Kusir itu tak menggunakan
alas kaki, terlihat telapak kaki yang mengenai punggung lawannya,
membengkak besar, dan mulai membiru. Melihat gejalanya, itu luka
keracunan.
Meski kesakitan, kusir itu bertindak sigap, dia menotok titik dan
nadi penting pada betis, lalu cambuknya dililitkan pada betis,
rupanya untuk menghambat laju racun.
“Kau…” dengus si kusir dengan perasaan marah.
Orang yang punggungnya tertendang, membalik badannya, dia tak
mengatakan apa-apa, hanya memandang si kusir dengan tatapan seolah
mengatakan, ‘kenapa kau pandang remeh aku?’
“Ah, tak disangka kayu yang kau sembunyikan di punggung ada
jarum beracunnya.” Ujar si kusir dengan tatapan mata nyalang.
“Kau ingin aku menyerahkan apa?” mendadak lelaki ini bertanya
pada si kusir.
Tertegun si kusir dengan tingkah lawannya,
dipikirnya, sikap lawannya pasti kepala batu seperti tadi, tak
disangka, orang itu malah menegaskan lagi permintannya tadi.
“Tentu saja barang yang akan kau hantarkan!”
Mendadak terdengar tawa lemah, rupanya mereka yang terkena
cambukan itulah, yang tertawa.
“Adik… serahkan saja, kita sudah tak sanggup lagi.”
Sambil mendekap dadanya, lelaki itu mengambil sesuatu dari balik
punggunya. Rupanya bunyi seperti tulang patah, adalah kayu yang dia
sembunyikan di punggung. Dari dalam serpihan kayu, ada beberapa
gulung kain, dan sebuah benda.
“Apakah ini yang kalian inginkan?”
Salah satu muda-mudi itu mendekat dan mengambil gulungan itu.
Setelah dibuka, wajah mereka merah padam. Dengan gemas, dibantingnya
barang itu.
“Keparat! Kita ditipu!” serunya marah.
“Benar, kami hanya mengalihkan perhatian para pengincar barang
hantaran, sekarang barang itu sudah ada di tempat yang seharusnya…”
Pemuda cakap itu menatap lawan bicaranya dengan pandangan mata
menghina, seolah dia merasa orang itu tak cukup sepadan bicara
padanya.
“Hari seindah ini, kenapa aku harus menghilang-kan
kejengkelanku…” ujarnya dengan suara pelan. Jika pemuda itu
membentak atau memaki, mungkin tak terlalu menakutkan, tapi ucapan
santai seperti itu, malah membuat orang-orang dari biro ekspedisi
ini, mengkirik ketakutan.
Dengan gerakan lambat, pemuda ini menggulung lengan bajunya.
Perlahan, dia menarik sesuatu dari lipatan ujung bajunya, ternyata
seutas benang, dengan panjang satu meter.
Siapapun yang memegang benang pasti akan menggunakan telunjuk dan
ibu jari. Tapi pemuda ini tidak begitu, dia menggenggamnya, seolah
benang itu adalah sebatang benda. Begitu tergenggam, benang itu
perlahan menegak, dan benar-benar lurus, selurus kawat baja!
“Hawa pedang?” gumam orang biro ekspedisi.
Pemuda itu tersenyum mengejek. “Orang macam kaupun bisa tahu.
Sebagai penghargaan, aku akan perlihatkan gerakan ringan, khusus
untukmu!”
Tangannya diangkat, gayanya persis memegang pedang, ujung benang
terarah kebawah. “Perhatikan baik-baik!”
Begitu selesai berucap, tangannya perlahan terjulur, dan mengarah
tepat dipertengahan mata. Gerakan selambat itu, anak kecil juga bisa
menghindar. Tapi lawannya justru prihatin, dia tahu itulah teori ilmu
tingkat tinggi. Sebab, jika dia bergerak, lawan akan bergerak. Jika
kau menghindar dengan cepat, lawan akan lebih cepat lagi mematikanmu.
“Memang ilmu hebat…” seru lawan si pemuda, tak terduga dia
hunus goloknya dan membacok dahinya sendiri!
Pemuda ini tertegun sesaat, dan itu celah bagi lawannya! Golok
yang hampir mengenai dahi, mendadak dilontarkan kedepan, melesat
mengarah tenggorok si pemuda.
“Hmk!” terdengar pemuda itu mendengus ejek, dengan gerakan
cepat, dia berkisar kekiri, lalu benang ditangannya disabetkan
kemuka.
Trang!Rupanya dia melihat lawan sudah mengeluarkan pisau untuk
menutup gerak hindarnya, untung saja reaksinya cepat. Pisau yang
disambitkan lawan, patah, terkena belitan benang si pemuda.
Menyadari serangannya tak berhasil, orang ini melesat, hendak
memukul kepala si pemuda. Serangan itu tergolong nekat, si pemuda
tersenyum.
“Hm, mau cepat mati…” dengusnya. Dengan gerakan sangat
cepat, iapun ikut menubruk kedepan. Dia tak menyerang, hanya ingin
menubruk saja. Dalam teori silat, mana ada serangan senekat itu. Sang
lawan kaget, ia sadar jika mereka bertubrukan, kerugian ada padanya,
tak sempat menghindarinya, dia berusaha melipatgandakan tenaga untuk
melindungi isi dadanya.
Brak!Tubrukan tak bisa dihindari, si pemuda berdiri dengan tegar,
sementara lawannya terpental, dan jatuh berdebum keras.
“Adik!” seru rekannya dengan kaget. Dia cepat memburu, tubuh
adiknya tergeletak. Dadanya melesak dalam, tulang dada, dan rusuk
kelihatannya hancur, dengan sendirinya jantung, dan organ dalamnya,
rusak parah! Dia sadar, kondisi sang adik sudah tidak mungkin lagi
diselamatkan.
“Kau… kau biadab!” bentak orang ini. “Baik! Sekalipun hari
ini kami harus mati, paling tidak kau juga harus mengiringi kami!”
“Adik!” mendadak dia berteriak, dua rekannya yang lain
mendekat, mereka berdiri berjejer.
Meski terluka dan kelelahan, mereka bergerak mengurung si pemuda.
Meski begitu, pemuda ini terlihat tenang saja.
“Bagus, aku tak perlu banyak keluar tenaga.”
“Seharusnya begitu dari tadi…” Mendadak wanita pasangan
pemuda ini menyahut.
“Kita juga harus buru-buru.”
“Tidak perlu, jika memang mereka mengecoh kita, meski sekarang
kita bergegas, tak ada gunanya. Lebih baik bersenang-senang…”
“Ya, terserah kau saja.”
Meski pemuda ini terlihat meremehkan, tapi diapun selalu waspada
melihat pergerakan lawan. Tapi sejauh ini tiga orang itu mengurung
dirinya, tidak melakukan pergerakan apapun.
“Sebelum kita mati bersama, aku ingin tanya, kenapa kau memburu
kami?”
Pemuda ini tertawa. “Mati bersama? Jangan menghayal!”
“Anggap saja begitu, tapi kami ingin tahu, kenapa kalian
melakukan semua ini?”
“Ini rahasia kami, tapi orang mati pasti bisa menyimpan rahasia
dengan baik. Baiklah… aku akan membagi sedikit informasi padamu.”
Ketiga orang itu tak menyela, meski merasa gusar, mau tak mau
harus mereka tahan.
“Biro kalian, menerima barang yang
seharusnya menjadi milik kami. Seharusnya, seluruh biro akan kami
hancurkan, tapi tak sangka sudah tidak ada orang, ketua kalian cukup
licik.”
“Cuma itu?”
“Ya, itu sudah terhitung banyak.”
Tiga orang itu saling pandang. “Baik kalau begitu, kuharap kau
tidak menyesal telah bicara seperti itu.”
Pemuda ini diam saja. “Kenapa kalian tak bertanya dari mana
asalku?”
“Tidak perlu, sebab akan ada yang mencari kalian. Kau sendiri
yang bilang ketua kami cukup licik, dengan sendirinya pasti
menemukanmu.”
Si pemuda tak menanggapi, memang dia terlalu mengangap remeh
lawan. Meski perbandingan ilmu silat selisih jauh, tapi mereka justru
bisa ‘membaca’ sebab-akibat yang akan terjadi. Meski dirinya
membunuh orang-orang ini, tapi benda yang diincarnyapun entah kemana.
“Bersiap!” aba-aba sudah dikeluarkan, dan ketiga orang itu
berlari mengitari si pemuda.
Pemuda ini diam saja, dia tahu lawan akan serentak menyerangnya
dari posisi tak terduga. Meski hawa murninya lebih tinggi dari lawan,
menghadapi orang kalap seperti ini, sedikit-banyak harus hati-hati.
Dengan lengkingan menusuk telinga, salah seorang lawannya menubruk
dirinya. Si pemuda dapat menghindari dengan baik, tapi begitu kakinya
hendak melancarkan satu tendangan, seberkas sinar kilat mengancam
matanya! Dengan gerakan cepat dia mengibaskan benang yang masih
dipegangnya.
Trang!Pisau terbang itu bisa dipentalkannya, mengira sudah aman
pemuda ini menggembor keras hendak menyerang si pelepas pisau. Tapi
seberkas sinar putih kembali mengancam punggungnya, dari sudut
matanya dia sempat melihat kelebatan itu. Rupanya orang ketiga yang
menyerangnya.
Merasa dipermainkan, pemuda ini marah sekali, dengan melontarkan
pukulan jarak jauh, dia menghantam pisau tadi. Trang! Kembali pisau
itu mencelat jauh.
“Kalian cari mati!” bentaknya gusar. Dengan menggembor keras,
pemuda ini melesat menuju lawannya yang terdekat.
Brak!Tubuh orang itu terlempar sampai lima tombak terkena hajaran
si pemuda. Dia tergeletak tak berkutik lagi. Dua orang yang lain tak
mengacuhkan rekannya, mereka menyerang dengan gempuran sehebat
mungkin. Tapi si pemuda menanggapinya dengan dingin.
“Huh! Serangan macam apa ini?” ejeknya seraya mengibaskan
serangan jarak jauh.
Dua lawannya tak menanggapi, mereka terpental
mundur setelah terkena kibasan angin dari benang si pemuda.
“Ini yang terakhir…” salah seorang mengumam.
“Baik…”
Pemuda ini tak menggubris apa yang lawan bicarakan. Bahkan dia
bersedekap dengan menatap hina, lagaknya sangat meremehkan lawan.
Berhubung keduanya sudah terluka parah, untuk bergerak saja mereka
sudah merasa payah. Menyadari kondisi tak menguntuingkan, jalan untuk
melarikan diri juga adalah suatu kemustahilan. Mereka memutuskan
untuk bertarung sekuat mungkin.
“Aku yakin, kau tidak akan bisa menghabisi kami dengan satu
serangan. Kau berani bertaruh?”
Pemuda ini melegak. Wajahnya jadi kaku menakutkan. “Kau bilang
aku tak berani?”
“Ya. Kalau kau menerima taruhan ini, dengan sendirinya, kau
harus melepaskan kami jika satu seranganmu tak bisa menghabisi kami.
Jika tidak, sudah pasti kami yang mati…”
“Baik!” pemuda ini mengiyakan dengan dongkol, hal yang paling
dia benci adalah kata ‘tak berani’.
“Bagus!”
Mendadak kedua orang itu melesat kedepan, gerakannya tak terlalu
cepat, serangannyapun hanya berupa tubrukan biasa. Si Pemuda
mendengus, dia pikir dengan serangan itu mereka bisa menghindar dari
kematian?
“Mampuslah!” bentak si pemuda seraya menghantamkan pukulannya
kekepala dua orang itu. Gerakannya sungguh cepat, dalam sedetik dapat
dipastikan keduanya akan terkapar dengan kepala pecah. Tapi mendadak…
“Ih…!” si pemuda melengking kaget, dengan gerakan tak kalah
cepat dari serangannya, dia berkelit kesamping. Dengan punggung
tangannya dia hendak menebas pinggang lawannya, tapi serangan itupun
diurungkannya. Lupa dengan perjanjian tadi, pemuda ini menghindar
lebih jauh.
Kedua orang itu menubruk tempat kosong, karena lukanya, mereka
jatuh terjerembab. Dengan susah payah keduanya bangkit.
“Kau kalah…” desis mereka.
Wajah pemuda ini mengeras, tak menjawab ucapan mereka, ia
mengundurkan diri. Meski kejam, rupanya dia masih punya harga diri
juga.
“Ada apa? Kenapa orang macam mereka tak kau bunuh?” Tanya si
gadis menghampiri seraya memegang lengannya.
“Perhatikan lengan baju dan bagian dada mereka.” Ujarnya tak
menjawab pertanyaan si gadis.
Gadis itu melihat dengan seksama, diam-diam dia mendesah kaget.
Dua pasangan yang lain juga sadar apa yang di maksud dengan rekan
mereka
Ternyata di lengan dua anggota dari biro ekspedisi ini, terpasang
alat pelontar senjata rahasia, menurut kabar dalam pelontar itu
tersimpan 99 senjata rahasia beracun, tapi hanya bisa diilontarkan
tiga kali. Alat itu dikenal dengan Semburan Bisa Naga, konon
itu adalah buah karya seorang biksu dari negeri Thian-Tok (India).
Tapi itu sudah puluhan tahun yang lalu. Bagaimana bisa senjata yang
pernah membuat gempar dunia perilatan ada ditangan keroco macam
mereka?
“Oh, pantas kau berani mengajukan taruhan seperti itu, rupanya
sudah punya pegangan!” seru pemuda yang lainnya, dia mendekat akan
menyerang.
“Jangan gegebah!” tiba-tiba pemuda pertama tadi membentak.
“Mereka juga menggunakan perisai jarum!”
“Ah…” agak kaget juga ia, seraya mengurungkan langkahnya,
pemuda itu menghunus pedangnya. “Cukuplah jika aku tak
menyentuhnya. Pasti tak akan terjadi apa-apa., mengenai alat
pelontarnya, ha-ha… aku hanya perlu memperhatikan gerakan
lengannya.” Ucapan itu terdengar takabur, tapi mengingat bahwa
kemampuan pemuda itu pasti tak berada dibawah rekannnya yang tadi
bertaruh, rasanya terdengar agak wajar.
Dan memang, jika senjata rahasia sudah diketahui lawan, itu
bukanlah senjata rahasia lagi. Kalau saja pemuda ini tak mengetahui
apa yang terpasang di lengan dua anggota biro ekspedisi ini, dapat
dipastikan, dirinya akan menelan kerugian besar.
Mereka berdua menghela nafas tertahan, keduanya sadar, jika lawan
bergerak pesat, dalam kondisi sehat saja belum tentu mereka bisa
mengarahkan senjata rahasianya dengan baik. Apalagi kini mereka
terluka cukup parah.
Keduanya saling pandang, dua pasang mata bertemu, satu tekad sudah
tercetus dalam hati, ‘jika harus mati, maka lawanpun harus ada yang
mengiringi.’
“Kau pikir hanya dua benda ini yang ada pada kami?” ujar salah
seorang dengan nafas terengah.
“Jika tak percaya, kenapa tak kau coba serang kami?” sambung
satunya.
Pemuda ini tertegun, dengan kemampuannya—apalagi senjata rahasia
lawan sudah diketahui, tidak masalah bagianya untuk menghabisi jiwa
lawan. Tapi jika lawan memberinya pilihan yang harus di pertimbangkan
baik-baik, mau tak mau ia harus waspada. Dirinya yakin bisa
menghabisi mereka, tapi apakah dia sendiri tak mengalami kerugian itu
tak dapat ditebak.
“Hh! Segala omong kosong pun kalian katakan, hanya untuk
menyelamatkan diri!”
"Menyelamatkan diri? Kau pikir, setelah beberapa dari kami
mati, kami berniat menyelamatkan diri?!” dengus orang ini gusar.
“Kau takut kami masih memiliki senjata rahasia lagi? Ha-ha…
benar, kami sudah tidak punya apa-apa, lagi!
Serang saja! Kami hanya
mengandalkan perisai dan senjata ini saja!” sambung salah satunya
dengan terbatuk-batuk.
Sang lawan tidak menangapinya, dia justru makin bimbang, mending
kalau lawannya ngotot mengancam dirinya dengan senjata rahasia—entah
apa namanya. Tapi lawan justru bilang tidak ada, tentu saja tak
mungkin selugu itu dia percaya.
“Huh! Kalaupun ada seratus senjata rahasia, keluarkan semuanya!
Aku ingin tahu seperti apa kau akan mengunakannya!”
“Banyak omong!” bentaknya gusar. Kedua orang itu segera
menyambitkan pisau.
“Kau anggap ini serangan?” ejek sang lawan usai menghindarinya
dengan mudah.
“Ini baru serangan!” bentak satunya, seraya mengibaskan dua
tangannya.
Begitu lengan baju terkibas, pemuda itu waspada dan mundur dengan
cepat, dan ia melompat kedepan dengan cepat pula. Begitu cepatnya,
gerakan yang dilakukan, keduanya tercengang kaget, menyaksikan lawan
hanya tinggal sejangkal lagi dari mereka! Dan merekapun tak berusaha
menghindar…
Seperti halnya si pemuda pertama, mendadak dia melompat kebelakang
dan menghindari jangkauan dua lawannya yang nyaris tak berdaya itu.
Mereka menatap si pemuda dengan pandangan meremehkan.
“Kakang, bagaimanapun juga dia memang belum ingin mati.”
Desisnya.
“Memang, makin tinggi ilmu seseorang, makin pengecut dirinya…”
gumamnya seraya menatap pemuda yang melotot gusar padanya.
“Ada apa denganmu?!” bentak pemuda dari kereta ketiga dengan
gusar.
“Maafkan aku kakang, tapi aku memang belum mau mati!” bentak
pemuda yang gagal menyerang tadi dengan gusar.
“Apa maksudmu?”
“Kenapa aku harus memberitahu? Kenapa tak kau serang saja
mereka?”
Dengan seksama, pemuda dari kereta ketiga menatap dua lawan yang
tak berdaya itu dengan pandangan mata menyelidik.
“Hiaa!” mendadak dia memukul keduanya dengan pukulan jarak
jauh.
Tapi belum lagi pukulan itu mengenai, pemuda dari kereta
pertama menghalangi laju angin pukulan dan menangkisnya!
Blar!Keduanya tergontai, bahkan dua anggota biro pengiriman barang
yang masih tersisa itu ikut tergontai jatuh, akibat benturan dua
pukulan tadi.
“Apa kau gila?!” bentak pemuda dari kereta ketiga penuh nafsu
membunuh.
Si pemuda pertama menatap rekannya dengan dingin. “Setidaknya,
kalau kau ingin membunuh mereka, aku harus meninggalkan tempat ini
sejauh mungkin!” ujarnya.
“Apa maksudmu?”
“Mereka memancing kita menyerang karena itu yang diinginkan!”
“Benar!” sahut pemuda dari kereta kedua. ”Sebab
masing-masing dari mereka membawa barang yang sama sekali tidak
baik!"ujarnya dengan marah
"Tidak baik? apa itu?"
"Mungkin racun pelontar asap, mungkin peledak, yang jelas
bisa membuat kita semua mampus disini!”
“Ah!” semua orang terkejut, pandangan mereka sontak menatap
dua orang itu. Tapi keterkejutan makin menjadi tak kala mereka
menyadari bahwa posisi orang-orang yang sudah mereka bunuh, ternyata
‘mengurung’ ketiga kereta kuda itu. Jika ingin meninggalkan
tempat itu, mereka harus melewati tiga sosok mayat itu. Artinya, jika
'ledakan' terjadi, tak satu orangpun akan lolos.
“Ha-ha-ha… kalian ingin lolospun tak akan kubiarkan, kau pikir
nyawa rekan-rekan kami akan sia-sia?”
“Hutang nyawa balas nyawa!” sambung satunya.
Kini keadaan berbalik. Tiga pasang muda mudi dan tiga kusir
kereta, menatap cemas. Mereka sadar dua orang itu pasti berniat mati
bersama.
“Adik, kau pastikan tidak ada yang lolos…”
“Baik kakang!”
Segera di bergerak menyandar pada tebing dan orang satunya berdiri
menghadang ditengah jalan.
“Huh! Permainan semacam inipun harus ditakuti!” ujar si pemuda
dari kereta ketiga dengan sambong. “Kami cukup meloloskan diri
dengan melewati tiga mayat dibelakang itu!”
“Salah! Bukan tiga tapi, dua…” ujar suara dari belakang
mereka. Sontak beberapa orang menolah, ternyata korban terakhir yang
dipukul pemuda pertama itu belum lagi mati, meskipun kondisinya
payah, tapi dia masih sanggup berdiri, dan bersander pada dinding
tebing.
Kali ini pahamlah mereka, ternyata orang-orang yang mereka buru
bukanlah orang yang mudah dihadapi.
Sejak semua para anggota biro
pengiriman barang sadar tak bisa mengindari para pengejar, karena itu
taktik mati bersama memang jalan satu-satunya.
“Kurang ajar! Jadi ini yang mereka incar?! Supaya bisa mengambil
posisi mengepung seperti ini?!” gumam pemuda dari kereta pertama.
Pantas saja musuhnya tadi begitu mudah dihantam, ternyata orang
yang dihantam sampai mencelat melewati kereta kuda, justru memegang
peranan penting untuk menghadang mereka. Sungguh taktik sederhana
yang sangat beresiko.
“Seumur hidup aku belum pernah memuji musuh, tapi taktik kalian
ini membuatku sedikit kagum…”
“Terima kasih! Kami sadar, tuan-tuan sekalian tak akan sanggup
kami hadapi, dan tak mungkin pula tuan-tuan melepaskan kami. Jadi
jalan yang paling baik jika kita mati bersama!”
Suasana senyap, kini posisi dua belah pihak jadi sama kuat. Pihak
pengejar dengan sangat mudah bisa menghabisi buruannya, tapi mereka
tak mau menanggung resiko sebesar itu—dengan meledak bersama
buruannya. Dilain pihak, jika orang-orang dari biro pengiriman
berniat meledakkan diri saat ini juga, bisa dipastikan persoalan ini
selesai, karena mereka semua mati. Tapi kenapa mereka belum lagi
'meledakkan' diri?
Pertanyaan ini menggantung dibenak para pemburu yang kini
posisinya terjepit.
“Kenapa kalian belum lagi bertindak?” Tanya si kusir kereta
kedua.
“Kami menunggu!” potong orang dari biro pengiriman.
“Menunggu bala bantuan? Tak banyak gunanya!” dengus si kusir.
“Kau salah, kami menunggu orang lain… orang yang satu tujuan
dengan kalian. Jika semuanya sudah berkumpul disini, kalian bisa
menduga apa yang akan terjadi, yang jelas semua ini akan meringankan
pekerjaan ketua kami!”
“Ah…” si kusir terkejut.
Dari reaksinya, mereka tidak tahu kalau ada pihak lain yang
mengincar barang yang sama. Padahal menurut mereka, hanya ada tiga
pihak saja yang tahu tentang pengiriman ini, pertama; orang yang
menyerahkan barang, kedua; biro pengiriman, dan yang terakhir mereka
sendiri.
Dari telik sandi yang mereka sebar, diperoleh informasi adanya
sebuah barang berharga sedang dalam perjalanan. Perkumpulan mereka
memang mengkhususkan diri dalam pencurian benda-benda bermutu tinggi
dan sudah tentu tak ternilai harganya. Menurut info yang diterima,
ada sekelompok orang aneh memberikan ongkos begitu mahal hanya untuk
mengirim barang. Sudah tentu info tersebut membuat mereka penasaran,
tanpa tahu apa yang akan mereka hadapi nanti, tanpa pikir panjang
lagi, beberapa utusan Perkumpulan Pratyantara (Perkumpulan
ahli waris yang paling dekat, jadi bisa diartikan barang apapun yang
menarik, akan diambil; ini merupakan penghalusan dari kalimat
perampok) mereka kirim untuk merampas barang bawaan. Sungguh tak
terduga, orang yang mereka anggap ringan ternyata begitu sulit
dihadapi.
Ditinjau dari ilmu silat, mereka bukanlah lawan para utusan, cukup
sang kusir yang maju, semua beres. Tapi siapa yang mengira, kelima
orang itu begitu penuh trik dan perlindungan tak terduga.
Tak terasa hari menjelang senja, pengepungan sudah berjalan empat
kentungan. Ketegangan di kedua belah pihak makin menjadi tak kala
dikejauhan sana terdengar derap kaki kuda. Dari suaranya, paling
tidak lebih dari lima kuda yang datang.
Drap! Drap…!Suara itu makin dekat, makin dekat… dan akhirnya
sampai.
Karena arah kedatangannya berada dibelakang para utusan
Pratyantara, dengan sendirinya mereka berbalik arah dan mencermati
kedatangan sauara derap itu.
Sesaat kemudian dari tikungan tebing didepan sana, muncul
serombongan kuda, mata mereka terbelalak heran, karena semua
penunggang kuda terkulai dipunggung kuda dalam posisi melintang.
Seperti sudah dikendalikan saja, kuda-kuda itu berhenti tepat di
depan mereka. Dengus nafas kuda itu tak begitu berat, artinya
kuda-kuda itu belum menempuh jarak jauh.
Utusan Pratyantara, menahan nafas saat mengenali rombongan itu.
Wajah mereka berubah pias. Siapapun orang yang berkecimpung di dunia
persilatan pasti tahu lambang yang terkalung dileher kuda, apalagi
seragam yang dikenakan para penunggangnya yang saat ini sedang
terkulai entah masih hidup atau mati.
“Ke-kenapa bisa mereka?” bisik gadis pasangan pemuda dari
kereta pertama.
“Jangan tanya aku…” gumamnya dengan hati berdebar.
Karena beberapa lama ditunggu tak ada rekasi juga, para utusan
Pratyantara bertanya pada orang-orang biro pengiriman.
“Jadi ini yang kalian tunggu?” pemuda ia bertanya dengan wajah
berubah
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar