Jumat, 13 September 2013

015 - Kisah Lampau Dalam Catatan Ki Lukita

Mengambil resiko—tanpa disadari—mungkin sudah menjadi kebiasaan Jaka. Saat racun pemilik perahu naga dilolohkan padanya, Jaka mengira bisa mengambil pelajaran, dengan menawarkannya. Tapi, nyatanya racun itu sudah pernah dia ketahui sebelumnya. Tentu saja menurut Jaka, kejadian itu tidak bermanfaat, selain kadarnya telalu rendah, racun semacam itu juga pernah dia tawarkan sebelumnya. Jika bagi dirinya bubuk pelumpuh tadi termasuk ‘obat usang’, mungkin berbeda bagi orang lain, bubuk itu termasuk racun yang jarang ditemui. Sudah tentu menurut pandangan kebanyakan orang, racun itu bukanlah ‘obat usang’, tapi masuk dalam jajaran racun mematikan.
Setidaknya rasa kesalku terobati, bisa mengelabui mereka juga hasil cukup memuaskan. Apa tak pernah terpikir dibenak mereka, sebuah kegagalan? Memangnya setiap perbuatan yang berlaku untuk seseorang, bisa berlaku untuk yang lain? Pikir Jaka merasa beruntung, bahwa mereka ‘ceroboh’.
Pemuda ini tak memikirkan kemampuan dirinya, seolah tiap orang bisa berbuat seperti dia. Dengan sendirinya mereka—orang Perguruan Naga Batu—yakin 100% atas keberhasilan racunnya. Tentu saja tak terpikir, bahwa; ada orang yang paham—dan bisa memunahkan—racun yang mereka gunakan.

Jaka mengayuh perahunya dengan tenang, perasaan dongkolnya sudah lenyap. Pemuda ini kembali menuju tengah telaga, karena dia harus mengembalikan perahu yang dipakainya, sebelum matahari tenggelam. Tapi sesaat sebelum dia berpikir untuk menyudahi pesiarnya, teringat olehnya catatan pemberian Ki Lukita.
Tidak ada salahnya aku membaca catatan Ki Lukita, tak ada orang yang menggangguku. Paling tidak, setengah jam aku sudah selesai dengan catatan ini.
Jaka berpikir, meskipun dia lebih lama lagi membaca catatan itu, rasanya tak masalah jika hanya sekedar mengembalikan perahu. Apalagi Jaka memutusakan, setelah ‘acara pesiar yang mendebarkan’ hari ini, malam nanti dia harus segera kerumah Aki, untuk membicarkan banyak hal.
Mumpung masih ada waktu luang sedikit, Jaka segera mengeluarkan catatan Ki Lukita. Saat menerimanya, Jaka tidak memperhatikan rupa dan tulisannya. Dia baru sadar, pada sampul catatan itu, tertulis goresan huruf yang indah. CATATAN KEDUA, begitulah tertulis disampul depannya. Di bawahnya, terdapat tulisan lain; Di usia tiga puluh tahun meraih ketenaran dan julukan kosong, semuanya tertuang didalam.
Jaka sangat tertarik dengan gaya bahasa yang ditulis Ki Lukita, dari tulisan dan caranya ia menyampaikan, ia dapat menilai, Ki Lukita adalah orang yang sadar dengan kelebihan dan kekurangan dirinya. Dia sudah dapat melepaskan rasa ke-aku-an atau egois.
Halaman pertama.
Berkecimpung di dunia persilatan terlalu banyak pahit-getir dari pada kesenangannya. Kudapati, saat itu terlalu banyak ragam manusia yang bertindak sesuka hati. Terlalu banyak yang menempuh jalan sesat, mengerjakan segala perbuatan kotor, entah apa enaknya. Tapi ada pula yang menuruti ajaran kebenaran.
Biasanya para penjahat yang tergolong ‘amatiran’ selalu bertindak terang-terangan, kupikir itu lebih mudah dihadapi, dari pada mereka yang melakukannya sembunyi-sembunyi.
Diam-diam atau terang-terangan, tak masalah buatku, itu adalah tantangan, dan aku sangat menyukai seni berpikir—cara bagaimana menangkap para durjana. Tapi tak terpikir olehku, ada juga durjana yang mengendalikan semua operasi busuknya di sebuah perguruan terhormat, Menak Inggil!
Siapapun tidak akan mengira dalam perguruan yang cukup masyur, bercokol seorang durjana, ya… apapun julukan baik padanya, orang itu memang iblis, seorang munafik yang membuatku merinding jika melihat wajahnya. Dia bernama Anusapatik… pada waktu kejadian itu, aku sudah dijuluki orang Naga Kepalan Baja. Mungkin orang menjulukiku karena aku adalah salah satu pewaris sembilan mustika ilmu silat.
Aku mengetahui perihal Anusapatik dari seseorang, ya… bagiku si pembawa kabar sangat aneh dan misterius. Tak terbayangkan olehku ada orang memiliki peringan tubuh selihay dia. Saat itu aku baru sadar diatas langit masih ada langit. Karena tak tahu siapa orang itu, kujuluki saja dia Si Bayangan Angin. Orang itu mengabarkan bahwa sedang ada sesuatu yang mengerikan tumbuh di dalam Perguruan Menak Inggil. Jika tak diberantas akan mengancam ketenangan orang banyak, aku diharuskan olehnya segera bertindak—tentu saja secara diam-diam. Semula aku tak ingin mengetahui apakah kabar itu benar atau tidak, jadi aku tidak mengambil tindakan apa-apa. Menurutku tak mungkin Perguruan Merak Inggil bertindak sejauh itu, apalagi aku kenal baik dengan ketuanya. Tapi pendapatku itu terpaksa kurubah, karena sahabat karibku sendiri Si Manusia Karet juga memberi kabar, bahwa dalam Perguruan Menak Inggil bercokol ‘bisul busuk’—itu istilahnya mengartikan keadaan bahaya, haha... orang itu memang kocak.
Tak perlu kupertimbangkan lagi, aku memang harus bertindak secepatrnya! Rasa penasaranku lebih banyak merangsang hatiku, dari pada harus menangani urusan yang semula kupandang penting… aku dan sobatku segera pergi kesana.
Namun apa yang kami temui waktu itu? Ternyata orang yang dikabarkan merupakan gembong iblis dan seorang munafik berbahaya, tak lebih hanya lelaki berumur sebaya denganku (30-an). Lelaki itu sangat ramah, kami hampir tak pecaya dengan apa yang di lihat, jika tak mengingat kenyataan yang sudah diketahui, kami pasti terjebak dalam perangkap orang itu. Tak kuduga sudah banyak jago yang dilumpuhkannya dengan pengaruh bubuk laknat Pelumpuh Otak. Sungguh, tindakannya itu tidak lagi tanggung-tanggung, dia benar-benar berambisi besar!
Membaca sampai disitu Jaka terkejut. Eh, bubuk itu lagi? Heran, barang busuk itu kenapa banyak berperan… apakah Pelindung Perguruan Naga Batu juga ada hubungannya dengan cerita ini? Jangan-jangan, mereka salah satu anggota Anusapatik yang meneruskan cita-citanya? Apa mungkin semua ini hanya kebetulan? Jaka berpikir untuk beberapa saat. Merasa tak ada gunanya memikirkan hal yang belum tentu berkaitan—meski ada kesamaan, Jaka kembali membaca catatan Ki Lukita.
Halaman Keempat
Sekian lama kami menyelidik, kami memperoleh kenyataan yang mengejutkan, yakni Anusapatik ada hubungan dengan Si Nyawa Pedang, konon orang itu pernah berjumpa dengan Raja Jagal, dan belajar beberapa kepandaian. Usut punya usut, Raja Jagal pernah berguru pada salah satu cucu murid Tabib Malaikat. Jadi aku berkesimpulan Anusapatik memperoleh kepandaian mengolah racun, lantaran para penghubungnya (Si Nyawa Pedang dan Raja Jagal) ada sedikit berhubungan dengan tokoh menggemparkan Tabib Malaikat.
Sampai disitu, mendadak wajah Jaka memucat, wajah yang biasa berseri itu terlihat berkerut-kerut sesaat, seolah pemuda ini menahan suatu perasaan yang tak bisa ia kemukakan pada siapapun, kecuali pada dirinya sendiri. Selang beberapa saat, Jaka menghela nafas panjang.
Untuk apa kupikirkan lagi, yang lalu biarlah berlalu. Suatu saat akan datang kesempatan baik bagiku, dengan alasan yang lebih baik pula... memangnya apa yang berlalu bagi pemuda ini? Apakah lantaran ada sepotong kata Tabib Malaikat, atau Si Nyawa Pedang, atau Raja Jagal? Apapun itu, rahasia tersebut masih tersimpan jauh dihati Jaka. Pemuda ini kembali membaca dengan cermat.
Nama Tabib Malaikat sudah mengguncangkan dunia persilatan satu setengah abad silam. Mulanya kami benar-benar tidak percaya pada penyelidikan kami sendiri. Tapi menilik kepandaian Anusapatik dalam hal obat bius dan racun, kesimpulanku memang benar! Cuma yang membuatku bingung, apakah dia menguasai keahlian racun itu lantaran sebuah nama Tabib Malaikat? Jika bukan, lantas apa? Apakah penyelidikan kami itu sia-sia belaka? Aku benar-benar bingung, beruntung rekan-rekan selalu mendukungku. Apapun hasil penyelidikan kami, kuputuskan untuk tidak bertindak gegabah.
Kabar miring kembali kuterima, kali ini menyatakan bahwa jago kelas satu dan kelas dua dari enam belas perguruan ternama, sudah dia pengaruhi. Tapi anehnya semua murid perguruan Menak Inggil, bahkan ketuanya sendiri, tidak tahu apa yang dilakukan manusia durjana itu. Aneh… dari mana Si Bayangan Angin mengetahui kabar itu?
Setengah tahun setelah berkunjung ke Menak Inggil, kami mendengar kabar, banyak jago-jago silat yang menghilang. Segera kami menduga bahwa kejadian itu pasti ulah Anusapatik. Tapi kami tidak bisa bertindak begitu saja, sebab dunia persilatan juga memiliki peraturan keras. Kalau tidak ada bukti kuat, justru kamilah yang dituduh sebagai pengacau yang mencoba merusak hubungan baik Anusapatik dengan tokoh-tokoh sakti.
Perkara bahwa tokoh-tokoh sakti mendukung apa yang dilakukan Anusapatik, tak terpandang sebagai kejadian mencurigakan oleh para sesepuh. Tapi salah satu dari beliau memberi isyarat, ‘lakukan apa yang ingin kau lakukan, tapi berikan kami bukti’. Terang saja kami tak bisa memberi mereka bukti dalam waktu dekat. Kami berpikir betapa ironisnya sebuah harga keadilan.
Kami insaf dengan situasi tersebut, apalagi karena hampir semua tokoh silat, mendukung—mungkin sudah dikuasai sepenuhnya—manusia itu. Kondisi yang maju salah mundur salah itu benar-benar buntu bagi kami, apa yang harus kami lakukan, kami hampir menyerah! Padahal pertarungan belum lagi dimulai! Sungguh, kuakui betapa pandaianya manusia bernama Anusapatik mengelola kekacauan, berkedok ‘memberantas kejahatan’.
Untung saja—dalam keadaan bimbang—kami kembali dikejutkan oleh kemunculan Bayangan Angin. Orang yang sangat misterius itu menyarankan agar kami masuk kedalam tubuh perkumpulan rahasia yang sedang dibentuk Anusapatik. Namun saat itu kami menolak, ada banyak alasan kenapa kami tolak,
Pertama : Anusapatik mungkin sudah curiga dengan berbagai penyelidikan yang kami lakukan.
Kedua; seandaianya dia tak curiga, bagaimana caranya kami memasukinya? Kami tak punya jalur kesana.
Ketiga; mutlak bagi kami, tidak bisa memasuki kelompok rahasia—walaupun sebagai anggota tingkat rendahan, karena setiap anggotanya dicekoki dengan bubuk racun. Lalu bagaimana kami bertindak?
Si Bayangan Angin hanya tertawa saja mendengar keluhan kami, dia berkata, cara apapun supaya kami lakukan untuk menyusup kedalam, dan untuk masalah racun, dia yang mengatasi. Si Bayangan Angin menyerahkan sebuah karung besar… ternyata isinya obat penawar racun.
Sungguh tak habis pikir aku dibuatnya. Kabar pertama kami terima, antisipasi racun juga kami terima dari dia, kenapa dia tidak menindaknya sendiri? Malah dikabarkan kepada kami? Memangnya dia ada urusan lebih penting?
Sebimbang apapun aku memikirkan tindakannya, akhirnya aku percaya saja. Dia menyarankan kepada kami asal memakan sebuah pil berwarna merah, maka dalam jangka empat bulan biarpun kami dicekoki racun paling ganas, tak bakal mencelakakan kami begitulah katanya. Memangnya ada pil sehebat itu?
Sekalipun aku sudah percaya padanya, mendengar uraiannya tadi toh, muncul kembali kecurigaanku. Jangan-jangan Si Bayangan Angin juga salah satu antek Anusapatik yang bekerja diam-diam, seolah menetang orang itu, padahal ia justru membantu—melenyapkannya. Berpikir seperti itu, kami tak ingin bertindak ceroboh dengan mempercayai ucapannya begitu saja. Tapi nyatanya melihat kami berdua terdiam, Si Bayangan Angin tahu apa yang kami pikirkan. Orang itu mengeluarkan sebuah lencana dari emas, sebuah lencana yang bergambar naga kepala tiga dan kepala harimau ditengahnya.
Melihat lencana itu kami tertegun tak percaya, lencana itu adalah milik pendekar besar yang amat disegani pada masa delapan dasawarsa lalu, orang yang disegani kaum persilatan itu adalah Pisau Empat Maut, pada jamannya, beliau merupakan tokoh yang menumpas Perkumpulan Angin Emas, sebuah perkumpulan yang berniat menguasai seluruh dunia persilatan dengan ilmu sihir dan racun. Kami tahu, waktu itu beliau hanya bertindak sendirian, namun berhasil menghancurkan perkumpulan yang memiliki jaringan luas. Karena jasanya maka orang memilih dia untuk menjadi Ketua Dunia Persilatan. Dan mulai saat itu Lencana Tiga Naga Harimau muncul sebagai tanda keberadaannya...
Setelah melihat lencana itu, kami sadar bahwa orang itu berniat membantu kami. Saat itu sebelum kami bertindak, Si Bayangan Angin mengatakan kalau dia adalah keturunan dari pemimpin dunia persilatan. Menurutnya, dia terpaksa bertindak secara rahasia, karena keadaan, juga lantaran tradisi dalam keluarga Pisau Empat Maut, karena hal itulah maka identitasnya aslinya tidak boleh tersiar.
Mendapatkan bantuan keturunan tokoh besar, tentu saja kami sangat bersyukur. Saat kami hendak pergi, orang itu menyarankan pada kami agar tiap tindakan harus dilakukan dengan sangat hati-hati, sebab hakikatnya apa yang dilakukan Anusapatik sama sekali tiada orang yang tahu, tiada yang curiga. Hanya kami dan Bayangan Angin saja yang tahu tindakannya itu. Bayangan Angin juga mengatakan pada kami, dalam kurun waktu setengah tahun kedepan, Anusapatik segera muncul kepermukaan.
Kaget juga kami mendengarnya, sekalipun kami bertindak hati-hati, ada juga orang yang mengendus kegiatan kami. Dan segala sesuatunya terlambat… saat kami sudah berhasil menyelundup kedalam perkumpulan yang dinamakannya dengan Perkumpulan Dewa Darah, Anusapatik sudah bertindak! Padahal menurut perhitungan kami, masih ada empat bulan lagi baru bertindak. Sungguh gawat…
Tapi kamipun bersyukur bisa menyelundup masuk. Kami berencana akan membebaskan semua rekan dari kungkungan bubuk racun. Tapi sayangnya kami memang terlambat dan tidak bisa membaca situasi, hanya ada tujuh orang saja yang sanggup kami bebaskan dari bubuk laknat itu. Tapi itupun sudah cukup, tenaga mereka sangat kami butuhkan.
Keadaan makin gawat, kami tidak berani bertindak terang-terangan. Kami bertindak seolah masih berada dibawah pengaruh bubuk racun itu. Namun hati kami benar-benar sakit, apa yang dperintahkan pada kami dan semua rekan yang masih teracuni, adalah melakukan segala kekejian yang tak pernah terpikirkan. Manusia Karet—sobatku berpendapat bahwa, lebih baik kita segera memberontak, dari pada mengerjakan perintah laknat. Aku terpaksa menghalanginya, dan kukatakan kepadanya, bahwa kita tidak akan bertindak sebrutal itu, kita akan menotok orang yang kita lawan dengan totokan hidup-mati.
Dengan demikian korban yang terkena hanya akan pingsan dalam tiga hari dan mereka akan segera pulih kembali. Mula-mula ia tak setuju, namun aku juga mengatakan alasannya bahwa di perjalanan nanti kita bisa menyadarkan tiap anggota dengan membinaskan tiga orang yang menjadi pengamat dan juga merupakan kepercayaan Anusapatik. Setelah rencana tersusun matang, maka kami segera menjalankannya.
Tapi mendadak kami sadar, ada satu kesulitan yang tak terpikirkan lebih dulu, yakni; sebagai orang yang terkena racun, korban sama sekali tidak memiliki keinginan pribadi, konon lagi untuk bercakap-cakap dengan orang. Bagaimana mungkin kami bertindak diluar perintah para pengawas? Menyadari sulitnya situasi, Manusia Karet menyarankan padaku, saat giliran membagi makan minum kita bisa menaruh obat penidur didalamnya.
Rencana itu memang bagus dan sangat sempurna, tapi pelaksanaannya sangat sulit. Pertama kami tidak memiliki obat bius, yang kedua karena rombongan kami ada puluhan orang, sedangkan giliran kami untuk menyediakan makan minum masih lama, jadi untuk bertindak sangat sulit. Bisa jadi sebelum kami sempat memperoleh giliran, kami sudah sampai ditempat tujuan, dan mulailah semua kebrutalan...
Berpikir demikian, hati kami merasa sangat ngeri, untunglah ditengah jalan tiga orang pengamat itu menghentikan rombongan dan memutuskan untuk mencari jalan memutar agar perjalanan kami tidak diketahui orang. Tapi sialnya, diperjalanan memutar itulah tiga pengamat itu membawa kawan lagi, mereka ada dua belas orang. Dan tentunya dua belas orang itu adalah antek kepercayaan Anusapatik pula. Akhirnya, tiba saatnya bagi kami menyediakan makan minum… tapi kami tidak tahu harus bertidak apa, obat bius yang dimaksudkan sobatku tidak ada pada kami.
Dari pada tak melakukan apapun, aku memutuskan bertindak, obat penawar yang diberikan oleh Bayangan Angin, kucampurkan pada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman yang kami butuhkan sangat banyak, maka obat penawar terpaksa kami habiskan untuk mencampur kedalamnya. Kami sadar, takaran dan kadar racun pada tiap korban berbeda-beda, menawarkan racun tak semudah—hanya dengan mencampurkan saja. Tapi kondisi saat itu benar-benar tak memungkinkan kami untuk berpikir lain hal. Saat memasukkan penawar, aku berharap obat itu benar-benar semujarab yang diceritakan Bayangan Angin, jadi tak ada takaran tertentu—bahwa harus memberinya penawar dengan kadar sekian, sekian, sekian… mudah-mudahan tidak begitu.
Tapi ada satu hal lagi yang kami lupakan, orang yang terkena bubuk racun, setelah meminum penawarnya akan tidur lelap dua-tiga jam. Saat mereka tertidur, tentunya lima belas pengamat curiga pada kami, sebagai orang yang menyiapkan makan minum. Kuduga, mereka akan segera menyerang kami…
Untuk bertarung, kukira itu bukan masalah. Karena kami berdua adalah orang yang mewarisi salah satu sembilan mustika ilmu silat, aku menguasai Tapak Naga Besi sedangkan sobatku menguasai Hawa Bola Sakti.
”Oh, jadi yang dimaksudkan dengan sahabat karib Ki Lukita, bahwa beliau memiliki ilmu lihay apakah Manusia Karet? Mungkin aku harus banyak minta petunjuk padanya." Jaka melanjutkan membacanya.
Jadi untuk masalah kemampuan ilmu silat kami bisa diandalkan. Tapi lima belas orang pengamat itupun bukan manusia gentong nasi belaka, mereka juga memiliki kelihayan hebat. Kami memperhitungkan, paling tidak kami bisa menahan lima belas orang itu dalam jangka waktu satu-dua jam. Tapi waktu itu Manusia Karet berpendapat lain, dia berpikir sekalipun kami sanggup menahan mereka, tapi setelah siuman tentu rekan kami sekalian akan linglung sebentar, mungkin saja keadaan itu bisa digunakan oleh lima belas orang itu untuk menyandera atau memfitnah bahwa kami adalah orang yang meracuni mereka.
Sebelum terjadinya pertarungan, kami meninggalkan semua resiko yang mungkin ditanggung. Berpikir demikian, kami segera memasukkan seluruh obat penawar kedalam makanan dan minuman. Dan satu hal paling penting dilakukan sahabatku, dia menulis keterangan singkat, yang rencananya akan dimasukan kesaku salah seorang rekan kami yang keracunan. Tulisan itu berisi penjelasan, bagaimana mereka diracuni oleh Anusapatik, pada tulisan terakhir, terpaksa dibubuhi dengan julukan kami agar mereka percaya bahwa, kondisi saat itu memang gawat.
Waktu berlalu terasa lambat, akhirnya semua orang segera menyantap makanan yang kami sediakan. Satu jam setelah makan, empat puluh tujuh jago yang keracunan tertidur lelap. Saat itu aku bimbang, tapi Manusia Karet segera bertindak cepat. Ia juga pura-pura tertidur. Akupun melakukan hal yang sama. Sayang sekali para pengawas itu bukan manusia bodoh, mereka bertindak cekatan, tanpa pikir panjang lagi mereka langsung menyerangku dan menyerang Manusia Karet.
Dengan kemampuan kami berdua, ramalanku tepat sekali, dalam waktu satu-dua jam kami bisa menahan lima belas orang itu. Waktu itu kami sama sekali tidak menjatuhkan tangan maut pada mereka, sebab kami ingin menyadarkan orang-orang itu—siapa tahu mereka juga kena bius.
Sungguh keputusan tepat, mulia, pikir Jaka kagum dengan tindakan Ki Lukita dan sahabatnya. Kembali dia membaca.
Disaat-saat seperti itu, kami sama sekali tidak menyangka bahwa lima belas orang itu masih memiliki teman, untungnya teman mereka datang pada saat kami bertarung hampir dua jam, kalau tidak, usaha kami untuk mengulur waktu akan gagal. Lawan kami bertambah dua belas orang lagi. Saat itu kami bertekad mengadu jiwa, agar orang-orang itu tidak ada kesempatan mencekoki kembali, rekan kami yang sedang terlelap. Namun usaha kami agaknya akan mengalami kegagalan, sebab tenaga kami habis terkuras. Lawan terlalu tangguh, untung saja Tuhan masih melindungi kami, disaat genting Bayangan Angin dengan dua orang rekannya, muncul membantu kami. Akhirnya kami berhasil menyadarkan kembali rekan kami yang terkena racun.
Dan mereka yang mengeroyok kami, segera menyadari situasi tidak memungkinkan, apalagi mereka juga melihat empat puluh tujuh jago sudah siuman, mereka segera kabur. Kami membiarkan mereka pergi. Dan kami berlima memberi penjelasan pada rekan kami bahwa mereka baru saja terbebas dari racun. Empat puluh tujuh jago itu akhirnya mengingat kembali kejadian sebetulnya hingga mereka di cekoki racun oleh Anusapatik.
Lalu dengan kekuatan kami yang bertambah banyak, dan bekal obat penawar racun, kamipun segera membebaskan rekan yang ada di kelompok lain. Pada saat kami hendak mencari Anusapatik dan gerombolannya, ternyata mereka sudah raib entah kemana. Selama dua tahun kami bersama puluhan bahkan ratusan jago, mencari jejak orang itu untuk diadili. Tapi orang itu bagaikan ditelan bumi. Hingga akhirnya Perkumpulan Dewa Darah-pun lenyap dengan sendirinya.
Syukurlah tidak ada perusakan berarti selama intrik Anusapatik. Kami merasa sangat lega. Tapi aku berpendapat, bisa saja setiap saat perkumpulan itu bangkit kembali. Karena itu kami harus waspada dan senantiasa mengingatkan keturunan atau murid kami agar bertindak hati-hati. Menurut Bayangan Angin perkumpulan yang dipimpin Anusapatik, bertindak telegas dan memiliki ciri yang hampir sama dengan tindakan yang pernah dilakukan Perkumpulan Angin Emas.
Hari-hari berikutnya kami lalu dengan tenang. Tapi pada saat itu Bayangan Angin datang kembali, dia mengatakan Perkumpulan Dewa Darah hanya satu diantara banyak perkumpulan lainnya yang dipegang oleh seseorang yang bertindak lebih rahasia. Aku sebenarnya sangat heran, dari mana Bayangan Angin mendapat berita itu?
Padahal aku dan puluhan jago lainnya sudah mencari kemana-mana, namun tak ketemu juga. Berita adanya perkumpulan lain juga tak kami dapati.
Karena kecurigaanku beralasan, maka tanpa sungkan kutanyakan pada Bayangan Angin. Lalu dia menjelaskan padaku, bahwa sesungguhnya keturunan dan anak murid Pisau Empat Maut adalah para mata-mata yang disebarkan diseluruh penjuru. Maksud mereka tersebar seperti itu untuk mengantisipasi agar kejadian seperti yang dilakukan Tabib Malaikat, Tabib Dewa dan Maha Racun, tidak terulang kembali. Akupun memahami tindakan mereka, namun Bayangan Angin mengatakan padaku agar setiap keterangan yang dikatakan padaku, harus dirahasiakan, tidak boleh seorangpun tahu akan hal ini—bahkan sobatku sendiri juga tak terkecuali.
Tentunya aku harus merahasiakan hal itu. Karena itulah kutulis buku ini untuk mencurahkan semua isi hatiku dan semua pengalamanku. Dan bagi yang mewarisinya juga harus menjaga rahasia ini.
Jaka menghela nafas panjang, ternyata catatan Ki Lukita itu belum pernah diberikan pada siapapun, bahkan pada cucunya sendiri, hal ini membuat dia merasa terharu. Jaka menyadari pada bab pertama yang dia baca, perkumpulan yang digambarkan Ki Lukita masih sepintas kilas saja.
Mungkin penjelasan berikutnya ada di bab kedua atau bab selanjutnya… pikir Jaka sembil membalik lembar berikutnya.
Halaman kedua belas Tetulis disana, Latar Belakang Sembilan Mustika Ilmu Silat, tentu saja Jaka girang membaca tulisan itu. Hal inilah yang ingin dia ketahui, sebenarnya keisitimewaan apa yang membuatnya menjadi sembilan mustika ilmu silat? Tapi sebelum dia kembali membaca, Jaka merasa ragu untuk meneruskan. Jaka melongok keluar bilik perahu.
"Rupanya sudah mulai senja. Aku harus segera pulang, membacanya bisa kuteruskan kapan saja, tapi masalah yang baru kualami tadi tidak boleh dibiarkan saja, kupikir Ki Lukita harus tahu kejadian tadi." Pikir Jaka mengambil keputusan. Jaka segera mengayuh dayungnya, tak berapa lama kemudian dia sampai di pinggir Telaga. Senja sudah menjelang, tapi suasana Telaga Batu masih ramai, telaga ini dipenuhi nelayan yang ingin menangkap ikan malam hari, tapi banyak diantara pelancong sudah pulang.
Jaka melihat lelaki setengah abad itu sedang duduk terkantuk-kantuk menunggui perahu yang disewanya.
"Pak," seru Jaka memanggil.
"Ya-ya…" lelaki itu menggeregap bangun. "Oh, tuan sudah kembali?"
"Ya, terima kasih kau mau menyewakan perahumu, apa aku terlalu lama?"
"Ah, tidak apa-apa, saya malah merasa kalau tuan terlalu sebentar, saya pikir kalau yang namanya lama tentu sampai tujuh-delapan jam. Tapi tuan hanya memakai perahu empat jam saja."
Jaka tersenyum tidak menanggapi ucapan nelayan itu. "Kalau begitu saya pamit," kata pemuda ini sambil mengangguk ramah.
"Oh, silahkan," seru nelayan ini sambil munduk-munduk. Setelah Jaka tak kelihatan lagi, lelaki ini mengela nafas panjang. Dia mengapai seseorang di kejauhan sana, dan diserahkan perahu tadi padanya. Orang yang digapainya segera datang dengan wajah riang, dia tambah riang saat lelaki ini memberinya uang. Oh, ternyata lelaki itu bukan pemilik perahu sebenarnya. Tapi ada juga nelayan yang menyewa perahu, apa dia sengaja menyewanya untuk kepentingan lain?
"Sungguh, dia adalah satu-satunya pelancong yang bersikap ramah dan pemurah pada nelayan, jarang kiranya ada orang seperti itu. Apa yang dikatakan Kakang Lukita tidak salah, pemuda ini berbakat bagus, berwatak baik pula."
Lelaki paruh baya itu mengayunkan langkah, segera pergi dari situ. Ia terlihat mendekati seorang lelaki lainnya, oh… ternyata seorang kakek, mungkin sepantar Ki Lukita. Kakek itu sedang duduk ongkang-ongkang kaki sambil menghisap rokok lintingan.
"Bagaimana Benggala, apakah benar calon yang cocok?" tanya Aki itu, begitu lelaki berusia separuh abad sampai disitu.
"Lebih dari cocok, kurasa dia yang terbaik, calon sempurna Kakang Glagah. Peruntungannya, dan bakatnya jarang ditemui." Sahut orang itu yang ternyata bernama Benggala.
"Bagaimana dengan persiapan kita?”
“Sempurna kakang.”
“Jika ada pion yang bisa menggertak lari lawan, menurutmu bagiamana?”
“Sangat baik, tapi bisa membuat perhitungan lawan berubah, begitupula dengan kita, mau tak mau siasat juga harus diperbaharui.”
Ki Glagah menghembuskan asap rokok jauh-jauh, “Kesimpulannya, kita tidak perlu kawatir dengan pemunculan mereka.”
“Benar kakang…”
“Kabar yang kuterima, mereka segera beraksi dua bulan lagi." Gumamnya sambil menghisap rokok lintingannya dalam-dalam. "Bisa apa saja anak itu?" kembali Aki ini bertanya pada Benggala.
Ki Benggala memandang telaga sesaat. “Kakang bertanya padaku, bagaimana kepandaian seseorang yang sudah kakang saksikan.”
“Ya, peringan tubuh seperti itu diantara kita tak ada yang memilikinya.” Ki Benggala tersenyum, “Bukannya membela dia, tapi peringan tubuh sehebat itu jarang terdapat didunia persilatan.”
“Kau benar.”
“Darinya, Kakang Lukita mengetahui bahwa dia mahir olah langkah. Di tambah peringan tubuh yang lihay, siapa yang sanggup mengejarnya?”
Ki Glagah menggumam tak jelas, tadi dia sempat melihat Jaka menggembangkan peringan tubuhnya, dia berkesimpulan hanya orang berbakat, tekun, dan cerdas yang bisa menguasainya. Tapi menurutnya jika hanya kecerdasan yang ditonjolkan, bukan hal menyenangkan untuk membawanya menjadi bagian dari mereka. Orang cerdas sulit diatur, sulit diarahkan, bisa saja dia selalu yakin bahwa pendapatnya yang paling bagus—merasa lebih superior. Yang terpenting justru budi pekerti, dan kesetiaan.
"Masa Adi Lukita percaya begitu saja? Sekalipun cukup lihay peringan tubuhnya, belum tentu hal lain—seperti olah langkah, bisa dia kuasai."
Ki Benggala paham, maksud kakangnya. "Tentu saja Kakang Lukita tidak sembarang menarik kesimpulan. Dia bisa menyimpulkan demikian, lantaran pemuda itu mengerti barisan rumpun bunga dirumahnya, adalah formasi Lima Dewa Menjaring Langit. Mungkin bagi pakar fomasi barisan, tatanan bunga itu hanya terlihat sebagai formasi Teratai Mengurung si Cantik. Tapi bagaimana mungkin anak itu bisa tahu, bahwa ada formasi di balik formasi? Jika dia bukan orang yang paham seluk beluk segala macam formasi, aku yakin dia tak bisa lolos dari dalam barisan. Adalah suatu kemustahilan dia bisa lolos karena kebetulan.”
“Ada kejadian semacam itu?”
Ki Benggala mengangguk. “Aku sendiri tak percaya, tapi menurut ceritanya, dia juga paham seluk beluk enam formasi barisan gaib lain. Coba kakang pikir, mana ada kejadian kebetulan seperti ini?"
"Oh…" kakek ini terkesip. "Benar-benar tidak dinyana, bekal mapan digenggamannya!” kakek itu menghembuskan asap rokok jauh-jauh. “Hh, ombak dibelakang selalu lebih besar dari ombak didepan. Ada hal lain?"
“Hanya dugaan belaka, tak patut dijadian acuan. Kiranya kakang bisa menilainya sendiri. Sayang, kakang tidak sempat menemuinya. Tapi menurut Kakang Lukita, anak itu keras kepala, masih terlalu polos. Tetapi jika ditilik kecerdikannya, dia musuh yang menakutkan bagi siapa yang ingin menjadi seteru. Kalau melihat gerak geriknya, Kakang Lukita menilai anak itu terlau sering bertindak ceroboh, acuh tak acuh. Ia memisalkan, seandainyapun dia tahu bahwa ada rencana keji yang mengincarnya, dia tak bakal mundur menghadapinya, malah sengaja membuat rencana tersebut lancar. Dan dari dalam baru ia hancurkan. Hh, mana ada orang semacam itu? Mulanya Kakang Lukita agak ragu untuk meminta dia menjadi muridnya, sebab dia kawatir usia anak itu tidak panjang dengan sifat seperti itu. Toh, ia memintanya juga.”
“Lalu kau berkesimpulan apa?” Ki Glagah tahu, saudaranya itu ahli perbintangan dan bisa meramal nasib—tentu saja tidak mutlak benar.
“Kesimpulanku, pilihan Kakang Lukita tidak berlebihan. Seperti yang kukatakan tadi, bisa dikatakan dia calon yang sempurna, anak itu banyak memiliki rejeki tak terduga."
Ki Glagah manggut-manggut mendengar penilaian Benggala. "Kalau begitu kapan peresmian dan pengujiannya?"
"Tak bisa ditentukan, anak itu kabarnya ingin berpesiar dulu."
Mendengar jawaban Benggala, kakek ini tertawa geli, "Benar-benar sangat mencocoki seleraku. Bagus, aku jadi ingin cepat-cepat mengujinya." Katanya sambil tergelak.
Dia tidak kawatir pembicaraan mereka disadap orang, meski ada orang yang menyadapnyapun mereka belum tentu tahu artinya. Lagi pula mereka tidak kawatir sama sekali, karena mereka duduk di tempat terbuka, selang jarak puluhan langkah tiada satu orangpun yang ada disekitar mereka, lagi pula saat itu angin berhembus ketelaga. Sekalipun suara mereka cukup keras, tak akan ada yang mendengar.
"Kalau begitu mari kita pergi!" ajak Ki Gelagah. Keduanya berjalan beriringan meninggalkan Telaga Batu. Suasana telaga terlihat lebih hening, meski banyak nelayan mencari ikan. Sedikit demi sedikit matahari mulai condong kebarat dan akhirnya tenggelam...

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar