Jaka berjalan lambat seolah ingin menikmati setiap jengkal pemandangan, sudah tentu Jaka memiliki maksud tersendiri. Bila ada yang membuntuti, tentu dia merasa jenuh, dan meninggalkan Jaka saking kesalnya. Selain berjalan terlalu lambat, sesekali Jaka berhenti dan memandang sesuatu dengan seksama. Padahal hari sudah menjelang petang, apa sih yang bisa terlihat jelas? Dari telaga batu sampai ke penginapan, hanya berjarak 2 pal, tapi waktu yang dibutuhkan Jaka untuk menempuh perjalan pulang hampir 2 jam!
Dan memang, mereka yang
mengikutinya, jadi gemas. Sudah tentu, sebelum mereka ketiduran lantaran
terlalu lama menunggu Jaka bertingkah, diam-diam tiga orang penguntit itu
meninggalkan Jaka. Mereka pikir, jika sudah mengetahui dimana sasaran menginap,
apa yang harus dikawatirkan?
Tak terpikir oleh mereka,
justru Jaka memancing supaya mereka putus asa. Pemuda
ini ingin tahu untuk apa mereka mengikuti dia. Bahwa Jaka adalah seorang pendatang, mutlak mereka tak akan tahu identitas dirinya yang sebenarnya. Dengan demikian, Jaka bisa mengambil kesimpulan, bahwa kemungkinan mereka bersengket dengan Ki Lukita, atau dengan penghuni perahu naga.
ini ingin tahu untuk apa mereka mengikuti dia. Bahwa Jaka adalah seorang pendatang, mutlak mereka tak akan tahu identitas dirinya yang sebenarnya. Dengan demikian, Jaka bisa mengambil kesimpulan, bahwa kemungkinan mereka bersengket dengan Ki Lukita, atau dengan penghuni perahu naga.
Tak bisa menunggu lebih lama
lagi, para penguntit itu segera mengundurkan diri (secara diam-diam).
Ketidaksabaran kadang kala dapat menimbulkan kecerobohan, dan mereka juga tidak
luput—dengan bertindak sedikit ceroboh.
Hal ini diketahui Jaka. Tapi
pemuda ini tak langsung mengejar, secara seksama dia memeriksa tempat, begitu
yakin tiada yang menguntit lagi, pemuda ini menutupi wajahnya dengan secarik
kain, dan melepas bajunya. Sudah tentu tindakan Jaka untuk berjaga-jaga supaya
tak dikenali. Selesai dengan persiapannya, Jaka melesat cepat kearah para
penguntit tadi.
Arah selatan yang dituju
adalah tempat dimana Gua Batu berada. Jaka melesat diantara rerimbunan pohon,
pemuda ini melesat dengan menutul kakinya diantara batang pepohonan, hakikatnya
semenjak melewati rimbunan pohon, kaki pemuda ini tak menyentuh tanah. Dia
meloncat kesana kemari seperti bajing.
Mendadak Jaka melesat cepat
keatas, menyusup masuk kedalam rerimbunan daun. Rupanya Jaka mendapati ada
beberapa bayangan yang melesat bergabung dengan tiga penguntitnya.
Dengan bergerak dari rimbunan
daun diantara pepohonan, Jaka kembali menguntit. Pemuda ini tidak berani ambil
resiko dengan mengikuti terlalu dekat. Siapa tahu ada beberapa orang kembali
bergabung dengan orang yang dikuntit, bisa repot.
Komplek Gua Batu sudah
didepan mata. Mereka berhenti (termasuk Jaka). Seperti menunggu sesuatu, mereka
mengambil tempat istirahat masing-masing.
Dari kejauhan, satu sosok
tubuh keluar dari salah satu komplek Gua Batu. Jaka menyipitkan matanya untuk
mempertegas pandang. Sayangnya orang itu mengenakan kedok muka, dan baju yang
dipakainya pun serupa daster, menyembunyikan lekuk tubuh. Pemuda ini tak bisa
memastikan apakah dia lelaki atau wanita.
Terlihat olehnya orang itu
memberi isyarat dengan melambai. Dan para penguntit yang sudah bergabung dengan
rekan-rekannya, mengangguk. Mereka segera bergerak menuju mulut goa. Tapi
mereka bukannya masuk dalam satu gua, melainkan berpencar, tiap orang memasuki
gua yang lain!
Jaka melongo
melihatnya.Sambil menghela nafas getun, pemuda ini berpikir bahwa orang-orang
yang mungkin akan dihadapi, berada di bawah pimpinan hebat. Terbukti, mereka
bertindak waspada, dengan tidak menunjukkan petunjuk apapun—sekalipun Jaka bisa
mengikuti mereka.
Merasa tidak ada gunanya
terlalu lama ditempat itu, Jaka memutuskan kembali ke penginapan.
Tak berapa lama, sampailah
dia di penginapan. Tempat itu merupakan bangunan merangkap rumah makan. Untuk
penginapannya sendiri ada dua tingkat dengan kapastitas 40 kamar. Sedangkan
rumah makan, berada di halaman depan—lantai satu.
Saat memasuki halaman depan
penginapan, pemuda ini merasa heran. Sekalipun belum terlalu malam, tapi
restoran penginapan itu dipadati pengunjung.
Padahal siang tadi, dia
mendapati hanya empat orang saja. Suasana restoran sedikit bising, maklum saja
banyak orang mengobrol. Tapi Jaka bisa mengambil kesimpulan, jika pengunjung
restoran itu bukan penduduk kota ini. Sebab diantara meja satu dengan lainnya,
tidak ada tegur sapa.
Jaka mengebut pakaian,
membersihkan debu. Dengan langkah sedikit tergesa, dia masuk ke restoran, tapi
perasaannya jadi tak nyaman, sekalipun tidak terang-terangan, dia tahu ada
beberapa pengunjung mengamatinya. Mungkin mereka sedang saling menaksir, apakah
dia—Jaka—lawan atau kawan, apakah dia pihak yang bisa diajak kerja sama atu
tidak.
Tentu saja Jaka enggan
menduga hal-hal yang menurutnya tidak berguna. Meski sedikit riskan, pemuda ini
menganggap perhatian mereka bukan tertuju padanya.
"Hmk…" terdengar
orang mendengus dingin melihat sikapnya. Jaka tak menghiraukannya, dia hanya
menoleh sedikit, dan mengangguk, tapi ia tidak berhenti untuk berbasa-basi.
Langkahnya berlanjut menaiki tangga.
Sebelum masuk kamar, Jaka
melihat seorang pelayan. Kebetulan, pikirnya. Ia tidak jadi masuk kekamar, tapi
menunggu pelayan yang baru saja memenuhi pesan si pelanggan.
"Hei," pemuda ini
berseru memanggil.
"Ya, tuan?" sahut
pelayan itu sambil mendatangi.
"Bisa kau siapkan air
panas untuk cuci muka dan makanan paling baik?" pinta pemuda ini.
"Oh, tentu…"
sahutnya. "Apakah ada keperluan lain yang harus saya siapkan?" tanya
pelayan ini.
Pemuda ini berpikir
sejenak."Tidak, cukup itu saja.” Saat ia hendak masuk kamar, Jaka membalik
badannya dan bertanya lagi. “Sejak kapan restoran penuh?”
“Menjelang senja tadi, tidak
seperti biasanya tempat kami seramai ini.”
“Apa di kota ini ada perayaan
khusus?”
“Setahu saya tidak, tuan.”
Jaka mengangkat bahu,
gumamnya. “Kurasa para pengunjung itu bukan penduduk asli kota ini.”
"Benar, pandangan tuan
memang tajam. Bukannya saya ingin membanggakan diri, hampir semua penduduk kota
saya mengenal wajahnya.”
Jaka tersenyum mendengarnya.
“Aku melihat diantara mereka ada yang bersikap kasar. Kau tidak khawatir
melayani orang seperti itu?”
“Bagi saya tidak masalah,
kaum pengelana kebanyakan memang begitu, saya sudah terbiasa, tuan.”
“Bagus.” Ujar pemuda ini
tersenyum samar, dia memahami sesuatu. “Kulihat ada yang membawa senjata
segala. Apa tindakan pemilik tempat ini?”
“Sejauh ini belum ada. Tapi
saya rasa beliau tidak akan ikut campur masalah ini.”
“Ya sudah, sediakan saja
pesananku.”
“Baik tuan.”
Pelayan itu bergegas turun
kebawah. Sebelum Jaka masuk, dia melirik kamar sebelah—kamar yang sebelumnya
ditinggalkan si pelayan, ternyata pintu kamar kembali terbuka, sebenarnya tidak
tepat jika dibilang terbuka karena hanya menyisakan celah sedikit. Bagi orang
lain mungkin itu hal wajar, tapi tidak bagi Jaka. Pemuda ini menggeleng kepala
sambil masuk kekamarnya.
Kenapa hal seperti ini selalu
kutemui pada saat ingin santai? Pikirnya sembari menyeringai. Bagi yang tahu
jalan pikiran pemuda ini pasti heran. Bagaimana mungkin sebuah kejadian yang
tiada sangkut paut dengan dirinya, yang mungkin saja membuat nyawanya terancam,
dianggap sebuah kejadian menarik?
Tak berapa lama, si pelayan
sudah kembali keatas dengan membawa tatakan makanan. Perlahan dia mengetuk
pintu.
"Masuk…" seru suara
dari dalam.
Tanpa canggung, pelayan itu
segera mendorong pintu, ia melihat tamunya duduk membelakangi pintu. Sinar
lentera terlihat menyala terang, dia bisa menduga, pemuda itu sedang membaca.
"Ini pesanan tuan,"
kata pelayan itu dengan suara rendah.
Jaka tak menyahut, dia
berdiri menyingkir dari meja, pemuda itu menyilahkan pelayan itu untuk mengatur
makanan.
Dengan cekatan si pelayan
meletakan makanan dan sajian yang dipesan tadi. Rupanya dia baru sadar kalau di
meja sang tamu, tergeletak buku. Seperti tidak sengaja, dia meletakkan lauk
dekat buku, dalam sesaat dia bisa membaca sampul buku itu.
Jaka tersenyum melihat
tingkah pelayan itu, tadi pemuda ini tak mau buru-buru membongkar permainan
yang dia yakini cukup menarik.
“Saya segera kembali untuk
membawa air hangat pesanan tuan.”
Jaka mengangguk, sambil
mengambil bukunya. Pemuda ini berlagak seolah tidak menyadari tindak tanduk
canggung si pelayan, saat ia mengambil bukunya.
Pelayan itu segera keluar
untuk mengambil air hangat pesanan Jaka, sesaat kemudian dia sudah kembali, dia
meletakan tempayan air hangat disamping meja.
"Terima kasih,"
ucap Jaka sambil menyilahkan peyan itu keluar. Begitu keluar, Jaka segera
membanting pintu cukup kencang. Blam!
"Eh," karuan si
pelayan berjingkat kaget. Sungguh dia tak mengerti sikap sang tamu yang tadi
cukup ramah. Heran, kenapa itu bisa ada padanya? Aneh sekali, pikir sipelayan
sambil masuk kedapur rumah makan.
Di dalam kamarnya Jaka
tersenyum. Kena kau! Rasanya umpanku cukup enak! Pikirnya membayangkan si
pelayan turun tangga dengan wajah masam.
Jaka bukan pemuda yang suka
berbuat iseng, dia selalu melakukan sesuatu kalau ada tujuan dan tentu saja
dianggap penting olehnya. Kalau saja Jaka tidak menaruh curiga pada tingkah si
pelayan, tentu ia tak akan berbuat aneh.
Dia merasa janggal dengan
tingkah si pelayan, karena beberapa hal. Pertama; apa sih yang menarik
percakapan dirinya dengan si pelayan, sehingga orang dikamar sebelah menaruh
perhatian? Kelihatannya remeh, tapi bagi Jaka itu sebuah pertanda, adanya
hubungan antara si pelayan dengan sang tamu.
Kecurigaan yang kedua adalah;
saat makanan dihidangkan. Dimanapun adanya, sudah jamak bagi pelayan apabila
menghidangkan makanan, tentu yang diletakkan adalah nasi—bahan pokok—lebih dulu,
baru lauk pauk. Tapi dia tidak melakukan hal itu, si pelayan malah menampilkan
hal-hal yang riskan, yakni saat menata makanan dimeja—jika pelayan benaran,
tentu dia akan memperhatikan makanan dalam tatakan lebih dulu—tapi pelayan itu
malah menyelidik buku Jaka yang berada di ujung meja.
Dari pertimbangan tadi, Jaka
bisa memastikan si pelayan adalah samaran tokoh dari golongan tertentu. Mungkin
saja dia mempunyai kepentingan di kota Pagaruyung ini, atau mungkin dia
penduduk asli yang dipekerjakan sebagai mata-mata.
Tentu saja dengan kejadian di
Telaga Batu, Jaka dapat menduga-duga, mungkin saja si pelayan adalah antek
Bergola, atau mata-mata dari Perguruan Naga Batu.
Dia pikir, jika si pelayan ada hubungan dengan Bergola atau Perguruan Naga Batu, tentu tidak akan berani bertindak macam-macam. Tapi bila bukan, pemuda ini yakin, saat dirinya lengah—pada saat tak berada di kamar—akan datang tamu tak diundang. Jaka tersenyum, menyenangkan, pikirnya gembira.
Dia pikir, jika si pelayan ada hubungan dengan Bergola atau Perguruan Naga Batu, tentu tidak akan berani bertindak macam-macam. Tapi bila bukan, pemuda ini yakin, saat dirinya lengah—pada saat tak berada di kamar—akan datang tamu tak diundang. Jaka tersenyum, menyenangkan, pikirnya gembira.
Lepas dari persoalan tadi,
Jaka merasa ada sedikit ganjalan. “Aneh,” gumamnya sambil mengunyah perlahan.
Mendadak wajah Jaka cerah, Ah, apanya yang aneh? Kurasa memang demikian adanya.
Pemuda ini memahami satu hal.
Dia berpikir, hal-hal yang
mencurigakan itu tidak berhubungan dengan Bergola. Karena sebelum menjalin
kontak dengan Ki Lukita, Jaka berurusan dengan... pelayan rumah makan. Jadi
keduanya sama-sama pelayan! Bukankah begitu? Siapa yang merekomondasikan Jaka
harus menginap di penginapan ini? Karena menduga seperti itu, Jaka paham
beberapa hal lain. Mungkin saja mereka—kedua pelayan itu—punya hubungan, yang
jelas bukan hubungan saudara.
Pemuda ini menghela nafas
panjang. Sayang, aku tidak bisa menunggu si pelayan, beraksi. Jauh sebelum
kentungan pertama, aku harus segera menemui Ki Lukita. Kurasa kejadian di
telaga, harus diketahui beliau. Boleh jadi identitasnya sudah diketahui lawan.
Andai saja aku sedikit paham seluk beluk konflik disini... mungkin bisa kuberi
sedikit celah, sayang Perguruan Enam Pedang cukup kritis untuk dilewatkan,
pikirnya.
Jaka mengingat-ingat tingkah
Bergola saat menemui Ki Lukita. Kurasa dia menginginkan sesuatu, yang jelas
apapun itu berada pada Ki Lukita. Pikir pemuda ini.
Jaka menguap, matanya terasa
pedih. Sudah beberapa hari ini dia tak beristirahat secara layak. Badan pegal-pegal,
alangkah enaknya jika saat ini dirinya berendam air hangat. Tapi mengingat ada
beberapa pekerjaan yang harus dilakukannya, dia mengurungkan niat
bermalas-malasan.
Sambil menguap lagi, Jaka
berpikir sesaat, bibirnya menyunggingkan senyum aneh. Jika ada yang mengerti
baik sifat pemuda ini, saat tersenyum seperti itu, pasti akan ada ‘korban’.
Mendadak, pemuda ini tertawa keras, terbahak...
"Berhasil!" serunya
nyaring sembari terbahak lagi. Tentunya suara nyaring seperti itu dimalam hari
sangat menarik perhatian orang, dan justru keadaan inilah yang dikehendaki
Jaka. Biarpun di lantai dasar banyak tamu, toh suara Jaka terdengar juga oleh
mereka.
Tentu saja orang tidak tahu
maksud Jaka, mereka yang tak tahu, hanya mengira penghuni kamar sedang
ngelindur. Tapi bagi pelayan dan orang yang sehaluan dengannya, mungkin saja
paham dengan ‘igauan’ Jaka. Tapi apakah maksud Jaka seperti yang mereka kira?
Tentu mereka mengira Jaka
berhasil menguasai keahlian dalam kitab yang dilihat si pelayan. Kitab? Kitab
apa?
Tentu saja sebuah kitab
pusaka. Apakah Jaka membawa kitab pusaka dan diletakan demikian ceroboh? Tentu
saja tidak! Lagi pula, buku itu bukan kitab pusaka... Salah satu hobi pemuda
ini adalah menulis indah. Perihal kesusastraan, boleh dibilang dia jagonya. Dan
tulisan cina periode kekaisaran Han adalah kegemarannya. Sekedar iseng, Jaka
menuliskan tulisan indah pada kitab sasatranya dengan goresan bermakna, Tujuh
Rembulan Penakluk Mentari, tentu saja disertai aksara yang mengartikan
tulisan itu.
Dan perbuatan Jaka dengan
meletakan bukunya, adalah untuk memancing reaksi si pelayan. Jika dia kalangan
persilatan kelas atas, tentu akan mengerti betapa berharga kitabnya. Bagi orang
awam tentu tidak tahu menahu perihal kitab itu. Tapi bagi kalangan tertentu
persilatan, kitab itu adalah kitab mustika yang sama harganya—bahkan
lebih—dengan sembilan mustika ilmu silat yang terdapat dalam dunia persilatan
ini.
Meski Jaka enggan mencari
tahu berita ‘hangat’ dikalangan persilatan, seperti peta harta karun, atau
kabar burung adanya kitab sakti, dan semacamnya, bukan berarti Jaka tidak tahu.
Dia memiliki banyak sahabat, dan dari merekalah dia banyak mendengar informasi
akurat, atau sekedar isyu yang beredar di dunia persilatan.
Diantara cerita yang dia
terima, adanya Kitab pusaka Tujuh Rembulan Penakluk Mentari, merupakan salah
sataunya. Pemuda ini cukup berkesan dengan cerita itu, karenanya iseng-iseng,
dia menuliskan sebuah kaligrafi cina kuno pada bukunya.
Tertarik dengan cerita itu,
Jaka jadi ingin tahu seluk beluk—asal usul, kenapa kitab itu jadi rebutan. Tak
tahunya, dalam buku catatan Ki Lukita juga menulis adanya kitab itu. Sungguh
kebetulan.
Menurut tulisan Ki Lukita,
Kitab Tujuh Rembulan Penakluk Mentari merupakan salah satu 12 kitab populer
yang menjadi rebutan kaum persilatan, selama 5 generasi terakhir. Dalam catatan
Ki Lukita pada tiga lembar terakhir, dijelaskan asal muasal beberapa kitab yang
dijadikan rebutan, termasuk kitab favorit Jaka.
Ki Lukita menuliskan bahwa,
kitab itu muncul sekitar 16 dasa warsa silam, dibawa oleh seorang pendeta dari
Tiong-goan. Menurut kabar, pendeta itu merupakan ketua angkatan ke-15 dari
Siau-lim-si. Pendeta itu datang ke Jawa Dwipa karena ingin menyelamatkan
dirinya yang menjadi incaran pada tokoh Kang-ouw di Tiong-goan.
Jika dia bukan seorang yang
welas asih, bisa saja dia mengandalkan murid-murid siau-lim-si untuk menjaga
keselamatan kitab pusaka itu. Biarpun biara Siau-lim-si dikenal sebagai
Kubangan Naga Sarang Harimau, sang pendeta tidak mau mengorbankan murid-murid
Siau-lim-si sia-sia. Sebab bagaimana mungkin anak murid Siau-lim-si menahan
ribuan tokoh kang-ouw yang memiki kelihayan sempurna? Sebab itulah ia lebih
rela dirinya yang menanggung semua akibat. Tanpa banyak pertimbangan, sang
pendeta segera berlayar menuju Jawa Dwipa.
Dalam catatan Ki Lukita
disebutkan, setiba di Jawa Dwipa sang pendeta merasa aman dan memutuskan untuk
menetap sampai akhir hayatnya. Tapi siapa tahu, anggapannya ternyata keliru,
orang-orang Kang-ouw Tiong-goan meluruk sampai Jawa Dwipa. Tentu saja masuknya
tokoh-tokoh negeri Tiong-goan membuat para tokoh Jawa Dwipa marah. Karena
kebanyakan dari mereka yang mengejar adalah golongan hitam yang bertindak
semaunya.
Para tokoh petinggi berunding
dan memutuskan untuk mengusir pendatang dengan jalan kekerasan. Akhirnya
terjadi bentrok antara dua golongan yang sebelumnya tidak pernah bertemu.
Seharusnya saat itu tokoh
Jawa Dwipa dengan mudah dapat mengusir pada pendatang, tapi setelah mengetahui
masalahnya, mereka malah berbalik membantu tokoh Tiong-goan untuk mencari Wi-Tiong-Hwesio,
sang pendeta. Sungguh kasihan, di negeri sendiri diburu, dinegeri rantaupun
nasibnya tak jauh beda.
Tapi Tuhan memang menetukan
lain, disaat kritis, muncul penolong yang dirasa tindak tanduknya cukup
misterius. Orang itu berjubah putih dengan seluruh wajahnya tertutup kain
putih, matanya juga tidak terkecuali. Sekilas pandang orang menyangka manusia
itu adalah hantu. Saat itu banyak tokoh persilatan dua negeri sedang mengepung
Wi Tiong Hwesio, tapi dasarnya pendeta itu orang yang asih, sekalipun orang
berniat membunuh, ia sama sekali tidak membunuh, bahkan pendeta itu hanya
merobohkan lawannya dengan totokan ringan saja.
Karena tindakannya ini, sang
pendeta jadi rugi sendiri. Tapi betapapun dia adalah orang yang selalu memegang
teguh prinsip, bahwa nyawa adalah ciptaan Tuhan! Mana boleh manusia
merenggutnya dengan paksa? Karena prinsip itulah, sang pendeta hampir mati
mengenaskan, untunglah penolong misterius muncul, dialah manusia berkerudung
putih yang belakangan hari dijuluki Hantu Bisu. Akhirnya sang pendeta
selamat dan dibawa entah kemana. Tentu saja kitab yang menjadi rebutan itu-pun
raib bersama raibnya sang pendeta.
Konyolnya, begitu buruan
mereka lenyap, kedua golongan(tokoh Jawa Dwipa dan Tong-goan)kembali bertarung.
Dan akhirnya para pendatang itu bisa dienyahkan dari Jawa Dwipa.
Rupanya kejadian itu tidak
berakhir begitu saja, selang dua tahun kemudian, muncul kembali seorang tokoh
misterius. Orang itu bertindak seperti setan, tak teraba, tak diketahui kapan
dan dimana dia akan muncul. Dengan kemunculannya itu, banyak tokoh persilatan
yang mendadak lumpuh, ada juga yang ilmu silatnya punah.
Selidik punya selidik,
akhirnya semua orang dapat menduga bahwa lelaki itu tak lain adalah Hantu Bisu.
Orang itu bertindak demikian karena ingin membuat para tokoh yang dulu pernah
mengeroyok Wi Tiong Hwesio kapok dan tidak akan mengulang perbuatan serupa.
Para tokoh gempar, mereka
gentar jika membayangkan kedatangan Hantu Bisu… selain rasa kawatir,
keherananpun menyelimuti mereka. Pada saat menolong sang pendeta, banyak
diantara tokoh yang lumpuh sesaat karena menghirup racun yang ditebarkan Hantu
Bisu. Mereka sadar, senjata andalannya hanya racun. Ilmunya tak seberapa, hawa
murninya juga hanya bisa digolongkan pada tingkat menengah.
Tapi kemunculan berikutnya,
membuat hati siapa saja bergidik. Ketangguhan ilmu Hantu Bisu bisa disejajarkan
dengan Si Pedang Maut—tokoh pembunuh bayaran yang begitu ditakuti.
Konon, jika ada orang yang sudah diincarnya, sedetikpun tak akan ada waktu
baginya untuk kabur.
Jika Hantu Bisu disejajarkan
dengan Pedang Maut, artinya kelihayannya tidak perlu disangsikan lagi.
Untungnya tindak-tanduk Hantu Bisu tidak sebuas Pedang Maut.
Julukannya sebagai Hantu Bisu
bukan berarti dia benar-benar bisu, lantaran jarang bicara, maka dia selalu
menggunakan tulisan sebagai tantangan. Tulisannya berbunyi;
Sebagai balasan ketololan
kalian mengeroyok Insu—guruku yang berbudi,kalian harus menerima akibatnya! Aku
menuntut keadilan dari kalian tokoh yang disebut sebagai pengayom. Sayang sekali
insu tidak memperbolehkan aku membunuh lawan… Sambut kedatanganku!
Ternyata Hantu Bisu menjadi
murid sang pendeta. Tapi kenapa kehebatan Hantu Bisu bisa begitu mengejutkan,
bahkan lebih hebat dari sang pendeta? Beberapa tokoh berpikir, mungkin karena
sang pendeta merasa sangat berterima kasih, selain mengangkat Hantu Bisu
sebagai murid, ilmu pada kitab yang penah mereka perebutkan, pastilah sudah
dikuasai Hantu Bisu.
Tantangan Hantu Bisu memang
luar biasa, dalam waktu tiga bulan, tokoh yang pernah mengeroyok gurunya
dibuatnya bertekuk lutut dan mengakui kesalahan mereka sendiri, padahal mereka
sangat tangguh. Setelah semua orang habis dijatuhi hukuman, Hantu Bisu pergi ke
Tiong-goan, disana dia juga melakukan perbuatan serupa.
Setahun kemudian Hantu Bisu
pulang, tapi dia mendapati gurunya sudah meninggal, hatinya sangat sedih. Tapi
begitu mengetahui gurunya meninggal bukan lantaran sakit tapi karena dibunuh
secara licik, mulai saat itu Hantu Bisu kembali menggembara untuk mencari si
pembunuh.
Sampai kisah ini kutulis,
apakah Hantu Bisu menemukan pembunuhnya atau belum, aku tak tahu. Yang jelas
semenjak kemunculan Hantu Bisu kembali, banyak tokoh berencana keji
terhadapnya, mereka begitu kemaruk ingin menguasai kitab dari Tiong-goan. Sejak
saat itu bagaimana nasib Hantu Bisu, tiada seorangpun yang tahu...
Pengetahuan Jaka mengenai
seluk beluk kitab itu tidak sedetail apa yang diketahui Ki Lukita. Karenanya
dia merasa girang bisa mengetahui lebih detail. Meski demikian, Jaka merasa
heran, dari mana Ki Lukita bisa menghimpun cerita lengkap seperti ini?
Mengingat waktu yang terentang ada 1½ abad? Mungkin perlu kutanyakan nanti.
Pikirnya.
Pemuda ini menatap sampul
bukunya sambil tersenyum, dia yakin si pelayan percaya seratus persen dengan
‘keaslian’ kitabnya. Maklum saja selain buku Jaka sudah kumal, juga terlihat
tua dan usang—cukup menyakinkan dugaan siapapun yang melihatnya. Apalagi pada
sampulnya tertulis huruf tiong-toh!
Jaka melihat, saat si pelayan
melirik bukunya, dia sulit mengendalikan perasaan. Dari situ pulalah kecurigaan
Jaka terbukti, bahwa dia bukan pelayan tulen.
Pemuda ini tertawa geli,
seandainya aku yang menjadi kau, pikirannya melayang pada si pelayan. Aku akan
waspada, memangnya ada kitab usang bisa melekat tinta baru? Pemuda ini
menggeleng kepala.
Jaka memang tak sempat
menaburkan debu diatas sampulnya. Dia hanya bertindak untung-untungan, siapa
tahu pelayan itu bertindak ceroboh. Klop-lah rencananya. Pasti mereka akan
bertindak malam ini, nampaknya aku harus memuluskan rencana mereka, pikir
pemuda ini.
Dari tempat pakaian, Jaka
mengeluarkan sebuah kotak, ternyata kotak itu berisi berbagai jenis bubuk
halus, dia menggelengkan kepala sambil tertawa geli.
"Siapa sangka bumbu
masak bisa berguna pada saat-saat begini?”
Jaka mengusap bubuk itu diseluruh
permukaan bukunya. Sebenarnya dia merasa sayang dengan buku—juga merasa sayang
atas bumbunya. Tentu saja Jaka tidak akan mengorbankan buku yang dia anggap
berharga. Bagaimanapun juga buku itu telah menemani perjalanannya selama ini.
Di saat-saat rawan seperti
ini, rasanya kurang bijak berbuat begini. Tapi, kalau mereka tak memperoleh pil
pahit dariku, kapan mereka bisa menghargai keinginan orang? pikir pemuda ini
membela diri. Jaka sendiri merasa alasannya terlalu dipaksakan, tapi dia
berdalih—atas dirinya—tidak ada salahnya, membuat jera orang yang punya potensi
berbuat jahat.
Semula dia berniat
mengorbankan bukunya, tapi Jaka berubah pikiran. Karena ingin mengetahui siapa
yang menyusupkan mata-mata di penginapan murah ini, Jaka meninggalkan sampul buku
dengan harapan, bisa menarik perhatian dan menjebak mereka. Untuk menghilangkan
kecurigaan, agar bukunya terlihat berisi, Jaka mematahkan papan alas
dipannya—tempat tidur—seukuran kertas buku, dan diselipkan kedalamnya.
"Sempurna…" Lalu
pemuda ini menuliskan sesuatu pada beberapa lembar kertas dan menyelipkannya di
dalamnya. Jaka mencari tepat untuk menyembunyikan bukunya. Pemuda ini juga
menaruh beberapa benda yang dirasa ‘cukup membuat curiga’ di tempat-tempat yang
mungkin akan di selidiki.
"Nah, kini
saatnya…" Jaka berencana berangkat setelah dia makan, dan cuci muka. Jaka
juga bersalin pakaian dengan warna gelap. Tak lupa pula menuliskan analisanya
pada beberapa lembar kertas. Analisa yang membuat para penyatron serba salah.
Pemuda ini menarik tali didalam
kamarnya, tali itu dihubungkan dengan lonceng ruang petugas, jika tali ditarik
artinya penginap memerlukan sesuatu. Tentu saja tiap kamar memliki lonceng
berbeda, dengan demikian bisa ditentukan kamar mana yang meminta sesuatu.
Tak berapa lama kemudian,
pintu kamar Jaka diketuk.
"Ya?" seru Jaka
dari dalam.
"Pelayan, tuan…"
jawab suara dari luar.
"Masuk,"
Pelayan yang masuk adalah
orang yang tadi menyiapkan makanan. "Ada yang bisa saya Bantu, tuan?"
tanyanya.
"Tolong bawa ini semua.”
Tunjuk Jaka pada piring-piring kotor.
Si pelayan segera bergegas
membereskan daharan tamunya. "Ada perlu lagi tuan?”
“Tidak.” Sahut Jaka agak
ketus.
“Apa air cuci muka perlu saya
ganti tuan?”
“Tak perlu. Kalau kau mau
mengambilnya, silahkan!" sahut pemuda ini agak dingin. Memang seharusnya
Jaka menampilkan sikap begitu agar pelayan itu mengira bahwa kedatangan dirinya
hanya sebantas untuk membereskan saja.
"Baik tuan," lalu
dengan cekatan pelayan itu mengambil tempat cuci muka juga. Sekejap, matanya
melirik meja, dia tidak menemukan buku yang tadi dilihatnya.
"Hanya ini saja tuan?
" tanyanya.
Jaka tidak menjawab, ia hanya
mendengus. "Kalau sudah selesai, lekas keluar. Jangan banyak omong."
Perintah pemuda ini.
"Baik tuan. Maaf saya
mengganggu," sahutnya dengan tertunduk. Sikap Jaka benar-benar diluar
dugaan, sebenarnya begitu masuk kekamar si pelayan sudah menyiapkan rencana
untuk mencari keterangan siapa pemuda itu. Tapi sikap dingin pemuda itu
membuatnya kecut.
"Berbeda dengan
tadi…" pikirnya sambil keluar, dia membandingkan sikap Jaka dengan awal
percakapan mereka.
Setelah pintu tertutup, Jaka
tersenyum. "Kurasa kau tahu apa yang harus di lakukan." Pikirnya.
Waktunya pergi, pikirnya.
Jaka membuka jendela kamar, mengamati situasi sejenak, lalu keluar lewat
jendela. Setelah menutup kembali, dengan gerakan cepat, pemuda ini melompat dan
melesat entah kemana. Sekejap saja bayangannya sudah lenyap ditelan kegelapan
malam.
Bebeberapa saat kemudian, di
satu sudut kegelapan lainnya, muncul tiga orang berpakaian hitam, mereka menggunakan
kedok muka.
"Dia sudah pergi?"
tanya seseorang pada rekan disebelahnya.
"Sudah, sebelumnya
jendela kamar itu kuberi tanda dengan tali dan lonceng. Dan lonceng sudah
berbunyi, berarti dia sudah keluar. Lagi pula kita juga melihat sekelabatan
bayangannya, berarti dia sudah pergi."
"Sebaiknya kita menunggu
sebentar, mungkin dia belum jauh dari sini." Kata orang kedua.
“Benar.”
“Untung
kau tidak bertindak bodoh didepannya.” Kata orang ketiga yang dari tadi diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar