecil itu kembali, mereka malah mengeluarkan secarik kertas dan meleparkannya kedepan, laju kertas itu tidak pesat, tapi begitu menempel ketiang saka penyangga, kertas itu amblas kedalam. Seolah kertas itu adalah lempengan baja panas!

“Harus diantar!” kata mereka singkat, tanpa basa-basi lagi mereka pergi.

Sekalipun Kucing Ekor Sembilan sudah menelan nyali naga, dia tak akan berani mencegah kepergian tamunya, sebab cara pergi mereka sangat istimewa. Hanya dengan menggerakan tumit saja, tubuh sekelompok orang aneh itu sudah melompat puluhan langkah jauhnya, begitu kaki menyentuh tanah kembali, sesaat kemudian tubuh mereka melayang pesat, dan lenyap entah kemana.

Kucing Ekor Sembilan memandang kepergian mereka dengan terperangah, nafasnya sedikit terengah, rupanya untuk beberapa saat yang mendebarkan tadi, dia tak berani bernafas keras-keras, takut sang tamu mengambil tindakan padanya. Begitu mereka pergi, bukannya lega, tapi justru membuatnya makin gundah. Dia masih memegang peti kecil yang katanya harus diantar, tapi entah diantar kemana.

Tiba-tiba dia teringat dengan kertas yang amblas menempel di saka rumah. Dia bergegas hendak membacanya, sebab dia yakin pada secarik kertas itulah segala sesuatunya bisa dijelaskan.

Saat memandang dimana adanya secarik kertas tadi, orang ini terkejut, menyadari sang ketua Perguruan Golok Sembilan sedang memegang kertas itu dan memambacanya dengan seksama.

“Aku tahu! Pada akhirnya memang akan datang…” desisinya sambil mengepalkan tangan.

Sekalipun orang mengatakan dirinya adalah otak dari biro pengiriman, tapi pada dasarnya Kucing Ekor Sembilan sangat menghormati sang ketua, diapun tak berani meminta secarik kertas itu.

Akhirnya sang ketua memberikan kertas itu… saat menyentuhnya baru dia sadar, ternyata bukan kertas, tapi kain! Dan kain itu dilipat begitu rapinya hingga lebar yang diperlihatkanpun seperti hanya lebar kertas pada masa itu.
 
Orang ini membaca dengan seksama.

“Jadi, kita harus mengantarnya ke Perguruan Enam Pedang?”

“Ya.” Jawab sang ketua singkat.

Kucing Ekor Sembilan agak ragu menanyakan sesuatu hal, untuk sesaat dia hendak bicara tapi tak jadi.

“Kau pasti ingin tahu kenapa aku mengatakan, hal ini pasti terjadi?” mendadak sang ketua malah bertanya pada Kucing Ekor Sembilan.

“Kalau anda tak keberatan menjelasakannya.”

“Hh… kejadiannya sudah lama. Akupun tak akan ingat lagi, sampai melihat tanda ini.”

“Tanda?”

Kucing Ekor Sembilan tahu, yang dimaksud tanda pasti ada pada secarik kain tadi. Dengan seksama dia menelitinya kembali.
 
“Maksud ini?” tunjuknya. sebuah lingkaran dengan satu garis vertikal dan 3 garis horizontal berjajar.

“Ya. Tanda itu melambangkan satu perkumpulan yang jarang diketahui orang…”
 
“Tapi, anda tahu.”

Sang ketua manggut-manggut. “Pada saat itu usiaku baru enam belas tahun. Tanda ini kuketahui tidak disengaja. Kau tahu, aku harus membayarnya dengan nyawa pamanku.”

“Ah…”

“Saat itu pamanku adalah salah satu pendekar yang terkenal dalam kelompok Tujuh Satria Tombak. Pamanku urutan ke empat. Semenjak aku kecil, beliaulah yang mengasuhku, karena orangtuaku sudah meninggal. Saat itu, paman menerima undangan untuk membahas persoalan penting…”

“Undangan itu dari kelompok Tujuh Satria Tombak?”

“Ya, juga ada beberapa orang yang lain. Jumlah undangan seluruhnya ada sebelas orang. Seharusnya aku tak diperbolehkan ikut, tapi pamanku khawatir kalau aku ditinggal sendirian, maka hidupku tak akan teratur. Padahal aku sudah menyakinkan pada beliau, aku bisa diandalkan untuk hidup sendiri.”

“Kalau begitu, pertemuan itu memakan waktu lama?”

“Ya, rencananya sampai satu bulan. Tak disangka, baru empat hari merembuk masalah, kami kedatangan tamu aneh. Dia adalah pendekar besar pada waktu itu, tak perlu kusebutkan namanya, karena beliau sudah meninggal. Dari beliaulah, kami peroleh penjelasan masalah yang baru dibahas.”

“Tentang tanda itu?”

“Ya…”

“Kalau boleh tahu sebenarnya tanda apakah itu?”

“Seharusnya aku tak boleh menceritakannya padamu, tapi apa boleh buat, kaupun sudah mengetahui sekelumit tanda ini…” Sang Ketua terdiam sejenak, lalu lanjutnya, “tanda ini merupakan lambang pengenal seorang yang berkuasa pada masa tiga puluh tahun berselang. Dia seorang adipati yang memiliki ambisi besar. Begitu besarnya ambisinya, selama tiga tahun terakhir, dia khusus mengundang orang-orang cerdik pandai, dan pendekar, untuk menjadi pelindungnya. Konon Adipati inipun orang yang lihay. Tapi usahanya untuk memberontak diketahui Raja Indrahulu, dengan rencana yang cermat dan tanpa menimbulkan gelombang, diapun ditumpas. Sayang tidak tuntas, kekuatan intinya justru tak tersentuh. Sejak saat itu bekas adipati itu lenyap, tapi mulai saat itu tanda tadi, menjadi tanda pengenal dalam dunia persilatan.”

“Saya belum menangkap hal-hal khusus dari sini…”

“Memang saat itu belum seberapa, tapi lima tahun berikutnya, lambang itu terasa menakutkan, karena setiap kemunculannya selalu ada kejadian besar, banyak korban berjatuhan…”

“Oh…”

“Mungkin kau menduga korban yang kumaksud adalah hilangnya jiwa seseorang… bisa dikatakan demikian, tapi ini lebih menyakitkan dari pada mati. Jika kau memiliki keluarga, dan mereka ada dalam genggaman mereka, kau sudah bisa membayangkan akan jadi apa dirimu. Itu baru sekelumit contoh saja! Lain halnya jika dirimu difitnah, dan semua orang, mengejarmu… tidak ada tempat berteduh bagimu… itu lebih menyiksa daripada mati. Dengan noda fitnah yang menempel pada namamu, meski kau ingin mati, pasti tak akan merasa rela.”

“Sedemikian menakutkannya?”

“Ya! Dan bukan cuma itu. Tapi sudahlah… kau tak perlu memikirkannya lagi. Karena dalam pandangan mereka, orang sepertimu belum cukup pantas untuk digunakan…”

Kucing Ekor Sembilan tertawa getir. “Sungguh beruntung.” Gumamnya.

“Rupanya bekas adipati itu masih belum mengubur keinginan lamanya, dia terus memupuk kekuatan. Dan menurut kabar dari seorang kawan, dia sudah bergabung dengan kelompok rahasia.” Sang Ketua meneruskan ceritanya.

“Kelompok rahasia?”

“Ya, kekuatan sang adipati menjadi salah satu bagian dari kelompok itu. Sayang kau tak tahu macam apa Telik Sandi Kwancasakya, jika tahu… hidupmu tidaklah setentram saat ini.”

“Oh…” Kucing Ekor Sembilan hanya bisa berkomentar begitu, karena dia memang tak tahu apa itu Telik Sandi Kwancasakya. Tapi dia bisa menyimpulkan satu hal, mengetahuinya lebih lanjut tidak akan membawa kebaikan baginya, kecuali rasa takut yang bertambah—mungkin keluarganya juga bisa ikut terseret, jika ia bersikeras ingin tahu.

“Jadi, ketua sampai saat ini juga diburu kelompok ini?”

Dengan lemah sang ketua mengangguk. “Selama dua puluh tahun ini, aku selalu merubah identitas, hingga akhirnya terpikir olehku untuk membuka perguruan sekaligus biro pengiriman barang. Aku mengharapkan usaha ini membuat kita memiliki hubungan dengan kalangan yang bisa dijadikan tempat kita bersandar, meminta pertolongan. Masalah ini sudah terkubur begitu lama… sampai-sampai aku lupa. Kini aku sadar, rupanya aku tetap harus menghadapinya!”

“Ketua, anda bilang paman anda juga meninggal lantaran mengetahui lambang tadi, apakah beliau juga diburu kelompok ini juga?”

“Ya. Seluruh orang yang melakukan pertemuan saat itu meninggal dengan tidak wajar. Menjelang kematiannya, pamanku berwasiat supaya aku mempelajari ilmu lebih tinggi, dan menghindar, lari sejauh mungkin. Aku tak tahu maksudnya, sampai akhirnya aku sadar, yang dimaksud paman adalah menghindari lambang itu sejauh mungkin. Saat itu aku tidak paham dengan apa yang terjadi, tapi seiring bertambahnya usia, bahaya selalu mengincarku. Syukurlah selama dua puluh tahun ini aku masih dilindungi Tuhan, aku selalu bisa lolos dari intaian telik sandi itu. Tapi rupanya hari ini sudah tak mungkin lagi.”
 
Kucing Ekor Sembilan terperangah.

“Kau tahu kenapa, orang itu membawa begini banyak emas?”

Sang wakil menggeleng.

Seraya menghela nafas panjang sang ketua berujar. “Tiap organisasi besar memiliki prinsip yang dipegang teguh, dalam hal ini mereka cukup baik. Sebab mereka tak menginginkan orang yang tidak berkaitan dengan mereka ikut mati. Mereka mengharuskan aku membagi harta ini untuk modal hidup baru bagi seluruh penghuni perguruan ini.”

Kucing Ekor Sembilan tambah terperangah mendengar penjelasan itu. “Jadi ini bukanlah bayaran untuk mengantar peti kecil ini?”

Sambil tersenyum getir, sang ketua menjawab. “Bukan, seperti yang kubilang emas-emas ini untuk modal hidup kalian. Sejak hari ini, tak ada lagi Perguruan Golok Sembilan.”

“Tapi ketua…”

“Jangan membantah! Ini demi kebaikanmu, kau sudah mengetahui adanya kelompok ini, akupun ragu dengan kesalamatanmu, karena itu pergi dan sembunyilah. Bawa seluruh sanak keluargamu… akupun menitipkan keluargaku padamu!”

“… dan kuserahkan pembagian harta ini padamu. Aku harus menyiapkan segala sesuatunya.”

Tidak menunggu jawaban sang wakil, ketua Perguruan Golok Sembilan masuk kedalam sambil membawa peti kecil tadi. Kucing Ekor Sembilan masih berdiri termangu. Dia masih bingung dengan apa yang terjadi hari ini.

Tapi diapun tak berani membangkang perintah ketuanya, jika apa yang dikatakan sang ketua benar, bisa jadi dia dan keluarganya terancam bahaya. Tak mungkin dirinya mengambil resiko sebesar itu.

Tak menunggu lama, Kucing Ekor Sembilan mengumpulkan seluruh anggota perguruan. Dengan berat hati pula dia mengumumkan apa yang menjadi keputusan ketuanya, bahwa biro pengiriman dan Perguruan Golok Sembilan tutup. Banyak murid dan pegawai biro yang terkejut, mereka protes, tapi demi melindung keselamatan mereka, tak mungkin Kucing Ekor Sembilan mengatakan hal sebenarnya. Tak mengubris protes anggotanya, Kucing Ekor Sembilan membagi-bagikan emas-emas batangan itu.

Penghuni Perguruan itu ada 57 orang, termasuk keluarga sang ketua dan keluarga Kucing Ekor Sembilan, total seluruhnya ada 68 orang. Urusan pembubaran perguruan memakan waktu setengah hari. Dengan berat hati para anggota kembali kerumah masing-masing, ada juga yang merantau mencari keberuntungan dengan membuka usaha sendiri.

Sebenarnya Kucing Ekor Sembilan ingin menemui ketuanya, tapi dicari dimanapun sang ketua sudah raib, yang ada hanya catatan singkat supaya dia segera meninggalkan tempat itu dan menitipkan keluarganya pada sang wakil. Sang ketua juga meninggalkan sejilid kitab ilmu golok dan tombak, dalam wasiatnya dia menitahkan pada Kucing Ekor Sembilan supaya lebih tekun mempelajari ilmu dalam kitab itu, dan jika bisa diajarkan pada seluruh anggota keluarganya. Dengan bercucuran air mata, Kucing Ekor Sembilan mengajak seluruh keluarganya, dan keluarga sang ketua untuk meninggalkan perguruan. Untungnya selama ini Kucing Ekor Sembilan punya pesanggrahan sendiri. Sementara waktu, mereka bisa tinggal disana.

Setelah beberapa lama meninggalkan perguruan, baru disadari oleh Kucing Ekor Sembilan, ada tujuh orang anggota kepercayaan sang ketua yang tak turut serta dalam pembagian harta. Dia mengira tentu mereka mengikuti sang ketua untuk mengirimkan peti kecil itu ke Perguruan Enam Pedang. Dengan perasaan gundah, diapun hanya bisa berdoa untuk keselamatan ketua dan tujuh orang anggotanya.

Sang Ketua, atau lebih dikenal dengan julukan Si Golok Sembilan Bacokan, merupakan orang cerdik. Dia sadar, jika kelompok mata-mata sudah mengincarnya, dia yakin cepat atau lambat dirinya pasti akan ditemukan. Karena itu, jauh hari dia sudah mempersiapkan diri, apakah itu akan berhasil atau tidak, tergantung nasibnya.

Tujuh orang yang mengikuti dirinya adalah, para lelaki tangguh yang memang khusus dididik untuk menghadapi kejadian diluar perkiraan. Dia sudah mendidik tujuh anak buahnya selama sembilan tahun.
Pepatah mengatakan, dari guru mahir, akan lahir murid yang mahir pula. Jika Si Golok Sembilan Bacokan hanyalah pendekar kelas tiga, sekalipun dia mendidik lebih lama lagi juga tak ada gunanya.

Pepatah itu sangat dipahami Si Golok Sembilan Bacokan, karena itu, semenjak dirinya sudah tahu kalau dia menjadi buruan orang, bersembunyi dan belajar menjadi prioritas utama.

Tujuh orang anggotanya sudah di didik dengan kemampuan dan bakat masing-masing. Mereka tak memiliki bakat ilmu silat sebagus murid-murid pilihan perguruan utama, tapi yang menjadi kelebihan mereka dibanding murid perguruan utama, adalah tekad. Tekad mereka untuk hidup lebih dari siapapun, semenjak sang ketua ‘mendoktrin’ bahwa mengikuti dirinya berarti akan menemui banyak kesulitan, mungkin kematian, mereka menyanggupi bersedia menghadapi segala macam bahaya.

Maka sejak saat itu, ketujuh muridnya dia tugaskan untuk belajar, dan belajar terus, karena itulah tugas utamanya. Mengenai ilmu silat, mereka justru belajar ‘sekedarnya’ saja. Si Golok Sembilan Bacokan menitikberatkan pada pelajaran bertahan hidup, bagaimana seseorang harus bertahan dalam situasi apapun, dengan peralatan seadanya.

Sembilan tahun dilalui dengan belajar, jika bakat mereka untuk ilmu silat memang kurang, tapi dalam menyerap pelajaran non-silat, justru melampaui kebanyakan orang. Dengan ketekunan dan kegigihan yang selalu dilecutkan sang guru, hasil belajar sembilan tahun juga tak sia-sia.

Kini dalam kondisi apapun harus bisa bertahan, tak perduli ilmu silatnya rendah, yang penting adalah akal! Tak perduli sesederhana atau serumit apapun siasat itu, jika kau bisa menggunakannya pada saat yang tepat, hasilnya tentu maksimal……

------

Begitu pula dengan mereka (murid Golok Sembilan Bacokan), kondisi saat ini yang begitu kritis, dapat mereka hadapi. Meski rasa putus asa menyusup dalam hati, tapi keinginan hidup lebih kuat dari apapun, itu yang memberi keberanian dalam hati mereka.

Dengan hati berdebar tegang, keempat orang itu menunggu. Mendadak, pintu kereta kuda terbuka, dari tiap kereta muncul sepasang pria dan wanita. Paras mereka sungguh elok, yang wanita cantik memukau, yang pria tampan mempesona. Tiga pasangan itu saling tegur sapa, dan berbicang ala kadarnya, seolah mereka lupa dengan kehadiran buruannya.

“Ah, cerah sekali hari ini…” desah wanita dari kereta pertama yang datang lebih dulu.

“Ya, memang cerah, tapi aku mencium bau amis.” Sahut si lelaki.

Wanita itu tertawa lirih, “Mungkin ada hewan baru disembelih…” ujarnya.

“Mau disembelih.” Ralat si lelaki.

Orang-orang dari biro pengiriman, mengela nafas dingin. Bulu kuduk mereka meremang. Sekalipun mereka tak tahu siapa yang mengejar, tapi melihat tiga kusir kereta mewah itu adalah orang-orang yang cukup punya nama di dunia persilatanan, merekapun dapat menduga, tokoh macam apa muda-muda itu.

“Tunggu apa lagi?” tiba-tiba kusir dari kereta yang datang lebih dulu, membentak orang-orang dari biro pengiriman.

Mereka bingung dengan pernyataan si kusir. Apanya yang perlu ditunggu?

“Orang tolol!” bentak si kusir. Dengan gerakan sangat cepat, cambuk kuda ditangannya melesat menyerang salah satu dari mereka.

Jika serangan itu hanya ditunjukan pada orang yang kelelahan, masih bisa dimaafkan, tapi ujung cambuk itu mengarah pada pimpinan mereka yang menggeletak nyaris mati!

“Kurang ajar!” serempak keempat anggota lainnya, menerjang menghadang, membuat perisai badan untuk sang pimpinan.

Tar! Tar! Tar! Beberapa kali ujung cambuk menghantam perut dan dada mereka. Tiba-tiba seseorang yang masih bisa meluputkan serangan itu, menerjang maju dan mendadak berbalik, rupanya dia ingin menyerang dengan punggungnya. Tapi, bukankah itu tindakan tolol? Dengan keadaan terbuka seperti itu, cukup sekali hantam, luka parah pasti dia derita.

Buk!Ternyata, si kusir menendang punggung orang itu. Terdengar suara, krek… kelihatannya ada sesuatu yang patah, apakah tulang punggung?

“Ah!” terdengar jeritan. Anehnya, itu jeritan si kusir. Tiga pasang muda-mudi itu terkejut juga, mereka pikir dengan demikian, selesailah riwayat lawan, tapi malah sebaliknya, si kusir itu yang terluka.


Bersambung

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar