Jumat, 23 Agustus 2013

005 - Perkumpuan Pratyantara

Kusir itu tak menggunakan alas kaki, terlihat telapak kaki yang mengenai punggung lawannya, membengkak besar, dan mulai membiru. Melihat gejalanya, itu luka keracunan.

Meski kesakitan, kusir itu bertindak sigap, dia menotok titik dan nadi penting pada betis, lalu cambuknya dililitkan pada betis, rupanya untuk menghambat laju racun.

“Kau…” dengus si kusir dengan perasaan marah.

Orang yang punggungnya tertendang, membalik badannya, dia tak mengatakan apa-apa, hanya memandang si kusir dengan tatapan seolah mengatakan, ‘kenapa kau pandang remeh aku?’

“Ah, tak disangka kayu yang kau sembunyikan di punggung ada jarum beracunnya.” Ujar si kusir dengan tatapan mata nyalang.

Lelaki itu diam saja, mendadak ia terbatuk. Darah meleleh dari mulutnya. Meski dia bisa melukai kaki si kusir, efek tendangan tadipun cukup berat baginya.

“Kau ingin aku menyerahkan apa?” mendadak lelaki ini bertanya pada si kusir.
 
Tertegun si kusir dengan tingkah lawannya, dipikirnya, sikap lawannya pasti kepala batu seperti tadi, tak disangka, orang itu malah menegaskan lagi permintannya tadi.

“Tentu saja barang yang akan kau hantarkan!”

Mendadak terdengar tawa lemah, rupanya mereka yang terkena cambukan itulah, yang tertawa.

“Adik… serahkan saja, kita sudah tak sanggup lagi.”

Sambil mendekap dadanya, lelaki itu mengambil sesuatu dari balik punggunya. Rupanya bunyi seperti tulang patah, adalah kayu yang dia sembunyikan di punggung. Dari dalam serpihan kayu, ada beberapa gulung kain, dan sebuah benda.

“Apakah ini yang kalian inginkan?”

Salah satu muda-mudi itu mendekat dan mengambil gulungan itu. Setelah dibuka, wajah mereka merah padam. Dengan gemas, dibantingnya barang itu.

“Keparat! Kita ditipu!” serunya marah.

“Benar, kami hanya mengalihkan perhatian para pengincar barang hantaran, sekarang barang itu sudah ada di tempat yang seharusnya…”

Pemuda cakap itu menatap lawan bicaranya dengan pandangan mata menghina, seolah dia merasa orang itu tak cukup sepadan bicara padanya.

“Hari seindah ini, kenapa aku harus menghilang-kan kejengkelanku…” ujarnya dengan suara pelan. Jika pemuda itu membentak atau memaki, mungkin tak terlalu menakutkan, tapi ucapan santai seperti itu, malah membuat orang-orang dari biro ekspedisi ini, mengkirik ketakutan.

Dengan gerakan lambat, pemuda ini menggulung lengan bajunya. Perlahan, dia menarik sesuatu dari lipatan ujung bajunya, ternyata seutas benang, dengan panjang satu meter.

Siapapun yang memegang benang pasti akan menggunakan telunjuk dan ibu jari. Tapi pemuda ini tidak begitu, dia menggenggamnya, seolah benang itu adalah sebatang benda. Begitu tergenggam, benang itu perlahan menegak, dan benar-benar lurus, selurus kawat baja!

“Hawa pedang?” gumam orang biro ekspedisi.

Pemuda itu tersenyum mengejek. “Orang macam kaupun bisa tahu. Sebagai penghargaan, aku akan perlihatkan gerakan ringan, khusus untukmu!”

Tangannya diangkat, gayanya persis memegang pedang, ujung benang terarah kebawah. “Perhatikan baik-baik!”

Begitu selesai berucap, tangannya perlahan terjulur, dan mengarah tepat dipertengahan mata. Gerakan selambat itu, anak kecil juga bisa menghindar. Tapi lawannya justru prihatin, dia tahu itulah teori ilmu tingkat tinggi. Sebab, jika dia bergerak, lawan akan bergerak. Jika kau menghindar dengan cepat, lawan akan lebih cepat lagi mematikanmu.

“Memang ilmu hebat…” seru lawan si pemuda, tak terduga dia hunus goloknya dan membacok dahinya sendiri!

Pemuda ini tertegun sesaat, dan itu celah bagi lawannya! Golok yang hampir mengenai dahi, mendadak dilontarkan kedepan, melesat mengarah tenggorok si pemuda.

“Hmk!” terdengar pemuda itu mendengus ejek, dengan gerakan cepat, dia berkisar kekiri, lalu benang ditangannya disabetkan kemuka.

Trang!Rupanya dia melihat lawan sudah mengeluarkan pisau untuk menutup gerak hindarnya, untung saja reaksinya cepat. Pisau yang disambitkan lawan, patah, terkena belitan benang si pemuda.

Menyadari serangannya tak berhasil, orang ini melesat, hendak memukul kepala si pemuda. Serangan itu tergolong nekat, si pemuda tersenyum.

“Hm, mau cepat mati…” dengusnya. Dengan gerakan sangat cepat, iapun ikut menubruk kedepan. Dia tak menyerang, hanya ingin menubruk saja. Dalam teori silat, mana ada serangan senekat itu. Sang lawan kaget, ia sadar jika mereka bertubrukan, kerugian ada padanya, tak sempat menghindarinya, dia berusaha melipatgandakan tenaga untuk melindungi isi dadanya.

Brak!Tubrukan tak bisa dihindari, si pemuda berdiri dengan tegar, sementara lawannya terpental, dan jatuh berdebum keras.

“Adik!” seru rekannya dengan kaget. Dia cepat memburu, tubuh adiknya tergeletak. Dadanya melesak dalam, tulang dada, dan rusuk kelihatannya hancur, dengan sendirinya jantung, dan organ dalamnya, rusak parah! Dia sadar, kondisi sang adik sudah tidak mungkin lagi diselamatkan.

“Kau… kau biadab!” bentak orang ini. “Baik! Sekalipun hari ini kami harus mati, paling tidak kau juga harus mengiringi kami!”

“Adik!” mendadak dia berteriak, dua rekannya yang lain mendekat, mereka berdiri berjejer.

Meski terluka dan kelelahan, mereka bergerak mengurung si pemuda. Meski begitu, pemuda ini terlihat tenang saja.

“Bagus, aku tak perlu banyak keluar tenaga.”

“Seharusnya begitu dari tadi…” Mendadak wanita pasangan pemuda ini menyahut.

“Kita juga harus buru-buru.”

“Tidak perlu, jika memang mereka mengecoh kita, meski sekarang kita bergegas, tak ada gunanya. Lebih baik bersenang-senang…”

“Ya, terserah kau saja.”

Meski pemuda ini terlihat meremehkan, tapi diapun selalu waspada melihat pergerakan lawan. Tapi sejauh ini tiga orang itu mengurung dirinya, tidak melakukan pergerakan apapun.

“Sebelum kita mati bersama, aku ingin tanya, kenapa kau memburu kami?”
Pemuda ini tertawa. “Mati bersama? Jangan menghayal!”

“Anggap saja begitu, tapi kami ingin tahu, kenapa kalian melakukan semua ini?”

“Ini rahasia kami, tapi orang mati pasti bisa menyimpan rahasia dengan baik. Baiklah… aku akan membagi sedikit informasi padamu.”

Ketiga orang itu tak menyela, meski merasa gusar, mau tak mau harus mereka tahan.
 
“Biro kalian, menerima barang yang seharusnya menjadi milik kami. Seharusnya, seluruh biro akan kami hancurkan, tapi tak sangka sudah tidak ada orang, ketua kalian cukup licik.”

“Cuma itu?”

“Ya, itu sudah terhitung banyak.”

Tiga orang itu saling pandang. “Baik kalau begitu, kuharap kau tidak menyesal telah bicara seperti itu.”
Pemuda ini diam saja. “Kenapa kalian tak bertanya dari mana asalku?”

“Tidak perlu, sebab akan ada yang mencari kalian. Kau sendiri yang bilang ketua kami cukup licik, dengan sendirinya pasti menemukanmu.”

Si pemuda tak menanggapi, memang dia terlalu mengangap remeh lawan. Meski perbandingan ilmu silat selisih jauh, tapi mereka justru bisa ‘membaca’ sebab-akibat yang akan terjadi. Meski dirinya membunuh orang-orang ini, tapi benda yang diincarnyapun entah kemana.

“Bersiap!” aba-aba sudah dikeluarkan, dan ketiga orang itu berlari mengitari si pemuda.
Pemuda ini diam saja, dia tahu lawan akan serentak menyerangnya dari posisi tak terduga. Meski hawa murninya lebih tinggi dari lawan, menghadapi orang kalap seperti ini, sedikit-banyak harus hati-hati.

Dengan lengkingan menusuk telinga, salah seorang lawannya menubruk dirinya. Si pemuda dapat menghindari dengan baik, tapi begitu kakinya hendak melancarkan satu tendangan, seberkas sinar kilat mengancam matanya! Dengan gerakan cepat dia mengibaskan benang yang masih dipegangnya.

Trang!Pisau terbang itu bisa dipentalkannya, mengira sudah aman pemuda ini menggembor keras hendak menyerang si pelepas pisau. Tapi seberkas sinar putih kembali mengancam punggungnya, dari sudut matanya dia sempat melihat kelebatan itu. Rupanya orang ketiga yang menyerangnya.

Merasa dipermainkan, pemuda ini marah sekali, dengan melontarkan pukulan jarak jauh, dia menghantam pisau tadi. Trang! Kembali pisau itu mencelat jauh.

“Kalian cari mati!” bentaknya gusar. Dengan menggembor keras, pemuda ini melesat menuju lawannya yang terdekat.

Brak!Tubuh orang itu terlempar sampai lima tombak terkena hajaran si pemuda. Dia tergeletak tak berkutik lagi. Dua orang yang lain tak mengacuhkan rekannya, mereka menyerang dengan gempuran sehebat mungkin. Tapi si pemuda menanggapinya dengan dingin.

“Huh! Serangan macam apa ini?” ejeknya seraya mengibaskan serangan jarak jauh.
 
Dua lawannya tak menanggapi, mereka terpental mundur setelah terkena kibasan angin dari benang si pemuda.

“Ini yang terakhir…” salah seorang mengumam.

“Baik…”

Pemuda ini tak menggubris apa yang lawan bicarakan. Bahkan dia bersedekap dengan menatap hina, lagaknya sangat meremehkan lawan.

Berhubung keduanya sudah terluka parah, untuk bergerak saja mereka sudah merasa payah. Menyadari kondisi tak menguntuingkan, jalan untuk melarikan diri juga adalah suatu kemustahilan. Mereka memutuskan untuk bertarung sekuat mungkin.

“Aku yakin, kau tidak akan bisa menghabisi kami dengan satu serangan. Kau berani bertaruh?”

Pemuda ini melegak. Wajahnya jadi kaku menakutkan. “Kau bilang aku tak berani?”

“Ya. Kalau kau menerima taruhan ini, dengan sendirinya, kau harus melepaskan kami jika satu seranganmu tak bisa menghabisi kami. Jika tidak, sudah pasti kami yang mati…”

“Baik!” pemuda ini mengiyakan dengan dongkol, hal yang paling dia benci adalah kata ‘tak berani’.

“Bagus!”

Mendadak kedua orang itu melesat kedepan, gerakannya tak terlalu cepat, serangannyapun hanya berupa tubrukan biasa. Si Pemuda mendengus, dia pikir dengan serangan itu mereka bisa menghindar dari kematian?

“Mampuslah!” bentak si pemuda seraya menghantamkan pukulannya kekepala dua orang itu. Gerakannya sungguh cepat, dalam sedetik dapat dipastikan keduanya akan terkapar dengan kepala pecah. Tapi mendadak…

“Ih…!” si pemuda melengking kaget, dengan gerakan tak kalah cepat dari serangannya, dia berkelit kesamping. Dengan punggung tangannya dia hendak menebas pinggang lawannya, tapi serangan itupun diurungkannya. Lupa dengan perjanjian tadi, pemuda ini menghindar lebih jauh.

Kedua orang itu menubruk tempat kosong, karena lukanya, mereka jatuh terjerembab. Dengan susah payah keduanya bangkit.

“Kau kalah…” desis mereka.

Wajah pemuda ini mengeras, tak menjawab ucapan mereka, ia mengundurkan diri. Meski kejam, rupanya dia masih punya harga diri juga.

“Ada apa? Kenapa orang macam mereka tak kau bunuh?” Tanya si gadis menghampiri seraya memegang lengannya.

“Perhatikan lengan baju dan bagian dada mereka.” Ujarnya tak menjawab pertanyaan si gadis.

Gadis itu melihat dengan seksama, diam-diam dia mendesah kaget. Dua pasangan yang lain juga sadar apa yang di maksud dengan rekan mereka

Ternyata di lengan dua anggota dari biro ekspedisi ini, terpasang alat pelontar senjata rahasia, menurut kabar dalam pelontar itu tersimpan 99 senjata rahasia beracun, tapi hanya bisa diilontarkan tiga kali. Alat itu dikenal dengan Semburan Bisa Naga, konon itu adalah buah karya seorang biksu dari negeri Thian-Tok (India).  

Tapi itu sudah puluhan tahun yang lalu. Bagaimana bisa senjata yang pernah membuat gempar dunia perilatan ada ditangan keroco macam mereka?

“Oh, pantas kau berani mengajukan taruhan seperti itu, rupanya sudah punya pegangan!” seru pemuda yang lainnya, dia mendekat akan menyerang.

“Jangan gegebah!” tiba-tiba pemuda pertama tadi membentak. “Mereka juga menggunakan perisai jarum!”

“Ah…” agak kaget juga ia, seraya mengurungkan langkahnya, pemuda itu menghunus pedangnya. “Cukuplah jika aku tak menyentuhnya. Pasti tak akan terjadi apa-apa., mengenai alat pelontarnya, ha-ha… aku hanya perlu memperhatikan gerakan lengannya.” Ucapan itu terdengar takabur, tapi mengingat bahwa kemampuan pemuda itu pasti tak berada dibawah rekannnya yang tadi bertaruh, rasanya terdengar agak wajar.

Dan memang, jika senjata rahasia sudah diketahui lawan, itu bukanlah senjata rahasia lagi. Kalau saja pemuda ini tak mengetahui apa yang terpasang di lengan dua anggota biro ekspedisi ini, dapat dipastikan, dirinya akan menelan kerugian besar.

Mereka berdua menghela nafas tertahan, keduanya sadar, jika lawan bergerak pesat, dalam kondisi sehat saja belum tentu mereka bisa mengarahkan senjata rahasianya dengan baik. Apalagi kini mereka terluka cukup parah.

Keduanya saling pandang, dua pasang mata bertemu, satu tekad sudah tercetus dalam hati, ‘jika harus mati, maka lawanpun harus ada yang mengiringi.’

“Kau pikir hanya dua benda ini yang ada pada kami?” ujar salah seorang dengan nafas terengah.

“Jika tak percaya, kenapa tak kau coba serang kami?” sambung satunya.

Pemuda ini tertegun, dengan kemampuannya—apalagi senjata rahasia lawan sudah diketahui, tidak masalah bagianya untuk menghabisi jiwa lawan. Tapi jika lawan memberinya pilihan yang harus di pertimbangkan baik-baik, mau tak mau ia harus waspada. Dirinya yakin bisa menghabisi mereka, tapi apakah dia sendiri tak mengalami kerugian itu tak dapat ditebak.

“Hh! Segala omong kosong pun kalian katakan, hanya untuk menyelamatkan diri!”

"Menyelamatkan diri? Kau pikir, setelah beberapa dari kami mati, kami berniat menyelamatkan diri?!” dengus orang ini gusar.

“Kau takut kami masih memiliki senjata rahasia lagi? Ha-ha… benar, kami sudah tidak punya apa-apa, lagi! 

Serang saja! Kami hanya mengandalkan perisai dan senjata ini saja!” sambung salah satunya dengan terbatuk-batuk.

Sang lawan tidak menangapinya, dia justru makin bimbang, mending kalau lawannya ngotot mengancam dirinya dengan senjata rahasia—entah apa namanya. Tapi lawan justru bilang tidak ada, tentu saja tak mungkin selugu itu dia percaya.

“Huh! Kalaupun ada seratus senjata rahasia, keluarkan semuanya! Aku ingin tahu seperti apa kau akan mengunakannya!”

“Banyak omong!” bentaknya gusar. Kedua orang itu segera menyambitkan pisau.

“Kau anggap ini serangan?” ejek sang lawan usai menghindarinya dengan mudah.

“Ini baru serangan!” bentak satunya, seraya mengibaskan dua tangannya.

Begitu lengan baju terkibas, pemuda itu waspada dan mundur dengan cepat, dan ia melompat kedepan dengan cepat pula. Begitu cepatnya, gerakan yang dilakukan, keduanya tercengang kaget, menyaksikan lawan hanya tinggal sejangkal lagi dari mereka! Dan merekapun tak berusaha menghindar…

Seperti halnya si pemuda pertama, mendadak dia melompat kebelakang dan menghindari jangkauan dua lawannya yang nyaris tak berdaya itu. Mereka menatap si pemuda dengan pandangan meremehkan.

“Kakang, bagaimanapun juga dia memang belum ingin mati.” Desisnya.

“Memang, makin tinggi ilmu seseorang, makin pengecut dirinya…” gumamnya seraya menatap pemuda yang melotot gusar padanya.

“Ada apa denganmu?!” bentak pemuda dari kereta ketiga dengan gusar.

“Maafkan aku kakang, tapi aku memang belum mau mati!” bentak pemuda yang gagal menyerang tadi dengan gusar.

“Apa maksudmu?”

“Kenapa aku harus memberitahu? Kenapa tak kau serang saja mereka?”

Dengan seksama, pemuda dari kereta ketiga menatap dua lawan yang tak berdaya itu dengan pandangan mata menyelidik.

“Hiaa!” mendadak dia memukul keduanya dengan pukulan jarak jauh.
 
Tapi belum lagi pukulan itu mengenai, pemuda dari kereta pertama menghalangi laju angin pukulan dan menangkisnya!

Blar!Keduanya tergontai, bahkan dua anggota biro pengiriman barang yang masih tersisa itu ikut tergontai jatuh, akibat benturan dua pukulan tadi.

“Apa kau gila?!” bentak pemuda dari kereta ketiga penuh nafsu membunuh.

Si pemuda pertama menatap rekannya dengan dingin. “Setidaknya, kalau kau ingin membunuh mereka, aku harus meninggalkan tempat ini sejauh mungkin!” ujarnya.

“Apa maksudmu?”

“Mereka memancing kita menyerang karena itu yang diinginkan!”

“Benar!” sahut pemuda dari kereta kedua. ”Sebab masing-masing dari mereka membawa barang yang sama sekali tidak baik!"ujarnya dengan marah

"Tidak baik? apa itu?"

"Mungkin racun pelontar asap, mungkin peledak, yang jelas bisa membuat kita semua mampus disini!”

“Ah!” semua orang terkejut, pandangan mereka sontak menatap dua orang itu. Tapi keterkejutan makin menjadi tak kala mereka menyadari bahwa posisi orang-orang yang sudah mereka bunuh, ternyata ‘mengurung’ ketiga kereta kuda itu. Jika ingin meninggalkan tempat itu, mereka harus melewati tiga sosok mayat itu. Artinya, jika 'ledakan' terjadi, tak satu orangpun akan lolos.

“Ha-ha-ha… kalian ingin lolospun tak akan kubiarkan, kau pikir nyawa rekan-rekan kami akan sia-sia?”

“Hutang nyawa balas nyawa!” sambung satunya.

Kini keadaan berbalik. Tiga pasang muda mudi dan tiga kusir kereta, menatap cemas. Mereka sadar dua orang itu pasti berniat mati bersama.

“Adik, kau pastikan tidak ada yang lolos…”

“Baik kakang!”

Segera di bergerak menyandar pada tebing dan orang satunya berdiri menghadang ditengah jalan.
“Huh! Permainan semacam inipun harus ditakuti!” ujar si pemuda dari kereta ketiga dengan sambong. “Kami cukup meloloskan diri dengan melewati tiga mayat dibelakang itu!”

“Salah! Bukan tiga tapi, dua…” ujar suara dari belakang mereka. Sontak beberapa orang menolah, ternyata korban terakhir yang dipukul pemuda pertama itu belum lagi mati, meskipun kondisinya payah, tapi dia masih sanggup berdiri, dan bersander pada dinding tebing.

Kali ini pahamlah mereka, ternyata orang-orang yang mereka buru bukanlah orang yang mudah dihadapi. 

Sejak semua para anggota biro pengiriman barang sadar tak bisa mengindari para pengejar, karena itu taktik mati bersama memang jalan satu-satunya.

“Kurang ajar! Jadi ini yang mereka incar?! Supaya bisa mengambil posisi mengepung seperti ini?!” gumam pemuda dari kereta pertama.

Pantas saja musuhnya tadi begitu mudah dihantam, ternyata orang yang dihantam sampai mencelat melewati kereta kuda, justru memegang peranan penting untuk menghadang mereka. Sungguh taktik sederhana yang sangat beresiko.

“Seumur hidup aku belum pernah memuji musuh, tapi taktik kalian ini membuatku sedikit kagum…”

“Terima kasih! Kami sadar, tuan-tuan sekalian tak akan sanggup kami hadapi, dan tak mungkin pula tuan-tuan melepaskan kami. Jadi jalan yang paling baik jika kita mati bersama!”

Suasana senyap, kini posisi dua belah pihak jadi sama kuat. Pihak pengejar dengan sangat mudah bisa menghabisi buruannya, tapi mereka tak mau menanggung resiko sebesar itu—dengan meledak bersama buruannya. Dilain pihak, jika orang-orang dari biro pengiriman berniat meledakkan diri saat ini juga, bisa dipastikan persoalan ini selesai, karena mereka semua mati. Tapi kenapa mereka belum lagi 'meledakkan' diri?

Pertanyaan ini menggantung dibenak para pemburu yang kini posisinya terjepit.

“Kenapa kalian belum lagi bertindak?” Tanya si kusir kereta kedua.

“Kami menunggu!” potong orang dari biro pengiriman.

“Menunggu bala bantuan? Tak banyak gunanya!” dengus si kusir.

“Kau salah, kami menunggu orang lain… orang yang satu tujuan dengan kalian. Jika semuanya sudah berkumpul disini, kalian bisa menduga apa yang akan terjadi, yang jelas semua ini akan meringankan pekerjaan ketua kami!”

“Ah…” si kusir terkejut.

Dari reaksinya, mereka tidak tahu kalau ada pihak lain yang mengincar barang yang sama. Padahal menurut mereka, hanya ada tiga pihak saja yang tahu tentang pengiriman ini, pertama; orang yang menyerahkan barang, kedua; biro pengiriman, dan yang terakhir mereka sendiri.

Dari telik sandi yang mereka sebar, diperoleh informasi adanya sebuah barang berharga sedang dalam perjalanan. Perkumpulan mereka memang mengkhususkan diri dalam pencurian benda-benda bermutu tinggi dan sudah tentu tak ternilai harganya. Menurut info yang diterima, ada sekelompok orang aneh memberikan ongkos begitu mahal hanya untuk mengirim barang. Sudah tentu info tersebut membuat mereka penasaran, tanpa tahu apa yang akan mereka hadapi nanti, tanpa pikir panjang lagi, beberapa utusan Perkumpulan Pratyantara (Perkumpulan ahli waris yang paling dekat, jadi bisa diartikan barang apapun yang menarik, akan diambil; ini merupakan penghalusan dari kalimat perampok) mereka kirim untuk merampas barang bawaan. Sungguh tak terduga, orang yang mereka anggap ringan ternyata begitu sulit dihadapi.

Ditinjau dari ilmu silat, mereka bukanlah lawan para utusan, cukup sang kusir yang maju, semua beres. Tapi siapa yang mengira, kelima orang itu begitu penuh trik dan perlindungan tak terduga.

Tak terasa hari menjelang senja, pengepungan sudah berjalan empat kentungan. Ketegangan di kedua belah pihak makin menjadi tak kala dikejauhan sana terdengar derap kaki kuda. Dari suaranya, paling tidak lebih dari lima kuda yang datang.

Drap! Drap…!Suara itu makin dekat, makin dekat… dan akhirnya sampai.

Karena arah kedatangannya berada dibelakang para utusan Pratyantara, dengan sendirinya mereka berbalik arah dan mencermati kedatangan sauara derap itu.

Sesaat kemudian dari tikungan tebing didepan sana, muncul serombongan kuda, mata mereka terbelalak heran, karena semua penunggang kuda terkulai dipunggung kuda dalam posisi melintang.

Seperti sudah dikendalikan saja, kuda-kuda itu berhenti tepat di depan mereka. Dengus nafas kuda itu tak begitu berat, artinya kuda-kuda itu belum menempuh jarak jauh.

Utusan Pratyantara, menahan nafas saat mengenali rombongan itu. Wajah mereka berubah pias. Siapapun orang yang berkecimpung di dunia persilatan pasti tahu lambang yang terkalung dileher kuda, apalagi seragam yang dikenakan para penunggangnya yang saat ini sedang terkulai entah masih hidup atau mati.

“Ke-kenapa bisa mereka?” bisik gadis pasangan pemuda dari kereta pertama.

“Jangan tanya aku…” gumamnya dengan hati berdebar.

Karena beberapa lama ditunggu tak ada rekasi juga, para utusan Pratyantara bertanya pada orang-orang biro pengiriman.

“Jadi ini yang kalian tunggu?” pemuda ia bertanya dengan wajah berubah



Bersambung

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar