"Ah, saudara Jaka tidak
perlu begitu sungkan," sahut lelaki berusia lima puluhan tahun itu. Dua
lelaki berusia empat puluh tahun itu juga membalas memberi hormat pemuda itu.
"Mari, mari… silahkan
duduk."
Begitu duduk, nampak nona
baju hijau membawa nampan yang berisi air teh dan makanan. Setelah nona baju
hijau menghilang di balik bilik, tanpa basa basi lagi Jaka bertanya, "Maaf
jika pertanyaan saya agak keterlaluan, saya ingin tahu apa tujuan anda
mengundang saya?"
"Jika tidak dijelaskan
bisa jadi salah paham. Begini saudara Jaka, jabatan kami adalah pelindung
Perguruan Naga Batu. Aku bernama Sadewa dan dua rekanku ini bernama Kunta Reksi
dan Kundalini, kami bertiga memiliki kesenangan yang sama yakni suka menjamu
orang yang memiliki bakat hebat seperti anda ini. Tidak sangka saudara Jaka
memiliki kemampuan diluar dugaan kami."
”Ah, terlalu memuji."
pemuda ini tersenyum tersipu. Orang bisa tertipu dengan lagak Jaka, diluarnya
saja ia nampak seperti orang yang polos tidak tahu masalah. Diamnya Jaka
disebabkan memikirkan langkah yang harus ditempuh untuk menghadapi lawan.
"Menjamu orang berbakat? Aih, dari ucapanmu saja sudah menimbulkan prasangka yang buruk, kesenangan orang memang berbeda-beda, tapi ini aneh." Pikirnya. "Untuk pertemuan yang pertama kali ini mari kita bersulang agar segala sesuatu selalu berjalan baik," kata Kundalini sambil mengangkat gelasnya. Lalu keempat orang itu sama-sama menenggak air teh itu.
"Menjamu orang berbakat? Aih, dari ucapanmu saja sudah menimbulkan prasangka yang buruk, kesenangan orang memang berbeda-beda, tapi ini aneh." Pikirnya. "Untuk pertemuan yang pertama kali ini mari kita bersulang agar segala sesuatu selalu berjalan baik," kata Kundalini sambil mengangkat gelasnya. Lalu keempat orang itu sama-sama menenggak air teh itu.
Waspada adalah senjata utama
berkelana, sudah tentu Jaka tidak mau bertindak bodoh. Meskipun dia tahu
Perguruan Naga Batu bukan aliran sesat, mewaspadainya bukanlah hal buruk.
Diluarnya saja ia terlihat minum air teh, padahal begitu air teh memasuki
kerongkongan, ia segera mengerahkan hawa murni dan dengan cepat menggumpalkan
air teh itu. Hawa murni yang dimiliki Jaka sangat kuat, teh yang masuk itu
dapat ia gumpalkan menjadi es dan ia mutahkan kembali. Tentu saja gumpalan es
air teh itu, begitu sampai di tangannya dengan cepat diuapkan dengan hawa
panas. Tentu saja ‘proses’ itu berjalan sebagai mana layaknya orang minum.
Begitu ketiga orang itu meletakan gelas, Jaka juga meletakkannya dalam keadaan
kosong.
Andai saja salah satu dari
ketiganya tahu apa yang dilakukan Jaka, mungkin mereka mengira Jaka adalah anak
murid tokoh sakti yang mendapat limpahan tenaga dari sang guru.
"Kejadian ini merupakan
kehormatan bagi kami. Kami sering menjamu orang-orang berbakat bagus dan
memiliki kepandaian silat tinggi, tapi yang berkemampuan seperti saudara Jaka
benar-benar baru kali ini kami temui…" kata Kunta Reksi sambil tertawa
lebar.
Pemuda ini berlagak kikuk,
"Ah, terlalu memuji. Sesungguhnya selain meringankan tubuh, saya hanya
menguasai sedikit sastra dan keterampilan memainkan seruling. Tiada yang lain…"
"Benarkah
demikian?" tanya Sadewa dengan menatap pemuda itu lekat-lekat.
"Ya, sejak kecil ayah
saya selalu ingin mengajarkan ilmu silat, tetapi ibu tidak setuju. Karena beda
pendapat, maka kakek menganjurkan agar saya menguasai ilmu peringan tubuh saja,
sehingga tidak perlu berkelahi," tutur pemuda ini asal bicara. Tentu saja
bertemu dengan orang semacam mereka, Jaka tidak ingin bertindak ceroboh.
Tiga orang itu
manggut-manggut, dari raut muka mereka terlihat percaya dengan perkataan Jaka.
Sekalipun tak ingin percaya juga susah, karena tidak ada alasannya, apalagi
cara bertutur kata pemuda itu, begitu polos, dan sepertinya tidak kawatir kalau
orang hendak mencelakainya. Tentu saja Jaka tahu benar dengan kelebihan
dirinya—dalam hal bicara dia yakin, caranya membawakan cerita sangat
meyakinkan. Tapi, meski mereka terlihat percaya, tentu hanya tampak diluarnya
saja, mereka mewaspadai kalau-kalau keterangan Jaka dibuat untuk menipu. Alasan
mereka tidak percaya adalah, menilik dari ilmu peringan tubuh Jaka. Untuk
menguasai peringan tubuh, syarat utama justru penguasaan tenaga murni yang
luwes.
Dengan kemampuan yang
diperlihatkan Jaka tadi, mutlak ilmu yang dikuasai pasti aliran murni. Diantara
para pendekar yang berkelana, mereka yang tergolong aliran murni—yakni aliran
yang diciptakan untuk kalangan sendiri, bukan mencangkok dari luar—bisa
dihitung dengan jari. Jika kesimpulannya demikian, maka mereka bisa memastikan,
keluarga si pemuda pasti pendiri aliran murni tertentu. Mereka berpendapat
angkatan tua si pemuda pasti bukan manusia sembarangan. Kata pepatah; bapak
macan tak akan melahirkan anak anjing. Dengan demikian, meski mereka merasa
Jaka adalah anak yang polos, kekuatan yang menopang dibelakangnnya harus
dipehitungkan.
"Oh begitu. Omong-omong,
saudara Jaka datang dari mana? Melihat keadaanmu, kusimpulkan engkau termasuk
orang berada, yang sengaja melihat dunia luar…"
"Tepat sekali,"
seru pemuda ini sambil tertawa. Agak heran juga mereka melihat Jaka tidak
terkejut, mungkinkah Jaka memang selugu itu?
Dalam bercakap-cakap, pemuda
ini memang tidak menggunakan istilah paman atau sebutan untuk orang yang lebih
tua, sebab dia merasa tidak seharusnya begitu. Bagaimanapun juga dia adalah
tamu yang diundang. Seorang tamu undangan kan tidak perlu merendahkan diri?
"Orang tua saya tinggal
di kota Kunta. Jika saudara menduga bahwa saya orang berada—tak bisa saya
pungkiri bahwa orang tua saya termasuk keluarga terkaya. Kekayaan mereka
berlimpah ruah—begitu yang dikatakan orang. Tapi saya tidak suka dengan keadaan
itu.”
“Kenapa?”
“Orang kaya memang bagus,
jika dermawan lebih bagus lagi. Jika kekayaan itu adalah hasil usahanya
sendiri, apapun yang akan dilakukan olehnya pasti tak akan disesali. Berbeda
dengan kekayaan turunan… yang terpikir hanya bagimana menghabiskan harta, atau
bagiaman menjaga agar harta tetap banyak.”
“Kau maksud, maaf… orang
tuamu seperti itu?”
“Seperti itu?”
“Memiliki harta turunan?”
Jaka merasa girang dengan
pertanyaan ini, karena dia ingin tahu secerdik apa mereka. Sebab dipandang dari
sudut kecepatan pikir untuk berekasi terhadap sesuatu, mereka memiliki rasio
bagus. Tapi ada hal lain yang membuat pemuda ini makin girang bahwa; dia tidak
perlu susah-susah mengarang cerita, karena apa yang akan diucapakan bisa
berarti ganda, biarlah mereka yang menebak sendiri, dan dirinya hanya akan
meneruskan pemikiran mereka—menurut Jaka itu rencana yang lumayan.
“Oh, tidak. Justru mereka
mendapat kekayaan karena usaha sendiri, cukup dermawan dan cukup terpandang di
kota.”
“O… jadi apa keluhanmu?”
“Hidup susah sudah pasti
tidak enak. Tapi lebih tak menyenangkan lagi, jika semuanya terlalu mudah. Coba
saudara bayangkan, ingin ini-itu tinggal tunjuk, semuanya terkabul. Apa enaknya
hidup seperti itu? Otak jadi malas berpikir, tak ada tantangan untuk merangsang
semangat hidup. Hh… bisa-bisa mati lantaran bosan.”
Penjelasan Jaka membuat
ketiganya terkesip, hanya orang berprinsip saja yang sanggup meninggalkan harta
benda demi mencari kebebasan. Karena kebanyakan orang, selalu sayang harta.
“Yah, berpikir demikianlah yang
membuat saya memutuskan untuk pergi mencari pengalaman. Kabar terakhir yang
saya dengar, orang tua sayapun pindah begitu saya pergi, mungkin mereka mencari
saya."
"Tapi… rasanya agak
kurang wajar pemuda seusiamu, berani mengambil keputusan begitu besarnya."
Kata Kundalini menyahut sambil melirik sekejap kearah gelas minuman Jaka. Ia
melihat gelas pemuda itu kosong, tinggal ampas teh. Jaka tertawa dalam hati
melihat lirikan sang tuan rumah, dia sudah tahu apa maksudnya.
"Hanya karena merasa
lebih enak berada di alam bebas, seperti ditelaga ini. Pekerjaan saya selama
berkelana, tak jauh dari mengunjungi tempat-tempat pesiar yang terkenal
keindahannya."
“Maaf kalau boleh kami tahu,”
“Silahkan,”
“Jika sehari-hari saudara
Jaka hanya kesana kemari tanpa tujuan seperti itu, dari mana anda dapatkan
uang, untuk menutup biaya keseharian? Apakah sebelumnya anda membawa bekal
banyak dari rumah?”
Jaka tertawa. “Jika
sebelumnya saya membawa bekal, bukankah sama artinya saya orang munafik?”
Mereka tertegun dengan gaya tutur
Jaka yang membahasakan diri; bahwa, jika dia masih membawa harta kekayaan orang
tuanya, sama saja munafik. Sungguh tak mereka sangka ada orang sepolos itu.
Meski yang diucapakan Jaka lebih banyak ngelanturnya, untuk hal ini memang
sesuai kenyataan.
“Jadi apa yang kau bawa?”
“Tentu saja hanya yang
melekat dibadan saja.”
“Jadi untuk makan, keseharian
bagaimana?”
Jaka tersenyum, “Kenapa harus
repot begitu? Saya tidak pernah memikirkan bahwa besok harus makan
begini-begitu, harus menginap tempat tertentu. Alam begin luas, manusia tak
akan kekurangan jika hanya untuk mengisi perut saja. Ya, memang kadang kala
saya melakukan pekerjaan ini-itu, untuk sekedar bisa membeli baju atau bekal di
perjalanan. Saya merasa bebas, orang tak punya apa-apa, tidak menjadi perhatian
kaum begal.”
Mereka tersenyum mendengar
komentar Jaka, mereka pikir Jaka ini pemuda unik. Mana ada orang yang hidup
berkecukupan, mau hidup menggelandang demi sepatah kata bebas? Mau percaya
rasanya agak mustahil, tak percaya juga susah—mengingat bahwa pemuda secakap
Jaka yang memiliki peringan tubuh handal, hidup menggelandang… agak susah
dinalar.
Pembicaraan berlanjut dengan
menanyakan masing-masing kesukaan dan berbagai macam hal tetek bengek lainnya.
Tentu saja Jaka menjawab semua pertanyaan itu dengan lancar dan seolah tidak
menyembunyikan sesuatu. Namun mata pemuda ini awas sekali, ia sempat melihat
Kundalini melirik kearah gelasnya lagi. Tiba-tiba saja Jaka merasa akan
ada—mungkin sudah—sesuatu.
Sebenarnya permainan apa yang
mereka siapkan? Ah, kenapa tadi tidak kucicipi dulu ini? Percuma aku punya
pengetahuan racun kalau masih kawatir, seharusnya aku tidak perlu ragu.
Memutuskan demikan, dengan
lagak ketagihan air teh, pemuda ini meminta lagi. "Air teh ini sungguh
harum, boleh saya menambah?"
"Ah, saudara terlalu
sungkan, bukankah kita sudah bersahabat? Silahkan, silahkan…" sahut Sadewa
dengan simpatik. Sekilas matanya lelaki umur pertengahan abad itu berkilat
gembira, dan tentu saja hal ini tidak lepas dari perhatian Jaka.
"Terima kasih," ucap
pemuda ini, segera menuang air teh kedalam gelasnya. Dengan santai Jaka
menyesapnya perlahan, namun sejak semua ia sudah mengambil tindakan antisipasi.
Hawa murni panas-dingin
dikerahkan untuk melindungi bagian lambung. Dua pengerahan hawa itu merupakan ajaran
murni yang dia dapatkan dari teori-teori dalam kitab pengobatan—salah satu
kegunaannya untuk mengetahui apakah makanan, minuman atau sesuatu yang masuk
kedalam tubuhnya itu beracun atau tidak. Tentu saja selain kemampuan itu,
indera penciumanlah yang berperan penting.
Meski Jaka sudah merasa ada
yang kurang beres, tetapi indra penciumnya tak mendeteksi adanya racun. Jaka
sangsi, jangan-jangan teh itu memang tak beracun, karena ragu pemuda ini
memutuskan untuk mendeteksi dengan hawa murninya. Tapi begitu air teh menyentuh
lidah, dalam sekejap lidah terasa kelu dan samar-samar ada aroma manis pahit
getir tercampur. Keadaan seperti itu hanya terasa dalam sepersekian detik,
tentu saja kalau orang biasa atau orang tidak tahu cara mengenali segala macam
racun, tidak bakal menemukan tanda-tanda seperti itu! Apalagi air teh memang
kebanyakan sedikit pahit. Sungguh cara meracun yang unik, lihay. Menyembunyikan
rasa pahit dalam pahit, siapa pula yang dapat menduga?
Jika orang lain tak akan
mengetahui hal itu, tentu saja Jaka berbeda. Lebih-lebih ketika menyadari racun
apa yang dia minum, tapi diluarnya Jaka terlihat seperti biasa.
Gila, air ini berisi Bubuk
Pelumpuh Otak. Sialan orang-orang ini, untung aku sudah curiga lebih dulu…
Jaka terkejut karena perbuatan tuan rumah. Pemuda ini tidak perduli seberapa
besar kadar dan pengaruh racun yang menyerang dirinya, karena ia mempunyai
kepercayaan diri yang besar atas dirinya—bahwa ia sanggup mengatasi racun itu.
Setelah meminum air teh,
wajah pemuda ini terlihat merah merona, sehingga seluruh wajahnya yang putih
tersaput warna merah jingga. Tentu saja perubahan muka ini adalah hasil karya
pemuda ini, dia sadar betul, rekasi pertama orang yang terkena Bubuk Pelumpuh
Otak untuk takaran tertentu, adalah; untuk sesaat kepalanya terasa pusing dan
wajah memerah untuk jangka waktu yang cukup lama—tanpa si korban tahu. Setelah
tanda-tanda itu hilang berangsur-angsur si korban akan kehilangan kesadaran dan
jati dirinya, dia mudah diperbudak, menerima perintah tanpa membantah pada
orang yang pertama dilihatnya (setelah meminum racun), yang ada hanya jawaban
'ya'! Sebab seluruh rasio dan pertimbangan akalnya tak seimbang lagi.
Tapi Jaka tahu kalau kadar
yang diberikan dalam minumannya masih tergolong ringan, pemuda ini
memperhitungkan kalau sebelumnya ia kelihatan sudah meminum satu gelas dan kini
ditambah satu gelas lagi, maka kadar bubuk pelumpuh itu dalam tubuhnya sudah
ada seperenam bagian. Dengan takaran seperti itu, maka orang yang terkena bubuk
itu akan merasa sedikit bingung dan sungkan kepada orang yang ditemui pertama
kali, dan jika pem-format-an (penghapusan) memori otak sudah dilakukan
menyeluruh, dia tidak mungkin bisa membantah perintah orang yang ditemui
pertama kali, untuk selamanya! Selama dia masih dalam kekuasaan Bubuk Pelumpuh
Otak.
Tentu saja kejadian itu hanya
berlaku untuk orang lain. Untuk meracun pemuda ini, rasanya butuh metode lebih
hebat dan racun yang lebih keras lagi, sebab urusan racun adalah hal biasa bagi
Jaka. Hakikatnya permainan mereka serupa main kapak didepan tukang kayu. Pemuda
ini hanya bermaksud hendak mengetahui sebenarnya apa yang hendak mereka lakukan
pada dirinya.
Sedikit banyak bisa kuduga
maksud terselubung mereka. Pasti sebelumnya sudah banyak orang yang pernah
mereka jamu seperti ini. Aih, berarti mereka sudah hilang kesadaran. Sungguh
berbahaya, apa tujuan mereka? Perlahan dia meletakkan gelas, wajahnya agak
berkerut sedikit, kelihatannya diseperti sedang menahan pusing. Setelah
beberapa waktu barulah kondisi Jaka berangsur-angsur pulih.
"Agaknya saudara Jaka
benar-benar suka dengan teh ini?" ujar Sadewa kembali berbicara.
"Memang benar,"
sahut pemuda ini sambil manggut-manggut. "Teh harum ini sungguh enak,
sayang agak sedikit pahit."
Ketiganya tersenyum maklum.
"Ehm, sebenarnya saya ingin bertanya, sebelumnya saudara Jaka tinggal
dimana?" tanya Kunta Reksi dengan ramah. Seharusnya setelah meminum bubuk
pelumpuh otak, segala ingatannya sudah punah sama sekali, tapi dengan dosis
tertentu, kondisi korban bisa beragam, mereka memiliki ingatan, tetapi mereka
tunduk pada si pemberi perintah—seperti peran yang kini dimainkan Jaka.
Jaka tahu, orang ini sedang
mencoba apakah kasiat dari bubuk mereka sudah bekerja atau belum.
"Bukankah tadi …" hanya sampai disini saja Jaka bicara sebab ia
kembali mengerutkan kening, seakan menahan pusing. Tiga orang itu saling
pandang sekejap.
"Oh, saya sampai lupa
menjawab pertanyaan tadi, saya dulu tinggal di kota Kunta, orang tua saya
merupakan hartawan yang memiliki kekayaan berlimpah ruah. Saya terpaksa kabur
berkelana karena dipaksa menikah dengan anak seorang hartawan yang juga
memiliki kekayaan sebanding dengan kekayaan orang tua saya,"
Cara Jaka bertutur kali
ini—seandaianya jaman itu sudah ada Piala Oskar, sebagai penghargaan Academy
Award—ia pasti pantas dianugerahi sebagai aktor terbaik.
"Lalu kenapa kau kabur?
Apakah gadis itu berwajah jelek?" tanya Kundalini tak sungkan lagi.
"Jelek? Ha-ha-ha, justru
gadis itu adalah gadis tercantik di kotaku—kata mereka yang pernah melihat.
Namun aku tidak mau, karena mereka menjodohkan kami semata-mata karena ingin
melipat gandakan harta kekayaan mereka…"
Penjelasan pemuda ini tidak
beda dengan yang tadi, diam-diam Sadewa membatin. "Anak ini benar-benar
polos, banyak sudah pendekar muda yang terjatuh ditangan kami, satu pun tidak
pernah menceritakan asal usul mereka, kalaupun ada, sudah tentu bohong. Tapi
anak ini benar-benar menarik."
"Lalu selama berkelana,
apa saja yang kau lakukan?" kembali Kundalini bertanya.
"Tidak banyak yang
kulakukan, hanya sekedar mengunjungi tempat indah, agar bisa melepaskan
kepenatan hati. Suasana asri dan indah, memudahkan ber biasanya saya menetap
sampai satu dua bulan, dengan membuat syair dan mencurahkan keindahan lewat
suling, puaslah hati ini…" tentu saja penjelasan pemuda ini tidak beda
dengan yang tadi, ketiga orang ini saling pandang dan perasan heran.
Anak ini benar-benar polos!
Gerutu Kundalini dalam hati. Tak ada informasi berarti yang bisa mereka
dapatkan sebagai perbendaharaan.
"Wah, agaknya kita kali
ini salah menjaring ikan. Pemuda yang seperti ini tidak cocok buat kita,"
pikir Kunta Reksi.
Lain yang dipikir dua orang
itu lain pula yang dipikir Sadewa. "Orang yang terkena bubuk kami,
setangguh apapun dia, pasti jadi jinak, tak terkecuali bocah ini, sayang dia
memiliki bakat begitu bagus, apa yang dikatakannya tadipun semua serupa, tiada
kebohongan. Anak ini benar-benar menarik… sungguh bocah yang polos."
Kalau saja Sadewa tahu apa
yang dilakukan Jaka, dia bisa mati karena keki.
"Lalu apakah kau punya
pengalaman yang menarik?" tanya Sadewa lebih lanjut.
"Ehm, rasanya ada,
pernah juga dulu saya mengalahkan gerombolan bandit kelas teri. Tapi sebenarnya
bukan mengalahkan tapi membuat mereka menyerah sendiri."
”Bagaimana caranya?"
Kunta Reksi bertanya penasaran.
"Mudah… cukup menghindar
terus menerus. Karena sejak kecil yang kupelajari hanya ilmu meringankan tubuh,
dan ilmu sastra saja, maka saya tidak tahu bagaimana caranya menyerang, paling
juga hanya hajar-tendang sana-pukul sini. Tapi kalau masalah mengelak, bukannya
menyombong sih… kurasa jarang yang sebaik aku. Dan tentu saja mereka yang
menyerangku, menyerah! Mungkin kecapaian. Lucunya, mereka mengira kalau sengaja
kupermainkan, padahal aku sendiri bingung memikirkan bagaimana cara menyerang
mereka.
“Hi-hihi, sungguh lucu, dua
puluh satu orang itu tiba-tiba berlutut didepanku. Tentu saja waktu itu aku
tidak tahu apa yang mereka pikirkan, namun kuberi nasehat pada mereka agar
lebih baik lagi menjalani hidup ini bukan dengan cara sekarang, menjadi bandit.
Kukatakan lebih baik hidup sederhana tapi dilandasi hati yang jujur dan bersih,
orang akan lebih menghargainya. Setelah mendengar pesan itu mereka semua
mengiyakan dan pergi…" untuk cerita yang ini Jaka memang tidak bohong.
Kali cerita Jaka benar-benar
membuat hati tiga orang itu tergerak. "Apa lagi pengalaman
menarikmu?"
"Mm…" pemuda ini
berpikir sekejap. "Oh, ada lagi yang lebih menarik. Kalau tidak salah
sudah selang satu tahun yang lalu, waktu itu aku berada di air terjun Lawang
Pitu, saking terpana dengan keindahan alam, tanpa sadar aku melompat diantara
batu dan kayu untuk lebih dekat ke air terjun, eh… tidak tahunya ada seseorang
yang memperhatikan ulahku.
“Beliau seorang kakek berusia
delapan puluh tahun atau mungkin lebih. Hanya aneh, wajahnya itu merona merah
segar seperti anak muda, benar-benar mengherankan! Beliau menegurku, begini
katanya
'Eh, bocah cilik! Bakatmu
jarang terdapat di dunia persilatan, kenapa kau hanya bisa melompat-lompat
seperti kodok saja?', mendengar ucapannya itu, aku tidak mengira hanya dengan
sekali lihat saja, Aki itu tahu bahwa aku memang hanya memiliki peringan tubuh.
Lalu dengan sabar kukatakan padanya,
'Orang tua saya memang hanya
mengajarkan ini,mereka tidak ingin saya terlibat dalam perselisihan atau
perkelahian yang tidak berarti…', mendengar ucapanku Aki itu tertawa geli.
'Bocah bodoh! Dengan bakat
seperti ini kau hendak jadi orang biasa? Jadi petani yang hanya mengenal
lumpur?',
“Aku tidak paham maksud
perkataannya, terpaksa aku hanya diam. Mendadak Aki aneh itu bertanya lagi,
'Bocah cilik, apakah kau tidak ingin namamu termasyur mengalahkan nama tenar
enam belas partai besar? Mengalahkan semua nama pendekar besar lainnya?',
mendengar ucapan Aki itu aku paham dengan ucapannya yang tadi, lalu kujawab,
”'Menjadi tenar hanya membuat
susah, kalau orang lain tahu bahwa saya ini orang tenar maka kemanapun pergi
tidak akan ada tempat yang tenang buat kita. Sebagai orang tenar tentu saja
banyak orang yang ingin mengambil hati kita dengan menjilat… saya malah ngeri,
ketenaran bisa membawa manfaat besar tapi bisa pula membawa bencana yang lebih
besar,' itulah yang kukatakan padanya.
Untuk beberapa lamanya Aki
itu diam termenung. Tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak suaranya bahkan
mengalahkan deruan air terjun. Dapatlah kuduga tenaga dalamnya sungguh
sempurna. Setelah puas tertawa ia berteriak dengan nada girang,
“'Setua ini bisa bertemu
dengan anak semacam kau, puas hatiku! Kau jauh dari noda, jauh dari rakus dan
jauh dari gemerlap dunia yang menyesatkan…' Beliau mengulang kata itu lagi,
kemudian ia menyambung lagi ucapannya, 'Nak, maukah kau menjadi muridku?'
tiba-tiba saja Aki ini bertanya begitu. Tentu saja aku kelabakan, lalu
kukatakan padanya,
'Menjadi murid Aki merupakan
kehormatan besar bagi saya, namun saya ingin berkelana lebih dulu, saya ingin
menuntaskan keinginan hati, agar lebih terang melihat dunia.’
“Mendengar perkataan saya itu
Aki aneh itu tertawa, 'Bagus-bagus, aku mendapat calon murid sepertimu,
tidaklah rugi kalau aku mengalah,' Aki itu berkata begitu sambil pergi, lalu
sayup-sayup dari kejauhan, terdengar Aki itu berkata, ‘Apa itu sembilan mustika
silat? Huh! Hanya membuat malu saja, tunggulah dunia. Aku akan munculkan
seorang maha jago yang dapat melipat sembilan mustika!' mendengar perkataan Aki
itu, aku memahami bahwa; beliau merasa tidak puas pada pemilik sembilan
mustika. Percakapan kami membuatku lupa bahwa aku mendengar deruan air terjun.
Kesan kakek itu sangat dalam terpatri diingatan, aku merasa simpati
padanya." Dan Jaka mengakhiri ceritanya.
Tiga orang itu saling pandang,
agaknya cerita pemuda ini yang terakhir memang sangat mengesankan, apalagi saat
Jaka menekankan kata pada melipat sembilan mustika hingga tak berdaya, tiga
orang itu tahu apa artinya. Lagi pula tokoh yang digambarkan Jaka tadi
mengingatkan mereka pada seseorang, dan wajah tiga orang itu berubah hebat.
Padahal mereka mana tahu kalau semua itu hanya cerita karangan Jaka? Memang ada
kejadian seperti itu, tetapi mengenai diangkat menjadi murid segala, hanya
karangan Jaka saja. Hakikatnya saat itu tiada percakapan basa-basi segala.
Kalau begitu masih ada ilmu
yang lebih lihay dari sembilan mustika ilmu silat? Kalau benar, kejadian nanti
benar-benar menghebohkan… pikir Sadewa.
"Lalu apakah kau
mendengar janji, kapan Aki itu akan datang lagi?" tanya Kunta Reksi.
"Tidak, tapi menurut
beliau, dia bisa menemukan aku dimana saja. Bagiku, tak menjadi masalah, apakah
nanti menjadi muridnya atau tidak. Masih banyak hal-hal penting yang bisa
kulakukan selain menjadi muridnya."
Suasana hening dalam sesaat,
"Apakah saudara Jaka memang baru pertama kali datang ketempat ini?"
tanya Kundalini.
Mendengar pertanyaan itu,
dalam hatinya Jaka sudah dapat menuju kemana arah pembicaraan orang itu. Ha-ha,
rupanya kau mulai menyelidiki diriku dengan seksama. Silahkan saja kalian telan
semua bualanku, jika kalian tahu cerita tadi tak lebih cuma khayalan, kalian
bisa mati lantaran dongkol, pikir pemuda ini geli.
"Saya memang baru datang
hari ini." Jawab pemuda ini singkat. Jaka tidak bohong bahwa dia baru
datang hari ini, beda jika dia mengatakan ‘pernah’. Dan mereka tak menyadari
hal ini.
"Apakah saudara Jaka ada
mampir,"
"Tentu saja,"
potong pemuda ini cepat. "Aku sempat mampir di rumah makan, dan penginapan
Bulan Kenanga."
"Bukan itu maksud kami,
apakah kau mampir ketempat seseorang?" tanya Kunta Reksi dengan nada
meyakinkan.
"O…" pemuda ini
mangut-manggut, namun pikirannya berkerja cepat. "Apa mungkin mereka
sekomplotan dengan Bergola? Jika benar, mungkin saja mereka salah satu
pimpinannya."
Pemuda ini mengerutkan
keningnya, agaknya ia kembali berlagak menahan pusing. Ketiga orang itu
menunggu dengan sabar, sebab mereka memang tahu apa yang sedang terjadi.
Selang beberapa saat, pemuda
ini sudah normal kembali. "Ya, selain itu aku mampir dirumah Ki Sasro
Lukita, dia salah satu sesepuh kota ini …"
"Apa tujuanmu
kesitu?" potong Kundalini tak sabar.
"Tak ada tujuan khusus,
aku hanya ingin menanyakan tempat yang cocok untuk pesiar, tapi pada saat itu
ada seorang tamu lelaki, dia bicara kasar dengan Aki itu. Aku enggan mencampuri
urusan mereka, setelah lelaki itu pergi sebenarnya aku juga ingin pergi karena
takut membuat perasaan Aki itu makin kalut. Tapi siapa sangka Aki Lukita
mengetahui kedatanganku, dan diundang masuk. Apa boleh buat, akhirnya
kuutarakan maksud kedatanganku. Eh, benar-benar kebetulan, ternyata Aki Lukita
merupakan salah satu sesepuh kota, beliau banyak bercerita mengenai sejarah
kota dan berbagai tempat yang bisa dikunjungi untuk melancong. Dari beliau aku
mengenal adanya Perguruan Naga Batu, karenanya begitu melihat perahu ini, aku
bisa menduga kalau penghuninya pasti anggota perguruan itu." Tiga orang
itu manggut-manggut, tentu saja mereka percaya karena hakekatnya mereka mengira
Jaka sudah terkena bubuk racun mereka. Hanya saja mereka benar-benar menggerutu
tak habis-habisnya, sebab pemuda macam Jaka ini jenis yang langka dan aneh,
mereka berpendapat Jaka tidak bisa dimanfaatkan.
"Lalu apa saja yang
diceritakan Aki Lukita?" tanya Kundalini.
"Selain mengenai cerita
seputar kota. Aki Lukita juga menceritakan pengalamannya saat muda,"
"Bagaimana dengan lelaki
besar itu? Apakah ini juga menceritakannya?" tanya Sadewa.
"Tidak, namun Aki Lukita
mengatakan bahwa dia bernama Bergola. Seorang lelaki bersemangat, namun
sayangnya salah memilih jalur, aku tidak tahu apanya yang salah dari lelaki
itu, makanya tidak kutanggapi lebih lanjut. Mungkin saja jika aku menanggapi
ucapannya, beliau akan menceritakan masalah berkenaan dengan Bergola. Sebab
kulihat Aki itu begitu senang bercerita."
Mereka saling berpandangan,
seperti sedang mencurahkan pemikiran mereka. Bibir mereka terlihat agak
bergerak, kelihatannya orang itu sedang bercakap-cakap dengan ilmu menyampaikan
suara.
Perlu diketahui, ilmu
menyampaikan suara dengan mengirim getaran gelombang suara kepada orang yang
dituju merupakan kepandaian khusus yang tak sembarang orang bisa memilikinya.
Minimal, sebagai standar kemampuan tersebut, dia adalah salah satu guru besar
perguruan terkemuka.
Diam-diam Jaka mengamati
ketiganya dengan hati kagum juga mangkel, sebab pemuda ini berfikir tindakan
ketiganya sangat tidak layak.
"Bagaimana adi Reksi,
apakah anak ini akan kita pakai?" tanya Sadewa meminta pendapat.
"Menurutku tidak perlu,
dia hanya bisa menggunakan ilmu peringan tubuh. Rasanya tidak banyak
berguna…" sahut Kunta Reksi.
”Kau jangan salah, peringan
tubuh yang ditujukan bocah ini, hanya beberapa orang yang bisa melakukannya.
Mungkin diantara keluarganya malah ada yang lebih hebat lagi. Kesimpulanku,
untuk menguasai peringan tubuh seperti itu dibutuhkan bakat yang sangat bagus
dan menurutku anak ini bisa jadi anggota kita yang sangat hebat. Bakat anak ini
bisa dibilang luar biasa, dalam beberapa tahun mendatang, kita bisa menciptakan
seorang pengawal amat tangguh." Kata Kundalini memberikan pendapatnya.
"Benar juga kata adi
Kundalini,"
"Tapi kakang, dengan
dibawah pengaruh bubuk kita, perkembangan otaknya tidak mungkin seperti
biasa…" timbrung Kunta Reksi, dari nadanya orang ini sepertinya setuju
dengan usul Kundalini.
"Kalau begitu kita
tawarkan sebagian saja, dan kita sisakan sedelapan bagian, dengan begitu
kecerdasan dan segala sesuatunya tidak akan terhambat… sayang sekali kita
menyia-nyiakan orang berbakat hebat seperti dia."
"Bagus, usul kakang
memang baik sekali…" sahut Kunta Reksi. Dan tentunya suara mereka tidak
terdengar keluar, sebab mereka bicara dengan ilmu menyampaikan suara tingkat
tinggi sehingga bisa didengar oleh tiga orang sekaligus. Karena biasanya ilmu
menyampaikan suara hanya bisa ditujukan pada satu orang saja, kalau ada orang
yang bisa menujukan suaranya pada dua orang atau lebih berarti tenaga dalam
mereka memang luar biasa.
Plok-plok!
Sadewa menepuk tangannya,
lalu dari dalam bilik keluar nona baju biru, dengan cekatan nona baju biru
segera mengangkat poci, empat gelas serta makanan ringan tadi, dalam sekejap
matanya menatap Jaka, pandangannya kelihatan sayu. Sepertinya nona ini sedang
bersedih hati.
"Bawa kemari teh wangi
dan sekalian daharan untuk makan siang," perintah Sadewa.
"Baik guru," sahut
nona baju biru itu dengan segera, untuk sesaat Jaka melihat wajah nona itu
berkilat gembira, pandangan sayunya tidak terlihat lagi. Diam-diam pemuda ini
heran, entah persoalan apa yang membebani si nona. Tapi karena sedang
memperhitungkan sesuatu dia tidak memikirkan lebih lajut, kali ini Jaka merasa
akan ada permainan lain. Mungkin lebih berbahaya. Tak berapa lama kemudian,
nona baju biru dibantu nona baju merah kelihatan keluar. Dua nona itu memegang
nampan kayu. Dua poci cukup besar dan makan dengan berbagai macam lauknya
segera tersedia didepan meja. Setelah menghidangkan makanan dan minuman yang
diperlukan dua nona itu segera masuk kembali kedalam bilik.
"Mari kita
bersantap," tanpa basa-basi Sadewa segera mempersilahkan.
Jaka-pun tidak mau banyak
tanya lagi, karena hakekatnya dia harus terus bersandiwara masih dalam pengaruh
bubuk pembuyar syaraf otak. Setelah makan Sadewa menyuguhkan air teh wangi
kepada pemuda ini.
"Mari…" dan mereka
berempat minum.
Jaka segera tahu apa yang
terkandung dalam air teh itu, ternyata dalam air teh ada penawar dari bubuk
tadi, hanya saja kadarnya begitu ringan. Tapi pemuda ini tidak mau ceroboh
dengan begitu saja menelannya, pemuda ini menggumpalkan apa yang ia makan dan
minum sehingga terkumpul jadi satu di lambung.
"Ah, kenapa begitu
mengantuk?" gumamnya sambil menguap tertahan, lalu diapun tidur.
Tentu saja tindakan Jaka demi
memperlancar sandiwaranya belaka. Dia tahu, apabila racun bubuk bertemu
penawar, korban akan merasakan kantuk biarpun penawar bubuk itu hanya sedikit.
Tiga orang itu membiarkan Jaka tertidur dikursinya, tangan pemuda ini
bersedekap di dada.
Kelihatannya posisi tangan
pemuda ini tidak memiliki maksud apa-apa, padahal Jaka sengaja begitu karena ia
kawatir tiga orang itu menggeledah pakaiannya dan mendapatkan catatan Aki
Lukita. Jika saja mereka mengusiknya, pemuda ini akan segera bertindak…
Ternyata tiga orang itu sama sekali tidak mengusiknya.
Beberapa saat kemudian, Jaka
menggeregap terbangun. "Heran, kenapa bisa sampai ketiduran?" gerutu
pemuda ini sambil menggaruk kepalanya. "Maaf, entah kenapa saya
ketiduran…" pemuda ini berkata dengan lagak serba salah.
"Ah, tidak apa-apa,
mungkin kau terlalu capai. Perjamuan kita sudah berakhir, kami sangat berkesan
sekali dengan pertemuan ini... tentunya saudara Jaka juga begitu bukan?"
"Tentu saja, hanya saya
tidak menyangka bakal bertindak kurang sopan."
"Ah, itu bukan masalah,
kalau sudah bersahabat, kenapa mesti sungkan lagi?" ujar Kunta Reksi
ramah.
"Ehm, saya rasa… saya
sudah terlalu lama disini. Saya mohon pamit," pinta pemuda ini sambil
berdiri.
"Oh, silahkan."
Sadewa juga ikut berdiri, lalu ketiga orang ini mengantar Jaka keluar dari
bilik kapal mewah itu. Dibelakang mereka, kelima nona juga ikut mengiringi
keluar.
"Berapa lama saudara
Jaka berada di kota ini?" tanya Kundalini.
"Saya belum bisa
memastikan, tapi melihat suasana tenteram dan sejuk seperti ini, mungkin saya
akan tinggal satu atau dua bulan." Jawab pemuda ini.
"Apakah saudara Jaka
akan tetap tinggal di penginapan Bunga Kenanga?" kali ini Kunta Reksi yang
bertanya.
"Mungkin ya, mungkin
juga tidak. Saya lebih suka menginap dialam bebas, tapi rencana saya dalam lima
hari ini saya masih ada di penginapan, untuk selanjutnya saya akan melewatkan
malam hari di alam bebas, dengan menikmati sinar bintang dan bulan."
Sahutnya tanpa canggung—sok penyair.
Benar-benar pemuda kutu buku
yang tidak perduli apa-apa! Gerutu tiga orang itu dalam hati.
"Kalau begitu, kami
harap lima hari mendatang, tepatnya tengah hari saudara Jaka datang ke
Pesanggrahan Naga Batu, kurang lebih empat pal dari komplek Perguruan Naga
Batu." Kata Sadewa dengan nada datar.
"Baik, saya akan
datang." Jawab pemuda ini dengan mantap.
"Simpan ini…"
Sadewa memberikan lencana berukir naga yang terbuat dari perunggu, ukurannya
hanya separuh telapak tangan.
Jaka tak banyak bertanya, dia
segera menyimpan lencana itu, tapi alisnya terus berkerut dan itu sudah cukup
bagi Sadewa untuk mengetahui maksudnya.
"Lencana ini merupakan
tanda masuk ke Perguruan Naga Batu, dengan lencana ini kau tidak akan menemui
kesulitan untuk menjumpai kami." Jelas lelaki ini dengan nada datar dan
mengandung wibawa.
Jaka manggut-manggut paham,
"Kalau begitu terima kasih banyak!" katanya sedikit membungkuk hormat
dan membalikan badan untuk segera pergi, ia harus bertindak begitu karena ia
tahu bahwa hakikatnya mereka menganggap bahwa bubuk pelumpuh otak yang ada
ditubuhnya tinggal sepedelapan bagian. Maka itu dia harus mengiyakan segala
yang diminta mereka.
"Ada yang ingin saya
tanyakan," tiba-tiba pemuda ini membalikan badannya.
”Silahkan," ujar
Kundalini.
"Tadi saya mendengar
yang mengundang saya adalah anda sekalian dan nona, tapi saya tidak menjumpai
nona yang dimaksudkan…" pemuda ini tampak penasaran. Sadewa
mengangguk-angguk, Anak ini cermat, segala apa yang dibicarakan orang ia ingat
baik-baik bahkan hal yang sepele. Kelihatannya memang sebuah keberuntungan
mendapatkannya, pikirnya dalam hati.
"Kau jawab
pertanyaannya…" seru Sadewa pada nona baju merah.
"Baik guru," sahut
nona ini sambil membungkuk. Lalu ia memutar tubuh dan menghadapi Jaka dengan
wajah tertunduk. "Tadinya memang nona kami ingin bersua dengan tuan, tapi
tiba-tiba saja nona tidak enak badan."
"Oh.. kiranya
begitu," seru Jaka manggut-manggut. "Mudah-mudahan saja ia segera
sembuh." Sambungnya.
"Terima kasih atas
perhatian tuan," sahut nona baju biru. "Akan saya sampaikan pada nona."
"Ah, tidak perlu.
Mungkin apa yang saya katakan hanya sekedar basa-basi." Kata pemuda ini
sambil tertawa lebar. Hanya saja ucapan pemuda ini, membuat lima nona pengiring
itu saling pandang heran, didunia ini mana ada orang mengatakan kalau dirinya
berbuat hanya untuk basa basi? Begitu juga tiga orang pelindung Perguruan Naga
Batu, mereka menggeleng dengan prihatin, mereka menganggap bahwa pemuda ini
kelewat jujur dalam tindakannya. Apa yang ingin ia katakan dan ia lakukan
selalu terang-terangan.
Jaka agak rikuh juga melihat
semua orang tidak menanggapi ucapannya. "Tadi itu… tentu saja saya
mengatakannya dengan bersungguh hati." Sambungnya. "Karena tidak ada
kepentingan lain, saya mohon diri," pemuda ini berkata seraya
membungkukkan badannya lagi, setelah tiga orang itu mengangguk, ia membalikan
badan dan berjalan keujung perahu.
Dilihatnya jarak antara
perahu mewah dengan perahunya itu sekarang sudah dua puluh tombak lebih. Untung
saja sebelumnya Jaka sudah memasang pemberat pada perahu, kalau tidak tentu
perahunya sudah terhempas ombak telaga entah kemana. "Hiaah…"
lengkingan kecil itu begitu nyaring bagai pekikan naga. Seiring dengan pekikan
tadi, tubuhnya segera melayang tinggi dan bagai bulu tertiup angin pemuda ini
turun perlahan dan sudah berada diperahunya kembali. Gerakannya tak
berubah—seperti tadi, kelihatannya perbedaan jarak sepuluh tombak bukan hal
berarti bagi pemuda ini. Apa yang dipertunjukan pemuda ini benar-benar peringan
tubuh yang amat lihay, hakikatnya tiga orang itu belum pernah melihat ilmu
sehebat itu.
Bagi mereka yang
berpengalaman, dapatlah mengambil kesimpulan, jika peringan tubuh pemuda ini
belum lagi dikembangkan penuh. Sebab caranya melompat begitu enteng, tanpa
ancang-ancang, tak pengaruh jarak, nafaspun tak terlihat terengah. Diam-diam
ketiga orang ini menghela nafas getun, Baru anaknya saja sudah sehebat itu,
entah bagaimana kehebatan orang tua, dan kakeknya? Sungguh berbahaya jika kita
bermain api terlalu lama. Pikir Sadewa gelisah. Lain yang dipikir Sadewa, lain
pula yang dipikir kedua rekannya—Kundalini dan Kunta Reksi. Dengan bakat dan
kemampuan sehebat itu, andai dia menguasai salah satu ilmu mustika, agaknya
kecuali ditumbangkan oleh sesepuh persilatan, sulit mencari lawan sepadan.
Andai saja mereka tahu, bahwa
Jaka menguasai tiga dari sembilan mustika ilmu silat, tentu saja mereka tidak
akan bertindak dan berpikir demikian ceroboh. Orang yang menguasai ilmu mustika
kan tidak berasio—IQ—rendah, dan tidak akan semudah itu terjebak dalam
permainan tadi.
Sesampainya diperahu, Jaka
segera menarik pemberat dan mendayungnya perlahan-lahan, meninggalkan
keramaian—menjauhi perahu mewah tadi, hingga akhirnya ia sampai di pinggir
tebing batu. Saat itu matahari sudah sedikit condong kebarat, sekitar dua-tiga
jam kemudian bakal menjelang magrib.
Perahu yang ditumpang pemuda
ini kembali dikayuh sehingga terhenti saat ujung perahunya menumbuk lembut
sebuah batu yang mencuat dari permukaan air telaga. Jarak batu yang menjadi
tambatan perahu, dengan dinding tebing kira-kira masih sepuluh tombak lagi.
Melihat keadaan itu, Jaka berkesimpulan, sekitar dua puluh meter mendekati
dinding tebing, banyak dipenuhi batu-batu menyembul. Mungkin, karena longsoran
dari atas, atau berasal dari bongkahan batu dinding tebing yang retak.
Jaka menghela nafas, sungguh
tak habis rasa kagumnya menatap bangunan alam dengan Tuhan sebagai ‘arsitek’.
Saat dia berada ditepi telaga, rasanya tinggi tebing ini tak lebih sepuluh
tombak, tapi saat mendekat, rasanya tebing itu bagaikan dinding raksasa yang
menjulang tinggi, mungkin tingginya sampai empat atau lima puluh tombak lebih,
lagipula dibagian puncak dinding tebing itu ada juga yang diselimuti awan.
Pemandangan itu benar-benar membuat Jaka takjub.
Aih, sampai lupa… harus
segera mengeluarkan apa yang tadi kutelan. Terpikir demikian, di ujung
perahunya pemuda ini segera mengerahkan hawa murni, dia tekankan dibagian
perut—lambung. Perlahan-lahan dibawa keatas, setelah gumpalan makanan sampai di
kerongkongan, Jaka kembali menghimpun hawa murninya untuk mengangkat lagi sisa-sisa
makanan dan minuman tadi.
"Huaaak..." seluruh
makanan dan minuman yang ia telan tadi tumpah tanpa sisa.
Jaka menghela nafas lega. Untung keburu, kalau terlupa mungkin racun ini bisa membuatku sakit perut seharian… pikir pemuda ini seraya menghapus keringatnya. Sungguh tidak disangka, dalam perguruan yang diagungkan orang terdapat manusia seperti mereka. Benar-benar diluar dugaan, gerutunya gemas. Entah apa motivasi mereka berbuat begitu. Aku harus bertindak cepat, jangan sampai perguruan itu tertimpa musibah… tapi bagaimana jika tindakan mereka bukan seperti dugaanku? Bisa saja mereka punya kepentingan yang baik? Ah tak mungkin, orang baik-baik tak akan menempuh jalan seperti mereka, menggunakan racun! Hh, biar sajalah, toh pada saatnya bisa diselesaikan.
Jaka menghela nafas lega. Untung keburu, kalau terlupa mungkin racun ini bisa membuatku sakit perut seharian… pikir pemuda ini seraya menghapus keringatnya. Sungguh tidak disangka, dalam perguruan yang diagungkan orang terdapat manusia seperti mereka. Benar-benar diluar dugaan, gerutunya gemas. Entah apa motivasi mereka berbuat begitu. Aku harus bertindak cepat, jangan sampai perguruan itu tertimpa musibah… tapi bagaimana jika tindakan mereka bukan seperti dugaanku? Bisa saja mereka punya kepentingan yang baik? Ah tak mungkin, orang baik-baik tak akan menempuh jalan seperti mereka, menggunakan racun! Hh, biar sajalah, toh pada saatnya bisa diselesaikan.
Jaka memperhatikan
sekelilingnya gejolak hatinya langsung padam. Satu hal yang dia sendiri sadari,
betapapun berat masalah yang sedang dihadapi, jika berada di alam seindah ini,
emosi dan pikiran liar akan mengendap dengan sendirinya. Jaka kembali memperhatikan
keindahan Telaga Batu, sesaat ia melihat kesekelilingnya, banyak perahu pesiar
yang sedang berlayar hilir mudik. Orang-orang yang mengikuti dirinya sudah
tidak ada lagi. Dia juga tidak melihat perahu persiar mewah milik orang
Perguruan Naga Batu.
“Setidaknya saat ini
gerak-gerikku bebas. Siapa pun mereka, pasti menyangka aku terpengaruh racun
mereka, huh! Misalkan mereka tahu, bahwa aku hanya terkena seperdelapan bubuk
itu, merekapun tidak akan berani kurang ajar padaku. Lagi pula andai kata nanti
malam aku menguntit gerak-gerik Ki Lukita, mereka jadi tidak curiga padaku. Hh,
segala macam racun bulukan jangan harap bisa mencelakaiku," desah Jaka
jengkel.
Pemuda ini kembali mendesah,
terbayang betapa pedih dan menderitanya saat ‘dipaksa’ harus menemukan penawar
racun. Begitu banyak momen berbahaya—seperti saat dirinya diracuni, dengan
sendirinya sedapat mungkin Jaka berupaya menawarkannya, sebesar apapun
resikonya! Sebab itulah jalan yang harus dia perjuangkan untuk hidup! Dan itu
pula yang harus terpaksa dia pelajari sekalipun bertentangan dengan hatinya…
dan tak disangka-sangka semua itu membuatnya menjadi manusia, seperti saat ini…
kembali ia menghela nafas. Sungguh rasa syukurnya pada Tuhan tak pernah putus,
bahwa dia masih hidup hingga kini.
Latar belakang Jaka akan
dikisahkan dalam bab tersendiri…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar