Jumat, 13 September 2013

016 - Kejutan Untuk Penyatron


Jaka berjalan lambat seolah ingin menikmati setiap jengkal pemandangan, sudah tentu Jaka memiliki maksud tersendiri. Bila ada yang membuntuti, tentu dia merasa jenuh, dan meninggalkan Jaka saking kesalnya. Selain berjalan terlalu lambat, sesekali Jaka berhenti dan memandang sesuatu dengan seksama. Padahal hari sudah menjelang petang, apa sih yang bisa terlihat jelas? Dari telaga batu sampai ke penginapan, hanya berjarak 2 pal, tapi waktu yang dibutuhkan Jaka untuk menempuh perjalan pulang hampir 2 jam!
Dan memang, mereka yang mengikutinya, jadi gemas. Sudah tentu, sebelum mereka ketiduran lantaran terlalu lama menunggu Jaka bertingkah, diam-diam tiga orang penguntit itu meninggalkan Jaka. Mereka pikir, jika sudah mengetahui dimana sasaran menginap, apa yang harus dikawatirkan?
Tak terpikir oleh mereka, justru Jaka memancing supaya mereka putus asa. Pemuda
ini ingin tahu untuk apa mereka mengikuti dia. Bahwa Jaka adalah seorang pendatang, mutlak mereka tak akan tahu identitas dirinya yang sebenarnya. Dengan demikian, Jaka bisa mengambil kesimpulan, bahwa kemungkinan mereka bersengket dengan Ki Lukita, atau dengan penghuni perahu naga.

Tak bisa menunggu lebih lama lagi, para penguntit itu segera mengundurkan diri (secara diam-diam). Ketidaksabaran kadang kala dapat menimbulkan kecerobohan, dan mereka juga tidak luput—dengan bertindak sedikit ceroboh.
Hal ini diketahui Jaka. Tapi pemuda ini tak langsung mengejar, secara seksama dia memeriksa tempat, begitu yakin tiada yang menguntit lagi, pemuda ini menutupi wajahnya dengan secarik kain, dan melepas bajunya. Sudah tentu tindakan Jaka untuk berjaga-jaga supaya tak dikenali. Selesai dengan persiapannya, Jaka melesat cepat kearah para penguntit tadi.
Arah selatan yang dituju adalah tempat dimana Gua Batu berada. Jaka melesat diantara rerimbunan pohon, pemuda ini melesat dengan menutul kakinya diantara batang pepohonan, hakikatnya semenjak melewati rimbunan pohon, kaki pemuda ini tak menyentuh tanah. Dia meloncat kesana kemari seperti bajing.
Mendadak Jaka melesat cepat keatas, menyusup masuk kedalam rerimbunan daun. Rupanya Jaka mendapati ada beberapa bayangan yang melesat bergabung dengan tiga penguntitnya.
Dengan bergerak dari rimbunan daun diantara pepohonan, Jaka kembali menguntit. Pemuda ini tidak berani ambil resiko dengan mengikuti terlalu dekat. Siapa tahu ada beberapa orang kembali bergabung dengan orang yang dikuntit, bisa repot.
Komplek Gua Batu sudah didepan mata. Mereka berhenti (termasuk Jaka). Seperti menunggu sesuatu, mereka mengambil tempat istirahat masing-masing.
Dari kejauhan, satu sosok tubuh keluar dari salah satu komplek Gua Batu. Jaka menyipitkan matanya untuk mempertegas pandang. Sayangnya orang itu mengenakan kedok muka, dan baju yang dipakainya pun serupa daster, menyembunyikan lekuk tubuh. Pemuda ini tak bisa memastikan apakah dia lelaki atau wanita.
Terlihat olehnya orang itu memberi isyarat dengan melambai. Dan para penguntit yang sudah bergabung dengan rekan-rekannya, mengangguk. Mereka segera bergerak menuju mulut goa. Tapi mereka bukannya masuk dalam satu gua, melainkan berpencar, tiap orang memasuki gua yang lain!
Jaka melongo melihatnya.Sambil menghela nafas getun, pemuda ini berpikir bahwa orang-orang yang mungkin akan dihadapi, berada di bawah pimpinan hebat. Terbukti, mereka bertindak waspada, dengan tidak menunjukkan petunjuk apapun—sekalipun Jaka bisa mengikuti mereka.
Merasa tidak ada gunanya terlalu lama ditempat itu, Jaka memutuskan kembali ke penginapan.
Tak berapa lama, sampailah dia di penginapan. Tempat itu merupakan bangunan merangkap rumah makan. Untuk penginapannya sendiri ada dua tingkat dengan kapastitas 40 kamar. Sedangkan rumah makan, berada di halaman depan—lantai satu.
Saat memasuki halaman depan penginapan, pemuda ini merasa heran. Sekalipun belum terlalu malam, tapi restoran penginapan itu dipadati pengunjung.
Padahal siang tadi, dia mendapati hanya empat orang saja. Suasana restoran sedikit bising, maklum saja banyak orang mengobrol. Tapi Jaka bisa mengambil kesimpulan, jika pengunjung restoran itu bukan penduduk kota ini. Sebab diantara meja satu dengan lainnya, tidak ada tegur sapa.
Jaka mengebut pakaian, membersihkan debu. Dengan langkah sedikit tergesa, dia masuk ke restoran, tapi perasaannya jadi tak nyaman, sekalipun tidak terang-terangan, dia tahu ada beberapa pengunjung mengamatinya. Mungkin mereka sedang saling menaksir, apakah dia—Jaka—lawan atau kawan, apakah dia pihak yang bisa diajak kerja sama atu tidak.
Tentu saja Jaka enggan menduga hal-hal yang menurutnya tidak berguna. Meski sedikit riskan, pemuda ini menganggap perhatian mereka bukan tertuju padanya.
"Hmk…" terdengar orang mendengus dingin melihat sikapnya. Jaka tak menghiraukannya, dia hanya menoleh sedikit, dan mengangguk, tapi ia tidak berhenti untuk berbasa-basi. Langkahnya berlanjut menaiki tangga.
Sebelum masuk kamar, Jaka melihat seorang pelayan. Kebetulan, pikirnya. Ia tidak jadi masuk kekamar, tapi menunggu pelayan yang baru saja memenuhi pesan si pelanggan.
"Hei," pemuda ini berseru memanggil.
"Ya, tuan?" sahut pelayan itu sambil mendatangi.
"Bisa kau siapkan air panas untuk cuci muka dan makanan paling baik?" pinta pemuda ini.
"Oh, tentu…" sahutnya. "Apakah ada keperluan lain yang harus saya siapkan?" tanya pelayan ini.
Pemuda ini berpikir sejenak."Tidak, cukup itu saja.” Saat ia hendak masuk kamar, Jaka membalik badannya dan bertanya lagi. “Sejak kapan restoran penuh?”
“Menjelang senja tadi, tidak seperti biasanya tempat kami seramai ini.”
“Apa di kota ini ada perayaan khusus?”
“Setahu saya tidak, tuan.”
Jaka mengangkat bahu, gumamnya. “Kurasa para pengunjung itu bukan penduduk asli kota ini.”
"Benar, pandangan tuan memang tajam. Bukannya saya ingin membanggakan diri, hampir semua penduduk kota saya mengenal wajahnya.”
Jaka tersenyum mendengarnya. “Aku melihat diantara mereka ada yang bersikap kasar. Kau tidak khawatir melayani orang seperti itu?”
“Bagi saya tidak masalah, kaum pengelana kebanyakan memang begitu, saya sudah terbiasa, tuan.”
“Bagus.” Ujar pemuda ini tersenyum samar, dia memahami sesuatu. “Kulihat ada yang membawa senjata segala. Apa tindakan pemilik tempat ini?”
“Sejauh ini belum ada. Tapi saya rasa beliau tidak akan ikut campur masalah ini.”
“Ya sudah, sediakan saja pesananku.”
“Baik tuan.”
Pelayan itu bergegas turun kebawah. Sebelum Jaka masuk, dia melirik kamar sebelah—kamar yang sebelumnya ditinggalkan si pelayan, ternyata pintu kamar kembali terbuka, sebenarnya tidak tepat jika dibilang terbuka karena hanya menyisakan celah sedikit. Bagi orang lain mungkin itu hal wajar, tapi tidak bagi Jaka. Pemuda ini menggeleng kepala sambil masuk kekamarnya.
Kenapa hal seperti ini selalu kutemui pada saat ingin santai? Pikirnya sembari menyeringai. Bagi yang tahu jalan pikiran pemuda ini pasti heran. Bagaimana mungkin sebuah kejadian yang tiada sangkut paut dengan dirinya, yang mungkin saja membuat nyawanya terancam, dianggap sebuah kejadian menarik?
Tak berapa lama, si pelayan sudah kembali keatas dengan membawa tatakan makanan. Perlahan dia mengetuk pintu.
"Masuk…" seru suara dari dalam.
Tanpa canggung, pelayan itu segera mendorong pintu, ia melihat tamunya duduk membelakangi pintu. Sinar lentera terlihat menyala terang, dia bisa menduga, pemuda itu sedang membaca.
"Ini pesanan tuan," kata pelayan itu dengan suara rendah.
Jaka tak menyahut, dia berdiri menyingkir dari meja, pemuda itu menyilahkan pelayan itu untuk mengatur makanan.
Dengan cekatan si pelayan meletakan makanan dan sajian yang dipesan tadi. Rupanya dia baru sadar kalau di meja sang tamu, tergeletak buku. Seperti tidak sengaja, dia meletakkan lauk dekat buku, dalam sesaat dia bisa membaca sampul buku itu.
Jaka tersenyum melihat tingkah pelayan itu, tadi pemuda ini tak mau buru-buru membongkar permainan yang dia yakini cukup menarik.
“Saya segera kembali untuk membawa air hangat pesanan tuan.”
Jaka mengangguk, sambil mengambil bukunya. Pemuda ini berlagak seolah tidak menyadari tindak tanduk canggung si pelayan, saat ia mengambil bukunya.
Pelayan itu segera keluar untuk mengambil air hangat pesanan Jaka, sesaat kemudian dia sudah kembali, dia meletakan tempayan air hangat disamping meja.
"Terima kasih," ucap Jaka sambil menyilahkan peyan itu keluar. Begitu keluar, Jaka segera membanting pintu cukup kencang. Blam!
"Eh," karuan si pelayan berjingkat kaget. Sungguh dia tak mengerti sikap sang tamu yang tadi cukup ramah. Heran, kenapa itu bisa ada padanya? Aneh sekali, pikir sipelayan sambil masuk kedapur rumah makan.
Di dalam kamarnya Jaka tersenyum. Kena kau! Rasanya umpanku cukup enak! Pikirnya membayangkan si pelayan turun tangga dengan wajah masam.
Jaka bukan pemuda yang suka berbuat iseng, dia selalu melakukan sesuatu kalau ada tujuan dan tentu saja dianggap penting olehnya. Kalau saja Jaka tidak menaruh curiga pada tingkah si pelayan, tentu ia tak akan berbuat aneh.
Dia merasa janggal dengan tingkah si pelayan, karena beberapa hal. Pertama; apa sih yang menarik percakapan dirinya dengan si pelayan, sehingga orang dikamar sebelah menaruh perhatian? Kelihatannya remeh, tapi bagi Jaka itu sebuah pertanda, adanya hubungan antara si pelayan dengan sang tamu.
Kecurigaan yang kedua adalah; saat makanan dihidangkan. Dimanapun adanya, sudah jamak bagi pelayan apabila menghidangkan makanan, tentu yang diletakkan adalah nasi—bahan pokok—lebih dulu, baru lauk pauk. Tapi dia tidak melakukan hal itu, si pelayan malah menampilkan hal-hal yang riskan, yakni saat menata makanan dimeja—jika pelayan benaran, tentu dia akan memperhatikan makanan dalam tatakan lebih dulu—tapi pelayan itu malah menyelidik buku Jaka yang berada di ujung meja.
Dari pertimbangan tadi, Jaka bisa memastikan si pelayan adalah samaran tokoh dari golongan tertentu. Mungkin saja dia mempunyai kepentingan di kota Pagaruyung ini, atau mungkin dia penduduk asli yang dipekerjakan sebagai mata-mata.
Tentu saja dengan kejadian di Telaga Batu, Jaka dapat menduga-duga, mungkin saja si pelayan adalah antek Bergola, atau mata-mata dari Perguruan Naga Batu.
Dia pikir, jika si pelayan ada hubungan dengan Bergola atau Perguruan Naga Batu, tentu tidak akan berani bertindak macam-macam. Tapi bila bukan, pemuda ini yakin, saat dirinya lengah—pada saat tak berada di kamar—akan datang tamu tak diundang. Jaka tersenyum, menyenangkan, pikirnya gembira.
Lepas dari persoalan tadi, Jaka merasa ada sedikit ganjalan. “Aneh,” gumamnya sambil mengunyah perlahan. Mendadak wajah Jaka cerah, Ah, apanya yang aneh? Kurasa memang demikian adanya. Pemuda ini memahami satu hal.
Dia berpikir, hal-hal yang mencurigakan itu tidak berhubungan dengan Bergola. Karena sebelum menjalin kontak dengan Ki Lukita, Jaka berurusan dengan... pelayan rumah makan. Jadi keduanya sama-sama pelayan! Bukankah begitu? Siapa yang merekomondasikan Jaka harus menginap di penginapan ini? Karena menduga seperti itu, Jaka paham beberapa hal lain. Mungkin saja mereka—kedua pelayan itu—punya hubungan, yang jelas bukan hubungan saudara.
Pemuda ini menghela nafas panjang. Sayang, aku tidak bisa menunggu si pelayan, beraksi. Jauh sebelum kentungan pertama, aku harus segera menemui Ki Lukita. Kurasa kejadian di telaga, harus diketahui beliau. Boleh jadi identitasnya sudah diketahui lawan. Andai saja aku sedikit paham seluk beluk konflik disini... mungkin bisa kuberi sedikit celah, sayang Perguruan Enam Pedang cukup kritis untuk dilewatkan, pikirnya.
Jaka mengingat-ingat tingkah Bergola saat menemui Ki Lukita. Kurasa dia menginginkan sesuatu, yang jelas apapun itu berada pada Ki Lukita. Pikir pemuda ini.
Jaka menguap, matanya terasa pedih. Sudah beberapa hari ini dia tak beristirahat secara layak. Badan pegal-pegal, alangkah enaknya jika saat ini dirinya berendam air hangat. Tapi mengingat ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukannya, dia mengurungkan niat bermalas-malasan.
Sambil menguap lagi, Jaka berpikir sesaat, bibirnya menyunggingkan senyum aneh. Jika ada yang mengerti baik sifat pemuda ini, saat tersenyum seperti itu, pasti akan ada ‘korban’. Mendadak, pemuda ini tertawa keras, terbahak...
"Berhasil!" serunya nyaring sembari terbahak lagi. Tentunya suara nyaring seperti itu dimalam hari sangat menarik perhatian orang, dan justru keadaan inilah yang dikehendaki Jaka. Biarpun di lantai dasar banyak tamu, toh suara Jaka terdengar juga oleh mereka.
Tentu saja orang tidak tahu maksud Jaka, mereka yang tak tahu, hanya mengira penghuni kamar sedang ngelindur. Tapi bagi pelayan dan orang yang sehaluan dengannya, mungkin saja paham dengan ‘igauan’ Jaka. Tapi apakah maksud Jaka seperti yang mereka kira?
Tentu mereka mengira Jaka berhasil menguasai keahlian dalam kitab yang dilihat si pelayan. Kitab? Kitab apa?
Tentu saja sebuah kitab pusaka. Apakah Jaka membawa kitab pusaka dan diletakan demikian ceroboh? Tentu saja tidak! Lagi pula, buku itu bukan kitab pusaka... Salah satu hobi pemuda ini adalah menulis indah. Perihal kesusastraan, boleh dibilang dia jagonya. Dan tulisan cina periode kekaisaran Han adalah kegemarannya. Sekedar iseng, Jaka menuliskan tulisan indah pada kitab sasatranya dengan goresan bermakna, Tujuh Rembulan Penakluk Mentari, tentu saja disertai aksara yang mengartikan tulisan itu.
Dan perbuatan Jaka dengan meletakan bukunya, adalah untuk memancing reaksi si pelayan. Jika dia kalangan persilatan kelas atas, tentu akan mengerti betapa berharga kitabnya. Bagi orang awam tentu tidak tahu menahu perihal kitab itu. Tapi bagi kalangan tertentu persilatan, kitab itu adalah kitab mustika yang sama harganya—bahkan lebih—dengan sembilan mustika ilmu silat yang terdapat dalam dunia persilatan ini.
Meski Jaka enggan mencari tahu berita ‘hangat’ dikalangan persilatan, seperti peta harta karun, atau kabar burung adanya kitab sakti, dan semacamnya, bukan berarti Jaka tidak tahu. Dia memiliki banyak sahabat, dan dari merekalah dia banyak mendengar informasi akurat, atau sekedar isyu yang beredar di dunia persilatan.
Diantara cerita yang dia terima, adanya Kitab pusaka Tujuh Rembulan Penakluk Mentari, merupakan salah sataunya. Pemuda ini cukup berkesan dengan cerita itu, karenanya iseng-iseng, dia menuliskan sebuah kaligrafi cina kuno pada bukunya.
Tertarik dengan cerita itu, Jaka jadi ingin tahu seluk beluk—asal usul, kenapa kitab itu jadi rebutan. Tak tahunya, dalam buku catatan Ki Lukita juga menulis adanya kitab itu. Sungguh kebetulan.
Menurut tulisan Ki Lukita, Kitab Tujuh Rembulan Penakluk Mentari merupakan salah satu 12 kitab populer yang menjadi rebutan kaum persilatan, selama 5 generasi terakhir. Dalam catatan Ki Lukita pada tiga lembar terakhir, dijelaskan asal muasal beberapa kitab yang dijadikan rebutan, termasuk kitab favorit Jaka.
Ki Lukita menuliskan bahwa, kitab itu muncul sekitar 16 dasa warsa silam, dibawa oleh seorang pendeta dari Tiong-goan. Menurut kabar, pendeta itu merupakan ketua angkatan ke-15 dari Siau-lim-si. Pendeta itu datang ke Jawa Dwipa karena ingin menyelamatkan dirinya yang menjadi incaran pada tokoh Kang-ouw di Tiong-goan.
Jika dia bukan seorang yang welas asih, bisa saja dia mengandalkan murid-murid siau-lim-si untuk menjaga keselamatan kitab pusaka itu. Biarpun biara Siau-lim-si dikenal sebagai Kubangan Naga Sarang Harimau, sang pendeta tidak mau mengorbankan murid-murid Siau-lim-si sia-sia. Sebab bagaimana mungkin anak murid Siau-lim-si menahan ribuan tokoh kang-ouw yang memiki kelihayan sempurna? Sebab itulah ia lebih rela dirinya yang menanggung semua akibat. Tanpa banyak pertimbangan, sang pendeta segera berlayar menuju Jawa Dwipa.
Dalam catatan Ki Lukita disebutkan, setiba di Jawa Dwipa sang pendeta merasa aman dan memutuskan untuk menetap sampai akhir hayatnya. Tapi siapa tahu, anggapannya ternyata keliru, orang-orang Kang-ouw Tiong-goan meluruk sampai Jawa Dwipa. Tentu saja masuknya tokoh-tokoh negeri Tiong-goan membuat para tokoh Jawa Dwipa marah. Karena kebanyakan dari mereka yang mengejar adalah golongan hitam yang bertindak semaunya.
Para tokoh petinggi berunding dan memutuskan untuk mengusir pendatang dengan jalan kekerasan. Akhirnya terjadi bentrok antara dua golongan yang sebelumnya tidak pernah bertemu.
Seharusnya saat itu tokoh Jawa Dwipa dengan mudah dapat mengusir pada pendatang, tapi setelah mengetahui masalahnya, mereka malah berbalik membantu tokoh Tiong-goan untuk mencari Wi-Tiong-Hwesio, sang pendeta. Sungguh kasihan, di negeri sendiri diburu, dinegeri rantaupun nasibnya tak jauh beda.
Tapi Tuhan memang menetukan lain, disaat kritis, muncul penolong yang dirasa tindak tanduknya cukup misterius. Orang itu berjubah putih dengan seluruh wajahnya tertutup kain putih, matanya juga tidak terkecuali. Sekilas pandang orang menyangka manusia itu adalah hantu. Saat itu banyak tokoh persilatan dua negeri sedang mengepung Wi Tiong Hwesio, tapi dasarnya pendeta itu orang yang asih, sekalipun orang berniat membunuh, ia sama sekali tidak membunuh, bahkan pendeta itu hanya merobohkan lawannya dengan totokan ringan saja.
Karena tindakannya ini, sang pendeta jadi rugi sendiri. Tapi betapapun dia adalah orang yang selalu memegang teguh prinsip, bahwa nyawa adalah ciptaan Tuhan! Mana boleh manusia merenggutnya dengan paksa? Karena prinsip itulah, sang pendeta hampir mati mengenaskan, untunglah penolong misterius muncul, dialah manusia berkerudung putih yang belakangan hari dijuluki Hantu Bisu. Akhirnya sang pendeta selamat dan dibawa entah kemana. Tentu saja kitab yang menjadi rebutan itu-pun raib bersama raibnya sang pendeta.
Konyolnya, begitu buruan mereka lenyap, kedua golongan(tokoh Jawa Dwipa dan Tong-goan)kembali bertarung. Dan akhirnya para pendatang itu bisa dienyahkan dari Jawa Dwipa.
Rupanya kejadian itu tidak berakhir begitu saja, selang dua tahun kemudian, muncul kembali seorang tokoh misterius. Orang itu bertindak seperti setan, tak teraba, tak diketahui kapan dan dimana dia akan muncul. Dengan kemunculannya itu, banyak tokoh persilatan yang mendadak lumpuh, ada juga yang ilmu silatnya punah.
Selidik punya selidik, akhirnya semua orang dapat menduga bahwa lelaki itu tak lain adalah Hantu Bisu. Orang itu bertindak demikian karena ingin membuat para tokoh yang dulu pernah mengeroyok Wi Tiong Hwesio kapok dan tidak akan mengulang perbuatan serupa.
Para tokoh gempar, mereka gentar jika membayangkan kedatangan Hantu Bisu… selain rasa kawatir, keherananpun menyelimuti mereka. Pada saat menolong sang pendeta, banyak diantara tokoh yang lumpuh sesaat karena menghirup racun yang ditebarkan Hantu Bisu. Mereka sadar, senjata andalannya hanya racun. Ilmunya tak seberapa, hawa murninya juga hanya bisa digolongkan pada tingkat menengah.
Tapi kemunculan berikutnya, membuat hati siapa saja bergidik. Ketangguhan ilmu Hantu Bisu bisa disejajarkan dengan Si Pedang Maut—tokoh pembunuh bayaran yang begitu ditakuti. Konon, jika ada orang yang sudah diincarnya, sedetikpun tak akan ada waktu baginya untuk kabur.
Jika Hantu Bisu disejajarkan dengan Pedang Maut, artinya kelihayannya tidak perlu disangsikan lagi. Untungnya tindak-tanduk Hantu Bisu tidak sebuas Pedang Maut.
Julukannya sebagai Hantu Bisu bukan berarti dia benar-benar bisu, lantaran jarang bicara, maka dia selalu menggunakan tulisan sebagai tantangan. Tulisannya berbunyi;
Sebagai balasan ketololan kalian mengeroyok Insu—guruku yang berbudi,kalian harus menerima akibatnya! Aku menuntut keadilan dari kalian tokoh yang disebut sebagai pengayom. Sayang sekali insu tidak memperbolehkan aku membunuh lawan… Sambut kedatanganku!
Ternyata Hantu Bisu menjadi murid sang pendeta. Tapi kenapa kehebatan Hantu Bisu bisa begitu mengejutkan, bahkan lebih hebat dari sang pendeta? Beberapa tokoh berpikir, mungkin karena sang pendeta merasa sangat berterima kasih, selain mengangkat Hantu Bisu sebagai murid, ilmu pada kitab yang penah mereka perebutkan, pastilah sudah dikuasai Hantu Bisu.
Tantangan Hantu Bisu memang luar biasa, dalam waktu tiga bulan, tokoh yang pernah mengeroyok gurunya dibuatnya bertekuk lutut dan mengakui kesalahan mereka sendiri, padahal mereka sangat tangguh. Setelah semua orang habis dijatuhi hukuman, Hantu Bisu pergi ke Tiong-goan, disana dia juga melakukan perbuatan serupa.
Setahun kemudian Hantu Bisu pulang, tapi dia mendapati gurunya sudah meninggal, hatinya sangat sedih. Tapi begitu mengetahui gurunya meninggal bukan lantaran sakit tapi karena dibunuh secara licik, mulai saat itu Hantu Bisu kembali menggembara untuk mencari si pembunuh.
Sampai kisah ini kutulis, apakah Hantu Bisu menemukan pembunuhnya atau belum, aku tak tahu. Yang jelas semenjak kemunculan Hantu Bisu kembali, banyak tokoh berencana keji terhadapnya, mereka begitu kemaruk ingin menguasai kitab dari Tiong-goan. Sejak saat itu bagaimana nasib Hantu Bisu, tiada seorangpun yang tahu...
Pengetahuan Jaka mengenai seluk beluk kitab itu tidak sedetail apa yang diketahui Ki Lukita. Karenanya dia merasa girang bisa mengetahui lebih detail. Meski demikian, Jaka merasa heran, dari mana Ki Lukita bisa menghimpun cerita lengkap seperti ini? Mengingat waktu yang terentang ada 1½ abad? Mungkin perlu kutanyakan nanti. Pikirnya.
Pemuda ini menatap sampul bukunya sambil tersenyum, dia yakin si pelayan percaya seratus persen dengan ‘keaslian’ kitabnya. Maklum saja selain buku Jaka sudah kumal, juga terlihat tua dan usang—cukup menyakinkan dugaan siapapun yang melihatnya. Apalagi pada sampulnya tertulis huruf tiong-toh!
Jaka melihat, saat si pelayan melirik bukunya, dia sulit mengendalikan perasaan. Dari situ pulalah kecurigaan Jaka terbukti, bahwa dia bukan pelayan tulen.
Pemuda ini tertawa geli, seandainya aku yang menjadi kau, pikirannya melayang pada si pelayan. Aku akan waspada, memangnya ada kitab usang bisa melekat tinta baru? Pemuda ini menggeleng kepala.
Jaka memang tak sempat menaburkan debu diatas sampulnya. Dia hanya bertindak untung-untungan, siapa tahu pelayan itu bertindak ceroboh. Klop-lah rencananya. Pasti mereka akan bertindak malam ini, nampaknya aku harus memuluskan rencana mereka, pikir pemuda ini.
Dari tempat pakaian, Jaka mengeluarkan sebuah kotak, ternyata kotak itu berisi berbagai jenis bubuk halus, dia menggelengkan kepala sambil tertawa geli.
"Siapa sangka bumbu masak bisa berguna pada saat-saat begini?”
Jaka mengusap bubuk itu diseluruh permukaan bukunya. Sebenarnya dia merasa sayang dengan buku—juga merasa sayang atas bumbunya. Tentu saja Jaka tidak akan mengorbankan buku yang dia anggap berharga. Bagaimanapun juga buku itu telah menemani perjalanannya selama ini.
Di saat-saat rawan seperti ini, rasanya kurang bijak berbuat begini. Tapi, kalau mereka tak memperoleh pil pahit dariku, kapan mereka bisa menghargai keinginan orang? pikir pemuda ini membela diri. Jaka sendiri merasa alasannya terlalu dipaksakan, tapi dia berdalih—atas dirinya—tidak ada salahnya, membuat jera orang yang punya potensi berbuat jahat.
Semula dia berniat mengorbankan bukunya, tapi Jaka berubah pikiran. Karena ingin mengetahui siapa yang menyusupkan mata-mata di penginapan murah ini, Jaka meninggalkan sampul buku dengan harapan, bisa menarik perhatian dan menjebak mereka. Untuk menghilangkan kecurigaan, agar bukunya terlihat berisi, Jaka mematahkan papan alas dipannya—tempat tidur—seukuran kertas buku, dan diselipkan kedalamnya.
"Sempurna…" Lalu pemuda ini menuliskan sesuatu pada beberapa lembar kertas dan menyelipkannya di dalamnya. Jaka mencari tepat untuk menyembunyikan bukunya. Pemuda ini juga menaruh beberapa benda yang dirasa ‘cukup membuat curiga’ di tempat-tempat yang mungkin akan di selidiki.
"Nah, kini saatnya…" Jaka berencana berangkat setelah dia makan, dan cuci muka. Jaka juga bersalin pakaian dengan warna gelap. Tak lupa pula menuliskan analisanya pada beberapa lembar kertas. Analisa yang membuat para penyatron serba salah.
Pemuda ini menarik tali didalam kamarnya, tali itu dihubungkan dengan lonceng ruang petugas, jika tali ditarik artinya penginap memerlukan sesuatu. Tentu saja tiap kamar memliki lonceng berbeda, dengan demikian bisa ditentukan kamar mana yang meminta sesuatu.
Tak berapa lama kemudian, pintu kamar Jaka diketuk.
"Ya?" seru Jaka dari dalam.
"Pelayan, tuan…" jawab suara dari luar.
"Masuk,"
Pelayan yang masuk adalah orang yang tadi menyiapkan makanan. "Ada yang bisa saya Bantu, tuan?" tanyanya.
"Tolong bawa ini semua.” Tunjuk Jaka pada piring-piring kotor.
Si pelayan segera bergegas membereskan daharan tamunya. "Ada perlu lagi tuan?”
“Tidak.” Sahut Jaka agak ketus.
“Apa air cuci muka perlu saya ganti tuan?”
“Tak perlu. Kalau kau mau mengambilnya, silahkan!" sahut pemuda ini agak dingin. Memang seharusnya Jaka menampilkan sikap begitu agar pelayan itu mengira bahwa kedatangan dirinya hanya sebantas untuk membereskan saja.
"Baik tuan," lalu dengan cekatan pelayan itu mengambil tempat cuci muka juga. Sekejap, matanya melirik meja, dia tidak menemukan buku yang tadi dilihatnya.
"Hanya ini saja tuan? " tanyanya.
Jaka tidak menjawab, ia hanya mendengus. "Kalau sudah selesai, lekas keluar. Jangan banyak omong." Perintah pemuda ini.
"Baik tuan. Maaf saya mengganggu," sahutnya dengan tertunduk. Sikap Jaka benar-benar diluar dugaan, sebenarnya begitu masuk kekamar si pelayan sudah menyiapkan rencana untuk mencari keterangan siapa pemuda itu. Tapi sikap dingin pemuda itu membuatnya kecut.
"Berbeda dengan tadi…" pikirnya sambil keluar, dia membandingkan sikap Jaka dengan awal percakapan mereka.
Setelah pintu tertutup, Jaka tersenyum. "Kurasa kau tahu apa yang harus di lakukan." Pikirnya.
Waktunya pergi, pikirnya. Jaka membuka jendela kamar, mengamati situasi sejenak, lalu keluar lewat jendela. Setelah menutup kembali, dengan gerakan cepat, pemuda ini melompat dan melesat entah kemana. Sekejap saja bayangannya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Bebeberapa saat kemudian, di satu sudut kegelapan lainnya, muncul tiga orang berpakaian hitam, mereka menggunakan kedok muka.
"Dia sudah pergi?" tanya seseorang pada rekan disebelahnya.
"Sudah, sebelumnya jendela kamar itu kuberi tanda dengan tali dan lonceng. Dan lonceng sudah berbunyi, berarti dia sudah keluar. Lagi pula kita juga melihat sekelabatan bayangannya, berarti dia sudah pergi."
"Sebaiknya kita menunggu sebentar, mungkin dia belum jauh dari sini." Kata orang kedua.
“Benar.”
“Untung kau tidak bertindak bodoh didepannya.” Kata orang ketiga yang dari tadi diam.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar