Mengambil resiko—tanpa
disadari—mungkin sudah menjadi kebiasaan Jaka. Saat racun pemilik perahu naga
dilolohkan padanya, Jaka mengira bisa mengambil pelajaran, dengan
menawarkannya. Tapi, nyatanya racun itu sudah pernah dia ketahui sebelumnya.
Tentu saja menurut Jaka, kejadian itu tidak bermanfaat, selain kadarnya telalu
rendah, racun semacam itu juga pernah dia tawarkan sebelumnya. Jika bagi
dirinya bubuk pelumpuh tadi termasuk ‘obat usang’, mungkin berbeda bagi orang
lain, bubuk itu termasuk racun yang jarang ditemui. Sudah tentu menurut
pandangan kebanyakan orang, racun itu bukanlah ‘obat usang’, tapi masuk dalam
jajaran racun mematikan.
Setidaknya rasa kesalku
terobati, bisa mengelabui mereka juga hasil cukup memuaskan. Apa tak pernah
terpikir dibenak mereka, sebuah kegagalan? Memangnya setiap perbuatan yang
berlaku untuk seseorang, bisa berlaku untuk yang lain? Pikir Jaka merasa
beruntung, bahwa mereka ‘ceroboh’.
Pemuda ini tak memikirkan
kemampuan dirinya, seolah tiap orang bisa berbuat seperti dia. Dengan
sendirinya mereka—orang Perguruan Naga Batu—yakin 100% atas keberhasilan
racunnya. Tentu saja tak terpikir, bahwa; ada orang yang paham—dan bisa
memunahkan—racun yang mereka gunakan.
Jaka mengayuh perahunya
dengan tenang, perasaan dongkolnya sudah lenyap. Pemuda ini kembali menuju
tengah telaga, karena dia harus mengembalikan perahu yang dipakainya, sebelum
matahari tenggelam. Tapi sesaat sebelum dia berpikir untuk menyudahi pesiarnya,
teringat olehnya catatan pemberian Ki Lukita.
Tidak ada salahnya aku
membaca catatan Ki Lukita, tak ada orang yang menggangguku. Paling tidak,
setengah jam aku sudah selesai dengan catatan ini.
Jaka berpikir, meskipun dia
lebih lama lagi membaca catatan itu, rasanya tak masalah jika hanya sekedar
mengembalikan perahu. Apalagi Jaka memutusakan, setelah ‘acara pesiar yang
mendebarkan’ hari ini, malam nanti dia harus segera kerumah Aki, untuk
membicarkan banyak hal.
Mumpung masih ada waktu luang
sedikit, Jaka segera mengeluarkan catatan Ki Lukita. Saat menerimanya, Jaka
tidak memperhatikan rupa dan tulisannya. Dia baru sadar, pada sampul catatan
itu, tertulis goresan huruf yang indah. CATATAN KEDUA,
begitulah tertulis disampul depannya. Di bawahnya, terdapat tulisan lain; Di
usia tiga puluh tahun meraih ketenaran dan julukan kosong, semuanya tertuang
didalam.
Jaka sangat tertarik dengan
gaya bahasa yang ditulis Ki Lukita, dari tulisan dan caranya ia menyampaikan,
ia dapat menilai, Ki Lukita adalah orang yang sadar dengan kelebihan dan
kekurangan dirinya. Dia sudah dapat melepaskan rasa ke-aku-an atau egois.
Halaman pertama.
Berkecimpung di dunia
persilatan terlalu banyak pahit-getir dari pada kesenangannya. Kudapati, saat
itu terlalu banyak ragam manusia yang bertindak sesuka hati. Terlalu banyak
yang menempuh jalan sesat, mengerjakan segala perbuatan kotor, entah apa
enaknya. Tapi ada pula yang menuruti ajaran kebenaran.
Biasanya para penjahat
yang tergolong ‘amatiran’ selalu bertindak terang-terangan, kupikir itu lebih
mudah dihadapi, dari pada mereka yang melakukannya sembunyi-sembunyi.
Diam-diam atau
terang-terangan, tak masalah buatku, itu adalah tantangan, dan aku sangat
menyukai seni berpikir—cara bagaimana menangkap para durjana. Tapi tak terpikir
olehku, ada juga durjana yang mengendalikan semua operasi busuknya di sebuah
perguruan terhormat, Menak Inggil!
Siapapun tidak akan
mengira dalam perguruan yang cukup masyur, bercokol seorang durjana, ya… apapun
julukan baik padanya, orang itu memang iblis, seorang munafik yang membuatku
merinding jika melihat wajahnya. Dia bernama Anusapatik… pada waktu kejadian
itu, aku sudah dijuluki orang Naga Kepalan Baja. Mungkin orang menjulukiku
karena aku adalah salah satu pewaris sembilan mustika ilmu silat.
Aku mengetahui perihal
Anusapatik dari seseorang, ya… bagiku si pembawa kabar sangat aneh dan
misterius. Tak terbayangkan olehku ada orang memiliki peringan tubuh selihay
dia. Saat itu aku baru sadar diatas langit masih ada langit. Karena tak tahu
siapa orang itu, kujuluki saja dia Si Bayangan Angin. Orang
itu mengabarkan bahwa sedang ada sesuatu yang mengerikan tumbuh di dalam
Perguruan Menak Inggil. Jika tak diberantas akan mengancam ketenangan orang
banyak, aku diharuskan olehnya segera bertindak—tentu saja secara diam-diam. Semula
aku tak ingin mengetahui apakah kabar itu benar atau tidak, jadi aku tidak
mengambil tindakan apa-apa. Menurutku tak mungkin Perguruan Merak Inggil
bertindak sejauh itu, apalagi aku kenal baik dengan ketuanya. Tapi pendapatku
itu terpaksa kurubah, karena sahabat karibku sendiri Si Manusia Karet juga
memberi kabar, bahwa dalam Perguruan Menak Inggil bercokol ‘bisul busuk’—itu
istilahnya mengartikan keadaan bahaya, haha... orang itu memang kocak.
Tak perlu kupertimbangkan
lagi, aku memang harus bertindak secepatrnya! Rasa penasaranku lebih banyak
merangsang hatiku, dari pada harus menangani urusan yang semula kupandang
penting… aku dan sobatku segera pergi kesana.
Namun apa yang kami temui
waktu itu? Ternyata orang yang dikabarkan merupakan gembong iblis dan seorang
munafik berbahaya, tak lebih hanya lelaki berumur sebaya denganku (30-an).
Lelaki itu sangat ramah, kami hampir tak pecaya dengan apa yang di lihat, jika
tak mengingat kenyataan yang sudah diketahui, kami pasti terjebak dalam
perangkap orang itu. Tak kuduga sudah banyak jago yang dilumpuhkannya dengan
pengaruh bubuk laknat Pelumpuh Otak. Sungguh, tindakannya itu tidak lagi
tanggung-tanggung, dia benar-benar berambisi besar!
Membaca sampai disitu Jaka terkejut.
Eh, bubuk itu lagi? Heran, barang busuk itu kenapa banyak berperan… apakah
Pelindung Perguruan Naga Batu juga ada hubungannya dengan cerita ini?
Jangan-jangan, mereka salah satu anggota Anusapatik yang meneruskan
cita-citanya? Apa mungkin semua ini hanya kebetulan? Jaka berpikir untuk
beberapa saat. Merasa tak ada gunanya memikirkan hal yang belum tentu
berkaitan—meski ada kesamaan, Jaka kembali membaca catatan Ki Lukita.
Halaman Keempat
Sekian lama kami
menyelidik, kami memperoleh kenyataan yang mengejutkan, yakni Anusapatik ada
hubungan dengan Si Nyawa Pedang, konon orang
itu pernah berjumpa dengan Raja Jagal, dan
belajar beberapa kepandaian. Usut punya usut, Raja Jagal pernah berguru pada
salah satu cucu murid Tabib Malaikat. Jadi aku berkesimpulan Anusapatik
memperoleh kepandaian mengolah racun, lantaran para penghubungnya (Si Nyawa
Pedang dan Raja Jagal) ada sedikit berhubungan dengan tokoh menggemparkan Tabib
Malaikat.
Sampai disitu, mendadak wajah
Jaka memucat, wajah yang biasa berseri itu terlihat berkerut-kerut sesaat,
seolah pemuda ini menahan suatu perasaan yang tak bisa ia kemukakan pada
siapapun, kecuali pada dirinya sendiri. Selang beberapa saat, Jaka menghela
nafas panjang.
Untuk apa kupikirkan lagi,
yang lalu biarlah berlalu. Suatu saat akan datang kesempatan baik bagiku,
dengan alasan yang lebih baik pula... memangnya apa yang berlalu bagi pemuda
ini? Apakah lantaran ada sepotong kata Tabib Malaikat, atau Si Nyawa Pedang,
atau Raja Jagal? Apapun itu, rahasia tersebut masih tersimpan jauh dihati Jaka.
Pemuda ini kembali membaca dengan cermat.
Nama Tabib Malaikat sudah
mengguncangkan dunia persilatan satu setengah abad silam. Mulanya kami
benar-benar tidak percaya pada penyelidikan kami sendiri. Tapi menilik
kepandaian Anusapatik dalam hal obat bius dan racun, kesimpulanku memang benar!
Cuma yang membuatku bingung, apakah dia menguasai keahlian racun itu lantaran
sebuah nama Tabib Malaikat? Jika bukan, lantas apa? Apakah penyelidikan kami
itu sia-sia belaka? Aku benar-benar bingung, beruntung rekan-rekan selalu
mendukungku. Apapun hasil penyelidikan kami, kuputuskan untuk tidak bertindak
gegabah.
Kabar miring kembali
kuterima, kali ini menyatakan bahwa jago kelas satu dan kelas dua dari enam
belas perguruan ternama, sudah dia pengaruhi. Tapi anehnya semua murid
perguruan Menak Inggil, bahkan ketuanya sendiri, tidak tahu apa yang dilakukan
manusia durjana itu. Aneh… dari mana Si Bayangan Angin mengetahui kabar itu?
Setengah tahun setelah
berkunjung ke Menak Inggil, kami mendengar kabar, banyak jago-jago silat yang
menghilang. Segera kami menduga bahwa kejadian itu pasti ulah Anusapatik. Tapi
kami tidak bisa bertindak begitu saja, sebab dunia persilatan juga memiliki
peraturan keras. Kalau tidak ada bukti kuat, justru kamilah yang dituduh sebagai
pengacau yang mencoba merusak hubungan baik Anusapatik dengan tokoh-tokoh
sakti.
Perkara bahwa tokoh-tokoh
sakti mendukung apa yang dilakukan Anusapatik, tak terpandang sebagai kejadian
mencurigakan oleh para sesepuh. Tapi salah satu dari beliau memberi isyarat,
‘lakukan apa yang ingin kau lakukan, tapi berikan kami bukti’. Terang saja kami
tak bisa memberi mereka bukti dalam waktu dekat. Kami berpikir betapa ironisnya
sebuah harga keadilan.
Kami insaf dengan situasi
tersebut, apalagi karena hampir semua tokoh silat, mendukung—mungkin sudah
dikuasai sepenuhnya—manusia itu. Kondisi yang maju salah mundur salah itu
benar-benar buntu bagi kami, apa yang harus kami lakukan, kami hampir menyerah!
Padahal pertarungan belum lagi dimulai! Sungguh, kuakui betapa pandaianya
manusia bernama Anusapatik mengelola kekacauan, berkedok ‘memberantas
kejahatan’.
Untung saja—dalam keadaan
bimbang—kami kembali dikejutkan oleh kemunculan Bayangan Angin. Orang yang
sangat misterius itu menyarankan agar kami masuk kedalam tubuh perkumpulan
rahasia yang sedang dibentuk Anusapatik. Namun saat itu kami menolak, ada
banyak alasan kenapa kami tolak,
Pertama : Anusapatik
mungkin sudah curiga dengan berbagai penyelidikan yang kami lakukan.
Kedua; seandaianya dia tak curiga, bagaimana caranya kami memasukinya? Kami tak punya jalur kesana.
Kedua; seandaianya dia tak curiga, bagaimana caranya kami memasukinya? Kami tak punya jalur kesana.
Ketiga; mutlak bagi kami,
tidak bisa memasuki kelompok rahasia—walaupun sebagai anggota tingkat rendahan,
karena setiap anggotanya dicekoki dengan bubuk racun. Lalu bagaimana kami
bertindak?
Si Bayangan Angin hanya
tertawa saja mendengar keluhan kami, dia berkata, cara apapun supaya kami
lakukan untuk menyusup kedalam, dan untuk masalah racun, dia yang mengatasi. Si
Bayangan Angin menyerahkan sebuah karung besar… ternyata isinya obat penawar
racun.
Sungguh tak habis pikir
aku dibuatnya. Kabar pertama kami terima, antisipasi racun juga kami terima
dari dia, kenapa dia tidak menindaknya sendiri? Malah dikabarkan kepada kami?
Memangnya dia ada urusan lebih penting?
Sebimbang apapun aku
memikirkan tindakannya, akhirnya aku percaya saja. Dia menyarankan kepada kami
asal memakan sebuah pil berwarna merah, maka dalam jangka empat bulan biarpun
kami dicekoki racun paling ganas, tak bakal mencelakakan kami begitulah
katanya. Memangnya ada pil sehebat itu?
Sekalipun aku sudah
percaya padanya, mendengar uraiannya tadi toh, muncul kembali kecurigaanku.
Jangan-jangan Si Bayangan Angin juga salah satu antek Anusapatik yang bekerja
diam-diam, seolah menetang orang itu, padahal ia justru
membantu—melenyapkannya. Berpikir seperti itu, kami tak ingin bertindak ceroboh
dengan mempercayai ucapannya begitu saja. Tapi nyatanya melihat kami berdua
terdiam, Si Bayangan Angin tahu apa yang kami pikirkan. Orang itu mengeluarkan
sebuah lencana dari emas, sebuah lencana yang bergambar naga kepala tiga dan
kepala harimau ditengahnya.
Melihat lencana itu kami
tertegun tak percaya, lencana itu adalah milik pendekar besar yang amat
disegani pada masa delapan dasawarsa lalu, orang yang disegani kaum persilatan
itu adalah Pisau Empat Maut, pada jamannya, beliau merupakan
tokoh yang menumpas Perkumpulan Angin Emas, sebuah perkumpulan yang berniat
menguasai seluruh dunia persilatan dengan ilmu sihir dan racun. Kami tahu,
waktu itu beliau hanya bertindak sendirian, namun berhasil menghancurkan
perkumpulan yang memiliki jaringan luas. Karena jasanya maka orang memilih dia
untuk menjadi Ketua Dunia Persilatan. Dan mulai saat itu Lencana Tiga Naga
Harimau muncul sebagai tanda keberadaannya...
Setelah melihat lencana
itu, kami sadar bahwa orang itu berniat membantu kami. Saat itu sebelum kami
bertindak, Si Bayangan Angin mengatakan kalau dia adalah keturunan dari
pemimpin dunia persilatan. Menurutnya, dia terpaksa bertindak secara rahasia,
karena keadaan, juga lantaran tradisi dalam keluarga Pisau Empat Maut, karena
hal itulah maka identitasnya aslinya tidak boleh tersiar.
Mendapatkan bantuan
keturunan tokoh besar, tentu saja kami sangat bersyukur. Saat kami hendak
pergi, orang itu menyarankan pada kami agar tiap tindakan harus dilakukan
dengan sangat hati-hati, sebab hakikatnya apa yang dilakukan Anusapatik sama
sekali tiada orang yang tahu, tiada yang curiga. Hanya kami dan Bayangan Angin
saja yang tahu tindakannya itu. Bayangan Angin juga mengatakan pada kami, dalam
kurun waktu setengah tahun kedepan, Anusapatik segera muncul kepermukaan.
Kaget juga kami
mendengarnya, sekalipun kami bertindak hati-hati, ada juga orang yang mengendus
kegiatan kami. Dan segala sesuatunya terlambat… saat kami sudah berhasil
menyelundup kedalam perkumpulan yang dinamakannya dengan Perkumpulan Dewa
Darah, Anusapatik sudah bertindak! Padahal menurut perhitungan kami, masih ada
empat bulan lagi baru bertindak. Sungguh gawat…
Tapi kamipun bersyukur
bisa menyelundup masuk. Kami berencana akan membebaskan semua rekan dari kungkungan
bubuk racun. Tapi sayangnya kami memang terlambat dan tidak bisa membaca
situasi, hanya ada tujuh orang saja yang sanggup kami bebaskan dari bubuk
laknat itu. Tapi itupun sudah cukup, tenaga mereka sangat kami butuhkan.
Keadaan makin gawat, kami
tidak berani bertindak terang-terangan. Kami bertindak seolah masih berada
dibawah pengaruh bubuk racun itu. Namun hati kami benar-benar sakit, apa yang
dperintahkan pada kami dan semua rekan yang masih teracuni, adalah melakukan
segala kekejian yang tak pernah terpikirkan. Manusia Karet—sobatku berpendapat
bahwa, lebih baik kita segera memberontak, dari pada mengerjakan perintah
laknat. Aku terpaksa menghalanginya, dan kukatakan kepadanya, bahwa kita tidak
akan bertindak sebrutal itu, kita akan menotok orang yang kita lawan dengan
totokan hidup-mati.
Dengan demikian korban
yang terkena hanya akan pingsan dalam tiga hari dan mereka akan segera pulih
kembali. Mula-mula ia tak setuju, namun aku juga mengatakan alasannya bahwa di
perjalanan nanti kita bisa menyadarkan tiap anggota dengan membinaskan tiga
orang yang menjadi pengamat dan juga merupakan kepercayaan Anusapatik. Setelah
rencana tersusun matang, maka kami segera menjalankannya.
Tapi mendadak kami sadar,
ada satu kesulitan yang tak terpikirkan lebih dulu, yakni; sebagai orang yang
terkena racun, korban sama sekali tidak memiliki keinginan pribadi, konon lagi
untuk bercakap-cakap dengan orang. Bagaimana mungkin kami bertindak diluar
perintah para pengawas? Menyadari sulitnya situasi, Manusia Karet menyarankan
padaku, saat giliran membagi makan minum kita bisa menaruh obat penidur
didalamnya.
Rencana itu memang bagus
dan sangat sempurna, tapi pelaksanaannya sangat sulit. Pertama kami tidak
memiliki obat bius, yang kedua karena rombongan kami ada puluhan orang,
sedangkan giliran kami untuk menyediakan makan minum masih lama, jadi untuk
bertindak sangat sulit. Bisa jadi sebelum kami sempat memperoleh giliran, kami
sudah sampai ditempat tujuan, dan mulailah semua kebrutalan...
Berpikir demikian, hati
kami merasa sangat ngeri, untunglah ditengah jalan tiga orang pengamat itu
menghentikan rombongan dan memutuskan untuk mencari jalan memutar agar
perjalanan kami tidak diketahui orang. Tapi sialnya, diperjalanan memutar
itulah tiga pengamat itu membawa kawan lagi, mereka ada dua belas orang. Dan
tentunya dua belas orang itu adalah antek kepercayaan Anusapatik pula. Akhirnya,
tiba saatnya bagi kami menyediakan makan minum… tapi kami tidak tahu harus
bertidak apa, obat bius yang dimaksudkan sobatku tidak ada pada kami.
Dari pada tak melakukan
apapun, aku memutuskan bertindak, obat penawar yang diberikan oleh Bayangan
Angin, kucampurkan pada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman yang
kami butuhkan sangat banyak, maka obat penawar terpaksa kami habiskan untuk mencampur
kedalamnya. Kami sadar, takaran dan kadar racun pada tiap korban berbeda-beda,
menawarkan racun tak semudah—hanya dengan mencampurkan saja. Tapi kondisi saat
itu benar-benar tak memungkinkan kami untuk berpikir lain hal. Saat memasukkan
penawar, aku berharap obat itu benar-benar semujarab yang diceritakan Bayangan
Angin, jadi tak ada takaran tertentu—bahwa harus memberinya penawar dengan
kadar sekian, sekian, sekian… mudah-mudahan tidak begitu.
Tapi ada satu hal lagi
yang kami lupakan, orang yang terkena bubuk racun, setelah meminum penawarnya
akan tidur lelap dua-tiga jam. Saat mereka tertidur, tentunya lima belas
pengamat curiga pada kami, sebagai orang yang menyiapkan makan minum. Kuduga,
mereka akan segera menyerang kami…
Untuk bertarung, kukira itu
bukan masalah. Karena kami berdua adalah orang yang mewarisi salah satu
sembilan mustika ilmu silat, aku menguasai Tapak Naga Besi sedangkan sobatku
menguasai Hawa Bola Sakti.
”Oh, jadi yang dimaksudkan
dengan sahabat karib Ki Lukita, bahwa beliau memiliki ilmu lihay apakah Manusia
Karet? Mungkin aku harus banyak minta petunjuk padanya." Jaka melanjutkan
membacanya.
Jadi untuk masalah
kemampuan ilmu silat kami bisa diandalkan. Tapi lima belas orang pengamat
itupun bukan manusia gentong nasi belaka, mereka juga memiliki kelihayan hebat.
Kami memperhitungkan, paling tidak kami bisa menahan lima belas orang itu dalam
jangka waktu satu-dua jam. Tapi waktu itu Manusia Karet berpendapat lain, dia
berpikir sekalipun kami sanggup menahan mereka, tapi setelah siuman tentu rekan
kami sekalian akan linglung sebentar, mungkin saja keadaan itu bisa digunakan
oleh lima belas orang itu untuk menyandera atau memfitnah bahwa kami adalah
orang yang meracuni mereka.
Sebelum terjadinya
pertarungan, kami meninggalkan semua resiko yang mungkin ditanggung. Berpikir
demikian, kami segera memasukkan seluruh obat penawar kedalam makanan dan
minuman. Dan satu hal paling penting dilakukan sahabatku, dia menulis
keterangan singkat, yang rencananya akan dimasukan kesaku salah seorang rekan
kami yang keracunan. Tulisan itu berisi penjelasan, bagaimana mereka diracuni
oleh Anusapatik, pada tulisan terakhir, terpaksa dibubuhi dengan julukan kami
agar mereka percaya bahwa, kondisi saat itu memang gawat.
Waktu berlalu terasa
lambat, akhirnya semua orang segera menyantap makanan yang kami sediakan. Satu
jam setelah makan, empat puluh tujuh jago yang keracunan tertidur lelap. Saat
itu aku bimbang, tapi Manusia Karet segera bertindak cepat. Ia juga pura-pura
tertidur. Akupun melakukan hal yang sama. Sayang sekali para pengawas itu bukan
manusia bodoh, mereka bertindak cekatan, tanpa pikir panjang lagi mereka
langsung menyerangku dan menyerang Manusia Karet.
Dengan kemampuan kami
berdua, ramalanku tepat sekali, dalam waktu satu-dua jam kami bisa menahan lima
belas orang itu. Waktu itu kami sama sekali tidak menjatuhkan tangan maut pada
mereka, sebab kami ingin menyadarkan orang-orang itu—siapa tahu mereka juga
kena bius.
Sungguh keputusan tepat,
mulia, pikir Jaka kagum dengan tindakan Ki Lukita dan sahabatnya. Kembali dia
membaca.
Disaat-saat seperti itu,
kami sama sekali tidak menyangka bahwa lima belas orang itu masih memiliki
teman, untungnya teman mereka datang pada saat kami bertarung hampir dua jam,
kalau tidak, usaha kami untuk mengulur waktu akan gagal. Lawan kami bertambah
dua belas orang lagi. Saat itu kami bertekad mengadu jiwa, agar orang-orang itu
tidak ada kesempatan mencekoki kembali, rekan kami yang sedang terlelap. Namun
usaha kami agaknya akan mengalami kegagalan, sebab tenaga kami habis terkuras.
Lawan terlalu tangguh, untung saja Tuhan masih melindungi kami, disaat genting
Bayangan Angin dengan dua orang rekannya, muncul membantu kami. Akhirnya kami
berhasil menyadarkan kembali rekan kami yang terkena racun.
Dan mereka yang mengeroyok
kami, segera menyadari situasi tidak memungkinkan, apalagi mereka juga melihat
empat puluh tujuh jago sudah siuman, mereka segera kabur. Kami membiarkan
mereka pergi. Dan kami berlima memberi penjelasan pada rekan kami bahwa mereka
baru saja terbebas dari racun. Empat puluh tujuh jago itu akhirnya mengingat
kembali kejadian sebetulnya hingga mereka di cekoki racun oleh Anusapatik.
Lalu dengan kekuatan kami
yang bertambah banyak, dan bekal obat penawar racun, kamipun segera membebaskan
rekan yang ada di kelompok lain. Pada saat kami hendak mencari Anusapatik dan
gerombolannya, ternyata mereka sudah raib entah kemana. Selama dua tahun kami
bersama puluhan bahkan ratusan jago, mencari jejak orang itu untuk diadili.
Tapi orang itu bagaikan ditelan bumi. Hingga akhirnya Perkumpulan Dewa
Darah-pun lenyap dengan sendirinya.
Syukurlah tidak ada
perusakan berarti selama intrik Anusapatik. Kami merasa sangat lega. Tapi aku
berpendapat, bisa saja setiap saat perkumpulan itu bangkit kembali. Karena itu
kami harus waspada dan senantiasa mengingatkan keturunan atau murid kami agar
bertindak hati-hati. Menurut Bayangan Angin perkumpulan yang dipimpin
Anusapatik, bertindak telegas dan memiliki ciri yang hampir sama dengan
tindakan yang pernah dilakukan Perkumpulan Angin Emas.
Hari-hari berikutnya kami
lalu dengan tenang. Tapi pada saat itu Bayangan Angin datang kembali, dia
mengatakan Perkumpulan Dewa Darah hanya satu diantara banyak perkumpulan
lainnya yang dipegang oleh seseorang yang bertindak lebih rahasia. Aku sebenarnya
sangat heran, dari mana Bayangan Angin mendapat berita itu?
Padahal aku dan puluhan
jago lainnya sudah mencari kemana-mana, namun tak ketemu juga. Berita adanya
perkumpulan lain juga tak kami dapati.
Karena kecurigaanku
beralasan, maka tanpa sungkan kutanyakan pada Bayangan Angin. Lalu dia
menjelaskan padaku, bahwa sesungguhnya keturunan dan anak murid Pisau Empat
Maut adalah para mata-mata yang disebarkan diseluruh penjuru. Maksud mereka
tersebar seperti itu untuk mengantisipasi agar kejadian seperti yang dilakukan
Tabib Malaikat, Tabib Dewa dan Maha Racun, tidak terulang kembali. Akupun
memahami tindakan mereka, namun Bayangan Angin mengatakan padaku agar setiap
keterangan yang dikatakan padaku, harus dirahasiakan, tidak boleh seorangpun
tahu akan hal ini—bahkan sobatku sendiri juga tak terkecuali.
Tentunya aku harus
merahasiakan hal itu. Karena itulah kutulis buku ini untuk mencurahkan semua
isi hatiku dan semua pengalamanku. Dan bagi yang mewarisinya juga harus menjaga
rahasia ini.
Jaka menghela nafas panjang,
ternyata catatan Ki Lukita itu belum pernah diberikan pada siapapun, bahkan
pada cucunya sendiri, hal ini membuat dia merasa terharu. Jaka menyadari pada
bab pertama yang dia baca, perkumpulan yang digambarkan Ki Lukita masih
sepintas kilas saja.
Mungkin penjelasan berikutnya
ada di bab kedua atau bab selanjutnya… pikir Jaka sembil membalik lembar
berikutnya.
Halaman kedua belas Tetulis
disana, Latar Belakang Sembilan Mustika Ilmu Silat, tentu saja Jaka girang
membaca tulisan itu. Hal inilah yang ingin dia ketahui, sebenarnya
keisitimewaan apa yang membuatnya menjadi sembilan mustika ilmu silat? Tapi
sebelum dia kembali membaca, Jaka merasa ragu untuk meneruskan. Jaka melongok
keluar bilik perahu.
"Rupanya sudah mulai
senja. Aku harus segera pulang, membacanya bisa kuteruskan kapan saja, tapi
masalah yang baru kualami tadi tidak boleh dibiarkan saja, kupikir Ki Lukita
harus tahu kejadian tadi." Pikir Jaka mengambil keputusan. Jaka segera
mengayuh dayungnya, tak berapa lama kemudian dia sampai di pinggir Telaga.
Senja sudah menjelang, tapi suasana Telaga Batu masih ramai, telaga ini
dipenuhi nelayan yang ingin menangkap ikan malam hari, tapi banyak diantara
pelancong sudah pulang.
Jaka melihat lelaki setengah
abad itu sedang duduk terkantuk-kantuk menunggui perahu yang disewanya.
"Pak," seru Jaka
memanggil.
"Ya-ya…" lelaki itu
menggeregap bangun. "Oh, tuan sudah kembali?"
"Ya, terima kasih kau
mau menyewakan perahumu, apa aku terlalu lama?"
"Ah, tidak apa-apa, saya
malah merasa kalau tuan terlalu sebentar, saya pikir kalau yang namanya lama
tentu sampai tujuh-delapan jam. Tapi tuan hanya memakai perahu empat jam
saja."
Jaka tersenyum tidak
menanggapi ucapan nelayan itu. "Kalau begitu saya pamit," kata pemuda
ini sambil mengangguk ramah.
"Oh, silahkan,"
seru nelayan ini sambil munduk-munduk. Setelah Jaka tak kelihatan lagi, lelaki
ini mengela nafas panjang. Dia mengapai seseorang di kejauhan sana, dan
diserahkan perahu tadi padanya. Orang yang digapainya segera datang dengan
wajah riang, dia tambah riang saat lelaki ini memberinya uang. Oh, ternyata
lelaki itu bukan pemilik perahu sebenarnya. Tapi ada juga nelayan yang menyewa
perahu, apa dia sengaja menyewanya untuk kepentingan lain?
"Sungguh, dia adalah
satu-satunya pelancong yang bersikap ramah dan pemurah pada nelayan, jarang
kiranya ada orang seperti itu. Apa yang dikatakan Kakang Lukita tidak salah,
pemuda ini berbakat bagus, berwatak baik pula."
Lelaki paruh baya itu
mengayunkan langkah, segera pergi dari situ. Ia terlihat mendekati seorang
lelaki lainnya, oh… ternyata seorang kakek, mungkin sepantar Ki Lukita. Kakek
itu sedang duduk ongkang-ongkang kaki sambil menghisap rokok lintingan.
"Bagaimana Benggala,
apakah benar calon yang cocok?" tanya Aki itu, begitu lelaki berusia
separuh abad sampai disitu.
"Lebih dari cocok,
kurasa dia yang terbaik, calon sempurna Kakang Glagah. Peruntungannya, dan
bakatnya jarang ditemui." Sahut orang itu yang ternyata bernama Benggala.
"Bagaimana dengan
persiapan kita?”
“Sempurna kakang.”
“Jika ada pion yang bisa menggertak
lari lawan, menurutmu bagiamana?”
“Sangat baik, tapi bisa
membuat perhitungan lawan berubah, begitupula dengan kita, mau tak mau siasat
juga harus diperbaharui.”
Ki Glagah menghembuskan asap
rokok jauh-jauh, “Kesimpulannya, kita tidak perlu kawatir dengan pemunculan
mereka.”
“Benar kakang…”
“Kabar yang kuterima, mereka
segera beraksi dua bulan lagi." Gumamnya sambil menghisap rokok
lintingannya dalam-dalam. "Bisa apa saja anak itu?" kembali Aki ini
bertanya pada Benggala.
Ki Benggala memandang telaga
sesaat. “Kakang bertanya padaku, bagaimana kepandaian seseorang yang sudah
kakang saksikan.”
“Ya, peringan tubuh seperti
itu diantara kita tak ada yang memilikinya.” Ki Benggala tersenyum, “Bukannya
membela dia, tapi peringan tubuh sehebat itu jarang terdapat didunia
persilatan.”
“Kau benar.”
“Darinya, Kakang Lukita
mengetahui bahwa dia mahir olah langkah. Di tambah peringan tubuh yang lihay,
siapa yang sanggup mengejarnya?”
Ki Glagah menggumam tak
jelas, tadi dia sempat melihat Jaka menggembangkan peringan tubuhnya, dia
berkesimpulan hanya orang berbakat, tekun, dan cerdas yang bisa menguasainya.
Tapi menurutnya jika hanya kecerdasan yang ditonjolkan, bukan hal menyenangkan
untuk membawanya menjadi bagian dari mereka. Orang cerdas sulit diatur, sulit diarahkan,
bisa saja dia selalu yakin bahwa pendapatnya yang paling bagus—merasa lebih
superior. Yang terpenting justru budi pekerti, dan kesetiaan.
"Masa Adi Lukita percaya
begitu saja? Sekalipun cukup lihay peringan tubuhnya, belum tentu hal
lain—seperti olah langkah, bisa dia kuasai."
Ki Benggala paham, maksud
kakangnya. "Tentu saja Kakang Lukita tidak sembarang menarik kesimpulan.
Dia bisa menyimpulkan demikian, lantaran pemuda itu mengerti barisan rumpun
bunga dirumahnya, adalah formasi Lima Dewa Menjaring Langit. Mungkin bagi pakar
fomasi barisan, tatanan bunga itu hanya terlihat sebagai formasi Teratai
Mengurung si Cantik. Tapi bagaimana mungkin anak itu bisa tahu, bahwa ada
formasi di balik formasi? Jika dia bukan orang yang paham seluk beluk segala macam
formasi, aku yakin dia tak bisa lolos dari dalam barisan. Adalah suatu
kemustahilan dia bisa lolos karena kebetulan.”
“Ada kejadian semacam itu?”
Ki Benggala mengangguk. “Aku
sendiri tak percaya, tapi menurut ceritanya, dia juga paham seluk beluk enam formasi
barisan gaib lain. Coba kakang pikir, mana ada kejadian kebetulan seperti
ini?"
"Oh…" kakek ini
terkesip. "Benar-benar tidak dinyana, bekal mapan digenggamannya!” kakek
itu menghembuskan asap rokok jauh-jauh. “Hh, ombak dibelakang selalu lebih
besar dari ombak didepan. Ada hal lain?"
“Hanya dugaan belaka, tak
patut dijadian acuan. Kiranya kakang bisa menilainya sendiri. Sayang, kakang
tidak sempat menemuinya. Tapi menurut Kakang Lukita, anak itu keras kepala,
masih terlalu polos. Tetapi jika ditilik kecerdikannya, dia musuh yang
menakutkan bagi siapa yang ingin menjadi seteru. Kalau melihat gerak geriknya,
Kakang Lukita menilai anak itu terlau sering bertindak ceroboh, acuh tak acuh.
Ia memisalkan, seandainyapun dia tahu bahwa ada rencana keji yang mengincarnya,
dia tak bakal mundur menghadapinya, malah sengaja membuat rencana tersebut
lancar. Dan dari dalam baru ia hancurkan. Hh, mana ada orang semacam itu?
Mulanya Kakang Lukita agak ragu untuk meminta dia menjadi muridnya, sebab dia
kawatir usia anak itu tidak panjang dengan sifat seperti itu. Toh, ia
memintanya juga.”
“Lalu kau berkesimpulan apa?”
Ki Glagah tahu, saudaranya itu ahli perbintangan dan bisa meramal nasib—tentu
saja tidak mutlak benar.
“Kesimpulanku, pilihan Kakang
Lukita tidak berlebihan. Seperti yang kukatakan tadi, bisa dikatakan dia calon
yang sempurna, anak itu banyak memiliki rejeki tak terduga."
Ki Glagah manggut-manggut
mendengar penilaian Benggala. "Kalau begitu kapan peresmian dan
pengujiannya?"
"Tak bisa ditentukan,
anak itu kabarnya ingin berpesiar dulu."
Mendengar jawaban Benggala,
kakek ini tertawa geli, "Benar-benar sangat mencocoki seleraku. Bagus, aku
jadi ingin cepat-cepat mengujinya." Katanya sambil tergelak.
Dia tidak kawatir pembicaraan
mereka disadap orang, meski ada orang yang menyadapnyapun mereka belum tentu
tahu artinya. Lagi pula mereka tidak kawatir sama sekali, karena mereka duduk
di tempat terbuka, selang jarak puluhan langkah tiada satu orangpun yang ada
disekitar mereka, lagi pula saat itu angin berhembus ketelaga. Sekalipun suara
mereka cukup keras, tak akan ada yang mendengar.
"Kalau
begitu mari kita pergi!" ajak Ki Gelagah. Keduanya berjalan beriringan
meninggalkan Telaga Batu. Suasana telaga terlihat lebih hening, meski banyak
nelayan mencari ikan. Sedikit demi sedikit matahari mulai condong kebarat dan
akhirnya tenggelam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar