Jumat, 13 September 2013

019 - Tawanan dari Perguruan Sampar Angin



Untuk sesaat dua orang itu kelihatan tertegun. Mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat. Keduanya saling berpandangan, dari mata mereka terkandung satu maksud. Membunuh pemuda itu dan melenyapkan bukti, atau menyekap dan melepaskan sampai waktunya memungkinkan!
"Entah kami ini kurang ajar, atau memang terpaksa bertindak kurang ajar," kata Panah Tiga Belas. "Si kedok yang kau ceritakan tadi terpaksa kami kesampingkan, dan sekarang kami ingin tahu asal-usul dirimu yang sebenarnya. Kalau tidak, engkau sudah bisa membayangkan apa yang akan kami lakukan padamu." Kata orang tinggi kurus ini dengan ramah. Justru ucapan bernada ramah seperti itulah yang membuat orang bergidik, kalau orang bersuara dengan bengis, sedikit banyak keberanian akan tersentak, tapi suara ramah seperti itu justru menimbulkan perasaan ngeri.
Pemuda itu menyadari bahaya yang sedang dia hadapi, hatinya bergetar, wajahnya pias. Untung baginya kegelapan malam bisa menyembunyikan perubahan wajahnya—karena cemas.

Dengan menenangkan hati ia berkata. "Kalau kalian tidak percaya, aku mau bilang apa lagi? Andai kalian sanggup mengenali jurus Perguruan Sampar Angin, kupersilahkan kalian membebaskan totokan, dan kita bertarung sampai puas! Aku yakin, kalian pasti kalah!”
Dua orang itu saling pandang, mereka merasa serba ragu untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.
“Lagipula aku yakin, kalian tidak akan bertindak bodoh dengan membunuhku begitu saja…”
“Ha, dari mana kau bisa punya pikiran lucu seperti itu?” Bergola bertanya mencemooh.
Lambat laun pemuda ini merasa keberaniannya tumbuh. “Karena bukan hanya aku yang banyak mengetahui rahasia kalian…”
“Rahasia?” ujar Panah Tiga Belas dengan suara heran. “Kami punya rahasia apa?”
“Ah ya, aku lupa kalian tidak punya rahasia…” gumam pemuda ini sambil tertawa geli.
Justru ucapan yang ringan seperti itu menyentak mereka, pasti ada sesuatu dibalik ucapannya! Keduanya saling berpandangan. Untuk ukuran anak muda, nyali pemuda ini sungguh besar, kalau tidak punya pegangan mana mungkin begini berani menghadapi maut.
“Rahasia apa yang kau tahu?” Tanya Panah Sebelas dengan ketus.
Si pemuda batuk sebentar. “Aih, apa kalian tidak bisa melihat gelagat? Walaupun aku tidak tahu apa-apa dengan kejadian ini, aku sudah bisa mengambil kesimpulan jelas. Rupanya perkumpulan kalian bercita-cita besar, tapi kalian melupakan andil orang dari golongan kami yang bertindak sembunyi-sembunyi.”
“Oh, begitu…” timpal Panah Tiga Belas seperti tak perduli. Padahal dalam hati, dia merasa kaget.
“Jika kau berkesimpulan seperti itu, apa susahnya kami menghapus jejak? Menghilangkan keberadaanmu sebelumnya?”
Pemuda itu mendengus hina mendengar ucapan Bergola. “Kupikir perkumpulan kalian berisi orang cerdik pandai, tak kira hanya gentong kosong belaka. Untuk menyelidiki kalian, satu orang tidak cukup. Jangan kalian pikir dengan membunuhku urusan jadi selesai. Memangnya jumlah mereka yang lebih banyak juga akan kalian hilangkan keberadaannya?”
Pemuda ini seolah ingin menekankan kembali ucapan, ‘bukan cuma aku yang tahu’, dengan sendirinya dia bermaksud menggertak, bahwa: jika dirinya dicelakai, tentu akan ada yang mencari jejaknya.
“Hm, apakah hanya mengandalkan orang golonganmu yang bertindak secara bersembunyi-sembunyi? Rasanya belum cukup.” Ucap Bergola acuh tak acuh.
Pemuda ini tertawa perlahan. “Kenapa tidak kau coba saja? Dengan menghilangnya diriku, berarti informasi yang kucaripun terputus. Tapi segala kabar berita tentang perkumpulan kalian yang sudah sampai di tangan enam belas perguruan besar akan segera ditindak lanjuti. Yah, jika ditakdirkan mati hari ini, kurasa kematianku tidak sia-sia."
Jaka geleng-geleng kepala melihat kecerdikan pemuda itu, dia tahu bahwa pemuda itu mungkin hanya bicara omong kosong belaka, namun ia berbicara seolah sudah mengetahui apa yang perlu ia utarakan.
Bergola dan si kurus saling pandang, mereka tidak marah mendengar ucapan pemuda itu, yang membuat mereka tercekat heran ketika mendengar bahwa pemuda itu banyak tahu tentang perkumpulan mereka. Tapi dari mana mereka dapat menduga kalau apa yang diucapkan Danu Tirta hanya omongan nyeplos belaka?!
Meski demikian, dua orang itu bukanlah manusia sembarangan, mereka termasuk dalam anggota Panah berarti sebelumnya sudah diseleksi dengan ketat oleh pihak perkumpulan mereka. Dengan mengacuhkan ucapan pemuda itu, mereka tetap mempertahankan ketenangan diri.
"Baiklah… aku tidak akan membunuhmu, hanya saja mungkin ada pesan yang ingin kau berikan padaku?" tanya Momok wajah Ramah dengan suara wajar.
Jaka yang mendengar pertanyaan orang itu, geleng kepala. "Orang ini benar-benar licin. Hm, jika kau berjumpa denganku, jangan harap bisa berlalu tanpa kesan." Gumamnya dalam hati.
Dalam hatinya Danu Tirta bergidik ngeri, pertanyaan orang kurus itu dapat ia pahami artinya, mereka berdua bisa saja menyiksa, atau menyekap dirinya disuatu tempat... atau bahkan yang lebih parah lagi, mereka akan mengutus orang yang menyaru sebagai dirinya, dan orang itu berperan sebagai dirinya—tapi tentu saja itu mustahil! Tapi kalau begitu kejadiannya, maka kemungkinan besar apa yang dikerjakan perkumpulan mereka bisa bocor, karena keduanya tidak paham seluk belum dirinya.
Meski merasa ngeri, Danu Tirta tergolong jenis manusia tahan banting, dengan tersenyum dingin, ia berkata. "Baiklah, aku akan menitipkan pesan padamu, dan pesan ini harus kau sampaikan pada orang yang kutujukan."
"Katakanlah," seru Bergola tak sabar.
"Lima hari berselang, kota ini akan kedatangan seorang tokoh besar yang dikawal tiga pendekar masyur. Tiga pendekar itu berjuluk, Kepalan Maut, Elang Emas, dan Pecut Sakti Ekor Tujuh. Mereka bertiga merupakan pelindung keluargaku, kalian sampaikan pesan pada tiga orang itu, bahwa aku telah tertawan ditangan kalian dan mintalah barang sebagai jaminan bagi kebebasanku. Aku yakin kalian sudah pernah mendengar kebesaran nama tiga pendekar itu bukan? Dan tentunya kalian akan terkejut mengetahui siapa nama keluargaku yang sebenarnya!"
"Memangnya kenapa?" sahut Momok Wajah Ramah dengan nada biasa, namun dalam hatinya, orang ini benar-benar terperanjat. Tiga orang yang disebutkan Danu Tirta tadi adalah manusia-manusia pilih tanding yang belum pernah tumbang ditangan siapapun. Konon mereka pernah menerima gemblengan dari Dewan Penjaga Sembilan Ilmu Mustika Dunia Persilatan.
"Kau tidak takut?!" tanya pemuda ini dengan nada heran.
"Untuk apa takut?" jengek Momok Wajah Ramah. "Toh, aku belum tentu menyampaikan pesanmu itu.."
"Ha-ha-ha.. benar-benar manusia pengecut, penjilat dan munafik sejati!" ejek pemuda ini sambil tertawa terbahak, ada kegetiran terselip disana. "Aku tidak menyangka kalau didunia ini ada manusia bermuka tebal seperti dirimu. Sama sekali tidak sangka…" kata pemuda ini sambil menggelangkan kepalanya.
Jaka manggut-manggut mendengar makian pemuda itu, pemuda ini memang gemas melihat ulah si tinggi kurus. Dan rasa gemasnya sudah terlampiaskan mendengar makian Danu Tirta tadi.
Sementara Momok Wajah Ramah, hanya ganda tertawa mendengar makian Danu Tirta.
"Pujianmu tidak dapat kuterima. Tapi memang, sudah banyak orang yang menyebutku demikian. Jadi kau tidak perlu berkecil hati karena pujianmu tidak kuterima…"
"Ha-ha-ha.. hebat benar saudaraku ini!" seru Bergola tertawa keras. "Kau tikus kecil, jika ingin berdebat dengannya, hanya kerugian yang ada dipihakmu. Jadi lekaslah kau tentukan nasibmu sendiri. Apakah kau ingin mati perlahan atau cepat?"
"Mati?" ujar pemuda itu dengan suara mendengus. "Memangnya aku takut mati, yang kutakutkan justru kalianlah yang mati!"
"Aha.. ancaman sebelum ajal ya, tidak apa-apa, aku toh berbaik hati untuk mengeluarkan semua unek-unek dihatimu. Toh satu orang mati, sama sekali tidak menimbulkan perubahan dunia," ujar Momok Wajah Ramah dengan nada santai.
"Kau salah! Justru jika aku mati, maka tamat pula riwayat kalian! Hm.. memang orang yang mau mati selalu berlagak tenang, padahal hatinya terasa kalut!" dengus pemuda itu dengan suara datar.
"Aku menyayangkan nasib kalian hanya dalam hitungan jam saja. Dan tugas yang dilimpahkan pemimpin kalianpun terbengkalai, lalu posisi kalian digantikan orang lain, sungguh sayang…" Gumam pemuda ini tetap tenang, ia sama sekali tidak menanggapi ancaman dari dua orang itu.
"Mengagumkan, sungguh aku salut dengan ancamanmu." Puji Momok Wajah Ramah. "Aku jadi ingin tahu, apa yang membuatmu percaya bahwa kami berdua akan segera mati?!" tanya orang kurus itu.
Danu Tirta tertawa geli. “Aku kan hanya bilang nasib kalian tinggal hitungan jam saja, aku tak mengatakan kapan kalian mati… ha-ha, aku sudah menduga kalian memang pengecut, dan kini benar-benar ketakutan.”
Keduanya tak berkomentar, jika mereka memaki atau marah-marah, kan sama saja mengiyakan tuduhan tawananya. Danu Tirta juga sadar, tak baik mempermainkan keduanya, jika mereka gusar dan hilang akal sehat, dirinya yang celaka, segeralah ia berkomentar lagi.
"Apa yang akan kukatakan ini, tergantung kecerdasan dan pengalaman kalian, biarpun kujelaskan juga percuma saja." Sahut Danu Tirta ogah-ogahan.
"Baiklah," kali ini Bergola yang bicara. "Bicara masalah pengalaman, kau tidak usah kawatir, kami berdua ibarat angin dibarat dan ditimur, segala sesuatu yang terjadi disana kami ketahui dengan jelas!" kata Bergola mulai gemas.
"Kalau begitu, apakah kalian benar-benar mengetahui seluk beluk perguruanku?" tanya Danu Tirta.
"Siapa yang tidak tahu Perguruan Sampar Angin, tentu saja kami mengetahui dengan jelas. Bahkan bagaimana pengaturan dan pembagian tugas, jabatan dan segala sesuatunya kami tahu." Jawab Bergola dengan nada sombong.
Baik Danu Tirta, atau Jaka, tidak heran Bergola bisa berkata begitu. Jika memang benar, adalah jamak jika orang awam tahu struktur kepengurusan dan organisasi perguruan besar.
"Bagus, kalau begitu aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar pada kalian. Dalam perguruanku terdapat empat kelompok yang menangani masalah diluar perguruan. Kalian tahu?" tantang pemuda ini dengan senyuman menyindir. Bergola dan Momok Wajah Ramah saling pandang. Sambil tersenyum, orang tinggi kurus itu berkata, "Aku mengetahuinya, tapi nama dan tugas mereka aku tidak begitu paham.."
"Hm, yang seperti itu kau sebut mengetahui? Omong kosong yang bagus! Angin di barat dan ditimur apanya?" jengek Danu Tirta menyindir. "Dengar baik-baik, empat kelompok itu dinamakan Guntur, Bayangan, Angin, dan Kilat. Mengenai tugas keempat kelompok itu aku tidak perlu menerangkannya! Yang jelas saat aku tidak terlihat dalam dua puluh empat jam tanpa meninggalkan tanda-tanda rahasia, maka kelompok Kilat akan melacakku sampai dapat. Saat mereka menemukan jejakku, dapat dipastikan nasib kalian lebih naas daripada disambir petir!" ujar Danu Tirta tanpa emosi.
Bergola dan rekannya terkesip kaget, namun terlihat hanya sesaat. Tentunya mereka bukan terperanjat karena uraian pemuda itu, tapi mereka teringat pada sesuatu hal yang sangat penting, yang berkaitan dengan petir—kelompok Kilat.
Satu tahun yang lalu, di wilayah timur pernah muncul perkumpulan misterius yang menamakan dirinya, Angin Barat. Pekerjaan perkumpulan itu sangat terorganisir, dan tentunya tidak lepas dari masalah pembunuhan, pemerkosaan, penculikan dan banyak perbuatan keji yang dilakukan, bahkan perbuatan berkedok pertolongan juga ada. Tapi baru berdiri dua bulan saja, perkumpulan Angin Barat itu hancur lebur tanpa sisa, 90% anggotanya terbunuh.
Meski khalayak persilatan ada juga yang tahu markas besarnya, keberadaan perkumpulan yang sesungguhnya sangat dirahasiakan, dan gerak-gerik merekapun tak terdeteksi. Toh, markas mereka yang tersembunyi bisa didatangi orang, dan mereka terbantai dengan bagian tubuh tiap korban yang hangus terdapat luka seperti garis petir.
Dan ironisnya lagi, perkumpulan itu merupakan satu kelompok dengan Bergola dan Momok Wajah Ramah, karena masalah kehancuran itulah keduanya ‘dimutasikan’ menjadi Anggota Panah—setingkat lebih rendah! Masalah kehancuran Angin Barat hanya perkumpulan mereka yang tahu, tidak nyana penjelasan pemuda yang mereka anggap tikus kecil itu adalah benang merah yang sangat penting. Dengan demikian kelompok yang pernah membantai Angin Barat ada kaitannya dengan pemuda itu.

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar