Jika diukur dari lereng
Gunung Kumbhira, letak pusat pemerintahan Kerajaan Rakahayu hanya
berjarak 190 pal (285 km) ke arah barat. Jarak Gunung Khumbira ke
Kota Pagaruyung adalah 250 pal (375 km)—kearah timur. Tentu saja
jika sedang menempuh perjalanan dari kota Pagaruyung menuju Kerajaan
Rakahayu, akan menempuh jarak 440 pal (660 km), itu sama halnya
berkuda tanpa henti selama 16½ jam. Sekalipun itu kuda
terbaik—paling tangguh, tapi tak mungkin dipacu terus menerus
seperti itu.
Sayangnya teori tersebut tak berlaku bagi beberapa orang berkuda
yang melintas jalan dengan kecepatan tinggi. Mereka—lima orang,
memacu kudanya seolah hanya itulah hal terakhir yang dapat dilakukan.
Kuda, tentu saja punya keterbatasan. Beberapa saat kemudian, kuda
terdepan meringkik keras dan tersungkur, detik berikutnya kuda yang
lain juga. Dari mulut kelima bintang itu keluar buih, binatang itu
mati kelelahan.
Kelima orang itu saling pandang, wajah mereka tampak memucat.
Tanpa bicara, pimpinan mereka memberi tanda agar perjalanan tetap
dilanjutkan. Dengan patuh mereka segera berlari.
Tapi apa yang membuat mereka begitu
panik? Sebab sesekali mereka menengok kebelakang. Tapi tidak ada
apa-apa yang mengejarnya.
“Cepat, jangan mengendur!” teriak sang pimpinan yang berlari
dibelakang keempat rekannya.
Untuk ukuran orang awam, lari mereka tergolong sangat cepat,
katakanlah 100 meter 9 detik. Dan tentu saja masih kalah cepat dari
kuda.
Kuda? Ya, pada saat itu sayup-sayup terdengar derap kuda. Mungkin
bila ada yang mengukur kecepatan lari mereka saat ini—begitu
mendengar derap kuda, boleh jadi catatan waktu akan berubah, menjadi
100 meter 8 detik. Tapi kecepatan itu tetap tak berarti. Sebab derap
itu makin dekat.
Menyadari tak ada gunanya menghamburkan tenaga dengan berlari,
kelimanya berhenti dengan bersiap-siap.
Kecemasan, rasa takut, bercampur dalam engahan nafas letih mereka.
Wajah kelimanya tampak pucat-pasi menantikan derap itu mendekat.
Debu mengepul dari kejauhan, dan mereka sudah bisa melihat apa
yang datang mendekat. Sebuah kereta kuda, bahkan bentuknya sangat
mewah, untuk ukuran kereta kuda yang disewakan terasa sangat
berlebihan… atau mungkin saja kereta itu milik seorang pejabat
kerajaan, atau seorang hartawan.
Helaan nafas panjang terlepas dari kelima orang itu. Mereka saling
bertatapan dengan pandangan putus asa.
“Sekalipun nyawa melayang, barang ini harus sampai ditempat
tujuan.” Ujar pimpinan mereka dengan nada tegas.
Anak buahnya menatapnya dengan mengangguk perlahan.
“Baik!” seru keempatnya. Mereka paham bahwa sang pimpinan akan
berusaha sebisa mungkin menghambat laju kereta mewah itu.
Dengan tekad membara keempatnya kembali berlari pesat. Beberapa
saat kemudian, empat orang itu terlihat hanya berupa titik yang kian
mengecil. Tapi sungguh patut disayangkan, jalan yang mereka lalui
bukannya sebuah hutan atau bukit, tapi jalan gunung yang lurus…
sebelah kanan tebing, kiri jurang. Bukan pilihan yang baik untuk
mencari jalan meloloskan diri! Satu-satunya jalan aman—juga
merupakan tempat tujuan, hanya lurus! Mereka sadar, lambat laun jika
tak ada percabangan jalan, sekeras apapun usaha mereka meloloskan
diri, tetap terkejar.
Tidak ada pilihan, mereka lari! Karena larilah pilihan terakhir.
“Ada jalan simpang!” seru salah satu diantaranya. Harapan
segera membumbung, hati mereka merasa lega.
Dari kejauhan, mereka bisa melihat pertigaan jalan itu. Tanpa
sadar lari mereka melambat, wajah yang semula berseri, kembali putus
asa. Sebab mereka melihat ada dua kereta serupa, yang dipacu begitu
pesat menuju kearah mereka.
Habislah! Batin keempat orang itu.
Mereka saling pandang, agaknya pikiran mereka serupa, dari pada
mati terpencar begini, lebih baik mati bersama. Rasa lelah, tak
dihiraukan. Sekuat tenaga mereka berlari kembali, menghampiri sang
pimpinan yang tadi ditinggalkan. Padahal jarak yang mereka tempuh
sudah ada 4 pal, sungguh tidak sedikit tenaga yang dikeluarkan!
Andaikata saat itu juga terjadi pertempuran, jangankan lawan
bertaraf sejajar, lawan yang tiga tingkat dibawahnya-pun, sanggup
mengalahkan mereka.
Tapi semangat kebersamaan seolah menjadi tenaga tambahan. Tak
berapa lama kemudian, sampailah mereka ditempat semula.
Dan kenyataan tidak sebaik apa yang dipikirkan. Sang pimpinan
rebah dengan tubuh penuh sayatan, darah masih mengalir. Sekalipun dia
belum mati, keadaannya tak jauh dari mati.
Kereta kuda yang mengejarnya berhenti sepuluh langkah dari tubuh
bersimbah darah itu. Sais kereta tidak kelihatan sama sekali. Tapi
dua kuda penarik kereta sedang asyik makan dari keranjang rumput.
Terang saja ada seseorang yang menyiapkannya.
Tak perlu dikomando, mereka segera memburu sang pimpinan untuk
menolong. Salah satu dari mereka meraba nadi, masih ada denyutnya,
tapi terlalu lemah.
Kalau tidak cepat ditolong, nasibnya sudah jelas. Lagi pula di
tempat seperti ini, mau cari pengobatan kemana? Belum lagi musuh
menghadang didepan mata.
Menyadari tidak ada hal lain yang dapat mereka perbuat, keempat
orang itu bergegas menghentikan pendarahan yang ada. Dan mereka
segera duduk mengelilingi sang ketua.
Alam terasa kian senyap, derap suara kuda sudah mendekat. Dan dua
kereta yang sempat mereka lihat, mendekat… dan kini mereka
terkepung.
Siapa kelima orang itu? Jika ada orang yang melihat kejadian itu,
tentu ada yang mencibir. Maklum saja, tampang kelima orang itu
terlalu biasa, dan sudah pasti bukan siapa-siapa. Kenapa harus
dikejar-kejar dengan tiga kereta mewah, yang justru harganya lebih
dari lima orang itu?
Tentu ada sebabnya!
Asal usul mereka tidak misterius, tapi menurut pandangan kalangan
kaum kelana, cukup berharga untuk diperhatikan. Mereka dari Perguruan
Golok Sembilan. Sebuah perguruan silat yang membuka biro
pengiriman barang. Jika dibanding dengan 16 perguruan besar, ilmu
silat mereka ibarat kunang-kunang, tapi loyalitas mereka dalam
bekerja, sudah diakui oleh banyak pihak. Dan sejauh ini belum pernah
mengecewakan pelanggan. Jadi, jika ada kejadian semacam ini, sudah
pasti berkaitan dengan barang yang akan dikirim. Pertanyaannya
adalah, seberapa berharga barang itu, sampai-sampai ada yang
mengincar?
------
Jika ditanya pada orang-orang ini, sudah tentu mereka tak tahu.
Tugas mereka hanya mengantar saja, mengenai isi kiriman, mereka tak
tahu menahu.
Beberapa waktu yang lalu, ada sekelompok orang datang ke perguruan
itu. Mereka sekelompok orang aneh. Dibilang aneh, karena dandanan
mereka tidak lazim. Baju mereka lebih mirip sehelai kain panjang yang
dibalutkan keseluruh tubuh. Warnanya pun seragam, kuning.
Potongan tubuh orang-orang itu, sama mungkin dapat dibilang
mirip. Tinggi mereka sama, umpama seperti seikat lidi yang di potong
ujungnya, tidak ada yang lebih pendek atau panjang! Mereka membawa
peti kecil, paling banter beratnya cuma satu kilo.
Saat itu yang menerima barang yang akan dihantarkan adalah wakil
ketua ekspedisi. Orang itu dijuluki Kucing Ekor Sembilan. Sudah pasti
ada sebabnya dia dijuluki begitu, selain cerdik, konon orang inilah
yang menjadi otak biro pengiriman barang itu.
Sejak dia menerima tamu-tamu aneh itu, perasaannya sudah
mengatakan, apapun yang mereka bawa padanya, harus ditolak.
Tapi orang-orang aneh itu tak mengatakan hendak mengirimkan
barang. Mereka juga membawa peti cukup besar, jika ditimbang mungkin
beratnya mencapai 20 kilo lebih, belum jika ditimbang berikut isinya.
“Silahkan!” Cuma itu yang mereka katakan, dan peti besar itu
diserahkan pada Kucing Ekor Sembilan.
Sekalipun Kucing Ekor Sembilan terkenal cerdik, menghadapi situasi
seperti ini diapun agak panik. Menyadari sementara ini tak ada yang
bisa dilakukannya, diapun menerima peti itu.
Dengan perasaan serba salah, dia membuka peti itu, dan matanya
terbalalak saat itu juga. Dilihatnya isi peti itu penuh dengan
batangan emas. Batangan emas itu berbentuk memanjang dengan ujung
tumpul, pada tiap badan batangan emas itu ada ukiran semacam stempel.
Orang ini tahu batangan emas itu resmi dikeluarkan dari sebuah
kerajaan dan bisa menjadi alat pembayaranan sah dimanapun.
Dengan agak gemetar, Kucing Ekor Embilan mengambil satu batang.
Dia cukup berpengalaman, sekali pegang juga tahu kalau itu emas
murni, dan satu batang saja sudah cukup untuk membayar sebuah
ekspedisi pengiriman untuk lima kadipaten, artinya sebatang emas bisa
untuk biaya perjalanan selama dua bulan, sekaligus menggaji anggota
biro. Apalagi dalam peti itu terdapat delapan deret batang, tiap
deret ada enam batang. Itupun ada empat tumpukan, artinya ada 144
batang emas murni.
Dalam kilasan detik Kucing Ekor Sembilan bisa berpikir, emas
sebanyak itu dapat untuk membuka delapan cabang biro pengiriman. Tapi
akal sehatnya segera bekerja, jika ada orang memberi begitu besar
bayaran, sepuluh nyawapun belum cukup untuk menebus kembali jika
kiriman gagal.
Maklum saja, selama ini biro ekspedisi pengiriman Golok Sembilan
selalu berpegang teguh pada mottonya, jika hantaran rusak atau hilang
akan diganti dua kali lipat senilai barang tersebut, atau sepuluh
kali ongkos pengirimanan. Kucing Ekor Sembilan tak berani
membayangkan jika kiriman kali ini gagal…
“Maaf, saya tidak bisa menerima ini.”
“Harus!” dengus salah satu tamu aneh itu.
Dengan gerakan perlahan, mereka meletakan peti kecil yang
dibawanya dengan hati-hati. Saat peti itu diletakan, empat kaki meja
jati itu amblas kelantai, kemudian patah!
Kucing Ekor Sembilan tertegun, dia bukan orang bodoh, tak mungkin
peti kecil itu berbobot begitu berat, dugaan paling mungkin,
tamu-tamu aneh inilah yang berulah.
Sebagai wakil biro, sekalipun dia merasa gentar, wibawa perusaahan
juga harus ditegakkan. Dengan perasaan dikuatkan Kucing Ekor
Sembilan, mengambil peti kecil itu dan menyerahkan kembali.
“Kami tidak berani menerima pengiriman seberat ini.”
Tapi orang-orang itu tak menerima peti kecil itu kembali, mereka
malah mengeluarkan secarik kertas dan meleparkannya kedepan, laju
kertas itu tidak pesat, tapi begitu menempel ketiang saka penyangga,
kertas itu amblas kedalam. Seolah kertas itu adalah lempengan baja
panas!
“Harus diantar!” kata mereka singkat, tanpa basa-basi lagi
mereka pergi.
Sekalipun Kucing Ekor Sembilan sudah menelan nyali naga, dia tak
akan berani mencegah kepergian tamunya, sebab cara pergi mereka
sangat istimewa. Hanya dengan menggerakan tumit saja, tubuh
sekelompok orang aneh itu sudah melompat puluhan langkah jauhnya,
begitu kaki menyentuh tanah kembali, sesaat kemudian tubuh mereka
melayang pesat, dan lenyap entah kemana.
Kucing Ekor Sembilan memandang kepergian mereka dengan
terperangah, nafasnya sedikit terengah, rupanya untuk beberapa saat
yang mendebarkan tadi, dia tak berani bernafas keras-keras, takut
sang tamu mengambil tindakan padanya. Begitu mereka pergi, bukannya
lega, tapi justru membuatnya makin gundah. Dia masih memegang peti
kecil yang katanya harus diantar, tapi entah diantar kemana.
Tiba-tiba dia teringat dengan kertas yang amblas menempel di saka
rumah. Dia bergegas hendak membacanya, sebab dia yakin pada secarik
kertas itulah segala sesuatunya bisa dijelaskan.
Saat memandang dimana adanya secarik kertas tadi, orang ini
terkejut, menyadari sang ketua Perguruan Golok Sembilan sedang
memegang kertas itu dan memambacanya dengan seksama.
“Aku tahu! Pada akhirnya memang akan datang…” desisinya
sambil mengepalkan tangan.
Sekalipun orang mengatakan dirinya adalah otak dari biro
pengiriman, tapi pada dasarnya Kucing Ekor Sembilan sangat
menghormati sang ketua, diapun tak berani meminta secarik kertas itu.
Akhirnya sang ketua memberikan kertas itu… saat menyentuhnya
baru dia sadar, ternyata bukan kertas, tapi kain! Dan kain itu
dilipat begitu rapinya hingga lebar yang diperlihatkanpun seperti
hanya lebar kertas pada masa itu.
Orang ini membaca dengan
seksama.
“Jadi, kita harus mengantarnya ke Perguruan Enam Pedang?”
“Ya.” Jawab sang ketua singkat.
Kucing Ekor Sembilan agak ragu menanyakan sesuatu hal, untuk
sesaat dia hendak bicara tapi tak jadi.
“Kau pasti ingin tahu kenapa aku mengatakan, hal ini pasti
terjadi?” mendadak sang ketua malah bertanya pada Kucing Ekor
Sembilan.
“Kalau anda tak keberatan menjelasakannya.”
“Hh… kejadiannya sudah lama. Akupun tak akan ingat lagi,
sampai melihat tanda ini.”
“Tanda?”
Kucing Ekor Sembilan tahu, yang dimaksud tanda pasti ada pada
secarik kain tadi. Dengan seksama dia menelitinya kembali.
“Maksud
ini?” tunjuknya. sebuah lingkaran dengan satu garis vertikal dan 3
garis horizontal berjajar.
“Ya. Tanda itu melambangkan satu perkumpulan yang jarang
diketahui orang…”
“Tapi, anda tahu.”
Sang ketua manggut-manggut. “Pada saat itu usiaku baru enam
belas tahun. Tanda ini kuketahui tidak disengaja. Kau tahu, aku harus
membayarnya dengan nyawa pamanku.”
“Ah…”
“Saat itu pamanku adalah salah satu pendekar yang terkenal dalam
kelompok Tujuh Satria Tombak. Pamanku urutan ke empat. Semenjak aku
kecil, beliaulah yang mengasuhku, karena orangtuaku sudah meninggal.
Saat itu, paman menerima undangan untuk membahas persoalan penting…”
“Undangan itu dari kelompok Tujuh Satria Tombak?”
“Ya, juga ada beberapa orang yang lain. Jumlah undangan
seluruhnya ada sebelas orang. Seharusnya aku tak diperbolehkan ikut,
tapi pamanku khawatir kalau aku ditinggal sendirian, maka hidupku tak
akan teratur. Padahal aku sudah menyakinkan pada beliau, aku bisa
diandalkan untuk hidup sendiri.”
“Kalau begitu, pertemuan itu memakan waktu lama?”
“Ya, rencananya sampai satu bulan. Tak disangka, baru empat hari
merembuk masalah, kami kedatangan tamu aneh. Dia adalah pendekar
besar pada waktu itu, tak perlu kusebutkan namanya, karena beliau
sudah meninggal. Dari beliaulah, kami peroleh penjelasan masalah
yang baru dibahas.”
“Tentang tanda itu?”
“Ya…”
“Kalau boleh tahu sebenarnya tanda apakah itu?”
“Seharusnya aku tak boleh menceritakannya padamu, tapi apa boleh
buat, kaupun sudah mengetahui sekelumit tanda ini…” Sang Ketua
terdiam sejenak, lalu lanjutnya, “tanda ini merupakan lambang
pengenal seorang yang berkuasa pada masa tiga puluh tahun berselang.
Dia seorang adipati yang memiliki ambisi besar. Begitu besarnya
ambisinya, selama tiga tahun terakhir, dia khusus mengundang
orang-orang cerdik pandai, dan pendekar, untuk menjadi pelindungnya.
Konon Adipati inipun orang yang lihay. Tapi usahanya untuk
memberontak diketahui Raja Indrahulu, dengan rencana yang cermat dan
tanpa menimbulkan gelombang, diapun ditumpas. Sayang tidak tuntas,
kekuatan intinya justru tak tersentuh. Sejak saat itu bekas adipati
itu lenyap, tapi mulai saat itu tanda tadi, menjadi tanda pengenal
dalam dunia persilatan.”
“Saya belum menangkap hal-hal khusus dari sini…”
“Memang saat itu belum seberapa, tapi lima tahun berikutnya,
lambang itu terasa menakutkan, karena setiap kemunculannya selalu ada
kejadian besar, banyak korban berjatuhan…”
“Oh…”
“Mungkin kau menduga korban yang kumaksud adalah hilangnya jiwa
seseorang… bisa dikatakan demikian, tapi ini lebih menyakitkan dari
pada mati. Jika kau memiliki keluarga, dan mereka ada dalam genggaman
mereka, kau sudah bisa membayangkan akan jadi apa dirimu. Itu baru
sekelumit contoh saja! Lain halnya jika dirimu difitnah, dan semua
orang, mengejarmu… tidak ada tempat berteduh bagimu… itu lebih
menyiksa daripada mati. Dengan noda fitnah yang menempel pada namamu,
meski kau ingin mati, pasti tak akan merasa rela.”
“Sedemikian menakutkannya?”
“Ya! Dan bukan cuma itu. Tapi sudahlah… kau tak perlu
memikirkannya lagi. Karena dalam pandangan mereka, orang sepertimu
belum cukup pantas untuk digunakan…”
Kucing Ekor Sembilan tertawa getir. “Sungguh beruntung.”
Gumamnya.
“Rupanya bekas adipati itu masih belum mengubur keinginan
lamanya, dia terus memupuk kekuatan. Dan menurut kabar dari seorang
kawan, dia sudah bergabung dengan kelompok rahasia.” Sang Ketua
meneruskan ceritanya.
“Kelompok rahasia?”
“Ya, kekuatan sang adipati menjadi salah satu bagian dari
kelompok itu. Sayang kau tak tahu macam apa Telik Sandi Kwancasakya,
jika tahu… hidupmu tidaklah setentram saat ini.”
“Oh…” Kucing Ekor Sembilan hanya bisa berkomentar begitu,
karena dia memang tak tahu apa itu Telik Sandi Kwancasakya. Tapi dia
bisa menyimpulkan satu hal, mengetahuinya lebih lanjut tidak akan
membawa kebaikan baginya, kecuali rasa takut yang bertambah—mungkin
keluarganya juga bisa ikut terseret, jika ia bersikeras ingin tahu.
“Jadi, ketua sampai saat ini juga diburu kelompok ini?”
Dengan lemah sang ketua mengangguk. “Selama dua puluh tahun ini,
aku selalu merubah identitas, hingga akhirnya terpikir olehku untuk
membuka perguruan sekaligus biro pengiriman barang. Aku mengharapkan
usaha ini membuat kita memiliki hubungan dengan kalangan yang bisa
dijadikan tempat kita bersandar, meminta pertolongan. Masalah ini
sudah terkubur begitu lama… sampai-sampai aku lupa. Kini aku sadar,
rupanya aku tetap harus menghadapinya!”
“Ketua, anda bilang paman anda juga meninggal lantaran
mengetahui lambang tadi, apakah beliau juga diburu kelompok ini
juga?”
“Ya. Seluruh orang yang melakukan pertemuan saat itu meninggal
dengan tidak wajar. Menjelang kematiannya, pamanku berwasiat supaya
aku mempelajari ilmu lebih tinggi, dan menghindar, lari sejauh
mungkin. Aku tak tahu maksudnya, sampai akhirnya aku sadar, yang
dimaksud paman adalah menghindari lambang itu sejauh mungkin. Saat
itu aku tidak paham dengan apa yang terjadi, tapi seiring
bertambahnya usia, bahaya selalu mengincarku. Syukurlah selama dua
puluh tahun ini aku masih dilindungi Tuhan, aku selalu bisa lolos
dari intaian telik sandi itu. Tapi rupanya hari ini sudah tak mungkin
lagi.”
Kucing Ekor Sembilan terperangah.
“Kau tahu kenapa, orang itu membawa begini banyak emas?”
Sang wakil menggeleng.
Seraya menghela nafas panjang sang ketua berujar. “Tiap
organisasi besar memiliki prinsip yang dipegang teguh, dalam hal ini
mereka cukup baik. Sebab mereka tak menginginkan orang yang tidak
berkaitan dengan mereka ikut mati. Mereka mengharuskan aku membagi
harta ini untuk modal hidup baru bagi seluruh penghuni perguruan
ini.”
Kucing Ekor Sembilan tambah terperangah mendengar penjelasan itu.
“Jadi ini bukanlah bayaran untuk mengantar peti kecil ini?”
Sambil tersenyum getir, sang ketua menjawab. “Bukan, seperti
yang kubilang emas-emas ini untuk modal hidup kalian. Sejak hari ini,
tak ada lagi Perguruan Golok Sembilan.”
“Tapi ketua…”
“Jangan membantah! Ini demi kebaikanmu, kau sudah mengetahui
adanya kelompok ini, akupun ragu dengan kesalamatanmu, karena itu
pergi dan sembunyilah. Bawa seluruh sanak keluargamu… akupun
menitipkan keluargaku padamu!”
“… dan kuserahkan pembagian harta ini padamu. Aku harus
menyiapkan segala sesuatunya.”
Tidak menunggu jawaban sang wakil, ketua Perguruan Golok Sembilan
masuk kedalam sambil membawa peti kecil tadi. Kucing Ekor Sembilan
masih berdiri termangu. Dia masih bingung dengan apa yang terjadi
hari ini.
Tapi diapun tak berani membangkang perintah ketuanya, jika apa
yang dikatakan sang ketua benar, bisa jadi dia dan keluarganya
terancam bahaya. Tak mungkin dirinya mengambil resiko sebesar itu.
Tak menunggu lama, Kucing Ekor Sembilan mengumpulkan seluruh
anggota perguruan. Dengan berat hati pula dia mengumumkan apa yang
menjadi keputusan ketuanya, bahwa biro pengiriman dan Perguruan Golok
Sembilan tutup. Banyak murid dan pegawai biro yang terkejut, mereka
protes, tapi demi melindung keselamatan mereka, tak mungkin Kucing
Ekor Sembilan mengatakan hal sebenarnya. Tak mengubris protes
anggotanya, Kucing Ekor Sembilan membagi-bagikan emas-emas batangan
itu.
Penghuni Perguruan itu ada 57 orang, termasuk keluarga sang ketua
dan keluarga Kucing Ekor Sembilan, total seluruhnya ada 68 orang.
Urusan pembubaran perguruan memakan waktu setengah hari. Dengan berat
hati para anggota kembali kerumah masing-masing, ada juga yang
merantau mencari keberuntungan dengan membuka usaha sendiri.
Sebenarnya Kucing Ekor Sembilan ingin menemui ketuanya, tapi
dicari dimanapun sang ketua sudah raib, yang ada hanya catatan
singkat supaya dia segera meninggalkan tempat itu dan menitipkan
keluarganya pada sang wakil. Sang ketua juga meninggalkan sejilid
kitab ilmu golok dan tombak, dalam wasiatnya dia menitahkan pada
Kucing Ekor Sembilan supaya lebih tekun mempelajari ilmu dalam kitab
itu, dan jika bisa diajarkan pada seluruh anggota keluarganya. Dengan
bercucuran air mata, Kucing Ekor Sembilan mengajak seluruh
keluarganya, dan keluarga sang ketua untuk meninggalkan perguruan.
Untungnya selama ini Kucing Ekor Sembilan punya pesanggrahan sendiri.
Sementara waktu, mereka bisa tinggal disana.
Setelah beberapa lama meninggalkan perguruan, baru disadari oleh
Kucing Ekor Sembilan, ada tujuh orang anggota kepercayaan sang ketua
yang tak turut serta dalam pembagian harta. Dia mengira tentu mereka
mengikuti sang ketua untuk mengirimkan peti kecil itu ke Perguruan
Enam Pedang. Dengan perasaan gundah, diapun hanya bisa berdoa untuk
keselamatan ketua dan tujuh orang anggotanya.
Sang Ketua, atau lebih dikenal dengan julukan Si Golok Sembilan
Bacokan, merupakan orang cerdik. Dia sadar, jika kelompok
mata-mata sudah mengincarnya, dia yakin cepat atau lambat dirinya
pasti akan ditemukan. Karena itu, jauh hari dia sudah mempersiapkan
diri, apakah itu akan berhasil atau tidak, tergantung nasibnya.
Tujuh orang yang mengikuti dirinya adalah, para lelaki tangguh
yang memang khusus dididik untuk menghadapi kejadian diluar
perkiraan. Dia sudah mendidik tujuh anak buahnya selama sembilan
tahun.
Pepatah mengatakan, dari guru mahir, akan lahir murid yang mahir
pula. Jika Si Golok Sembilan Bacokan hanyalah pendekar kelas tiga,
sekalipun dia mendidik lebih lama lagi juga tak ada gunanya.
Pepatah itu sangat dipahami Si Golok Sembilan Bacokan, karena itu,
semenjak dirinya sudah tahu kalau dia menjadi buruan orang,
bersembunyi dan belajar menjadi prioritas utama.
Tujuh orang anggotanya sudah di didik dengan kemampuan dan bakat
masing-masing. Mereka tak memiliki bakat ilmu silat sebagus
murid-murid pilihan perguruan utama, tapi yang menjadi kelebihan
mereka dibanding murid perguruan utama, adalah tekad. Tekad mereka
untuk hidup lebih dari siapapun, semenjak sang ketua ‘mendoktrin’
bahwa mengikuti dirinya berarti akan menemui banyak kesulitan,
mungkin kematian, mereka menyanggupi bersedia menghadapi segala macam
bahaya.
Maka sejak saat itu, ketujuh muridnya dia tugaskan untuk belajar,
dan belajar terus, karena itulah tugas utamanya. Mengenai ilmu silat,
mereka justru belajar ‘sekedarnya’ saja. Si Golok Sembilan
Bacokan menitikberatkan pada pelajaran bertahan hidup, bagaimana
seseorang harus bertahan dalam situasi apapun, dengan peralatan
seadanya.
Sembilan tahun dilalui dengan belajar, jika bakat mereka untuk
ilmu silat memang kurang, tapi dalam menyerap pelajaran non-silat,
justru melampaui kebanyakan orang. Dengan ketekunan dan kegigihan
yang selalu dilecutkan sang guru, hasil belajar sembilan tahun juga
tak sia-sia.
Kini dalam kondisi apapun harus bisa bertahan, tak perduli ilmu
silatnya rendah, yang penting adalah akal! Tak perduli sesederhana
atau serumit apapun siasat itu, jika kau bisa menggunakannya pada
saat yang tepat, hasilnya tentu maksimal……
------
Begitu pula dengan mereka (murid Golok Sembilan Bacokan), kondisi
saat ini yang begitu kritis, dapat mereka hadapi. Meski rasa putus
asa menyusup dalam hati, tapi keinginan hidup lebih kuat dari apapun,
itu yang memberi keberanian dalam hati mereka.
Dengan hati berdebar tegang, keempat orang itu menunggu. Mendadak,
pintu kereta kuda terbuka, dari tiap kereta muncul sepasang pria dan
wanita. Paras mereka sungguh elok, yang wanita cantik memukau, yang
pria tampan mempesona. Tiga pasangan itu saling tegur sapa, dan
berbicang ala kadarnya, seolah mereka lupa dengan kehadiran
buruannya.
“Ah, cerah sekali hari ini…” desah wanita dari kereta
pertama yang datang lebih dulu.
“Ya, memang cerah, tapi aku mencium bau amis.” Sahut si
lelaki.
Wanita itu tertawa lirih, “Mungkin ada hewan baru disembelih…”
ujarnya.
“Mau disembelih.” Ralat si lelaki.
Orang-orang dari biro pengiriman, mengela nafas dingin. Bulu kuduk
mereka meremang. Sekalipun mereka tak tahu siapa yang mengejar, tapi
melihat tiga kusir kereta mewah itu adalah orang-orang yang cukup
punya nama di dunia persilatanan, merekapun dapat menduga, tokoh
macam apa muda-muda itu.
“Tunggu apa lagi?” tiba-tiba kusir dari kereta yang datang
lebih dulu, membentak orang-orang dari biro pengiriman.
Mereka bingung dengan pernyataan si kusir. Apanya yang perlu
ditunggu?
“Orang tolol!” bentak si kusir. Dengan gerakan sangat cepat,
cambuk kuda ditangannya melesat menyerang salah satu dari mereka.
Jika serangan itu hanya ditunjukan pada orang yang kelelahan,
masih bisa dimaafkan, tapi ujung cambuk itu mengarah pada pimpinan
mereka yang menggeletak nyaris mati!
“Kurang ajar!” serempak keempat anggota lainnya, menerjang
menghadang, membuat perisai badan untuk sang pimpinan.
Tar! Tar! Tar! Beberapa kali ujung cambuk menghantam perut dan
dada mereka. Tiba-tiba seseorang yang masih bisa meluputkan serangan
itu, menerjang maju dan mendadak berbalik, rupanya dia ingin
menyerang dengan punggungnya. Tapi, bukankah itu tindakan tolol?
Dengan keadaan terbuka seperti itu, cukup sekali hantam, luka parah
pasti dia derita.
Buk!Ternyata, si kusir menendang punggung orang itu. Terdengar
suara, krek… kelihatannya ada sesuatu yang patah, apakah tulang
punggung?
“Ah!” terdengar jeritan. Anehnya, itu jeritan si kusir. Tiga
pasang muda-mudi itu terkejut juga, mereka pikir dengan demikian,
selesailah riwayat lawan, tapi malah sebaliknya, si kusir itu yang
terluka.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar